Sabtu, 09 April 2016

X728A -- Sebuah Cerpen

Hari pertama di tahun ini
Seluruh masyarakat, mungkin juga seluruh dunia, tertarik perhatiannya oleh berita—dari pemerintah negara ini—tentang proyek senjata pembunuh massal. Presiden mendukung penuh proyek tersebut. Katanya, ini adalah salah satu cara memberantas kemiskinan yang relatif cepat. Ya, begitulah negara ini; 57 persen warga negaranya adalah fakir miskin.
Kehadiran berita ini membikin Gargantuar lebih waspada. Tiada lain sebab perusahaan asing yang bergerak di bidang pertambangan itu sedang bermasalah dengan negara ini, dan tidak jarang orang-orang yang tergolong fakir miskin melakukan aksi anarkis untuk mengusir Gargantuar—sesungguhnya aksi tersebut sia-sia saja, mungkin. Dapat dikatakan, wilayah pertambangan milik Gargantuar adalah “negara dalam negara”—bahkan presiden negara ini pun tak diizinkan untuk masuk ke dalam wilayah pertambangan tersebut. Bukanlah suatu rahasia lagi bahwa perusahaan Gargantuar, secara tidak langsung, membikin negara ini memiliki banyak fakir miskin, oleh sebab pertambangan yang Gargantuar punya adalah hasil bumi terbesar di sini. Bosnya adalah orang asing, anak-anak buahnya adalah orang-orang lokal. Penjajahan secara halus.
Orang-orang dari Gargantuar merasa terancam dengan adanya proyek senjata pembunuh massal itu. Berkat presiden terdahulu, perusahaan Gargantuar itu memiliki kontrak yang amat-sangat lama di negeri ini, bahkan hingga kini. Namun ada suatu isu—aku tidak tahu secara pasti akan kebenarannya—bahwa kontrak tersebut telah habis, tetapi Gargantuar tak mau mengakuinya. Itulah penyebab perang secara halus itu.

Hari kedua di tahun ini
Bukankah jika senjata pembunuh massal itu digunakan untuk menghancurkan Gargantuar, kita bisa memungut sisa-sisa hasil tambang yang selamat—pastilah banyak yang tersisa, sebab SDA negara ini terlalu melimpah—sehingga banyak yang akan terbebas dari kelaparan, meski negara kita bakal dikecam oleh negara-negara lain? Itulah yang tertulis di koran, pada rubrik “Opini Masyarakat”.

Hari ketiga di tahun ini
Orang-orang—entah siapa, atau dari organisasi apa, aku tidak tahu—menghampiri rumah-rumah guna mengumpulkan tanda tangan untuk petisi pembatalan proyek senjata pembunuh massal tersebut. Mudah ditebak, para pemungut tanda tangan itu adalah orang-orang Gargantuar, atau famili dari orang-orang Gargantuar.
“Kira-kira mesti berapa banyak warga negara yang menandatangani ini petisi supaya proyek itu dibatalkan?” tanyaku pada salah seorang pemungut tanda tangan.
“Harus di atas 50 persen dari seluruh warga negara.”
Hah! Fakir miskin yang ingin Gargantuar hancur jumlahnya di atas lima puluh persen! Sungguh usaha pencarian tanda tangan yang sia-sia.

Hari keempat di tahun ini
Mendadak aku yakin kalau proyek senjata pembunuh massal itu akan benar-benar dibatalkan.
“Kami dibayar banyak,” jelas pacarku, ketika kami duduk sebangku di taman yang tak lebih indah daripada senja ini. “Kamu tahu, kan, kami, orang-orang miskin, benar-benar butuh uang untuk makan.”
Gila sungguh negara ini. Suara pun bisa dibeli.
Omong-omong, di taman ini, kami laksana bumi dan langit yang duduk sebangku. Aku langit, pacarku bumi. Maksudku, bumi-langit dalam artian “tingkat ekonomi”—bisa dilihat dari pakaian kami. Pacarku tinggal di kolong jembatan, sebagaimana orang-orang miskin lainnya. Kemarin, para pemungut tanda tangan itu menghampiri permukiman mereka, tiada lain untuk … kau pasti tahulah. Semula, orang-orang miskin itu tidak setuju untuk menandatangani petisi pembatalan proyek senjata pembunuh massal—mereka berharap banyak agar artikel yang dimuat di rubrik “Opini Masyarakat” bakal terwujud, atau setidaknya, seperti kata presiden, senjata pembunuh massal itu dapat memberantas kemiskinan secara relatif cepat. Entah dengan cara apa. Namun pada akhirnya … begitulah, seperti yang tadi pacarku bilang.
“Aku tidak mengerti dengan pola pikir kalian,” akuku.
“Aku tahu, pasti terkesan bodoh di telingamu,” sahutnya. “Pahamilah orang-orang miskin kelaparan yang butuh uang sesegera mungkin.  Tapi, orang-orang miskin yang lebih pintar memilih untuk menolak uang tersebut dan tidak menandatangani.”
“Ah, syukurlah. Menerima uang itu sama saja dengan memperpanjang kemiskinan, meskipun sementara waktu bisa menghilangkan rasa lapar.”
Sesungguhnya aku, juga kedua orangtuaku, menandatangani petisi itu karena ayahku bekerja untuk Gargantuar. Tetapi tak pernah kukatakan itu kepada pacarku; takut andai reaksinya nanti tidak menyenangkan.
“Jikalau senjata pembunuh massal itu nantinya digunakan untuk menghancurkan Gargantuar,” ujar pacarku, “juga orang-orangnya, apakah kau setuju?”
“Tidak juga, sih. Kalau begitu kejadiannya, negara ini pasti akan dikucilkan oleh negara-negara lain. Barangkali pula negara ini bakal dipecat dari PBB. Dan, jikalau ada bencana alam mahadahsyat yang menggilas negara kita, tidak akan ada lagi bantuan dari luar.”
Pacarku yang manis itu merenung sejenak, sebelum akhirnya berkata, “Menurutmu, bagaimana bisa presiden memberantas kemiskinan dengan senjata pembunuh massal itu?”
Aku berpikir sejenak. “Mungkin dengan menjual formula dari senjata pembunuh massal itu ke beberapa negara, kemudian uang hasil penjualannya digunakan untuk membantu orang-orang miskin?”
“Mudah-mudahan saja begitu.”

Minggu kedua di tahun ini
Aku dan pacarku membaca koran bersama di bangku taman. Diberitakan bahwa proyek pembuatan senjata pembunuh massal itu tidak jadi dibatalkan, karena mendapat dukungan kurang dari 50 persen warga negara—sungguh tak kusangka, ternyata orang-orang miskin itu lebih banyak yang menolak pemberian uang (salah satunya adalah pacarku).

Bulan keempat di tahun ini
Diberitakan bahwa senjata pembunuh massal—yang katanya dapat memberantas kemiskinan—itu telah selesai dikerjakan. Sayang, tidak ada foto dari senjata itu di koran, sehingga aku dan pacarku—yang sedang membaca koran bersama—jadi penasaran setengah mati. Bahkan, cara kerja senjata tersebut tak disebutkan sama sekali. Hanya dikatakan bahwa senjata itu diberi nama X728A.
Seluruh pekerja Gargantuar pada diliburkan hari ini—termasuk ayahku—takut kalau area pertambangan Gargantuar akan dijadikan daerah pengujian kekuatan senjata pembunuh massal itu. Ketakutan itu muncul tiada lain sebab tulisan yang kurang-lebih empat bulan yang lalu sempat muncul di rubrik “Opini Masyarakat” itu.
“Menurutmu, bentuk senjata itu seperti apa?” ucap pacarku.
“Seperti tank?” aku mereka-reka. “Atau, mungkin saja serupa bom berukuran kecil yang kekuatannya mahadahsyat?”
Pacarku tertawa kecil. “Aku malah berpikir bahwa senjata pembunuh massal itu berupa robot raksasa.”
Aku turut tertawa kecil, kemudian mengecup bibirnya yang empuk.

***
Senja yang kupandangi dari beranda rumahku ini selalu saja lebih cantik daripada taman di mana aku dan pacarku biasa bertemu. Tapi senja itu tak pernah lebih cantik daripada pacarku.
Puluhan kilometer di depan sana, tampak siluet, terdapat jembatan besar yang bernama Padahasan. Pada kolongnya tinggallah pacarku serta keluarganya, juga orang-orang miskin lainnya. Dapat dikatakan bahwa di sanalah pusatnya orang-orang miskin, meskipun beberapa memutuskan untuk menghuni lorong-lorong kota yang sempit dan bau pesing. Aku pun berpikir keras, bagaimana bisa senjata pembunuh massal itu memberantas kemiskinan? Akankah tak lama lagi pacarku akan terbebas dari belenggu kemisikinan, sebab senjata pembunuh massal itu telah rampung dikerjakan?
Samar-samar kulihat sesuatu yang berbentuk bundar sempurna, melayang di udara, rasanya tepat di atas jembatan Padahasan. Dilihat dari sini, sesuatu itu siluet sebagaimana jembatan Padahasan. Itu bukanlah pesawat; bukanlah burung; bukanlah sebuah bola yang ditendang setinggi langit. Apakah itu?
Tiba-tiba benda tersebut jatuh, melesat kencang sebab takluk oleh gravitasi, menuju permukiman orang-orang miskin (sepertinya).
Jantungku seperti dihantam palu mahabesar ketika suara yang seakan mengguncang semesta itu berkumandang, disusul dengan terpentalnya bangunan-bangunan yang entah sejak kapan tinggal puing-puing, bersamaan dengan merekahnya bola api hingga seukuran … yang jelas, besar sekali!
Tetangga-tetanggaku pada keluar dari rumah masing-masing. Barangkali guncangan dahsyat dari ledakan tersebut mereka pikir gempa bumi. Padahal tidak. Kemudian kusadari, pemerintah hanya sedang memberantas kemiskinan … dengan cara meledakkan orang-orang miskin serta permukiman mereka.


*Catatan:
1) Cerpen ini terinspirasi dari sebuah monolog yang saya tidak tahu judul dan nama pengarangnya. Waktu itu, saya hanya menonton monolog tersebut secara langsung.
2) Cerpen ini pernah dimuat di Sastranesia.