Minggu, 05 Juni 2016

MATINYA MALAIKAT KEMATIAN -- Sebuah Cerpen





Kau

Aku ingin membunuh sang malaikat kematian. Malaikat itu telah merenggut nyawa Ayah saat aku berusia 7 tahun. Kala itu seharusnya Ayah bisa sembuh dari suatu penyakit yang hinggap di jantungnya, kalau saja malaikat kematian tidak turut campur dan tidak terburu-buru mencabut nyawanya.
            
Aku ingin menghabisi sang malaikat kematian. Berkat malaikat itu pula, adikku, saat aku berusia 8 tahun, tewas akibat dipukuli oleh teman-teman sepermainannya—yang sebagian besar lebih tua satu-dua tahun darinya—hanya karena dianggap melakukan kecurangan dalam bermain petak umpet. Seharusnya Adik tidak mati, dan aku seharusnya bisa menyelamatkannya, kalau saja sang malaikat kematian tidak buru-buru turut campur, sehingga kini aku hanya memiliki dua orang adik.
            
Aku ingin mencingcang-cincang sang malaikat kematian. Kini, di usiaku yang ke-26 tahun, malaikat itu pasti sedang mencari-cari kesempatan untuk mencabut nyawa Ibu, mentang-mentang wanita itu hanya bisa tergeletak lemah di ranjang rumah sakit sembari mengerang kesakitan.
            
Aku ingin sang malaikat kematian mati. Tapi, bisakah pembawa kematian itu mengalami kematian?

***

Di kantor, aku menerima telepon dari Imran, salah satu adik kandungku. Katanya, penyakit Ibu semakin parah lagi. Aku dimintanya untuk segera menuju rumah sakit, sebagaimana Laksmi—adik perempuanku—yang bekerja di sebuah perusahaan yang kantornya terletak tak jauh dari kantorku ini. Mudah saja aku minta izin pada si Bos, sebab sepertinya ia tahu betul bahwa sewaktu-waktu aku bakal harus meninggalkan kantor karena ibuku.
            
Rupanya Laksmi dan Imran telah tiba di rumah sakit terlebih dahulu. Laksmi menggenggam erat tangan kiri Ibu, sedangkan Imran menggenggam erat tangan kanannya. Sementara itu, sang dokter, yang ditemani oleh dua orang perawat, sedang menyuntikkan suatu cairan bening ke selang infus yang salah satu ujungnya menancap di pergelangan tangan Ibu.
            
Sekonyong-konyong Ibu mengucapkan sesuatu dengan begitu lirih dan tak jelas. Tak ada satu pun dari kami yang menangkap kalimatnya. Mudah-mudahan saja itu bukan salam perpisahan.

***

Malaikat Kematian

Aku adalah tunggal. Namun aku bisa ada di banyak tempat dalam waktu yang bersamaan. Tapi aku bukanlah Tuhan. Aku hanyalah ciptaan-Nya, sebagaimana para iblis, para binatang, juga para manusia.
            
Setiap hari, partikel-partikel tubuhku berserakan di dunia ini, tiada lain sebab setiap hari ada saja orang yang mati; baik karena memang ajalnya sudah tiba, maupun karena ajalnya dipaksakan untuk tiba. Tugasku hanyalah membantu mereka semua untuk keluar dari tubuh masing-masing. Untuk masalah “mencari jalan pulang ke sana”, itu urusan tersendiri buat mereka—jika memang sudah waktunya mereka mati, pintu itu akan terlihat jelas oleh mereka; jika mereka mati sebelum waktunya mati, pintu itu tak akan pernah terlihat sampai tiba waktu yang sesungguhnya bagi mereka untuk mati.
            
Pernah pada suatu malam kudengar seorang bocah laki-laki berusia 8 tahun mengatakan, “Kalau aku adalah malaikat kematian, aku tidak akan mencabut nyawa Nenek supaya Nenek bisa terus bersama kita.”
            
Itu adalah ketika salah satu partikelku sedang menunggui seorang manusia sekarat—dengan bersembunyi di kolong ranjang—yang disebut “Nenek” oleh bocah itu. Berdasarkan catatanku, ajal si Nenek akan tiba tak lebih dari semenit lagi.
            
“Tapi, kalau Nenek hidup terus,” balas seorang bocah perempuan, sepertinya adalah kakak dari sang bocah laki-laki, “bukankah itu berarti seumur hidup ia harus merasakan sakit?”
            
Si bocah laki-laki tak bisa menjawab apa-apa.
            
Benarlah apa yang dikatakan oleh bocah perempuan itu; andai orang yang seharusnya mati tak kubuat mati, maka mereka akan merasakan sakit, yang luar biasa hebatnya, seumur hidup—sesungguhnya kematian itu adalah upayaku untuk menyelamatkan mereka.
            
Saat waktu hidup si Nenek tinggal sembilan detik lagi, kurapalkanlah sederet mantra dengan lirih agar kedua bocah itu tertidur. Saat waktu hidup wanita tua itu tinggal tiga detik, aku keluar dari kolong ranjang, lantas menarik nyawanya ketika waktu hidupnya telah habis, menggunakan sabit pencabut nyawa yang menjadi properti wajib bagiku.
            
Pernah pula salah satu partikelku mendengar seorang bocah laki-laki berusia 7 tahun meneriakkan, “Ayah seharusnya belum mati! Malaikat kematian yang terlalu terburu-buru mencabut nyawanya!”
            
Itu adalah ketika baru saja kucabut nyawa ayahnya yang memiliki masalah besar pada jantung. Sesungguhnya, kalimat bocah laki-laki itu sungguh mengiris. Apa dikiranya aku senang memiliki kekuasaan-atas-kematian? Apa dikiranya aku senang mencabut nyawa orang? Apa dikiranya hatiku tidak terluka setiap melihat reaksi orang-orang yang teman, keluarga, atau kekasihnya kumatikan? Tapi, ketahuilah, hatiku akan lebih terluka kalau kubiarkan orang-orang sakit itu digerayangi rasa sakit secara terus-menerus—dan itu bisa saja kulakukan kalau aku mau.

***

Jarang benar kutemui orang sekarat di rumah sakit yang tak ditemani oleh seorang pun, seperti wanita paruh baya yang adalah pasien di kamar ini. Omong-omong, entah kenapa, ia tampak tak asing di mataku.
            
Tiba-tiba saja ada yang menghantam pelipisku kiriku dari belakang, membikinku terjatuh ke lantai dan sabit pencabut nyawaku tergeletak tak jauh.
            
“Imran! Laksmi! Lihatlah, malaikat kematian datang!” teriak pria itu, sebatang kayu di tangan kanannya menunjuk tepat ke wajahku.
            
Seorang perempuan dan seorang lelaki pun keluar dari kamar mandi. Mata mereka bengkak, menandakan bahwa mereka habis menangis.
            
Aku tertipu oleh mereka … Mendadak aku teringat kenapa wanita paruh baya yang adalah pasien di kamar ini tak asing di mataku, sebagaimana pria yang menghantam pelipis kiriku dari belakang ini serta perempuan dan lelaki yang barusan keluar dari kamar mandi itu …
            
Sang pria menginjak dadaku dengan salah satu kakinya dan menghantamkan sebatang kayu itu ke pelipis kananku. “Kau tidak boleh mencabut nyawa Ibu!”
            
“Semua yang sudah waktunya mati haruslah mati,” bantahku, berusaha untuk tetap tenang.
            
Lagi-lagi sebatang kayu itu dihantamkannya ke pelipis kananku.
            
Lelaki dan perempuan—yang dipanggil “Imran” dan “Laksmi”—yang tadi keluar dari kamar mandi itu hanya mampu tersedu-sedu. Sementara itu, dari luar, kudengar derap langkah beberapa pasang kaki yang mengarah ke kamar ini.
            
Sial …

***

Kau

Mulut malaikat kematian itu komat-kamit, entah mantra apa yang sedang dirapalkannya, tidaklah terdengar jelas. Dengan gerakan cepat, kusambar sabit pencabut nyawa yang tergeletak tak jauh darinya dan segera menghunjamkan ujung dari sabit tersebut ke dadanya.
            
Laksmi dan Imran pun menjerit, sebagaimana tiga orang perawat yang baru saja membuka pintu kamar ini.
            
Mulut sang malaikat kematian tak lagi komat-kamit …

***

Jalan di malam kelam itu akan melompong oleh makhluk hidup kalau saja bukan karena keberadaan seorang pria yang berjalan amat lambat di pinggir jalan. Senyum terkembang di bibirnya karena ia baru saja melakukan sesuatu yang amat membuatnya senang. Tiba-tiba ponselnya berdering, mengoyak kesunyian kelam malam. Tak lebih dari tiga detik kemudian, menempellah ponsel ia punya di telinganya, sampai ketika seorang preman yang muncul dari sebuah gang sempit berlari ke arahnya dan merebut ponselnya.
            
Pria itu melawan, tetapi tak ada lebih dari sepuluh detik sebab sang preman telah menusuk-nusuk perutnya dengan sebilah pisau sebanyak enam kali, dan pada tusukan yang ketujuh pisau itu melubangi lehernya.
            
Sang preman lantas melarikan diri bersama ponsel yang berhasil direbutnya. Pria yang menjadi korbannya itu tergeletak di pinggir jalan … namun tak mati.

            
Rupa-rupanya, hidup abadi tidaklah menyenangkan, meski ada saja orang menginginkannya. Ah … Gara-gara aku membunuh malaikat kematian, kini aku yang dihiasi luka-luka tusuk tak akan pernah mengalami kematian dan akan kesakitan selama-lamanya.


*) Cerpen ini pernah dimuat di Bali Post, 23 Agustus 2015, dengan judul "Matinya Malaikat".