Minggu, 13 Maret 2022

SEPULUH TAHUN SETELAH SI KERUDUNG MERAH MEMBUNUH SEEKOR SERIGALA -- Sebuah Cerpen

*Ilustrasi oleh: Satia Guna


Aku tak akan menghampiri rumah si Kerudung Merah jika bukan karena hantu ayahku; ia mati sepuluh tahun lalu dengan perut penuh bebatu.

Ayahku serigala yang baik—setidaknya semasa ia hidup. Waktu itu di hutan sedang sepi hewan buruan, para manusia pemburu lebih cepat membabat rusa dan kijang dan apa pun yang bisa kami makan, dan Ayah memberikan kesemua jatah makanannya untuk aku yang terus menangis karena kelaparan di gua. Dan setelah aku terlelap saking kenyangnya, Ayah berkeliling hutan mencari makanan untuk dirinya, dan ia menemukan seorang gadis berkerudung merah, gadis yang membawa berbagai kue dan beberapa botol anggur dalam keranjang untuk nenek yang sakit, dan Ayah tak tahu bahwa gadis selugu itu dapat membawa maut padanya. Seusai menceritakan tentang kematiannya untuk kali pertama padaku, beberapa jam setelah maut datang padanya, hantu Ayah berkata, “Saat besar nanti, kau akan memasukkan batu-batu ke perut gadis itu.” Setelah itu hantu Ayah pergi, kupikir untuk selama-lamanya.

Kini hantu Ayah kembali padaku, setelah sepuluh tahun tak pernah muncul; ia mengatakan Ibu si Kerudung Merah sedang sekarat, “Dan perutnya menunggu batu-batuan.” Kupikir harusnya aku memasukkan batu-batu ke perut si Kerudung Merah, bukan ke perut ibunya. Namun hantu Ayah ingin pembalasan dendamnya lebih dahsyat: aku tetap harus memasukkan batu-batu ke perut si Kerudung Merah setelah perut ibunya, entah di hari yang sama atau hari yang lain.

Aku bukan serigala pendendam, jadi kuusir saja hantu Ayah dari guaku; aku ingin menghabiskan waktu bersama istri dan anak-anakku, aku ingin fokus membentuk koloni baru, aku ingin fokus menyelamatkan koloniku dari para manusia pemburu. Tetapi tak ada hantu pendendam yang suka melihat anaknya menjadi bukan pendendam: saban tidur aku selalu bermimpi buruk, dan kuyakin hantu Ayah-lah yang memasukkan mimpi itu menuju kepalaku.

Aku melihat Ayah tidur nyenyak di kasur di sebuah rumah kayu, itu pasti rumah Nenek si Kerudung Merah; perut Ayah buncit dan ia mengenakan pakaian wanita tua tersebut, tiba-tiba seorang pemburu memasuki kamar itu dengan terkejut. Pemburu itu buru-buru menenangkan diri, ia mengeluarkan gunting dan membelah perut ayahku, serigala itu tak terbangun mungkin sebab ia terlalu kenyang, dan dari perutnya keluarlah si Kerudung Merah serta neneknya, tubuh mereka basah oleh cairan asam. Lalu si Kerudung Merah berlari keluar rumah sejenak, sebelum kembali dengan batu-batuan dalam dekapannya yang penuh, dan ia memasukkan bebatu ke perut ayahku, sebelum menjahit perut serigala malang itu dengan rapi dan rapat. Kemudian tibalah bagian mengerikan itu: si Kerudung Merah membangunkan Ayah, serigala itu terkejut dan langsung berlari keluar sembari menahan sakit, dan aku dapat merasakan betul kesakitan dalam perutnya yang berat, seakan akulah yang berlari di sana dengan perut penuh bebatu. Akhirnya Ayah tumbang di setapak hutan dan napasku terasa memberat, terasa tercekik—perutku terasa akan dirobek dari dalam![1]

Mimpi itu tak datang sekali; ia datang setiap aku tidur; rasa sakit tetap bertahan pada perutku bahkan berjam-jam setelah aku terjaga, dan aku tersadar: hantu Ayah benar-benar mendendam pada si Kerudung Merah—jangan sampai mendendam juga ia padaku, karena penolakanku untuk membalaskan dendamnya.

 

***

 

Rumah keluarga si Kerudung Merah berdiri di tepi hutan dan malam itu aku menyusup ke semak-semak di halaman belakang, lalu melalui celah gorden aku melihat wanita tua itu mengerang di ranjang, si Kerudung Merah menyuapinya sesuatu, dan dari tatapannya kutahu ia berharap tak perlu lagi menyuapinya apa pun. Mereka hanya tinggal berdua di situ—entah ke manakah ayah si Kerudung Merah. Ketika sang ibu terlelap dan lampu dipadamkan dan si Kerudung Merah keluar dari kamar itu, diam-diam aku membuka jendela dan menyusup dengan batu-batu memenuhi dekapanku.

Dari wanita itu menyeruak aroma tahi. Selimutnya pada bagian kaki tersibak sedikit dan dari sanalah aroma itu menyeruak. Aku menatap sekeliling dan cahaya bulan yang masuk dari lubang udara jatuh ke cermin; aku melihat wajahku di sana, mataku tak pernah semerah itu: mesti itu sepasang mata serigala yang sedang di bawah pengaruh hantu pendendam. Di samping cermin terdapat sebuntal benang jahit di atas meja, jarum-jarum menancap pada buntalan itu, pentul-pentul merahnya berkilau tertimpa cahaya bulan.

Aku menyibak selimut sang wanita perlahan; ia mengenakan daster biru dan roknya terangkat hampir sampai ke pinggul, popoknya kembung dan aroma tahi merobek lubang hidungku. Mungkin ini kutukan hewan berpenciuman tajam: kami agak lemah di hadapan wanita sekarat yang berak di popok. Tapi tak ada waktu untuk kalah dari tahi di popok; aku menaikkan dasternya sampai sedada, kulit perutnya begitu tipis, aku hampir dapat melihat jeroannya di balik sana, yang berdenyut-denyut memompa tahi. Kuku telunjukku mencuat, dan dengan hati-hati aku menyayat perut wanita itu secara vertikal, wanita itu tak terbangun mungkin sebab terlalu kenyang, dan aroma jeroannya bahkan lebih terkutuk ketimbang tahinya. Lalu aku memasukkan batu-batu ke dalam perutnya, satu per satu dan penuh kehati-hatian, aku—dan ayahku—tak mau ia terbangun tidak pada waktunya. Dan setelah kesemua batu kumasukkan, aku mengambil sebuntal benang di meja dan menjahit perutnya serapi-serapat mungkin, dan ia tampak persis wanita hamil yang mengandung mautnya sendiri.

Sesaat aku ragu untuk membangunkannya; toh, ia akan mati tanpa kubangunkan—aku bisa mendengar napasnya yang semakin lama semakin berat. Tetapi ketika aku melirik ke cermin lagi, bukan saja sepasang mataku semakin merah, aku melihat hantu Ayah berdiri di belakangku, ia mendekatkan moncongnya ke kupingku, ia berbisik, “Jangan lewatkan bagian yang paling seru.”

Aku menjilat darah di kuku telunjuk, dan aku menyalakan lampu, dan aku mengguncang-guncang kasur, tetapi wanita itu tak terbangun. Aku menampar-nampar pipinya, dan ia hanya berkedip lemah sebelum kembali tertidur. Akhirnya aku menyiram wajahnya dengan air dari teko di nakas, dan ia pun terbelalak di hadapan taring-taringku. Ia segera menjerit dan berguling dari kasur. Ia tak sanggup berdiri, tentu saja; aku melangkah ke sampingnya dan ia tetap memekik dan ia tetap terbaring di lantai dan ia akan mati seperti itu.

Pintu dibuka: si Kerudung Merah menodongkan senapan padaku. Moncong senapannya terus menatapku lekat, tetapi perempuan itu berganti-gantian menatapku dan sang ibu yang perutnya penuh bebatu. Aku berpaling ke cermin: mataku tak lagi merah, dan hantu Ayah tak ada di mana pun. Ia hanya ingin melihat Ibu si Kerudung Merah mati; ia tak berani melihatku mati. Setidaknya mati di ujung senapan jauh lebih baik ketimbang mati dengan perut penuh bebatu.

Dan tiba-tiba senapan meletus.

Tubuhku masih utuh. Tapi perut wanita itu terkoyak peluru—batu-batu di dalam sana terlihat, dan dari batu-batu itu pandangan si Kerudung Merah teralih padaku. Aku tak tahu arti tatapannya. Kemudian ia meletakkan senapan di lantai, ia mendekati mayat ibunya—aku menyingkir agar tak menghalanginya—dan ia mencoba membopongnya ke kasur. Baru terangkat sedikit, ia langsung menjatuhkan tubuh wanita itu. Ia mencoba hal serupa dua kali lagi dan gagal, lantas ia memasukkan tangan ke lubang peluru di perut ibunya, ia mengambil segenggam batu dan dengan gerakan cepat melemparnya ke kepalaku.

Dahiku hangat. Aku menyentuhnya dan darah tercetak pada rambut di telapak tanganku. Kupikir sebentar kemudian darah akan mengguyur mata dan moncongku, tetapi tidak—kepalaku tak berdarah dan yang ada di tanganku hanyalah darah yang menempel di batu itu.

“Bisa bantu aku …?” ucap si Kerudung Merah.

Kami pun bersama-sama mengangkat mayat ke kasur, dan gadis itu menutupi sekujur tubuh sang ibu dengan selimut biru yang dengan cepat memerah. Gadis itu menunduk dan menggumamkan sesuatu, barangkali ia berdoa. Ketika keseluruhan selimut memerah dan basah, bentuk mayat itu tercetak jelas pada selimut.

Si Kerudung Merah memungut senapannya. Ia tak menembakku; ia menyampirkannya di pundak. Dan, sepasang matanya memerah; sepasang matanya menatapku lekat. Tetapi aku masih tak tahu apa arti tatapannya; aku hanya tahu itu tatapan manusia yang terluka—tak beda jauh dengan tatapan hewan yang terluka—dan ia mengangguk padaku, sebelum ia keluar dari kamar ibunya. “Sampai jumpa lagi,” kata si Kerudung Merah dari balik pintu, suaranya parau.

Aku mematikan lampu, dan aku keluar lewat jendela, dan aku kembali ke guaku. Aku tak berminat memasukkan batu-batu ke perut si Kerudung Merah. Lebih baik aku memasukkan batu-batu ke perut hantu ayahku ketimbang ke perut perempuan itu. Tetapi perut hantu tak bisa dibelah, dan hantu pendendam tak berhenti mengirim mimpi buruk padaku. Aku mulai terbiasa dengan sakit yang melekat bahkan berjam-jam setelah aku terjaga. Sakit itu tak seberapa ketimbang rasa bersalahku sebab memasukkan bebatu ke perut wanita itu.

Semoga si Kerudung Merah tak bermimpi buruk. Semoga ia tak memimpikan kesakitan terakhir sang ibu.



[1] Bagian tragis yang menimpa Ayah si Serigala ini adalah akhir dari Little Red Riding Hood versi Grimm bersaudara; beberapa pengarang lain mempunyai versi akhir cerita yang lain.



*) Cerpen ini dimuat di Tatkala.co pada 26 Februari 2022.

NAPAS DAN KEAJAIBAN-KEAJAIBAN PALING MENYAKITKAN -- Sebuah Cerpen

*Sumber Gambar: Pinterest


Aku pernah mencuri napas seorang seniman tato, dan pencurian yang kumaksud bermakna harfiah, dan itulah permulaan bagi keajaiban-keajaiban selanjutnya di hari tersebut.

Menjelang akhir Agustus aku membuat tato pertama di pergelangan tangan kananku;  seniman tato itu datang dua hari setelah aku menghubunginya via Instagram. Ia gadis awal dua puluhan; aku menghampirinya ketika ia tiba di halaman indekos, terik meruapkan aroma seratus bangkai dari sungai terdekat. Ia menyampirkan jaketnya ke gantungan di balik pintu kamarku, dan berkat kaus putih tak berlengan tampaklah tato tentakel-tentakel hitam membelit lengan kirinya. “Kanvas pertamaku,” katanya. Aku iseng bertanya di mana kepala gurita itu, dan ia menjawab, “Di dada kiriku.”

Kami duduk di lantai, gadis itu menunduk di atas tanganku yang sedikit gemetar di meja lipat, dan tangan kirinya merentangkan kulit pergelanganku sehingga mengencang, lantas ia menusuk-nusuk pergelanganku dengan jarum sepanjang sejengkal, mengikuti gambar stensil korek gas dan bola api di atasnya. Ia mesti habis keramas: aroma sampo mengulum hidungku. Dan selagi ia menato, tentakel-tentakel di lengan kirinya seperti merangkak pelan-pelan ke meja, melompat ke siku kananku, kulitku jadi dingin berlendir, dan dari sana merambat terus melewati lengan bajuku, menyapu dada kananku, dan ujung-ujung tentakel menggelitik dada kiriku.

Apa yang tak kalah menggelitik adalah napasnya: setiap enam atau tujuh detik sekali mulutnya menumpahkan udara hangat ke tangan kananku yang separuh mengepal, dan aku pun membuka lebar-lebar telapak kananku, napasnya semakin membuatku kegelian, seakan ia meraba-rabanya dengan lidahnya.

Ia terus menunduk dan bernapas di telapak tanganku dan menggelitik dada kiriku dengan tentakel-tentakel selama kira-kira satu setengah jam. Kulit pergelangan kananku sudah sedikit perih, dan kakiku yang bersila kesemutan sebagaimana tangan kananku, yang jadi tak bisa lagi merasakan tumpahan napasnya. Mendadak ia berhenti menusuk-nusuk dan tentakel-tentakel tertarik kembali ke lengan kirinya; ia meregangkan tubuh dan mengerang, dadanya mencondong ke arahku dan tulang punggungnya berbunyi krak! Lalu ia mengeluarkan kaca pembesar dari tas, dan ia menunduk lagi di atas tanganku, dengan lensa kaca pembesar di depan mata kanannya. Dan ia menunduk lebih dalam, sangat dalam, dan ujung dagunya mengecup ujung-ujung jemari kananku.

Tiba-tiba, fuhhh! Gadis itu bernapas lega: ia melontarkan napasnya kencang ke telapak kananku yang refleks mengepal, dan kuku-kukuku tak sengaja menggores ujung dagunya sehingga ia mengaduh.

“Selesai,” katanya kemudian, mengusap-usap dagunya.

Ia pun membersihkan tatoku dengan busa, mengusapnya dengan tisu yang bersih, dan membungkus pergelanganku yang memerah-mengembung dengan plastik film. Selama proses itu aku terus mengepal, seakan tak membiarkan napasnya pergi.

Ia pun pergi. Aku mengunci pintu kamarku. Dan aku akhirnya membuka kepalan tangan kananku: terdapat bercak-bercak hitam semacam tinta yang menetes ke lantai: itu pasti napasnya, tercetak sekitar dua sampai tiga sentimeter di atas bola api dari korek gas.

Aku duduk di kasur dan menghirup bercak-bercak hitam tersebut. Aku menghirup sedalam-dalamnya, dan bercak-bercak itu menghilang—napasnya berada dalam tubuhku, entah menyatu dengan napasku atau melayang terpisah. Lalu ke telapakku aku mengembuskan napas sekuat-kuatnya dari mulut, seakan aku hendak melontarkan peluru, dan bercak-bercak itu pun kembali ke sana. Aku menghirupnya dalam-dalam lagi, mengembuskannya kuat-kuat lagi, entah berapa lama aku mengulang hal tersebut, gadis itu berlari seraya menerbangkan layang-layang dalam tubuhku, dan tiba-tiba pintu kamarku diketuk. Aku menghirup napas gadis itu lagi, menyembunyikannya dalam tubuhku, sebelum aku membuka pintu.

“Sepertinya napasku terjatuh di kamarmu,” ucap sang seniman tato, wajahnya pucat, poninya yang berkeringat hampir menutup matanya. Saat keluar dari kamarku, lanjutnya, ia merasa ada yang mengganjal, dan ketika motornya sampai di lampu merah barulah ia sadar kalau dirinya tak bernapas. Ia menyusuri jejaknya lagi sampai di halaman rumah indekosku, dan napasnya tak kunjung ia temukan—sebab itulah ia yakin napasnya terjatuh di kamarku.

Aku mengaku tak melihat napasnya. Tapi ia setengah memaksa memasuki kamarku, dan aku tak punya alasan untuk menolak, dan ia menggantung jaket jinnya di balik pintu kamarku, lalu ia merangkak sembari mengintip ke kolong meja dan ranjang dan lemari.

Di sepanjang lengan kirinya tak ada tentakel-tentakel yang membelit. Ketika menyadari hal ini mendadak dada kiriku sakit, seolah jantung merobek dadaku dari dalam, dan aku mengaduh sampai jatuh berlutut, gadis itu segera memerhatikanku dengan dahi mengernyit. Tahu-tahu dadaku dingin berlendir. Sensasi dingin berlendir itu menjalar ke bahu kiriku, ke lengan atasku, sebelum dari ujung lengan bajuku mencuat tentakel-tentakel hitam.

“Aku tak bermaksud mencurinya, sungguh,” kataku terbata.

Gadis itu merogoh tasnya cepat dan mengeluarkan jarum tato. Cara ia memegangnya seperti menggenggam pisau. Pendingin ruangan mulai berderak. Dengan tungkai gemetar aku berdiri. Dan dalam satu gerakan cepat ia menghunjamkan mata jarum menuju dada kiriku. Tapi aku mengelak ke samping. Lalu ia menyabetkan mata jarum menuju leherku dan aku melompat mundur. Tatapannya nyalang, dan bola matanya meleleh, dan lelehan bola matanya mengalir ke pipi seperti air mata tinta.

Ia menghunjam lagi dan aku menghindar; ia menyabet lagi dan aku menghindar; ia mengayunkan kaki ke lututku yang langsung bengkok ke arah yang salah, aku terjatuh dan segera gadis itu menekan dadaku dengan satu lututnya. Rusukku akan patah kurang dari semenit. Ia bersiap menghunjam leherku. Aku berkata akan mengembalikan napasnya sekarang juga, aku tahu bagaimana caranya, tapi ia tak melepaskan diri dari ancang-ancang untuk menghunjam—setidaknya tekanan pada lututnya sedikit berkurang.

Ketika kudekatkan telapak kanan ke wajahku, tentakel-tentakel itu terangkat dari kulitku, dan meluncur cepat membelit leher sang gadis. Gadis itu, sebagaimana aku, selama sesaat syok dan tak bergerak; bola matanya habis mencair; tentakel-tentakel meneteskan tinta ke bajuku dan lantai. Kemudian ia berusaha menyabet tentakel-tentakel yang terentang ke lehernya, dan tentakel-tentakel tersebut tak tertebas karena tubuhnya begitu lentur. Sebagai gantinya, gadis itu malah mengoyak-ngoyak kulit lenganku. Aku refleks mencengkeram wajahnya dengan tangan kananku, aku hanya ingin mendorongnya dariku, dan seketika tanganku berasap, dan rambut gadis itu terbakar. Ia menjerit dan menjatuhkan dirinya, ia berkelejotan di lantai sembari menepuk-nepuk rambutnya, sedang tentakel-tentakel tetap menjerat lehernya, dan terdengar bunyi tulang yang remuk. Di pergelangan kananku, bola api di atas tato korek gas itu berkobar sungguhan.

Aku keluar dari kamarku, ke kamar mandi bersama, dan gadis itu terseret oleh tentakel-tentakel. Orang-orang yang mengantri di depan kamar mandi segera menjaga jarak dari kami, seseorang yang mandi terdengar sedang menyanyi. Api mulai menjalar ke wajah gadis itu, dan aku mendobrak-dobrak pintu kamar mandi sampai tulang lenganku remuk, sampai seseorang di dalam sana menjerit, tapi pintu tak kunjung tumbang. Dan api telah menjalar ke baju sang gadis. Aku pun berlari keluar dari rumah indekos, menuju sungai terdekat, dan tubuh gadis itu tercabik-cabik aspal, aku menggendongnya tanpa memedulikan api yang mengunyah baju dan dadaku—aku melompat ke sungai dan menembus sampah-sampah yang mengambang.

Hari itu untuk pertama kali aku bertemu dengannya, jatuh cinta padanya—mungkin?—dan hari itu juga aku langsung kehilangannya. Ketika aku naik ke bantaran sungai, tentakel-tentakelku sudah hilang. Begitu pun gadis itu. Begitu pun bola api di atas tato korek gasku. Gadis itu mesti berada di bawah lapisan sampah-sampah itu, bertarung melawan gurita atau napasnya sendiri, dan begitu aku akan melompat kembali ke sungai, dua orang menahanku dari belakang. Seseorang di antara mereka meneriakiku agar jangan bunuh diri. Dan teriakan serupa terdengar dari sekelilingku: orang-orang sudah ramai berbaris di atas sana, di belakang pembatas jalan.

 

***

 

Setahun kemudian, aku menghampiri sungai itu tengah malam, hujan membuatnya kurang dari dua jam lagi akan menenggelamkan segala hal di sekelilingnya: air sungai sudah hampir setinggi jalan.

Aku diam selama tiga puluh menit, bersandar pada pembatas jalan, dan air sungai sudah merambat ke jalan, setinggi mata kakiku: mungkin aku harus pulang sekarang; mungkin aku harus tetap di sini sekarang.

Cahaya lampu-lampu jalan serupa bintang-bintang yang meleleh di kanvas, lelehannya merayap ke segala arah, dan hujan meraung tepat di telingaku. Pergelangan kananku menghangat—api mencoba berkobar di sana, tetapi hujan segera menggagalkannya. Mungkin hujan tahu, aku ingin membakar wajahku dan aku tak akan melompat ke mana pun.

Lalu sesuatu membelai ujung jemari kakiku. Mungkin itu sampah-sampah. Mungkin itu bukan sampah-sampah. Mungkin itu ujung tentakel-tentakel. Mungkin itu hanyalah sampah-sampah.

Entahlah ....

Mungkin aku harus tetap di sini sekarang.



*) Cerpen ini dimuat di Beritabaru.co pada 20 Februari 2022.