Minggu, 27 November 2022

AYAH MENJADI POHON -- Sebuah Cerpen

*Sumber Gambar: Pinterest



Menonton berita pembakaran hutan itu, aku kembali terkenang pada Ayah yang secara menyakitkan berubah menjadi pohon.

Sebenarnya bukan sekali ini saja aku terkenang padanya. Kenangan itu selalu serupa ranting pohon berduri yang membelit kepala, setiap aku melintas di suatu tempat berpohon, atau tanpa sengaja melihat gambar pohon di koran atau majalah atau apa pun. Kenangan itu membuatku membenci pohon, membuatku memilih tinggal di tengah kota yang minim pohon dan terkepung pabrik-pabrik serta asapnya—dan terutama sekali membuatku ingin menebang setiap pohon yang kujumpai, tapi aku tak ingin bernasib serupa Ayah. Maka aku membiarkan diriku tersalib oleh kenangan buruk, dan aku tak kunjung terbiasa oleh kenangan buruk.

Dan berita pembakaran hutan itu membuat kenangan menyerang secara lebih menyakitkan: aku langsung muntah di depan televisi, sebelum kulempar benda itu keluar jendela apartemenku.


***


Pada Minggu pagi kedua di bulan April, waktu aku masih dua belas tahun, di sela jeritan ayam hutan aku mendengar Ayah terbatuk-batuk keras di kamar, seakan di kerongkongannya menyangkut sebilah silet. Aku, dengan ubun-ubun masih berdenyut nyeri akibat hantaman rotan semalam, buru-buru mengambil segelas air dari dapur dan berlari ke kamar Ayah; aku tak ingin ubun-ubunku dihantam sekali lagi, karena kurangnya inisiatifku sebagai anak untuk membantu orang tua. Menghadap cermin, Ayah menganga selebar-lebarnya. Ia terus terbatuk, atau tepatnya membatukkan diri sekeras-kerasnya, sampai ludah terciprat ke permukaan cermin. Ia pun menoleh padaku, dan menunjuk ke dalam mulutnya yang menyimpan deretan gigi kuning kecokelatan dan gusi menghitam. Perlahan aku mendekat, sampai tercium busuk mi kuah santapan semalam: dari kerongkongannya, mencuat tunas tumbuhan entah apa, dengan dua lembar daun selebar kuku telunjukku pada pucuknya.

“Ayah menelan biji?” tanyaku.

Ayah menampar pelipisku, sebelum menyambar gelas air dari tanganku dan menenggaknya. Tapi ia langsung terbatuk—air minum menciprati wajahku. Aku bertanya apa Ayah baik-baik saja, dan ia langsung mengambil pulpen, membuka telapak tanganku, lalu menulis sesuatu di sana: Panggilkan mantri!

Tanpa mengelap wajah, aku berlari keluar rumah, melewati setapak di antara barisan pohon yang cecabang dan daun-daunnya menggelapkan jalurku, lalu pematang sawah yang membelah barisan padi kering di tanah penuh retakan; keringat dari ubun-ubun membasahi wajah dan memerihkan mataku; hingga akhirnya aku menerobos antrean di depan tempat praktik Pak Mantri, antrean orang-orang yang menenteng bebuahan dan sayuran, lantas kepada Pak Mantri, yang sedang menempelkan stetoskop ke dada seorang pria tua, aku menceritakan apa yang terjadi.

Pak Mantri melepas stetoskop dari kupingnya, membisikkan sesuatu pada sang asisten, dan sembari memasukkan sejumlah peralatan ke tas ia berkata padaku, “Kulihat kemarin ayahmu membawa kapak ke hutan.”

Aku mengangguk.

Pak Mantri menutup risleting tas, mata berkantungnya mengarah ke kalender di dinding. “Kemarin bukan hari baik untuk menebang.”


***


Ayah duduk bersandar ke punggung kasur, menganga selebar-lebarnya, dan kepalanya  seperti tengkorak dengan rahang yang patah, sedang Pak Mantri menyorotkan senter ke kerongkongannya. Batuk Ayah sudah mereda: mungkin ia mulai terbiasa dengan sensasi mengganjal di kerongkongannya; mungkin ia mulai sadar membatukkan diri tak akan melontarkan tunas itu keluar.

Aku mengamati mereka dari tempat dudukku di depan cermin; cipratan ludah Ayah telah mengering di permukaan cermin, dikeringkan sorotan sinar matahari dari jendela bergorden rombeng. Jejak ludah yang mengering itu menguarkan bau bangkai kucing membusuk di got. Ya, aku yakin bau itu berasal dari jejak ludah; aku mendekatkan hidung ke permukaan cermin, dan muntahan menjotos pangkal lidahku, dan aku cepat-cepat membuang muka ke arah kasur.

Pak Mantri mengambil pinset dari tasnya dengan satu tangan, sementara tangan satu lagi tetap menyorotkan senter ke kerongkongan Ayah. Lalu, ketika Pak Mantri memasukkan pinset ke mulut Ayah, aku mendekat dan berdiri di sampingnya. Mata pinset menjepit ujung tunas. Ayah menarik napas panjang, Pak Mantri menarik napas panjang, dan aku pun sama—dan Pak Mantri mulai menarik tunas itu. Awalnya Pak Mantri menarik dengan kekuatan untuk mencabut rumput mungil di tanah, dan Ayah mengeluarkan suara kkkhhh! Kemudian Pak Mantri menggunakan kekuatan setara untuk mencabut gigi, dan Ayah terbatuk sekeras-kerasnya; Pak Mantri refleks melepas pinset, darah dan ludah terciprat ke kemeja putihnya.

Dan, yang tak kalah mengejutkan: Ayah langsung meninju leher Pak Mantri hingga ia tumbang. Dan seperti Ibu setelah dulu ditinju Ayah, Pak Mantri pun berlari keluar dari rumah.

Tunas itu tidak tercabut sama sekali.


***


Di lenganku, Ayah menuliskan: Bubur. Aku memasak untuknya; dari depan kompor aku dapat melihat Ayah duduk di ruang makan, ia menuangkan air dari teko ke gelas dengan tangan gemetar, dan minum perlahan-lahan. Percobaan pertama: ia terbatuk dan air terciprat. Ia menyeka meja dengan lengannya, sebelum melakukan percobaan kedua: ia minum lebih perlahan-lahan, dan kali ini berhasil. Aku menarik napas lega.

Untuk sesaat, aku bisa fokus ke wajan, mengaduk-aduk nasi yang semakin mengencer, dengan uap menghangatkan wajah. Sampai tiba-tiba, Ayah menjerit keras, ia terjungkal dari kursi, dan memegangi leher sendiri—batuknya semakin menjadi-jadi! Aku mematikan kompor. Mata Ayah membelalak padaku, seperti mayat hidup yang mengancam. Ia memekikkan maikhhh! beberapa kali, sampai aku tersadar maksudnya mantri, dan aku kembali berlari keluar.

Aku kembali menerobos antrean di depan tempat praktik Pak Mantri; mantri itu sedang menyuntik paha seorang wanita yang berbaring menyamping di ranjang, yang ujung dasternya terangkat sampai ke pinggang. Aku pun menjelaskan dengan kalimat terputus-putus apa yang tadi terjadi, dan Pak Mantri, setelah menurunkan ujung daster sang pasien, membalas, “Itu pekerjaan dukun, Nak.”


***


Ayah tak pernah percaya dukun sejak Ibu keguguran saat mengandung adikku—dan Ayah sempat meninju leher sang dukun. Maka aku langsung pulang dengan kaki selemas lidi; ubun-ubun dan pundakku basah: hujan sebenarnya cukup deras, tapi hanya terasa bagai gerimis, sebab terlalu banyak rintiknya tertahan oleh cecabang dan daun-daun lebat di atasku.

Ketika aku sampai di rumah, Ayah telah duduk dengan lebih tenang di meja makan. Ia mengisyaratkanku untuk melihat ke dalam mulutnya. Sial: tunas itu sudah bertumbuh. Kini tunas lebih panjang dan lebih lebar seujung kuku, daunnya berjumlah empat lembar. Apa tunas itu bertumbuh karena Ayah barusan minum? Entahlah. Lebih buruk lagi: mulut Ayah berbau bangkai kucing membusuk di got. Lebih buruk dari bau mulut Ayah beberapa jam lalu; bahkan bau bangkai ini lebih terkutuk ketimbang bau jejak ludahnya di cermin. Dan, karena tak ingin Ayah mengamuk, aku berkata, “Tampak baik-baik saja, Yah,” dan lanjut memasak bubur. Ketukan hujan di atap asbes jauh mereda.


***


Horor sebenarnya terjadi setelah bubur hampir matang. Air di bak mandi habis. Aku hendak ke sumur di belakang rumah sembari menunggu bubur matang, tapi Ayah memberi isyarat agar aku tetap fokus memasak, dan ia keluar. Tersisa gerimis di luar, dan gerimis membuatku cukup takut; aku membayangkan tiba-tiba tunas itu bertumbuh semakin besar di tubuh Ayah. Aku mematikan kompor dan diam-diam mengikuti Ayah ke sumur, dengan langkah-langkah pelan karena tanah yang licin.

Tampaknya Ayah baik-baik saja: ia menurunkan ember ke sumur, katrol berkarat itu berdecit-decit, dan tak ada tanda-tanda Ayah akan mendadak menjerit.

Aku hanya terlalu cemas. Sebelumnya, tunas itu bertumbuh karena Ayah minum—mungkin. Ayah tidak meminum gerimis, dan harusnya rasa cemas kusimpan untuk sarapan nanti, saat ia menelan bubur dan air. Aku pun kembali ke dapur, menyalakan kompor, dan mematangkan bubur.

Dan, di antara kuak kawanan kodok, terdengar sesuatu yang berat tercebur ke sumur!

Aku berlari ke halaman belakang, terpeleset jatuh hingga kerikil-kerikil tajam merobek telapak tangan serta lututku. Ayah tak tampak di mana pun. Katrol telah menghilang dari atas sumur. Dan ada yang ber-glubug. Aku berlari ke tepi sumur. Ember mengambang di bawah sana. Wajah Ayah muncul dari permukaan air. Matanya nyalang. Ia berusaha memanjat dengan merentangkan kedua tangan ke dinding sumur berlumut, di mana kawanan kecoak berlarian. Dan, ia menganga, daun-daun telah memenuhi mulutnya.

“Ayah!” pekikku.

Ayah terus memanjat, dan tangannya terpelest—ia tercebur, tenggelam, permukaan air ber-glubug. Entah berapa banyak air yang ia telan.

Ketika wajah Ayah muncul lagi ke permukaan, daun-daun dari mulutnya melebat, bahkan telah keluar dari mulutnya. Mulut Ayah menganga lebih lebar dari sebelumnya, tunas telah menjadi batang setebal pergelangan tanganku, rahang Ayah akan segera patah.

Hujan menderas.

Ayah kembali memanjat. Dan, perlahan-lahan, dari balik kulit leher dan lengannya, mencuat sesuatu yang cokelat dan selebar kelingking dan runcing. Akar. Akar terus mencuat memanjang dan merobek kulitnya semakin lebar dan kucur darah memerahkan air sumur. Ayah memekik. Darah mengucur dari kulit pipinya yang robek karena bukaan rahang melebar, dari lubang hidungnya yang melebar, dari matanya yang membelalak semakin lebar dan memerah dan seolah akan pecah—sebelum daun-daun berlapis darah keluar dari setiap lubang di wajah, termasuk dari sela kelopak mata. Terakhir, ujung-ujung akar selebar leher merobek perutnya dari dalam, membuat ususnya menjuntai—dan tangan Ayah terpeleset, byur!

Dan aku pingsan ....


***


Ketika aku siuman, langit merah dan matahari sudah di barat. Aku tergeletak telungkup dan kulepehkan tanah basah dari mulutku. Sekujur tubuhku basah. Aku menggigil. Dan, dari mulut sumur itu, telah menjulang sebatang pohon lebat, setinggi dua kali rumahku. Burung-burung gagak bertengger di cabangnya. 



*) Cerpen ini merupakan juara II di Sayembara Cerpen Media Indonesia 2022, dan dimuat di Media Indonesia pada Minggu, 27 November 2022.

Jumat, 18 November 2022

BOM DAN BAPAK -- Sebuah Cerpen

*Ilustrasi oleh: Wiradinata



Aku sedang bermain Crash Bandicoot di PS ketika Ibu mengatakan: Bapak kena bom. Ibu pernah bilang kita tidak boleh menangis jika sudah besar—tapi Ibu menangis ketika mengatakan Bapak kena bom. Ibu mirip karakter sebuah gim petualangan ketika nyawanya hampir melayang: pucat dan bungkuk dan matanya basah.

Tunggu dulu … Bapak kena bom, katanya?

“Apa Bapak melayang seperti malaikat?” tanyaku. Crash Bandicoot akan melayang arwahnya jika terkena bom: tubuh-putih-kebiruan akan terbang keluar dari tubuh aslinya; tubuh-putih-kebiruan itu bersayap persis malaikat. Mungkin Bapak juga begitu.

Dan Ibu menggeleng. Ia menyuruhku bersiap-siap ke rumah sakit dan mematikan PS, lalu ia memasuki kamarnya dan aku lanjut bermain PS. Level ini mestinya selesai sebentar lagi. Tetanggaku berada di level yang lebih jauh dan aku tak boleh tertinggal—aku pernah kalah balap sepeda dengannya dan aku tak akan kalah di Crash Bandicoot.


***


Kemarin Minggu aku menonton Scooby-Doo di TV, dan selagi menonton Ibu bersila di lantai, memotong kuku kakiku. Sesekali Ibu menoleh ke TV tiap aku tertawa, dan aku ingin Ibu menyukai tontonanku, sehingga aku sering tertawa saat tak ada yang lucu. Akhirnya Ibu ikut tertawa saat Scooby si Pengecut dengan keras menarik sehelai perban di tubuh mumi gentayangan, dan tubuh mumi itu berputar kencang seperti gasing seiring lepasnya perban, dan terbongkarlah siapa penjahat yang menyamar jadi mumi tersebut.

“Bapak sekarang seperti mumi,” kata Ibu di taksi. Suaranya persis tetanggaku tiap habis menangis. Mungkin bagi Ibu mumi hanya lucu kemarin Minggu, dan hari ini mumi tak lagi lucu.

Selain menonton kartun dan bermain gim PS, aku juga suka menonton sinetron tiap malam. Aku merasa memasuki dunia sinetron saat tiba di rumah sakit: seorang perempuan tua menangis di depan pintu rumah sakit dan berteriak, “Anakku! Anakku!” Hanya orang dewasa di sinetron yang sering menangis—di dunia nyata mereka tak pernah menangis, kecuali Ibu dan perempuan tua itu. Ibu terus menggandengku hingga akhirnya kami berbelok ke sebuah kebun, yang menghadap deretan jendela lebar. Di kebun itu orang-orang dewasa yang menangis berkumpul, sedang anak-anak seusiaku bersikap biasa-biasa saja atau justru berlari-lari sambil tertawa. Mungkin rumah sakit adalah dunia yang ajaib: anak-anak tak lagi cengeng; orang dewasa tak lagi kuat.

Oh, ada juga pria pembawa berita di TV: ia berbicara sambil memegang mik, ia berbicara menghadap pria lain yang mengarahkan benda besar padanya seperti bazoka. Biasanya di gim aku akan berlari jika ditodongi bazoka, tapi pria itu tetap di tempat dan terus bicara.

Ibu menggandengku ke hadapan satu jendela besar. Astaga. Aneh sekali. Kupikir ada banyak jendela berarti ada banyak ruangan. Ternyata hanya ada satu ruangan yang luas, dengan banyak jendela berderet menghadap kebun—kenapa mesti ada sebanyak itu jendela?—dan ada banyak tempat tidur tempat para mumi berbaring!

“Scooby pasti akan ketakutan di sini, Bu!”

“Itu Bapak,” kata Ibu, menunjuk ke dalam ruangan.

Aku tak tahu mumi mana tepatnya yang ia tunjuk—terlalu banyak mumi serupa. Dan untuk apa pula Bapak menjadi mumi? Bapak tak suka Scooby-Doo: ia sering merebut remote TV dariku dan mengganti Scooby-Doo dengan berita atau pertandingan sepak bola—tapi kenapa sekarang ia menjadi mumi seperti penjahat di Scooby-Doo?

“Lihat, yang itu,” kata Ibu lagi, dengan senyum aneh, senyum disertai mata orang menangis. “Lambaikan tanganmu, ayo.”

Aku menurut. Para perawat di sekeliling para mumi menoleh padaku dan tersenyum. Tapi aku tetap tak menemukan Bapak.

“Bapak tersenyum, lihat ….”

Aku tetap tak melihat Bapak ….


***


Esok dan esok dan esoknya, terus-menerus Ibu mengajakku ke rumah sakit, ke kebun yang menghadap jendela kamar para mumi, dari hari masih terang sampai malam tiba. Aku sering merengek karena bosan, dan Ibu meminjamiku ponselnya, di sanalah aku bermain Snake terus-menerus—memang tak seseru Crash Bandicoot, tapi aku suka Snake—dan aku hampir tak pernah berdiri dari bangku kebun, sementara Ibu terus berdiri menghadap jendela, sesekali ia melambaikan tangannya padaku, dan aku tak peduli.

Suatu kali si Pembawa Berita menghampiriku, bersama temannya yang memegang bazoka. Si Pembawa Berita mengajakku berkenalan, dan sejenak aku berhenti bermain Snake.

“Kau mau masuk TV?” tanyanya kemudian.

Masuk TV? Luar biasa! Aku mengangguk.

“Kau bisa terlihat sedih?”

Aku mengangguk lagi. Tapi aku tak tahu kenapa aku harus bisa terlihat sedih. Orang dewasa seperti Ibu dan Bapak tak suka melihatku sedih.

Si Pembawa Berita lalu menanyakan nama serta umurku, dan aku tentu menjawab jujur.

“Dan jika saya bertanya, ‘Siapa keluargamu yang menjadi korban bom?’ kau menjawab …?”

Aku berpikir sejenak. “Bapak …?”

“Bagus. Jika saya bertanya, ‘Bagaimana perasaanmu sekarang?’ kau harus menjawab …?”

“Eee … bosan? Aku bosan. Sekarang hari Minggu, dan harusnya aku bisa menonton banyak film kartun atau bermain Crash Bandicoot di PS.”

Si Pembawa Berita dan si Pembawa Bazoka langsung bertukar tatapan. Mereka seperti berbicara tanpa suara. Kerutan-kerutan di wajah mereka berubah-ubah cepat. Si Pembawa Berita pun mengedikkan bahu dan berkata padaku, “Baiklah, terima kasih untuk waktumu.”

“Omong-omong,” kataku, “apa di TV aku bisa bertemu Scooby-Doo?”

“Scooby-Doo? Tidak.” Ia terbatuk sejenak. “Semoga bapakmu cepat sembuh.”

Mereka pun pergi dariku, dan tak lama segera mendekati anak yang lain.


***


Sekali waktu aku bermimpi Scooby bermain ke rumahku. Mimpi itu tak akan terwujud sekarang: Bapak pulang dalam keadaan seperti setengah-mumi, dan Scooby mesti takut padanya. Aku bilang setengah-mumi, sebab wajahnya tak diperban—tampak luka-luka berbentuk aneh di sana, seperti lumut hitam kemerah-merahan—tidak sebagaimana tubuhnya dari leher ke bawah.

Dan aku lebih menyukai Bapak setelah ia pulang dari rumah sakit: ia tak banyak bicara, ia tak lagi menggangguku ketika bermain gim PS, dengan tiba-tiba menyambar remote dan mengganti gimku dengan berita atau pertandingan sepak bola. Kini Bapak hanya duduk dan diam seraya menontoniku bermain Crash Bandicoot, sementara Ibu mengoleskan sesuatu ke luka-luka di wajahnya, lalu turun ke leher dan dada dan terus ke bawah setelah melepas perbannya—sebelum memasangnya kembali.

“Bapak, lihat!” kataku. “Aku bisa membuat Crash Bandicoot bunuh diri dengan bom.”

Aku pun membuat Crash Bandicoot melompat ke atas kotak merah bertuliskan TNT. Bapak menoleh ke TV. Bunyi tet menandakan TNT akan meledak. Tet ketiga: duar!!! Arwah Crash Bandicoot langsung melayang ke langit. Aku terkekeh. Tatapan Bapak tertuju padaku.

Dan hening.

Ibu juga menatapku. Tatapannya seolah-olah aku habis berbuat nakal, semisal melempar kepala tetangga dengan batu.

Aku menatap Bapak; Bapak menatapku marah: seolah-olah ia ingin memukul pantatku dengan sapu—Apa aku telah berbuat nakal? Dan mata Bapak berair. Memerah. Ia menarik-mengeluarkan napas sekencang banteng bersiap menyeruduk. Ibu mengelus-elus punggungnya. Dan bibir Bapak bergetar. Aku tidak berbuat nakal—Kenapa orang-orang begitu aneh?—tiba-tiba Bapak berdiri cepat dan membanting PS-ku!

Ibu menjerit ….

Bapak memasuki kamar. Ibu menangis seperti bayi yang dibuat kaget. Semut-semut memenuhi layar TV dan mendesis. Kulit sofa yang kududuki mendadak dingin. Dan PS-ku … hancur seperti terkena bom ….

Aku benci Bapak! 


*) Catatan: Mengenang bom Bali I, dan Bapak yang terluka karenanya.

**) Cerpen ini dimuat di Tatkala.co pada 30 Oktober 2022.

LELAKI BERNAMA ANJING -- Sebuah Cerpen

*Sumber Gambar: omong-omong.com




Anjing: demikian nama lelaki itu—aku serius. Sang ibu yang konon memberinya nama begitu. Seminggu sebelum melahirkan, di sebuah gang sepi kira-kira pukul sepuluh malam, seorang pemalak menempelkan golok ke leher wanita itu, dan seekor anjing liar, yang muncul entah dari mana, mendadak menanamkan gigi-geliginya di selangkangan si pemalak. Kutebak nama Anjing merupakan doa agar sang anak kelak menjadi penyelamat bagi ibunya, atau bagi orang lain—yang jelas wanita itu tak pandai dalam urusan berdoa.

Aku tak pernah bertemu langsung dengan si Anjing; aku tak pernah berkenalan dengannya. Tapi, di beberapa kesempatan, aku pernah bertemu beberapa orang yang sempat berurusan dengannya. Dan jelas berurusan dengan si Anjing sama sekali tak menyenangkan: semua orang yang pernah bertemu dengannya memiliki bekas luka gigitan, entah di pundak atau lengan atau leher, bahkan di daerah yang tak ingin mereka tunjukkan pada siapapun. Untung aku tak pernah bertemu langsung dengan si Anjing.

Molly: dari gadis itu aku pertama kali mendengar tentang si Anjing. Kami pertama bertemu di kafe X, seminggu setelah rutin bertukar pesan di Tinder. Ketika ia mengajakku ke apartemennya dan dia melepas sweter merahnya dan atasan lainnya, terlihat bekas luka gigitan pada pundak kirinya. Aku segera bertanya soal penyebab luka tersebut, dan Molly mulai bercerita padaku.

Molly pernah sekelas dengan si Anjing di SMA, sebelum lelaki yang duduk di bangku tersudut itu ditendang dari sekolah. Di hari pertama sekolah, para murid memperkenalkan nama satu per satu di depan kelas; murid di bangku terdepan mendapat giliran pertama, namun lelaki yang mendapat giliran terakhir itu tak kunjung berdiri dari bangku setelah teman sebangkunya kembali dari depan kelas. Molly dan semua murid menoleh padanya: si Anjing menunduk-diam seakan tak sadar dirinya sedang berada di kelas. Ia baru bergerak ketika Pak Guru berdehem keras; ia seperti melangkah di atas kaca tipis transparan dan awan-awan terlihat di baliknya. Sementara si Anjing bergerak lamban, Pak Guru terus mengernyit menatap daftar kehadiran. Dan ketika lelaki itu sampai di depan kelas, ia berkata: “Halo. Nama saya Anji.”

“Kenapa di sini kau bernama Anjing?” sahut Pak Guru, sembari melihat kembali daftar kehadiran di tangannya.

Molly pun iseng menjulurkan lidah dan bernapas kencang lewat mulutnya, dan seisi kelas terbahak-bahak. Gadis itu tak pernah membayangkan gigi-gigi si Anjing menancap pada pundak kirinya beberapa jam kemudian.

“Omong-omong,” kata Molly, sembari melepas ikat pinggangnya, “hari pertama kami sekolah adalah hari terakhir si Anjing ada di sekolah.”

Di mata pelajaran terakhir, setelah kira-kira enam jam si Anjing menerima ejekan tanpa henti karena namanya, ia mulai bersikap seperti anjing betulan. Molly sedang mencatat rumus phytagoras di buku tulisnya ketika tahu-tahu si Anjing menggigit pundak kirinya: gigi-gigi itu menembus seragam, dan Molly memekik, dan si Anjing pasti akan menggigit para pengejek lainnya jika saja para murid tak segera meringkusnya.

Cerita Molly tentang si Anjing berhenti sampai di situ. Ia ingin berdansa dan aku menurut dan kami tahu-tahu sudah berciuman dan sekitar satu jam kemudian aku meminjam kamar mandinya. Aku kembali bertanya soal si Anjing begitu keluar dari kamar mandi, tapi Molly mengaku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya, kecuali lelaki itu dikeluarkan dari sekolah hari itu juga.

Aku tiba-tiba jadi terobsesi untuk mengorek lebih jauh cerita tentang si Anjing. Rencananya akan kutanyakan lebih jauh pada Molly—kami berjanji untuk bertemu lagi minggu depan—namun tak pernah ada pertemuan kedua. Tahu-tahu saja Molly memblokir seluruh kontakku enam hari sejak pertemuan pertama kami, dan aku jadi terlalu malas untuk menghampiri apartemennya.

Setelah tak memikirkan lagi kisah si Anjing, tiba-tiba aku bertemu seorang lain yang pernah bertemu dengannya, dua hari setelah Molly memblokirku, di kereta bawah tanah. Gerbong begitu sesak dan penuh getaran, rasanya aku dan para penumpang akan tinggal remah-remah begitu kereta berhenti, ketika seorang wanita di depanku mendadak berbalik dan berteriak padaku, “dasar cabul!”

Seisi gerbong sontak hening, hanya tersisa bunyi gesekan roda dengan rel, dan dipandangi banyak orang dalam kesesakan begini sama sekali tak menyenangkan. Mendadak pria di samping wanita itu menjotos wajahku. Aku tumbang dan seseorang di belakang menangkap tubuhku, dan seseorang yang sama melepasku hingga belakang kepalaku menghantam lantai gerbong. Si Pria Penjotos menahan perutku dengan sebelah lututnya, ususku terasa akan terlontar lewat mulut, dan seperti karakter lelaki pencemburu dalam sinetron ia berkata, “jangan sentuh pacarku!” lalu ia mencekik batang leherku. Di momen itulah aku menyadari bekas luka gigitan pada lengan bawahnya. Maka aku berkata, “si Anjing!” dan pria itu membelalak, cekikannya sedikit melonggar, oksigen berebut masuk lewat batang leherku, dan aku lanjut berkata, “kau kenal si Anjing?”

“Kau kenal si Anjing?” ia membeo. “A-aku… ia pernah menggigitku!”

Si Pria Penjotos adalah mantan polisi—ia bilang begitu setelah kereta berhenti, dan ia mengajakku duduk di Starbuck dalam stasiun. Si Pria Penjotos berpisah dengan pacarnya di stasiun itu, sang wanita bersalaman denganku dan kami saling meminta maaf setelah kujelaskan aku tak pernah meremas bokongnya. Si Pria Penjotos mentraktirku Caramel Macchiato sebagai permintaan maaf, dan selagi menunggu kopi ia mulai bercerita tentang si Anjing.

Ia pertama bertemu si Anjing setelah mendapat laporan tentang kasus penggigitan brutal di sebuah sekolah, dan ia ditugaskan menghampiri rumah si Anjing. Sang ibu membukakan pintu untuknya, tatapan wanita itu adalah tatapan seseorang yang seolah sedang menghadapi malaikat maut sendirian. Si Anjing sedang telentang di kasur dan tatapan kosongnya menembak langit-langit kamar. Persis filsuf yang sedang merenungkan akhir dunia. Wajahnya penuh lebam, dan darah masih basah di kerah bajunya. Si Mantan Polisi pun berjongkok di samping kasur si Anjing yang tanpa ranjang, lalu bertanya bagaimana kabarnya.

“Dia tak sekali pun menjawab pertanyaanku,” jelas si Mantan Polisi. “Dan itulah awal mula aku diceraikan mantan istriku.”

Karena tujuh pertanyaan berturut-turut tak dijawab oleh si Anjing, si Mantan Polisi bertanya pada sang ibu yang berdiri di depan pintu kamar, “apa aku boleh membawa anakmu ke kantor?”

Sang ibu langsung menangis—tak mengangguk ataupun menggeleng. Si Mantan Polisi lalu menyelipkan tangan kanannya ke bawah leher si Anjing. Ia hanya bercita-cita membuat si Anjing duduk, dan membantunya berdiri, dan merangkulnya ke kantor polisi—tetapi si Anjing adalah anak yang penuh kejutan: tahu-tahu ia menggigit lengan kanan si Mantan Polisi. Pria itu refleks meninju-ninju wajah si Anjing dengan tinju kirinya, refleks itu tetap bekerja bahkan hingga si Anjing pingsan dan melepas gigitan.

Si Anjing diangkut menuju ambulans dan Atasan si Mantan Polisi datang ke TKP khusus untuk memecatnya. Esoknya ia digugat cerai oleh mantan istrinya—ia menangis tepat ketika pelayan Starbuck memanggil namanya dari balik meja kasir: Caramel Macchiato dan Americano telah disiapkan. Aku bingung antara harus mengambil kedua kopi itu atau menunggunya selesai menangis.

“Mau kopi?” tanyaku.

Ia terlalu sibuk menangis, dan aku mengambil kedua kopi itu. Satu kudekatkan padanya. Barangkali menenggak kopi dapat menenangkannya—tetapi pria yang menangis itu tampaknya tak pernah ingin menenggak kopi. Ia menangis selama kira-kira tiga puluh menit: aku terus berpikir tentang film macam apakah yang bisa kubuat dari kisah si Anjing—entah fiksi atau dokumenter; entah film panjang atau pendek atau serial. Dan ketika ia selesai menangis, Caramel Macchiato-ku keburu habis, dan ia berkata, “aku ingin pulang saja.”

Aku menahan lengannya ketika ia berdiri. Aku tak bisa memaksanya lanjut bercerita, tentu saja, jadi kumintai ia alamat rumah si Anjing. Aku butuh kisah si Anjing lebih jauh. Tapi tentu aku tak mengatakan itu padanya ketika ia bertanya untuk apa. Aku hanya bilang, “setelah si Anjing menggigitku, aku memukul wajah ibunya. Aku harus meminta maaf.”


***


Dan aku benar-benar ke rumah si Anjing. Di dalam tasku, kamera dan perekam suara telah bersiap merekam sesuatu yang hebat. Tanganku telah bersiap memegang dinginnya piala di panggung besar. Dari sebuah jalan besar aku berbelok ke Gang Kucing, yang dipenuhi kecoak berebut keluar dari jeruji selokan, lalu aku berbelok ke gang lain dengan nama binatang lain, dan begitu seterusnya, semua gang di sini menggunakan nama binatang.

Sekali aku berhenti dan bertanya tentang arah rumah si Anjing pada wanita tambun berpipi serupa skrotum yang kering. Wanita yang sedang sibuk menghajar kecoak-kecoak di dinding gang berlumut dengan sapu lidi itu berbalik padaku, dengan tatapan seolah aku bertanya jalan mana yang menuju neraka, dan ia menunjuk satu arah serta bercerita tentang kesintingan si Anjing: suatu malam lelaki itu, sepulangnya dari rumah sakit sehabis dihajar si Mantan Polisi, merangkak sendiri melewati rumah sang wanita tambun, dan ia langsung mengusirnya, dan si Anjing langsung menggigitnya. Bekas luka gigitan itu berada di area yang tak ingin ia tunjukkan. Lalu ia menunjuk ke lain arah, ke gang di mana ibunya si Anjing dihampiri pemalak dan diselamatkan seekor anjing. Di gang itu sekarang kulihat seekor anjing tergeletak di tengah jalan, kejang-kejang dengan perut sobek dan jejak ban motor berupa darah memanjang dari tubuhnya—tak ada yang peduli padanya. Kemudian aku mengucapkan terima kasih dan melanjutkan perjalananku.

Aku menemukan rumah si Anjing. Pintu depan rumah itu terbuka sedikit, suara pembaca berita di TV menyeruak dari celah pintu, dan aku mengetuk pintu itu. Rumah itu tampak membosankan: tak bertingkat dan berdinding hijau penuh retak dan berbau ikan asin. Ibu si Anjing pasti habis menggoreng ikan asin. Dan ia tak kunjung menyambutku. Maka aku sengaja sedikit menendang pintu dengan ujung kakiku, dan pintu terayun lebih lebar, dan di sanalah terjawab kenapa aku tak kunjung disambut: seorang wanita terkapar di lantai, lehernya koyak, genangan darah pelan-pelan merambat menuju pintu.

Aku tak melihat si Anjing di rumahnya. Aku juga sudah tak terobsesi melihat si Anjing. Entah ia kabur setelah apa-yang-terjadi-pada-ibunya, atau ia sembunyi di dalam rumah. Aku tak ingin tahu.

Pintu rumah para tetangga tertutup. Itu hari yang sepi. Angin tiba-tiba melesat mengentakkan daun pintu rumah si Anjing ke dinding, aku sedikit terlonjak dan langsung menggigil. Aku menutup pintu itu pelan-pelan, seperti maling yang hendak pamit, dan aku segera pulang.

Si Wanita Pemukul Kecoak sudah tak terlihat; dinding gang penuh tubuh kecoak yang hancur; kecoak-kecoak lain merayap dari selokan dan mengelilingi mayat saudara-saudara mereka. Dari titik ini, terlihat anjing sekarat di gang sebelah sana semakin lemah kejangnya—dan seperti tadi: tak ada yang peduli padanya. Aku berjongkok di sampingnya; putih matanya; aku ingin mencekik batang lehernya—kasihan ia.




*) Cerpen ini dimuat di omong-omong.com pada 23 Oktober 2022.