Senin, 02 September 2019

SEJARAH DONAT -- Sebuah Cerpen


*Sumber Gambar: Bacapetra.co



Hanson Gregory, baik yang seorang kapten kapal asal Denmark ataupun seorang anak laki-laki berusia 15 tahun asal Maine[1], bukanlah penemu donat yang sesungguhnya. Penemu donat sesungguhnya tak lain seorang koki roti bernama Nosnah Yrogreg, pria berusia 35 tahun yang tinggal di sebuah kota kecil bernama Crocket. Ia adalah satu-satunya koki di Toko Roti Tekcroc, satu-satunya toko roti di kota kecil itu.
            
Semua orang di Crocket mengakui bahwa roti buatan Nosnah Yrogreg rasanya luar biasa. Bahkan, kata si Pemilik Tekcroc, “Sejak adonan pun sudah luar biasa.” Walaupun, mesti diakui, bentuk dari roti-roti yang dibuatnya biasa-biasa saja: seperti donat—yang belum ditemukan di masa itu—pada umumnya, tapi tanpa lubang di bagian tengah.

Nosnah Yrogreg dan Toko Roti Tekcroc semakin dikenal masyarakat luas setelah seorang aktor terkenal bernama Ghuda memuji roti buatannya di hadapan para wartawan; berita soal koki roti dan toko roti itu pun sempat heboh di koran-koran lokal selama beberapa minggu, sama hebohnya dengan berita kecelakaan yang dialami Ghuda sebulan lalu. (Tambahan informasi: kecelakaan itu menyebabkan Ghuda kehilangan tangan kiri dan keempat jari di tangan kanan—yang tersisa hanya telunjuk. Bagaimanapun, kecacatan tak mengganggu kariernya sama sekali.)

Di lain sisi, si Pemilik Tekcroc dan si Koki Roti jatuh cinta pada seorang wanita yang sama: Dona, penjaga kasir di toko roti itu. Belum ada seorang pun yang mengetahui perasaan si Pemilik Tekcroc terhadap penjaga kasirnya, tapi setiap orang Crocket tahu bahwa si Koki Roti jatuh cinta pada Dona karena mereka berdua berpacaran.
            
“Nosnah Yrogreg selalu memperlakukanku selayaknya adonan roti,” begitulah kata Dona. Tentu maksud dari kalimat itu adalah si Koki Roti selalu memperlakukannya secara luar biasa.
            
Si Pemilik Tekcroc tentu cemburu. Seandainya Nosnah Yrogreg tidak luar biasa, ia pasti sudah memecatnya. Toh, mungkin saja nanti hubungan mereka kandas, pikirnya, sekadar menghibur diri.

***

Dona menolak ajakan Nosnah Yrogreg untuk bersetubuh saat ia, pada hari libur, mampir ke kamar sewaan tempat si Koki Roti tinggal. “Bersabarlah. Toh, sebentar lagi kita akan menikah,” tambah Dona, agar Nosnah Yrogreg tak terlalu masam.
            
Ketika Dona pulang, segeralah Nosnah Yrogreg masturbasi, sambil membayangkan memperlakukan wanita itu selayaknya adonan roti.

***

Tak ada yang tahu soal rencana pernikahan Nosnah Yrogreg dan Dona, sampai ketika mereka menyebarkan undangan pernikahan tepat seminggu sebelum acara itu diselenggarakan. Bagi orang-orang Crocket, hadirnya undangan pernikahan itu terbilang mendadak, tapi tak masalah. Yang menganggapnya sebagai masalah hanyalah si Pemilik Tekcroc, sebab menurutnya tak mudah untuk mencari cara membatalkan pernikahan tersebut dalam satu minggu.

***

Tak ada yang tahu pasti bagaimana bisa seminggu kemudian Dona malah menikah dengan si Pemilik Tekcroc—undangan pernikahan mereka baru disebarkan sehari sebelum acara itu berlangsung.
            
Berikut saya jabarkan beberapa versi cerita—yang tak terlalu jelas sumbernya—mengenai alasan Dona meninggalkan Nosnah Yrogreg dan menikah dengan si Pemilik Tekcroc:
1) Dona memergoki Nosnah Yrogreg berduaan dengan seorang pelacur di suatu tempat, sehingga wanita itu memutuskan untuk meninggalkannya, lantas langsung dilamar oleh si Pemilik Tekcroc;
2) Nosnah Yrogreg memaksa Dona untuk bersetubuh, sehingga wanita itu merasa terancam dan meninggalkannya, lantas langsung dilamar oleh si Pemilik Tekcroc;
3) Dona diancam sedemikian rupa oleh si Pemilik Tekcroc supaya meninggalkan Nosnah Yrogreg dan menikah dengannya;
4) Si Pemilik Tekcroc membayar seorang penyihir untuk membuat Dona jatuh cinta pada dirinya seketika.

***

Semenjak Dona menjadi istri si Pemilik Tekcroc, posisinya sebagai penjaga kasir digantikan oleh seorang lelaki muda. Bagaimanapun, Dona selalu datang ke Tekcroc saban buka untuk menemani suaminya—padahal sebelumnya sang suami selalu bekerja sendirian. Dona selalu berlagak bagai tak mengenal Nosnah Yrogreg setiap mereka berjumpa di toko roti itu, dan tentu saja Nosnah Yrogreg benar-benar sakit hati karenanya.
            
Suatu hari, sesudah si Koki Roti menyelesaikan belasan adonan roti—tapi belum memasukkannya ke pemanggang—tiba-tiba ia mendengar desahan Dona dari ruang kerja si Pemilik Tekcroc—apakah desahan tersebut hanya terdengar sampai dapur, atau mencapai area kasir, kita tak tahu. Karena suatu dorongan, si Koki Roti lalu melangkah mendekati pintu ruang kerja si Pemilik Tekcroc dan menempelkan telinganya di sana. Desahan Dona pun terdengar jauh lebih jelas, jauh lebih menggoda.
            
Di sela-sela desahan Dona, didengarnya si Pemilik Tekcroc berkata, “Dona, kau tahu seberapa enak dirimu?”
            
“Tidak tahu,” balas Dona dengan manja.
            
“Enak dirimu luar biasa. Seperti roti buatan Nosnah Yrogreg.”
            
Air mata si Koki Roti langsunglah bertumpahan, dan ia cepat-cepat melangkah-tanpa-suara kembali ke dapur, di mana desahan Dona masih terdengar. Ketimbang merasa semakin sakit hati, si Koki Roti memutuskan untuk benar-benar fokus bekerja; ia segera memasukkan adonan-adonan roti yang sudah jadi ke pemanggang. Namun, tepat setelah menyentuh adonan roti terakhir, sebelum memasukkannya ke pemanggang yang pintunya masih terbuka, terdengarlah desahan Dona sedikit bertambah keras. Dan, desahan itu mendadak membuat Nosnah Yrogreg terangsang hebat.

Enak dirimu luar biasa. Seperti roti buatan Nosnah Yrogreg, kalimat itu melintas di kepalanya.

Si Koki Roti pun menurunkan celana, menusuk adonan roti di tangannya dengan kelamin yang tegang, hingga bagian tengah adonan itu berlubang! Ia lalu mengeluarkan kelaminnya dari lubang adonan roti, memasukkannya lagi, mengeluarkannya lagi, memasukkannya lagi, mengeluarkannya lagi, dan begitulah terus selama beberapa saat, secara perlahan-lahan, seraya menikmati desahan Dona, seraya membayangkan dirinyalah yang membuat wanita itu mendesah.

“Dona .... Dona ....” Nosnah Yrogreg mulai mendesah pula.

“Nosnah Yrogreg, kenapa rotinya lama sekali!?” tiba-tiba terdengar si Lelaki Penjaga Kasir berkata, dibarengi suara langkah kakinya yang mendekati dapur.

Si Koki Roti yang terkejut dan panik pun cepat-cepat melepaskan adonan roti itu dari kelaminnya, memasukkannya ke pemanggang, dan menaikkan celana. Tepat sedetik kemudian si Lelaki Penjaga Kasir membuka pintu dapur, dan Nosnah Yrogreg mengatakan, “Maaf, tanganku terkilir tadi.”

“Kenapa matamu merah, Nosnah Yrogreg? Kau seperti habis menangis.”

“Aku baik-baik saja,” balasnya, sambil menutup pintu pemanggang dan menyalakannya.

***

“Kenapa bagian tengah roti ini berlubang?” tanya Ghuda, ketika si Pelayan—yang tadi membelikan roti itu di Tekcroc—akan menyuapinya roti berlubang tersebut.
            
“Entahlah, Tuan. Hanya kebetulan, mungkin?”
            
Ghuda terdiam sejenak, memikirkan sesuatu.
            
“Apa Tuan tidak mau memakan roti yang berlubang ini?”
            
“Ah! Aku paham!” tiba-tiba Ghuda berseru senang. Dengan gerakan cepat, ia memasukkan telunjuk kanannya ke lubang di bagian tengah roti, dan menarik-lepas roti itu dari tangan si Pelayan. “Pasti lubang di roti ini dibuat agar orang-orang cacat seperti aku lebih mudah memegangnya!”
            
Si Pelayan terbengong-bengong. Mungkin penjaga kasir Tekcroc sudah mengenal wajahku dan yakin bahwa roti yang kubeli adalah untuk Tuan Ghuda, batinnya.
            
“Roti ini sungguh luar biasa!” Ghuda berseru lagi. “Sungguh roti yang bentuknya bersahabat dengan kecacatanku! Hei, panggilkan para wartawan sekarang juga! Sebagai ucapan terima kasihku kepada si Koki Roti dan Tekcroc, aku ingin roti berlubang ini diberitakan di tiap koran lokal!”



[1] Ada dua versi identitas Hanson Gregory yang muncul di berbagai sumber; kita belum tahu secara pasti yang manakah yang benar.




*) Cerpen ini dimuat di Bacapetra.co pada 7 Agustus 2019.

Minggu, 21 Juli 2019

MONSTER DAN PAHLAWAN DI SEBUAH RUMAH -- Sebuah Cerpen


*Sumber Gambar: Pinterest




Bocah itu kembali ke ruang dalam rumah dengan batu memenuhi genggamannya. Ia berdiri beberapa langkah di hadapan televisi yang menyala, menampilkan film kartun pahlawan super kesukaannya. Ia mengambil ancang-ancang; selain batu, sebilah pedang sudah siaga di tangan satunya lagi, sebilah pedang yang sama dengan milik sang pahlawan super, sebagaimana kostum yang dikenakannya kini. Di layar televisi, akhirnya sang pahlawan super berjumpa dengan monster musuh beratnya. Bocah itu memantapkan ancang-ancang. Ketika layar televisi terlihat dipenuhi oleh big close-up[i] ekspresi marah sang monster, bocah itu segera melayangkan batu di tangannya. Layar televisi pun pecah, tapi tak ada monster yang keluar dari sana, padahal ia sudah siap untuk menghadapinya, dalam rangka membantu sang pahlawan super, sekaligus melatih diri untuk menjadi pelindung bagi ibunya yang sudah tak bersuami.
            
Terkejut, ibu bocah itu keluar dari kamar, dan ia hanya bisa memarahi putranya, sekaligus sekali lagi berusaha meyakinkannya bahwa monster itu tidak ada di dunia nyata, dan tidak akan pernah ada, sebelum menyuruhnya untuk membantu membersihkan pecahan layar televisi yang terserak di lantai.
            
Sekonyong-konyong bocah itu berkata, “Bagaimana kalau sebenarnya Ayah mati karena dibunuh oleh monster, Bu?”
            
Ibu bocah itu langsung tercelus dalam kesedihan. Sejenak ia memandangi lubang di tubuh televisi yang sebelumnya tertutupi oleh layar; di bagian pinggirnya masih terdapat pecahan layar yang menempel, berbentuk seperti taring. Lalu ia mengalihkan tatapan ke putranya dan membentak, “Sudah Ibu bilang, jangan katakan itu lagi!”
            
Bocah itu segera menangis dan berlari ke kamarnya. Ia duduk menekuk lutut di sudut, tampak seperti pahlawan yang kehilangan kepahlawanannya karena tak ada monster barang seekor pun untuk dikalahkan, untuk membuat masyarakat tetap membutuhkan jasa seorang pahlawan super.

Ia menangis terus sampai ketiduran, sampai tiba pagi keesokan harinya. Setelah bangun, ia langsung membuka kostum pahlawan super itu, lantas bersama pedangnya ia buang ke tempat sampah yang ada di sudut lain kamar.
            
Dari luar ruangan, terdengar ibu bocah itu berkata, “Cepatlah mandi, Nak. Sebentar lagi kita akan kedatangan seorang tamu istimewa. Aku ingin memperkenalkannya padamu.”
            
Tak lama kemudian, bocah itu dan ibunya sudah duduk di ruang tamu, menunggu kehadiran sang tamu istimewa.
            
“Apa kau ingat saat ibu mengatakan soal ‘ayah baru’?”
            
Bocah itu mengingat-ingat barang sejenak, lalu mengangguk.
            
Kemudian hening, sampai terdengar suara mobil dari luar sana, disusul jeritan klaksonnya yang jelas-jelas membuat sang ibu begitu bahagia. Wanita itu cepat-cepat bangkit dari sofa, melangkah ke pintu, dan ....
            
Bocah itu menyesal telah membuang kostum dan pedang pahlawan supernya.
            
Bocah itu melihat seekor monster seukuran pria dewasa berpelukan dengan ibunya, lantas menoleh ke arahnya sembari berkata, “Jadi, itukah putramu, sang pahlawan super?”

***

Monster itu meninggalkan ruang tamu, menuju toilet.
            
Dengan tubuh dan suara bergetar, sang bocah berkata, “Bu, bolehkah aku membunuh monster itu?”
            
“Apa?”
            
“Boleh aku membunuh monster itu? Monster yang bertamu kemari, maksudku!”
            
“Monster? Jaga omonganmu! Ia adalah pria yang sangat baik. Ia itu calon ayah barumu!”
            
Bocah itu tertegun. Ia tak mengerti kenapa ayah barunya mesti seekor monster, alih-alih seorang pahlawan super.
            
Sang monster telah keluar dari toilet dan kembali duduk di ruang tamu bersama mereka.
            
Bocah itu langsung berlari ke kamarnya, mengabaikan sang ibu yang terus memanggilnya, mengunci diri di sana, dan memungut kembali kostum serta pedangnya.

***

Ibu bocah itu dan sang monster pun menikah. Padahal, sebelumnya, bocah itu sudah menyatakan keberatan, tapi sang ibu berpikir bahwa nanti putranya akan sadar dengan sendirinya bahwa sang ayah baru adalah orang baik. Justru, bocah itu melihat sang monster berubah menjadi semakin menakutkan semenjak ia resmi menjadi ayah barunya; tubuhnya membesar, tanduknya memanjang, cakar dan geliginya meruncing!
            
Kenapa Ibu tidak bisa melihat kengerian monster itu? pikir bocah itu. Kalau begitu, Ibu bisa-bisa dibunuh dengan mudah!
            
Tiba-tiba bocah itu mengingat sebuah adegan di salah satu episode film pahlawan super, ketika sang monster membunuh kawan baik sang pahlawan super dengan mudah, karena orang yang dibunuh itu sedang tidur nyenyak.

***

Beberapa menit sesudah sang ibu mencium kening bocah yang pura-pura tidur itu dan pergi, sang bocah diam-diam mengenakan kostum pahlawan super, keluar dari kamar dengan menenteng pedangnya, melintas-tanpa-suara di ruang tengah di mana ibunya dan sang monster sedang asyik bercumbu—Monster itu pasti sedang menyerap sari kehidupan ibuku!—dan menyelinap ke kamar mereka, bersembunyi di kolong ranjang.
            
Beberapa jenak kemudian, sang ibu dan sang monster masuk, disusul dengan terdengarnya suara kunci pintu yang diputar. Bocah yang dengan sabar menunggu di kolong ranjang itu tak tahu bahwa ibu dan ayah barunya sedang bersetubuh di atas kasur; ia hanya merasakan kasur berguncang-guncang, menyangka bahwa sang monster sedang menyiksa ibunya, lebih-lebih sang ibu mengeluarkan desah-desahan yang dipikirnya merupakan reaksi dari rasa sakit.
            
Satu jam kemudian, kasur berhenti berguncang-guncang, sang ibu berhenti mendesah-desah, dan tiga puluh menit berikutnya sudah terdengar dengkuran sang monster, dengkuran yang menurut bocah itu akan membuat hantu penguasa malam jadi kejer saking takutnya.

Ia pun keluar dari kolong ranjang, sejenak memandangi sang monster yang telentang dan sang ibu yang memeluknya dari samping, dengan tangan mulusnya di atas perut monster itu. Lantas ia, teramat perlahan, naik ke kasur, mengangkat pedang tinggi-tinggi seraya mengarahkan ujungnya ke dada kiri sang monster, dan … ia berhitung dalam hati, satu sampai tiga, dan … ia menarik napas, mengumpulkan energi agar hunjamannya semakin mantap, dan … sekonyong-konyong, tanpa alasan jelas, dari perut sang monster, tangan sang ibu bergeser ke atas dada kirinya, bersamaan dengan dihunjamkannya pedang itu sekuat tenaga.

***

Pintu kamar sang pahlawan super dikunci dari luar. Di tangan kanannya adalah bilah pedang yang patah, terpisah dari gagangnya yang ia genggam di tangan kiri. Dan, topeng itu sudah basah, juga asin, karena ia terus menangis. Ia merasa dirinya adalah pahlawan paling tolol, yang pasti akan dikucilkan oleh pahlawan-pahlawan lainnya.

Sang ibu yang tadi terbangun langsung memekik kesakitan—membangunkan sang monster—dan berteriak marah, sebelum mematahkan pedangnya. Berkat bantuan pencahayaan dari lampu tidur, bocah itu dapat melihat kulit punggung tangan ibunya yang robek, walau pedangnya hanyalah mainan. Apa yang dilihatnya itu membuatnya bergidik ngeri, dan semakin ngeri lagi saat darah menetes dari sana, menimpa dada kiri sang monster. Dan, rupanya, bocah itu masih bisa merasa jauh lebih ngeri lagi, yaitu saat melihat ibunya, perlahan tapi pasti, berubah menjadi monster—sepasang tanduk mencuat dari kepala, geligi dan kuku-kukunya meruncing—kala sang ayah baru memeluk wanita itu sambil menenangkannya dengan sikap manis.

Tiba-tiba bocah itu merasa amat lelah. Ia melempar gagang pedang dan bilahnya ke tempat sampah, lantas berbaring di kasur. Ia terus memandang ke arah pintu, berharap akan segera ada yang membukanya dari luar. Bocah itu kemudian merasa topengnya yang basah menciptakan sensasi tak nyaman di wajah. Ia bangkit, melangkah ke hadapan cermin, melihat pantulan seorang pahlawan super yang gagal, berkata dalam hati, Aku akan berhenti menjadi pahlawan super dan berhenti melawan monster, sebelum melepas topengnya. Dan, bocah itu menjerit ketakutan karena melihat wajah seekor monster di cermin!


[i] Salah satu tipe (ukuran) shot dalam dunia fotografi dan perfilman; dalam konteks ini, berarti menampilkan wajah sang monster dari dagu hingga dahi.




*) Cerpen ini dimuat di kurungbuka.com pada 14 Juli 2019.

Kamis, 04 Juli 2019

SETELAH MENGUNDUH FILM PORNO


*Sumber Gambar: Pinterest




Setelah Mengunduh Film Porno

deduri pun tumbuh di batang kemaluanku.
kulit tanganku yang resah menipis-menghangat,
berdansa cepat saat kelopak-kelopak mawar
berebut keluar dari layar komputer,
menjilat bola-bola mata di sekujur badanku
—yang terluka—
umpama anjing kepada tulang
atau lidah pria kepada dada wanita
atau nafsu kepada tualang.

(Jakarta, Oktober 2018)



Sela Bibir

udara yang merayap di tubuh
telanjangmu
udara yang menyelundupkan ruh
ke rahimmu
udara yang mengeringkan ompol bayi
di seprai putihmu
udara yang mengusir uap panas
pada susu beracun

adalah udara dari sela
bibir pucat
yang sama

(Jakarta, Oktober 2018)



Sajak Para Sel

keluar dari terowongan rumah
mereka pun sadar: maut akan merebut

kehendak pun melemah
gravitasi telah memaut

tak ada fetus
tak ada bayi
tak ada bocah kecil
tak ada remaja
tak ada dewasa
tak ada penggerak dunia

tak ada ovum
hanya kencing dan tahi
yang kelak (mayat) mereka temukan

(Jakarta, Oktober 2018)



Ia Pulang

ia pulang sekolah dengan mulut terjahit.
tampak dada dan kepalanya
semakin besar
sebab tangkai-tangkai bunga berduri
tak bisa melata
keluar
dari sela bibirnya sepanjang hari.

ia pulang sekolah dengan mata mengantuk,
mata yang terantuk-antuk
ke papan tulis dan mimpi tak berbentuk.

ketika ia tidur,
mendadak aku merindu
tangkai-tangkai bunga berduri
yang merobek udara palsu
di sekitarku.

(Jakarta, Oktober 2018)



Mencicipi Karl Jaspers

/1/

menghadap cermin
mempelajari chiffer-chiffer:
tertawa terbahak-bahak

/2/

dibangunkan pagi
memikirkan “esok” dan “nanti”:
tertawa terbahak-bahak

/3/

menyeruput kopi
sehitam situasi batas:
pahit & manis

/4/

tertawa terbahak-bahak
+ mencicip pahit & manis
= aku merenung lagi

(Jakarta, Oktober 2018)



Midnight in Jakarta

nocturne no. 13 bertamu ke kamarku
membawa dingin dan selimut
pengeram telur-telur keheningan

yang menyembunyi hujan, kabut,
bara, dan asap hitam di balik cangkangnya.

nocturne no. 13 menyatu dengan kasurku,
lampu kamarku, cerminku, pendingin udaraku,
seluruh pakaianku, baik di tubuh pun lemariku,

dan lumut-tebal yang tumbuh di tembok
pengepungku, seperti memori tentang “ada”-mu.

(Jakarta, Oktober 2018)



Oleh-Oleh

udara perawan di puncak gunungmu
kubawa turun dengan kantung dadaku

lalu kuembuskan:
oleh-oleh kepada udara jakarta yang rawan

(Jakarta, Oktober 2018)




*) Puisi-puisi ini dimuat di Tatkala.co pada 29 Juni 2019.

Selasa, 04 Juni 2019

MELANKOLIA YASUR


*Sumber Gambar: Pinterest



Melankolia Yasur


gedung itu abu dan semakin kelabu.
retak di tubuhnya adalah kesengajaan
yang tak disadari(?) sejak dalam blueprint
yang hendak dibakarnya.

gedung itu lebih abu ketimbang mendung
yang berujung pada basah di pipi yasur;
kantor di dalamnya penuh berisi para pekerja
yang gagal memproduksi bahagia.

gedung itu lebih abu
ketimbang beda antara baik-dan-jahat,
sehat-dan-sakit, sedih-dan-bahagia,
lucu-dan-tragis, atau abu-dan-kepasrahan.

gedung itu tak kunjung mengabu
meski orang-orang di dalamnya
sibuk membakar diri
dengan kebencian masing-masing
terhadap diri.

(Jakarta, Mei 2018)




Tenggelam Dalam Litha

di kamar ini, aku mengurai tubuhmu
dengan pisau tajam
yang kaumuntah lewat matamu.

aku mengurai kulit dari dagingmu,
otot dari tulangmu,
emosi dari akal sehatmu,
hingga nyawa dari tubuhmu:
aku memperoleh kata demi kata
yang menenggelamkanku
pada kedalaman tematik
tiap sisi ke-“ada”-an kau.

*
kata demi kata itu terserak di kasurku
seperti sampah yang ingin dibuang,
atau remah-remah yang ingin disusun kembali
menjadi makanan.

aku tak tahu perumpamaan mana yang tepat.
tapi kata demi kata yang kudapat itu
selalu saja menyayat mata lalu pikiranku
saban kubaca dengan harap yang kaku.

maka tak heran, saat sajak itu berhasil kutuntaskan,
tuntas pula masa hidupku
berkat darah yang mengucur seperti ombak.

(Jakarta, Mei 2018)




Kelupaan Yasur

aku lupa cara mengenalmu
aku lupa cara mengenal bahaya dari dirimu

aku lupa cara mengenal bom di matamu
pedang di lidahmu
racun di jarimu
paku di langkahmu
bahkan maut di keberadaanmu

aku lupa cara mengenalmu
aku lupa cara mengenal bahaya dari dirimu
ataukah aku lupa cara mengenal diriku
lupa cara membahagiakan diri sendiri?

(Jakarta, Mei 2018)




Sebelum Menyentuh Tubuhmu

sebelum menyentuh tubuhmu
kau bertanya soal cairan yang kugunakan
untuk membasuh tanganku:
darah, air mata, atau air sungai yang mengalir ke dadaku,
air sungai yang digunakan orang-orang
melarung kepercayaan masing-masing

sebelum menyentuh tubuhmu
kau bertanya soal bahan dasar yang kugunakan
untuk membentuk tangan kotorku:
madu palsu, atau susu yang mengalir dari puting induk dusta
ketika menyusu anak-anaknya

sebelum menyentuh tubuhmu
—yang semestinya tak disentuh oleh seorang pun—
aku bertanya pada diri sendiri
soal siapa saja yang mesti kubantai sebelum ini

(Jakarta, Mei 2018)




*) Puisi-puisi ini dimuat di Litera.co.id pada 1 Juni 2019.