Senin, 02 Maret 2020

"KUKUTUK KAU AGAR HIDUP SELAMANYA, TUAN PADON!" -- Sebuah Cerpen


*Sumber Gambar: Pinterest



Dikutuk agar mati sesegera mungkin tidaklah seberapa mengerikan ketimbang dikutuk agar hidup selamanya.
            
Kemarin, orang-orang melakukan demo besar-besaran di depan istanaku; ada terlalu banyak hal yang mereka tuntut, sehingga aku terlalu malas untuk keluar dari ruanganku dan menghampiri mereka. Demo itu berjalan baik-baik saja; aparat keamanan tidak mesti bermain fisik, dan para pendemo, seperti biasa, hanya mampu meneriakkan ancaman-ancaman yang kuyakin hanyalah omong kosong, alias ancaman-ancaman yang jika mereka lakukan pun tak akan merugikan siapa-siapa kecuali diri mereka sendiri. Dan, di antara banyaknya ancaman omong kosong, kudengar ada seorang pendemo yang berteriak, “Kukutuk kau agar hidup selamanya, Tuan Padon!” menggunakan pengeras suara; itu adalah teriakan paling menggelikan yang pernah ditujukan padaku. Beberapa menit setelah terdengar teriakan menggelikan tersebut, kudengar pidato dari perwakilanku—ia adalah orang yang sangat jago berbicara!—yang segera saja memadamkan emosi para demonstran, sehingga mereka langsung bubar.
            
Malamnya, di kamar tidur istana, aku terbangun dari tidurku sebab mesti ke toilet. Di toilet, aku terpeleset dan terjatuh, dahiku membentur tepian bak mandi. Luka yang timbul berkat benturan itu mengucurkan darah lumayan banyak; aku langsung menekan Tombol Pertolongan Medis yang ada di toilet, sehingga para petugas medis, yang ruangannya terletak tak jauh dari kamarku, segera menghampiri dan membantuku sedemikian rupa sampai semuanya baik-baik saja, sampai aku bisa kembali tidur dengan nyenyak.
            
Aku lalu bermimpi: Lima tahun yang akan datang—entah bagaimana bisa aku tahu bahwa latar waktu dalam mimpi itu adalah lima tahun yang akan datang—aku duduk di ruang kerjaku seraya mendengarkan banyak sekali orang di luar istana berteriak antusias, “Ayo kita coblos Tuan Padon lagi! Tuan Padon untuk dua periode! Hidup Tuan Padon! Hidup Partai Singa yang dipimpin Tuan Padon!”

Kemudian ada seseorang tak dikenal yang masuk ke ruanganku; entah kenapa para penjaga tak mencegahnya. Kutebak, ia hanya seorang rakyat kecil.

“Halo, Tuan Padon,” ucap si Rakyat Kecil seraya melangkah mendekatiku perlahan-lahan, tangan kanannya ia masukkan ke dalam saku celana, “bolehkah saya mencoblos Anda?”

“Oh, tentu saja boleh,” jawabku dengan penuh wibawa. “Mencoblos saya adalah tindakan paling bijaksana yang akan Anda lakukan seumur hidup Anda.”

Si Rakyat Kecil pun mengeluarkan tangan kanannya dari saku celana dan, oh, terlihat sebatang paku terjepit di antara jari telunjuk dan jempol tangan kanannya itu! Tubuhku mendadak tak bisa digerakkan saat ia semakin dekat kepadaku, dengan senyum ganjil yang semakin mengembang di bibirnya. Akhirnya, dengan paku itu, ia mencoblos dahiku! Aku tentu menjerit-jerit kesakitan; saat itu tahu-tahu tanganku bisa digerakkan, dan aku pun menggunakannya untuk mencabut paku di dahiku.

Aku langsung terbangun. Perban dan tampon luka, yang seharusnya berada di dahi, tahu-tahu telah berada di tanganku. Pasti aku mencabutnya tanpa sadar. Begitu kusadari keberadaan bercak-bercak darah di bantal dan rasa sakit yang semakin menyengat dahi, aku langsung bangkit dari tempat tidur, menghadap cermin, mendapati jahitan pada luka di dahiku telah sedemikian rusak—pasti berkat ulah tanganku sendiri—sebelum menekan Tombol Pertolongan Medis yang ada di samping tempat tidur. Tapi, hingga sepuluh menit kemudian, tak ada seorang pun petugas medis yang datang ke kamarku, padahal biasanya mereka akan muncul tak lebih dari lima menit setelah tombol kutekan.

Tiba-tiba ada yang membuka pintu kamarku dari luar, dengan amat kasar; mereka semua bertopeng, memegang senjata api berperedam, dan berpakaian penuh cipratan darah. Di belakang mereka, para petugas medis bergeletakan di lantai.

“Tidak ada periode kedua untukmu, Padon,” kata salah seorang dari mereka. “Dan tidak akan ada lagi tempat bagi Partai Singa.”

“Siapa kalian?!” tanyaku, panik.

“Kami adalah pasukan rahasia Tuan Nodap, penguasa berikutnya, yang akan mengalahkanmu di hari pemilihan nanti.”

“Hah! Pasukan profesional tidak akan membocorkan informasi soal tuan mereka! Dasar kalian pasukan rahasia amatir!” ejekku. “Aku akan melaporkan tindakan kalian kepada media dan siapa saja, sehingga tuan kalian itu tidak akan dipilih di hari pemilihan nanti, atau bahkan didiskualifikasi!”

“Untuk mencegah hal itu, Padon, maka kami datang kemari dengan membawa senjata.”

Dan, mereka menembaki tubuhku bertubi-tubi; perut, dada, leher, kepala, dan anggota-anggota tubuhku yang lainnya dipenuhi lubang peluru! Aku langsung tergeletak di lantai, berlumuran darah sebagaimana para petugas medis, dan hendak menjerit kesakitan, namun tak ada jeritan yang keluar sebab, sepertinya, pita suaraku telah hancur tertembak.

“Eh? Ia belum mati?” ucap salah seorang pria bertopeng, lalu menembakku beberapa kali lagi.

“Astaga! Ia masih belum mati!”

Mereka semua terkejut sekali. Begitu pula aku.

Mereka pun menembakiku lagi, hingga rasa sakit yang menyetubuhi tubuhku semakin menjadi-jadi, hingga tubuhku makin hancur dan tak keruan wujudnya.

“Apakah ia sudah mati?”

Aku tidak bisa melihat siapa yang berbicara karena kedua mataku sudah hancur, tapi aku masih bisa mendengarnya, masih bisa merasakan adanya ketakutan dalam suara itu.

“Sial! Tampaknya ia belum mati!”

“Hah? Dari mana kau tahu?”

“Lihat, itunya masih berdenyut-denyut! Padahal sudah hancur betul!”

Kemudian terdengar raungan sirine mobil-mobil polisi, berasal dari luar istana.

“Ayo kabur! Percuma mengurusi Padon jika ia tak bisa mati!”

“Kita tidak bisa meninggalkannya di sini dalam keadaan hidup! Jangan sampai ia bicara ke siapa pun soal kejadian ini!”

“Tinggalkan saja! Toh, ia tak bisa bicara lagi karena pita suaranya pasti sudah hancur!”

“Tapi, selama nyawanya masih ada, bisa saja ia dibuatkan pita suara baru!”

“Hei, kita bawa saja ia!”

Aku merasakan tubuhku disentuh oleh mereka, diangkat, dan dimasukkan ke dalam sesuatu yang sepertinya adalah karung. Lantas kurasakan tubuhku terayun-ayun saat mereka berlari kencang, kudengar raungan sirine mobil-mobil polisi semakin dekat, kudengar suara tembak-tembakan, hingga akhirnya karungku diletakkan di suatu tempat yang bergetar dan dipenuhi suara deru mesin—sepertinya aku berada di dalam mobil. Selama itu pula, rasa sakit di sekujur tubuh tak putus-putusnya kurasakan.

Tak terlalu lama kemudian, tak terdengar lagi tembak-tembakan pun sirine mobil-mobil polisi. Hanya terdengar deru mesin mobil yang mengangkutku—jika benar aku sedang berada di dalam mobil—dan percakapan mereka saat mendiskusikan soal apa yang sebaiknya mereka lakukan untuk meng-“aman”-kanku. Akhirnya, mereka memutuskan untuk mencincang-cincang tubuhku, menjadikanku makanan bagi singa peliharaan tuan mereka!

Aku tak sanggup mendeskripsikan-dengan-tepat rasa sakit yang kurasakan ketika tubuhku—yang dipenuhi lubang peluru—dicincang-cincang. Lebih-lebih, karena dicincang-cincang, pendengaranku jadi menghilang, sehingga aku secara total terfokus kepada apa yang fisikku rasakan. Ditambah lagi, kurasakan tubuhku yang telah dicincang-cincang dikunyah oleh seekor singa, lalu dicerna sedemikian rupa!

Ya Tuhan, atau siapa saja, cabutlah kutukan busuk yang ada di diriku ini!

***

Sayangnya, Tuhan, atau siapa pun itu, tak kunjung mencabut kutukan ini, bahkan hingga aku menjadi tahi yang mulai mengering!



*) Cerpen ini dimuat di Manifesco pada 1 Februari 2020.