Selasa, 17 Oktober 2017

MINUM AIR KLOSET AGAR LEKAS SEHAT -- Sebuah Cerpen

*Ilustrasi oleh: Anja Arowana



“Sebaiknya Anda minum air kloset agar lekas sehat,” balas dokter itu setelah kuucapkan keluhanku. Sinting bukan main, kan?!
            
Barangkali Sijit, teman baikku, tidak kalah sintingnya karena telah merekomendasikanku untuk pergi ke dokter sinting itu.
            
“Kau sialan, Jit!” hardikku melalui ponsel sepulangnya aku dari tempat praktik si Dokter Sinting. “Kau bilang dokter itu dapat diandalkan! Rupa-rupanya dokter itu sinting!”
            
“Lho? Sinting bagaimana?” tanya Sijit.
            
“Masa aku disuruh minum air kloset agar lekas sehat?!”
            
“Kalau memang begitu suruhannya, ikuti saja.”
            
“Ikuti saja?! Kau sinting sebagaimana dokter itu, ya?!
            
“Dengarkan aku baik-baik, Babah.” Sijit berhenti sebentar. “Waktu salah seorang saudaraku sakit gede, tak ada seorang dokter pun yang bisa menangani penyakitnya, kecuali dokter yang kau anggap sinting itu. Kau tahu dia menyuruh saudaraku minum apa? Dia menyuruhnya untuk minum kopi campur telur mentah! Dan, saudaraku langsung sembuh begitu menuruti suruhan dokter itu!”
            
“Itu, kan, hanya kopi campur telur mentah, Jit! Bukan a-i-r k-l-o-s-e-t!”

***

Rasa sakit yang ganjil itu hinggap di perutku sejak sebulan yang lalu. Semula, kupikir aku maag. Maka, kuminumlah obat maag, tapi rasa sakit di perutku tak kunjung membaik. Hari demi hari, sejak rasa sakit itu muncul, perutku terus membesar—sedikit demi sedikit saja, sehingga tak langsung kusadari hal itu. Kala rasa sakit di perutku semakin mengganggu, aku memutuskan untuk tidak ngantor sampai rasa sakit itu lenyap—entah kapan. (Toh, meski tak bekerja, uang tetap menghujani rekeningku.)
            
Sebelum mendatangi si Dokter Sinting, tak kurang dari sepuluh orang Dokter Normal yang telah kudatangi, dan mereka semua tidak tahu penyakit macam apa yang hinggap di perutku. Sempat aku berpikir bahwa aku disantet .... Tapi, bukankah tukang santet dan semacamnya sudah pada punah di tahun 2040 ini?

***

Pagi ini—sehari setelah kudatangi si Dokter Sinting—begitu membuka mata, kudapati perutku sudah sebesar perut seorang wanita yang kandungannya berusia delapan bulan! Padahal, kemarin, ukuran perutku masih sekitar setengah dari ukuran perutku yang sekarang. Otomatis, baju-bajuku jadi pada tidak muat, sehingga aku mesti telanjang dari pinggang ke atas. Langkahku pun terasa berat. Perutku semakin sakit.
            
Masa, sih, aku mesti minum air kloset?! pikirku.

***

Entah kenapa kekasihku, Babah, tak bisa dihubungi pagi ini. Oleh karena itulah aku memutuskan untuk pergi ke rumahnya. Di depan gerbang rumah mewah tempatnya tinggal, aku bertemu dengan Sijit. “Kekasihmu tak bisa kuhubungi, dan itu membuatku khawatir,” jawab Sijit ketika kutanyai maksud kehadirannya kemari.
            
Kami pun masuk ke rumah Babah—pembantunya yang sudah pantas disebut “nenek” itu yang membukakan pintu—dan terbelalak begitu sampai di kamarnya.
            
“Ya ampun, Babah!” pekikku dan Sijit bersamaan.
            
Kekasihku tergeletak lemas di kasur, tanpa memakai baju. Wajahnya pucat, sepucat mayat—tapi ia masih hidup—dan perutnya .... Ya ampun!
            
“Kenapa kau tidak berinisiatif untuk mencarikan dokter buat majikanmu?” ucapku pada si Pembantu yang sudah tua, setengah membentak.
            
Si Pembantu tertunduk. “Maunya, sih, begitu, Nona. Tapi Tuan Babah melarang saya.”
            
“Aku sudah bosan bertemu dengan dokter!” sambung Babah, suaranya parau. “Mereka semua tidak berguna!”
            
Sijit berdeham. “Apa kau sudah minum air kloset?”
            
(Aku sudah dengar soal “minum air kloset” itu dari Babah kemarin, via video call.)
            
“Bah! Kau jangan sinting, Jit! Pasti ada solusi yang lebih baik untuk menyembuhkan penyakitku ini!”
            
Heninglah beberapa jenak.
            
Si Pembantu memberi isyarat minta diri, dan Babah mengangguk, lantas pergi dari kamar ini.
            
Sijit tiba-tiba tampak menahan tawa. “Barangkali, perutmu itu terus membesar secara ganjil karena rekeningmu terus menggendut secara sama ganjilnya!” Tawa Sijit lantas pecah. “Makanya, jangan kaucurangi bosmu sendiri!”
            
Babah mengerang sebelum berkata, “Sialan betul kau! Mentang-mentang kini aku kesakitan, dan rasanya hampir mati, kau malah mengingatkanku akan dosa-dosaku sendiri!”
            
Sijit tergelak lagi, kemudian berkata kepadaku, “Nah! Benar, kan, apa kataku? Kekasihmu ini kotor!”
            
“Aku tidak peduli pada kotor-bersih dirinya,” balasku, dengan wajah memerah.
            
Sijit mendecak-decakkan lidah. “Wah … wah .... Cinta dan uang sama-sama bisa bikin bodoh.”
            
“Mending kau pergi saja, Jit!” hardikku.
            
Wajah teman baik kekasihku itu sontak masam. Ia lalu berlalu dari kamar ini, tanpa kata-kata, sehingga tersisalah aku dan Babah.
            
“Biarlah dia pergi,” kata Babah lirih. “Kita tak memerlukannya.”
            
Tak terlalu lama kemudian, Sijit kembali ke kamar ini dengan segelas air di tangannya. Aku langsung tahu air apa itu sebab aromanya yang rada-rada tengik tercium jelas di hidungku.
            
“Kau mau meminumkan air kloset kepadanya?!” kataku.
            
“Jangan gila, Sijit!” Babah memekik parau. “Kau tidak boleh meminumkanku air kloset!”
            
Dengan gerakan cepat, aku pun merebut gelas itu dari tangan Sijit. Dan Sijit merebut gelas itu dari tanganku. Dan aku merebut gelas itu dari tangan Sijit. Dan Sijit .... Selagi kami saling memperebutkan gelas tersebut, kulihat Babah bangkit perlahan-lahan, dengan susah sungguh, lantas meninju rahang Sijit dari samping dengan teramat keras hingga teman baiknya itu pingsan.

***

Aku mulai berpikir bahwa apa yang sempat Sijit katakan padaku ada benarnya ....
            
Pada pagi ketika kudapati ukuran perutku bertambah drastis, ada uang yang masuk ke rekeningku dalam jumlah yang jauh di atas biasanya—kuketahui itu setelah aku mengecek rekeningku melalui internet.
            
Tunggu dulu .... Tidak ada penjelasan logis mengenai hubungan antara perutku dengan rekeningku! Toh, aku bermain curang sekali saja; uanglah yang terus-terusan menghujani rekeningku berkat kemenanganku dalam permainan itu. Memang, sih, rasa sakit yang ganjil itu mulai hinggap di perutku sehari setelah hari kemenanganku ....
            
Tapi, mana mungkin kekayaanku merugikan diriku sendiri?

***

Sijit tak mau lagi peduli pada kekasihku yang kini—empat hari setelah hari di mana Babah meninju Sijit hingga pingsan—hanya mampu tergeletak di kasur. Perutnya yang besar ternyata masih bisa bertambah besar. Rasa sakitnya yang hebat masih bisa bertambah hebat.
            
Sudah tiga hari aku menunggui Babah di kamar rumah sakit ini. (Akhirnya, setelah benar-benar kesakitan, ia mau dibawa ke rumah sakit, meski pihak rumah sakit ini mengaku belum mengetahui penyakit macam apa yang diderita olehnya—tapi mereka berjanji akan terus berusaha mencari tahu, dan untuk sementara ini Babah hanya dirawat sebisanya.) Pekerjaan Babah di kantor jadi semakin terbengkalai. Tapi Babah tak khawatir soal pekerjaannya karena tanpa ngantor pun uang akan tetap diperolehnya.
            
Setiap hari, seorang dokter dan seorang perawat selalu datang ke kamar ini; si Dokter menyuntikkan suatu cairan ke tubuh Babah, sedangkan si Perawat meminumkannya sebutir pil berwarna putih.
            
“Kenapa rasa air minumnya aneh betul?” kekasihku memprotes setelah berhasil menelan pil berwarna putih, dengan bantuan air minum tentunya, yang diminumkan oleh si Perawat hari ini. “Apa air minumnya sudah kadaluarsa, eh?”
            
Si dokter dan si Perawat lantas kebingungan. Aku pun pura-pura kebingungan dengan ucapan Babah. Sesungguhnya, telah kuganti air minum itu dengan air kloset. Untungnya air kloset di rumah sakit ini tidak berbau tengik, sehingga tak ada yang terasa ganjil sebelum Babah menenggaknya. Apakah aku sudah sinting karena telah melakukan hal itu? (Setidaknya, aku melakukannya demi kebaikan.)
            
Mendadak dari dalam perut Babah terdengar gemuruh yang ganjil. Ia jadi panik betul—sebagaimana aku—seraya menjerit sejadi-jadinya, terlebih ketika perlahan-lahan perutnya yang amat besar itu membesar!
            
Bukannya bertindak, si Dokter dan si Perawat malah menundukkan kepala. Mulut mereka terlihat bergerak-gerak kecil, seperti sedang merapalkan doa.

            
Tahu-tahu saja perut Babah meledak, mengguncang ruangan, membuat siapa pun yang hidup pada terkejut. Alih-alih darah, daging, dan lainnya yang masuk akal, cairan kental berwarna emaslah yang terciprat dari perut itu!



*)Cerpen ini dimuat di Malangvoice.com pada tanggal 14 Oktober 2017.

Sabtu, 14 Oktober 2017

Buku Terbaru: CARA MENCINTAI MONSTER



Ini adalah buku kedua saya, berupa antologi puisi. Sudah, itu saja .... Oh ya, jika ingin memesan buku ini, silakan klik di SINI. Harganya murah, cuma Rp 40.000--tidak semahal harga diri saya, kok. Bahahahahakkk!

Oh ya, sebelum tidur, cobalah periksa kolong tempat tidur Anda. Semoga tidak ada seekor pun monster di sana .... Amin.