Minggu, 21 Agustus 2016

SEBUAH CERITA SEDERHANA TENTANG BOM - Sebuah Cerpen

Ilustrasi oleh: Sudjana Kerton (The Fallen Matador)



Sebuah remote bom tersembunyi di saku celanaku. Di kursi nomor 100 dan 99 tertanam sebuah bom yang berdaya ledak tidak seberapa, hanya cukup buat membunuh satu orang. Di Ruang Rapat Negara ini, kedua target pembunuhanku duduk di deretan kursi terbelakang, bersebelahan, tepatnya di dua kursi yang kusebut barusan—berkat pengaturan seorang teman—sedangkan aku duduk di kursi nomor 1.
            
“Kerugian negara kita meningkat lima puluh persen dari tahun lalu,” ucap Pak Presiden di podium. “Dan, kerugian sebesar lima puluh persen itu berasal dari dalam.”

***

Target pertamaku: Mawar. Ia duduk di kursi nomor 100. Kau tidak akan mengetahui detail dari pemikiran wanita berusia 26 tahun itu. Tapi kau akan dengan sangat mudahnya mencium aroma tengik jika berada di dekatnya.
            
“Apakah ia bau badan?” tanyamu dalam benak.
           
Tidak. Badannya bersih dan selalu disentuh parfum mahal. Asal kau tahu, badan itu pun luar biasa bagus bentuknya—aku tidak akan menolak andai diizinkan untuk menjilat atau menyentuhnya.
            
“Lalu, dari manakah asalnya aroma tengik itu?” tanyamu lagi.
            
Aroma tengik itu berasal dari pikirannya. Ya, pikirannya!
            
Target keduaku: Duri. Ia duduk di kursi nomor 99. Ia adalah seorang pria berusia 28 tahun yang (hanya) pandai memberi motivasi dan nasihat. Berkat motivasi-motivasi dari Duri, Mawar jadi begitu bersemangat untuk melakukan kebusukan-kebusukan—tetapi Duri tidak mau ikut berbuat busuk apabila secara langsung. Berkat mengikuti nasihat-nasihat dari Duri, Mawar selalu berhasil melakukan kebusukan-kebusukannya itu dengan begitu mulus, tanpa jejak sama sekali—sehingga aku yang mengetahui kebusukan-kebusukan tersebut taklah bisa melapor pada pihak yang berwenang karena tak mempunyai satu pun bukti yang cukup kuat.
            
Sayangnya, aku hanya bisa membunuh satu di antara mereka berdua. Kalau kau mau tahu alasannya, akan kujelaskan sesederhana yang kubisa: Pada remote bom ini terdapat dua tombol, yaitu tombol merah—terhubung dengan bom di kursi nomor 99—dan tombol biru—terhubung dengan bom di kursi nomor 100. Cukup dengan menekan salah satu tombol saja, energi baterai remote ini akan habis, sehingga tombol mana pun yang kutekan selanjutnya tak akan bekerja. Mengganti baterai remote ini sungguhlah rumit dan memakan waktu kira-kira … hmmm … paling cepat lima menit. Oleh sebab itu, strategi mengganti-baterai-secepat-mungkin sangatlah tidak tepat karena begitu satu bom meledak—salah satu targetku mati—orang-orang lain di ruangan ini, termasuk targetku yang satu lagi, pasti akan panik dan berlarian keluar tanpa sudi menunggu sampai lima menit.
            
Kalau kupikir-pikir, sebetulnya bisa saja aku membunuh mereka berdua, secara bersamaan, hanya dengan meledakkan salah satu bom. Tapi bom itu harus kuledakkan di momen yang tepat. Misalnya, aku meledakkan bom di kursi yang diduduki oleh Duri tepat ketika Mawar sedang mencongdongkan tubuhnya ke arah pria berusia 28 tahun itu, mungkin untuk membisikkan sesuatu atau apalah—berlaku pula sebaliknya. Kalaupun orang-yang-mencondongkan-tubuh itu tak turut mati, setidaknya ia pastilah terluka. Tapi momen semacam itu belum tentu tiba, bukan?
            
Jadi, menurutmu, seandainya momen-yang-kunanti itu tidak akan tiba dan aku hanya bisa membunuh salah satu dari mereka, siapakah yang mesti kubunuh?
            
Seandainya aku membunuh Mawar, Duri bisa memotivasi orang lain untuk melakukan kebusukan-kebusukan sekaligus memberinya nasihat-nasihat sehingga aksi busuk orang lain itu berjalan dengan begitu mulus. Kalau Duri yang kubunuh, Mawar tetap bisa melanjutkan kebusukan-kebusukannya dengan menjadikan nasihat-nasihat yang pernah Duri lontarkan sebagai pedoman—kuyakin bahwa Mawar taklah pandai memotivasi orang lain untuk melakukan kebusukan-kebusukan, apalagi memberikan orang lain nasihat.
            
Kalau aku berhasil membunuh salah satu target pembunuhanku, apa aku mesti menunggu kesempatan lain untuk membunuh yang satu lagi, sementara kesempatan lain itu belum tentu ada? Apalagi, ini adalah kesempatan emas yang paling emas karena aku bisa membunuh tanpa diketahui oleh “pihak yang tak perlu tahu” sehingga aku jauh dari jangkauan penjara.
            
Ayolah, Otak! Berpikir! Berpikir!
            
Tiba-tiba ponselku bergetar. Ada sebuah pesan singkat yang masuk, dari seorang teman. Pesan singkat itu berbunyi:
            
Ada sebuah bom yang ditanam di kursimu. Tapi tenanglah, Kawan, karena bom itu hanya akan meledak kalau kau membaca pesan singkat ini.



*) Cerpen ini dimuat di Nusantaranews.co pada tanggal 20 Agustus 2016

Senin, 08 Agustus 2016

DUA TOKOH, DUA CERITA RAKYAT -- Sebuah Cerpen


Ilustrasi oleh: IB Pandit Parastu
Cerpen ini dimuat di tatkala.co pada tanggal 7 Agustus 2016




Para pengunjung Taman Palakosa dibuat menganga pada sore itu oleh kehadiran seorang pria bertubuh kekar yang wajahnya abnormal; ia bermata tiga—mata ketiganya terletak di tengah dahi—tak berhidung, dan tak bermulut—pada area di mana seharusnya hidung dan mulut berada, hanyalah terdapat permukaan kulit yang rata.
            
Pria itu amatlah terkenal di provinsi yang bernama Gopakopa ini. Namun tak ada yang tahu bahwa dirinya ada di dunia nyata, sebab orang-orang hanya mengenalinya melalui salah satu cerita rakyat Gopakopa.
            
“Jong Arong!” salah seorang gadis yang berada di Taman Palakosa sontak memekikkan nama tokoh cerita rakyat itu ketika Jong Arong melintas beberapa sentimeter di depannya. Namun Jong Arong tak menanggapi pekikan itu; ia terus berjalan lurus.
            
Lensa-lensa kamera para pengunjung taman begitu liar menelan gambaran dirinya, sementara angin sibuk mengibarkan rambut hitamnya yang lurus, yang panjangnya hampir mencapai pantat. Beberapa pengunjung Taman Palakosa menduga kuat bahwa pria itu adalah salah seorang anggota suatu kelompok seni yang ingin membuat “pertunjukan kejutan”.
            
Jong Arong pun sampai di titik tengah Taman Palakosa dan berhenti melangkah, kemudian duduk bersila dan memejamkan ketiga matanya—bermeditasi. Orang-orang lalu pada mengerubunginya. Menjauhlah kalian semua dariku! hardik Jong Arong. Karena ia tak mempunyai mulut—dan sering lupa bahwa dirinya tak bermulut—kalimat itu hanya terdengar di batok kepalanya. Dan, ia semakin panas sebab siraman cahaya dari kamera para pengunjung taman semakin liar menyerbunya, mengganggu konsentrasinya dalam bermeditasi. Mendadak ketiga matanya membelalak. Dengan gerakan cepat, ia berdiri dan menangkap lengan seorang wanita pengunjung taman yang memotretnya dengan kamera ponsel dari jarak yang paling dekat. Ia lantas melempar wanita itu ke atas hingga menembus awan-gemawan dan tak kunjung turun kembali*, seakan gravitasi sudah kadaluarsa.
            
Orang-orang yang mengerubungi Jong Arong pun menjerit-jerit ketakutan dan berlari menjauhinya secepat mungkin.

***

“Pada suatu hari, di sebuah desa di bagian barat Gopakopa, hiduplah seorang wanita kaya yang bernama Pon Arong. Wanita itu acap menghina orang-orang yang fisiknya cacat, alih-alih membantu mereka dengan kekayaannya.” Kurang lebih seperti itulah kalimat pembuka yang terlontar dari mulut para pencerita yang sedang menceritakan cerita rakyat Jong Arong. Dilanjutkan dengan, “Suaminya yang bernama Ger Arong pun tak berbeda. Karena ketidakterpujian sifat mereka, maka ketika Pon Arong melahirkan, yang keluar dari rahimnya adalah bayi abnormal. Bayi itu bermata tiga—mata ketiganya terletak di tengah dahi—serta tak memiliki hidung dan mulut. Bayi itu diberi nama Jong Arong.”
            
Sungguh aneh sebab belum pernah ada seorang pendengar cerita rakyat Jong Arong pun yang menanyakan bagaimana cara sang tokoh makan jika tak mempunyai mulut. Seandainya ada yang bertanya seperti itu, pastilah sang pencerita tak bisa menjawab. Jadi, tak perlulah kau menanyakannya.

***

Berita mengenai Jong Arong yang kini berada di Taman Palakosa—dan sempat melempar seorang wanita ke langit hingga tak kunjung turun kembali—sungguhlah menggegerkan masyarakat Gopakopa.
            
Apakah berita itu membuat semua orang jadi tak berani berkunjung ke Taman Palakosa? Rupanya tidak. Ada beberapa orang yang malah memutuskan untuk datang ke Taman Palakosa demi melihat Jong Arong secara langsung. Dan, orang-orang itu tidak akan dilempar ke langit—hingga tak kunjung turun kembali—oleh Jong Arong kalau saja mereka menjaga jarak dan tidak mengganggunya dengan siraman cahaya putih dari kamera masing-masing.
            
Apakah setelah kejadian itu tak ada lagi yang berani berkunjung ke Taman Palakosa? Tidak juga. Pada suatu pagi, aparat keamanan dikerahkan untuk mengamankan Jong Arong—yang sedang bermeditasi. Kemudian, mereka yang hendak mengamankan Jong Arong pun pada dilempar ke langit, hingga tak kunjung turun kembali pula.

***

Tak jauh dari desa tempat Jong Arong dan keluarganya tinggal, terdapat sebuah gunung yang dinamai Kabut oleh masyarakat setempat, tiada lain karena gunung itu diselimuti oleh kabut mahatebal. Jangankan puncaknya, kakinya pun sulit untuk dijelajahi karena adanya kabut itu. Belum ada seorang pendaki pun yang pulang setelah menembus tirai kabut di Gunung Kabut; entah mereka mati atau …
            
Ketika masih anak-anak, Jong Arong selalu diusili oleh anak-anak yang lain karena dirinya tampak begitu buruk, melebihi para penderita cacat. Pon Arong dan Ger Arong tak pernah membelanya, bahkan memedulikannya pun tidak, sebab sepasang suami-istri itu sesungguhnya merasa malu akan anak mereka dan sebisa mungkin menunjukkan kepada orang-orang bahwa Jong Arong bukanlah bagian dari keluarga mereka—meski orang-orang sudah (terlanjur) mengetahui kenyataannya.
            
Suatu malam, Jong Arong mendapat bisikan dari kekosongan. Kekosongan menyuruhnya pergi ke puncak Gunung Kabut. Ia merasa bisikan itu harus diikuti sebab tiap kali ia mencoba untuk mengabaikannya, mendadak kepalanya terasa amat sakit.
            
Ketika Jong Arong mengintip ke luar melalui jendela kamarnya, betapa terkejutnya ia karena dirinya dapat melihat keseluruhan Gunung Kabut dengan amat jelas, meski gunung itu diselimuti oleh kegelapan—selain kabut mahatebal. Konon, mata ketiganya—yang terdapat di tengah dahinya—itu mendadak sakti sehingga dapat melihat menembus kabut dan kegelapan. Maka, malam itu pula, Jong Arong berangkat ke puncak Gunung Kabut. Sesampainya ia di puncak Gunung Kabut, kekosongan membisikinya lagi, menyuruhnya bertapa selama puluhan tahun. Jong Arong menurut; itulah kenapa ia tak pulang selama puluhan tahun—toh, kedua orangtuanya bahagia dengan kepergiannya, sementara yang lainnya pada tak peduli.
            
Alih-alih mengurus, tubuh Jong Arong malah mengekar. Bahkan rambutnya tidak menjadi gimbal, melainkan lurus, sehitam malam, dan halus. Selain itu, Jong Arong diberikan kekuatan fisik yang sangat dahsyat oleh dewa yang berkenan dengan tapanya!
            
Ketika Jong Arong kembali ke desa tempat dirinya dilahirkan, ia langsung menghancurkan sekujur desa itu beserta para penduduknya demi melampiaskan rasa sakit hati yang lama terpendam, lantas menghilang entah ke mana.
            
Kini, tempat di mana seharusnya desa itu berada telah menjadi sebuah danau angker.

***

Senja itu, seorang lelaki bertubuh kerempeng terlihat menghampiri Jong Arong yang masih bermeditasi.
           
“Wah! Berani sekali orang itu!” seru seseorang.
            
“Dia sedang cari mati!”
            
“Hei! Hati-hati!”
            
“Mundur! Mundur!”
            
“Jangan gegabah!”
            
“Awas!!!”
            
Lelaki kerempeng itu berhenti empat meter di depan Jong Arong, lalu membusungkan dadanya. Orang-orang semakin heboh ketika tiba-tiba saja sekujur tubuh sang lelaki kerempeng diliputi kobaran api, namun ia maupun pakaiannya tak kunjung gosong. Sadarlah orang-orang bahwa ia adalah …
            
“Kon Tenga!” seorang wanita memekik.
            
“Si Manusia Api ternyata benar-benar ada di dunia nyata, sebagaimana Jong Arong!” seorang pria tua berseru.

***

Selain cerita rakyat Jong Arong, ada pula cerita rakyat Kon Tenga yang tak kalah populernya di Provinsi Gopakopa.
            
Kedua orangtua Kon Tenga adalah penyihir jahat yang menumbalkan Kon Tenga bayi dalam sebuah ritual; ia dilemparkan ke sebuah sumur yang penuh oleh kobaran api. Sayang, ritual tersebut gagal; kedua orangtua Kon Tenga mati, sebagaimana api yang berkobar-kobar di dalam sumur itu, tetapi tidak dengan Kon Tenga bayi. Keesokan harinya, ia dipungut oleh dua orang petani—sepasang suami-istri—miskin yang kebetulan lewat dan mendengar tangisannya yang berasal dari dasar sumur.
            
Kon Tenga diketahui memiliki kekuatan istimewa—memunculkan kobaran api dari tubuhnya—ketika ia berusia 7 tahun.
            
Di akhir cerita, Kon Tenga, yang sudah hampir dewasa, membakar ayah dan ibu tirinya karena ia marah akibat sedari kecil diperintahkan terus untuk membakar ladang milik petani-petani lain sehingga jumlah segala hasil ladang di pasar menipis drastis, dan kedua orangtua tirinya dapat menjual hasil ladang mereka dengan harga selangit—dan pasti laku.

***

“Pergilah dari sini, Jong Arong!” bentak Kon Tenga. “Aku juga ingin bermeditasi di titik tengah taman ini! Kalau kau tidak mau pergi, ayo kita bertarung!”
            
Mendadak ketiga mata Jong Arong membelalak.

***

Aku adalah seorang astronaut. Hari ini, dari ruang angkasa, aku menyaksikan Bumi meledak laksana balon pecah!



Catatan:
*) Meminjam salah satu adegan di novel Kitab Omong Kosong (Bentang Pustaka, 2004) karya Seno Gumira Ajidarma.

Jumat, 05 Agustus 2016

koffin - sebuah film pendek





cerita dalam film ini "tergantung" pada pikiran anda (penonton) sendiri. seperti menafsirkan sebuah puisi atau sebuah lukisan abstrak.

orang yang "tidak mengerti" mungkin akan berpikir bahwa menonton film ini hanya membuang-buang waktu. tapi, bagi orang yang mengerti, film ini akan menjadi "permainan pikiran".

DIAM YANG MELUMATMU


Ilustrasi oleh: Surya Gemilang




Diam yang Melumatmu

bahasa bagi kita adalah kapal yang karam
di tengah gurun pasir, atau jembatan
yang tak bisa diterjemahkan oleh kamus
mana pun, apalagi dilalui oleh kalimat.

tiupan angin malam mencoba mengajarkan
kita untuk memahami apa arti dari
kehancuran. kehancuran yang abadi,
mencakar-cakar sesuatu yang lebih
baik hampa.

sela-sela bibirku menjelma diam yang
melumatmu. aku menikmati hangat
dagingmu dan bahasa yang susah payah
kita rangkai untuk menjadi sesuatu yang
remuk. seremuk-remuknya.

*

ada seekor hewan buas yang tak bisa mati
di balik tempurung kepalaku, seperti
rasa rindu yang muram. hewan buas itu
adalah makhluk yang akan menghibur kita
sepanjang hari—dengan kelucuannya
—sebelum akhirnya menerkam kita dalam diam.




Sajak Tentang Sebuah Kerajaan Kecil

ada yang akan lenyap tanpa
isyarat di antara kita; ada
yang akan memiliki sepasang
sayap untuk mengecup
ketinggian yang kusam. di
dapur ibuku mungkin akan ada
seseorang yang menjelma
jelaga ketika aku lupa
cara untuk berhenti menangis.

ia menampung berbilah-bilah
pisau dapur di pekat bola
matanya, juga buku-buku
tebal yang membuat debu
jatuh cinta. ia meretih untuk
membahagiakan tungku,
untuk memberikan rasa
yang dalam pada sekilo beras
yang angkuh.

aku adalah jelaga yang berhasrat pada
minyak dan api. ada misteri yang menggerogoti
warna tubuhku juga warna bola matanya. dan,
akan ada sesuatu yang liar yang menjadikan kita
menu sarapan.




Ritual

kau boleh pergi setelah kecambah
kesedihan tumbuh di sudut bilik kiri
jantungku. aku akan selalu merawatnya.
untukmu. atas namamu.

di kamarku, kau sedang mengamati
gerbang rumahku: menanti tamu
yang kira-kira tak akan pernah
datang. atau mungkin kau sedang
mengamati kebunku yang dipenuhi
kesedihan, namun terdengar tawa
terbahak-bahak dari sana.

kau kerap mengingatkanku bahwa ada
beberapa pasang kekasih yang abadi di daun
telingaku. kau memintaku merekam segala desah
yang mereka rajut dari tanah liat: kenangan kita
yang kedap air.

*

mari kutunjukkan padamu akhir dari ritual
puisi yang payah ini: segalanya menyatu dalam
lingkaran kita, merayap pada muram yang
sedih
dan penuh tawa.



*) Puisi-puisi ini dimuat di Litera pada tanggal 4 Agustus 2016.

Rabu, 03 Agustus 2016

KEKASIH YANG KERA


Sumber gambar: Nusantaranews.co



Kekasih yang Kera

kekasih yang kera menginginkan
benakku. padahal, aku mempunyai
pisang yang panjang dan setajam
kata!

“tapi, tampan, hanya di benakmu
ada kerah buat kera.”

aku membalas, “jangan lupakan
gerah pada kerah!”

kekasih yang orang, kuinginkan
igau terpanjangmu. jangan yang
berdaging. jangan yang setajam
kata.

“jangan juga yang seramai kota!”

(Denpasar, 2016)




Hari Ini Bukan di Denpasar

hari ini lelucon enggak mampir
ke denpasar. atau mungkin sebenarnya
mampir, cuma saja ia berdiam di sudut-
sudut teranyir yang siapa pun
ogah menggapainya.

“apa yang membuat kamu nungguin
lelucon?” ucapmu. “bukankah lelucon
nungguin kamu dalam sembahyang?”

mungkin lelucon lagi mampir ke
kota-kota lain. semisal jakarta,
hongkong, atau new york. siapa
yang tahu?

“semakin hari, lelucon semakin
keparat!”

beberapa tahun yang lalu, lelucon
datang dari arah barat. atau mungkin
arah timurlah yang mengundangnya.
atau lelucon memang hobi banget
keliling dunia—dari sudut-sudut
purba sampai sudut-sudut modern.

“siapa yang peduli?!”

yang jelas, hari ini lelucon enggak
mampir ke denpasar. kayaknya.

(Denpasar, 2016)




Pan Kasim*, Dongengi Aku

/1/

yang capai berburu kayu bakar di hutan
bolehlah duduk bersandar padaku
sampai seekor ular yang bisa bicara
memanggil namamu!

“kau ular!” kata pan kasim. “kau seharusnya
enggak bisa dan enggak boleh bicara!”

ular itu besar—lebih besar dari ular di balik
celana pan kasim—dan tubuhnya terjepit
batang pohon yang tumbang sebab
raja langit bersin.

“kau manusia,” kata si ular. “kau seharusnya
bisa dan boleh membantuku dengan
menyingkirkan batang sialan ini.”

/2/

dan waktu pan kasim pulang, didapatinya
gubuk reot tempat ia tinggal telah berubah
jadi rumah yang bagus!

“aku enggak tahu kenapa bisa begini!”
sang istri, men kasim namanya, bingung.

“si ular enggak bohong!” pan kasim berseru. “aku
nyelamatin dia dan dia mau ngabulin apa pun pintaku!”

malam yang lugu dan gagu pun mengalirkan
aroma kentut keangkuhan.

/3/

“aku mau istana!
aku ingin jadi raja!
aku pengin istriku jadi ratu!”
demikian kalimat pan kasim ketika keesokan
harinya ia kembali ke hutan dan nemuin si ular.

“kau manusia, boleh tinggal di istana.
kau pria, bisa jadi raja.
kau punya istri manusia, berhaklah jadi ratu.”

/4/

“matahari pengin membakarku!” jerit ratu
kasim. “aku enggak mau jadi babi panggang!”

sebab raja kasim adalah anggota dari
“ikatan suami takut istri”, ia cepat-cepat lari
ke hutan—lagi-lagi buat nemuin si ular.

/5/

“jiwaku panas!” seru pan kasim.
“aku berhak jadi matahariii!!!”

si ular geram.
penginnya ia nerkam si egois.
si ular geram:
diam-diam
ia
jatuh cinta
pada
ular di balik celana pan kasim.

/6/

enggak ada matahari. enggak ada istana.
enggak ada raja-ratu. enggak ada rumah bagus.
enggak ada …

enggak ada kamu!

(Denpasar, 2016)

*) Cerita rakyat Bali.




Pun Sajak Bisa Merambat

nada yang merambat pengin nyusup
ke dalammu, melewati lubang
yang diinginkan tenggat
waktu.

can your hear me?

dan nada yang merambat hendaklah
mengantarmu tidur, bahkan
menjadi bagian dari
kentutmu yang tak
kausadari.

because you’re my blood, come
out from my ears!

*

kekasih, kenapa di antara kita enggak ada
yang peduli sama nada pun sajak?

“soalnya ada sekat kematian!”
kekasih menjawab.

coba tebak, kekasih, kenapa “kasih”
mesti pakek “logika”?

“jangan coba-coba menghubungkan mereka
berdua!” kekasih marah. “nanti bisa-
bisa kita diputus takdir!”

lho, enggak boleh, toh?
tapi bolehkah aku
menghubungkan
“kasih”
dengan
“etika”?

“hati-hati, sayang!” jerit kekasih.
“nanti kasih kita tanpa ‘ketika’!”

(Denpasar, 2016)




Racun Belukar Malam
—mungkin teringat salah satu
puisi m. aan mansyur

pada akhirnya, belukar malam
alirkan racun ke nadi mimpimu.
mungkin itu adalah ketika kau
lagi mimpi (ke)basah(an),
atau lagi iseng mengotak-atik
jejaring mimpi yang melangkahi
ketegangan sajak mbelingmu.

“apa yang lebih jahat dari
racun belukar malam, kekasih?”

“belukar kata-katamu! juga belukar
kota-kota!”

“ah! kalimatmu itu … pasti terinspirasi
dari salah satu puisi m. aan mansyur!
benar, kan, kekasih?”

aku ngakak. bukan menjawab tanyamu.
aku memasukkan penyair itu ke nadi
racunku. bukan ke nadi mimpiku.
soalnya di mimpiku sudah ada “kamu”
dan “basah”!

“tapi, kekasih, kamu di mimpiku
adalah gelisah yang berkisah.”

“jadi, kamu enggak basah?”

(Denpasar, 2016)




Sajak Pedang

“apa yang buat kamu berpikir
aku ini berpedang?”

“sebab kamu
gemar menusukku!”

“apa yang membuatmu merasa
aku tusuk?”

“ada rasa sakit dan nikmat
yang enggan berpisah!”

(Denpasar, 2016)




Serat

serat-serat kata kita enggak
sepanjang surat-surat cinta.
serat-serat kota kita enggak
seriuh surat-surat kata.

“cinta, kau ingin kuberi apa?
surat atau serat?”

“darimu, kumau urat.”

(Denpasar, 2016)



*) Puisi-puisi ini dimuat di Nusantaranews.co pada tanggal 31 Juli 2016.