Selasa, 27 Oktober 2020

CERITA-CERITA MENGHILANG DARI KEPALAKU -- Sebuah Cerpen

 

*Sumber Gambar: Magrib.id


Cerita-cerita menghilang dari kepalaku. Komputerku sampai bosan menunggu jari-jemariku menyentuh tutsnya, sehingga benda itu memadamkan layarnya sendiri. Mungkin ini semua karena otakku sudah lama sekali tak kugunakan untuk menghasilkan cerita pun mencerna tulisan; dalam waktu amat lama, otakku hanya memikirkan cara terbaik untuk menerima kesakitan dan kesepian di dalam sel.

 

***

 

Seminggu setelah novel terakhirku terbit, para polisi menangkapku pada pagi buta di rumahku, atas tuduhan pencemaran nama baik presiden. Entah di bagian manakah novelku mencemarkan nama baik presiden, para polisi menolak untuk menjelaskan. Mereka menutup kepalaku dengan karung, membawaku menempuh perjalanan panjang dengan mobil, dan baru melepaskan karung itu setibanya aku di sebuah ruangan kecil, yang tak lebih bagus ketimbang kamar mandi umum jika lupa dibersihkan selama setahun.


Aku tinggal di sana hingga menua secara menyedihkan. Aku tak pernah dijenguk istri pun anak-anakku, tak pernah sekali pun menjejakkan kaki di luar sel, dan jarang diberi makanan—kalaupun diberikan, jangan tanya bagaimana rasa makanan itu. Yang paling membuatku merasa hidup terkutuk adalah aku disiksa hampir tiap hari oleh salah seorang polisi, karena tak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan aneh yang dilontarkannya. Hingga pada suatu hari, pintu selku didobrak, dan terlihatlah beberapa orang—aku tak pernah melihat mereka sebelumnya—berdiri dengan mulut menganga, seolah aku adalah seekor naga dalam dongeng-dongeng yang tanpa diduga nyata adanya.      


“Tiga puluh tahun menghilang, dan ternyata penulis itu masih hidup …” gumam salah seorang di antara mereka.


Mereka membawaku keluar dari ruangan ini, dari bangunan ini, yang ternyata adalah sebuah rumah tua di tengah hutan. Di sana tak ada sel-sel lain selain sel yang mengurungku, maupun tahanan-tahanan lain selain aku.


Mereka memasukkanku ke jok belakang sebuah mobil dan membawaku ke rumah sakit. Di tengah perjalanan, untuk pertama kalinya aku berbicara pada mereka, “Apakah sebentar lagi aku sudah boleh membaca dan menulis? Apakah sebentar lagi aku sudah boleh bertemu dengan istri dan anak-anakku?”


“Tentu saja Anda sudah boleh membaca dan menulis lagi,” sahut orang yang duduk di sampingku. “Kami bahkan akan membelikan Anda banyak buku bagus serta komputer untuk menulis.”


“Komputer?!” Aku terkejut. “Ya ampun! Aku akan menulis menggunakan komputer! Itu mimpiku sejak lama!”


“Benar sekali. Lagi pula, sekarang sudah tidak ada yang menggunakan mesin tik.”


“Oh ya, apa kabar istri dan anak-anakku?”


Tidak ada jawaban. Para penyelamatku seperti tak mendengar pertanyaanku. Belakangan, aku mengerti bahwa mereka tak mau membuatku syok dengan kabar buruk itu: rumah dan keluarga kecilku dibakar beberapa hari setelah aku dipenjara, beberapa hari sebelum novel terbaruku ditarik peredarannya dari toko-toko buku dan dibakar juga.


Setelah kira-kira sebulan menjalani perawatan mental dan fisik di rumah sakit, serta sesekali menerima kehadiran para wartawan yang bertanya banyak hal tentang menghilangnya aku selama ini, aku dipindahkan ke apartemen sederhana oleh para penyelamatku, apartemen yang terletak di lantai dua puluh. Di sana terdapat komputer dan rak berisi penuh buku bagus, selain properti-properti lain yang umum ditemukan dalam sebuah apartemen. Kata salah satu dari mereka, “Ini semua hadiah dari pemerintah.”


“Dari pemerintah? Cih! Jadi, ini cara mereka meminta maaf karena telah menghancurkanku, heh?!”


“Hmm … sebenarnya, Tuan, pemerintah yang memenjarakan Anda sudah lengser sekitar dua puluh enam tahun lalu. Yang memberikan Anda semua ini adalah pemerintah yang baru memerintah selama empat tahun.”


Heninglah sejenak. Setelah berpikir agak keras, aku bertanya, “Jika pemerintah yang memenjarakanku sudah lengser sekitar dua puluh enam tahun lalu, kenapa aku tidak diselamatkan sekitar dua puluh enam tahun lalu pula?”


Mereka tak menjawab dan saling bertukar pandang ....


Para penyelamatku pergi setelah menyerahkan amplop tebal berisi uang bekal untukku. Aku lantas mencoba mengoperasikan komputer, kemudian mencoba menulis lagi, dan mendapati cerita-cerita menghilang dari kepalaku. Setelah berjam-jam duduk menghadap komputer tanpa menghasilkan satu kalimat pun, aku memutuskan untuk membaca sebuah buku yang kupilih secara acak dari rak, tetapi aku tak bisa berkonsentrasi membaca. Maka aku berbaring di sofa, memejamkan mata, dan memaksa cerita-cerita bertumbuhan dalam kepalaku.


Dan karena cerita-cerita tak kunjung muncul, aku mulai merasa marah. Amat marah. Marah kepada orang-orang yang menculikku, kepada sel tempatku dikurung, dan kepada pemerintah yang sudah lengser sekitar dua puluh enam tahun lalu. Memang mereka sudah tak menahan tubuhku, tetapi ternyata mereka masih menahan cerita-ceritaku entah di mana!


Tanpa cerita-cerita di kepalaku, bagaimana bisa aku bertahan hidup?!


Tentu saja kau bisa bertahan hidup, jawab suara asing di dalam pikiranku. Bukankah selama di penjara kau bisa hidup tanpa cerita-cerita di kepalamu? Kenapa sekarang, di luar penjara, kau malah tidak bisa?


Apakah memang sebaiknya aku dipenjara lagi?


Malamnya, saat aku pergi ke restoran untuk sedikit bersantai, aku melihat seorang pria yang tak asing duduk beberapa jarak dari mejaku. Ia adalah polisi yang biasanya menyiksaku di sel; ia duduk semeja bersama seorang gadis kecil yang kuduga adalah anaknya. Berdasar gestur, ekspresi, dan tutur kata yang ditujukannya kepada sang anak, sama sekali tak tergambar bahwa ia adalah orang yang pernah berkali-kali hampir membunuh seorang penulis. Dan keberadaan orang itu membuatku mendadak merasa marah. Amat marah.


Bunuhlah ia, agar kau tak marah. Lalu cerita-cerita pasti akan kembali ke kepalamu.


Omong kosong! Aku tak percaya suara di kepalaku sendiri. Jika aku membunuhnya, jelas aku akan dipenjara lagi, dan kehilangan kesempatan untuk membaca-menulis, yang berujung pada semakin sulitnya memunculkan cerita-cerita di kepalaku.


Kalau begitu, kau boleh menyiramkan kopi ke kepalanya.


Itu juga tidak. Aku tak mau terlibat keributan; aku hanya ingin mengisi sisa hidupku dengan menulis cerita-cerita.


Bagaimana kalau kau menghampirinya dan bertanya soal bagian novelmu yang manakah yang mencemarkan nama baik presiden?


Aku benar-benar ingin bertanya demikian. Namun mendadak adegan-adegan penyiksaan yang dilakukannya terhadapku melintas amat jelas, membuatku seketika ketakutan. Aku pun berlari kembali ke apartemenku, merebahkan diri di kasur, menenangkan diri, dan tertidur.


Aku bermimpi berada di dalam selku. Aku duduk menghadap komputer di sebuah meja dan berusaha menulis cerita, tetapi tak kunjung ada cerita yang muncul di kepalaku. Tiba-tiba pria yang biasa menyiksaku itu memasuki sel. Ia bergerak cepat ke sampingku, menatap layar komputer yang belum menampakkan sedikit pun kalimat, dan langsung meninju wajahku hingga aku terjungkal dari kursi.


Kalau sampai satu jam kedepan kau belum juga menghasilkan cerita, aku akan membunuh kau! ucapnya, suaranya sama persis dengan suara asing di kepalaku!


Aku langsung terbangun, meraih komputer, dan melayangkannya ke arah jendela yang segera saja kacanya pecah! Semua kulakukan dengan begitu cepat, dengan ketakutan mengoyak seisi kepala, tanpa sempat mencerna pukul berapakah waktu itu, bagaimanakah cuacanya saat itu, dan lain sebagainya, termasuk soal ke manakah komputer itu akan mendarat.


Terdengar jeritan dari luar sana, dari jalanan yang gelap ....

 

***

 

Aku ditahan di sebuah sel, yang untungnya lumayan bersih, karena membunuh seorang gadis kecil dengan melempar sebuah komputer dari ketinggian dua puluh lantai. Sang gadis kecil adalah anak dari pria yang biasa menyiksaku di sel pertamaku. Karena itulah, kupikir aku akan disiksa lagi oleh pria yang sama. Ternyata, tidak. Di sel ini aku tidak disiksa oleh siapa pun; malah aku mendapatkan teman-teman satu sel yang lumayan menyenangkan, dan diizinkan membaca buku di waktu luang. (Bagaimanapun, aku tak bisa menulis, karena di sini selalu berisik, kecuali tengah malam ketika aku begitu mengantuk.) Kombinasi antara teman-teman baru, izin membaca buku di waktu luang, dan sejumlah pekerjaan rutin di penjara membuatku dapat meredakan perasaan sakit akibat kebobrokan hidupku.


Belakangan, beberapa hari sebelum aku sekarat dan dipindahkan ke rumah sakit ini, dari beberapa sumber aku mendapatkan sebuah informasi: gadis kecil yang tak sengaja kubunuh itu, bersama ayahnya, hendak bertamu ke apartemenku sebelum tragedi tersebut terjadi. Katanya, sang ayah memiliki urusan pribadi denganku, entah urusan apa tepatnya. Itu adalah sebuah kebetulan yang agak ajaib, menurutku, dan membuatku ingin menulis sebuah cerita pendek tentang kebetulan tersebut—bahkan kalimat-kalimat penyusunnya telah tersedia di kepalaku. Namun aku yang sekarat hampir tak bisa lagi menggerakkan tangan, dan di rumah sakit ini tak ada komputer pun mesin tik yang bisa kupinjam.



*) Cerpen ini dimuat di Magrib.id pada 24 September 2020.

Minggu, 13 September 2020

LIBURAN YANG GANJIL, dan Puisi-Puisi Lainnya

 

*Sumber Gambar: Pinterest



Fragmen tentang Api

 

api di dadamu

membakar bunga dan kata

di lidahku

 

malamnya aku bermimpi

tentang sinta yang dibakar

dan rama menjilat abunya

 

semasih panas

 

(Jakarta, Mei 2019)



Fragmen tentang Air

 

aku tenggelam

dalam ludahmu:

 

namaku tisu

menyerap air.

 

tapi tak apa:

aku semakin mudah

 

membayangkan kau

menjilat tubuhku.

 

(Jakarta, Mei 2019)



Sepasang Kekasih, Putus

 

kita tak tahu: bumi-kah lepas dari orbitnya

atau orbit yang terhapus

 

kita tak tahu: kenapa pohon yang menyerap

darahmu kini terbakar dan hangus

 

kita tak tahu: pikirankah yang membeku

atau waktu mendadak kaku

 

kita tak tahu: kenapa tuhan, ketika menyamar

sebagai ilmuwan penemu, mengatakan bahwa

dunia tak pernah baru

 

(Jakarta, Mei 2019)



Menyiapkan Kematian

 

sabit maut menancap di kepalamu

nyawa masih merah ceri

terkurung lingkaran api

tapi kau tahu hujan

akan tiba tak lama lagi

 

maka kau mempercepat langkah

menuju rumah demi rumah

para teman pun saudara

mencari pisau-pisau kautancap

pada pucat tetubuh itu

 

sebab kini kaupaham:

pisau-pisau mestinya kausimpan

hingga mati, sebab jalan menuju akhir

dipenuhi tali-tali ajaib melintang

menghalang jalan

 

tali-tali menghanguskan setiap

bilah menyentuhnya

 

*

kau hanya belum paham:

pisau-pisaumu adalah benda ajaib

yang mudah larut di dalam daging

 

(Jakarta, Mei 2019)



Liburan yang Ganjil

 

saat kau tidur telungkup, pesawat landing

di punggungmu, aku turun dengan koper

yang roda-rodanya menggelitik kulitmu sampai

di puncak pantat, aku mendirikan tenda biru,

menancapkan empat pasak, membuat api unggun,

dan menghangatkan diri sambil menenggak ciu.

 

hingga berjam-jam kemudian, aku tak bisa

tidur; dengkurmu tak kunjung libur. kemudian

aku menoleh ke mulut gua itu; setengah mabuk,

dengan sebatang kayu terbakar, aku pun masuk

ke situ. liburanku berakhir dengan berembusnya

udara busuk, membuat api yang kubawa membesar

ke mana-mana, melahapku sekujur tubuh.

 

(Jakarta, Juni 2019)




*) Puisi-puisi ini dimuat di Becik.id pada 25 Juli 2020.


Selasa, 08 September 2020

MIMPI-MIMPI SEORANG BURUH -- Sebuah Cerpen

 

*Ilustrasi oleh:  Oliva Sarimustika Nagung 



1/

 

Aku menemukan rumah tua berukuran kecil ketika sedang berjalan-jalan entah atas tujuan apa di padang rumput ini. Penampakan rumah itu membuatku mual. Namun aku merasa tak memiliki pilihan lain selain masuk ke sana, berhubung hujan tampaknya akan tiba tak lama lagi, dan kehujanan bukanlah hal baik sebab demam membuat pekerjaanku di pabrik besok menjadi semakin tak menyenangkan.

            

Di dalam rumah ini hanya ada satu ruangan, berbentuk balok. Berdasarkan ukuran rumah yang kulihat dari luar, ruangan ini jauh lebih besar dari yang seharusnya dapat ditampung rumah ini. Langit-langitnya tinggi sekali, dan di permukaan langit-langit terdapat tanaman rambat yang bebunganya warna-warni—istriku pasti akan senang jika kupetikkan beberapa buatnya, tapi aku yakin tak akan bisa menggapai bunga-bunga itu.

            

“Temani aku bermain, Pria Muda,” kata seorang wanita tua yang duduk di kursi roda, menghadap sebuah meja di tengah ruang.

            

Di atas meja itu terdapat papan catur. Berhubung aku lumayan suka catur, aku segera berdiri menghadapnya—ya, berdiri, sebab tak ada kursi untuk kududuki. Tetapi ada yang salah dengan buah-buah catur itu: kesemua buah putih, yang akan kumainkan, terdiri dari pion; sedangkan kesemua buah hitam terdiri dari menteri.

            

Tiba-tiba wanita tua itu menggerakkan salah satu menteri untuk membunuh salah satu pionku.

            

“Hei! Harusnya saya mendapat giliran pertama!” protesku.

            

“Ini papan caturku, dan akulah yang membuat keputusan,” balasnya, tanpa perasaan bersalah. “Sekarang, giliranmu.”

            

Kemudian aku tersadar: sang wanita tua mengenakan kalung dengan liontin emas berbentuk buah catur raja. Liontin itu seketika membuatku merasa tak berdaya.

            

Aku segera mengalihkan fokus dari kalung wanita itu.


Aku pun membunuh menteri yang barusan membunuh pionku.

            

Ia membunuh pionku lagi.

            

Aku membunuh menterinya lagi.

            

Dan begitulah terus, sampai akhirnya pion-pionku berada dalam posisi yang tak memungkinkan untuk membunuh. Maka, tinggal menunggu waktu sampai para menteri menghabisi para pionku.

            

“Menyerah?” tanya wanita tua itu.

            

Aku mengangguk.

            

“Nah! Sebagai gantinya, kau harus memetik bunga-bunga di atas sana untukku.”

            

“Apa? Tapi itu tinggi sekali!”

           

“Melompatlah!”

            

Aku tahu aku tak akan bisa. Tetapi aku merasa lidahku kaku ketika hendak memprotes.  Maka, aku melompat setinggi yang aku bisa … dan ternyata tak seberapa tinggi.

            

“Tarik napas yang panjang,” kata sang wanita tua, “tahan, lalu lompatlah!”

            

Aku mengikuti instruksinya. Dan, astaga, aku melompat tinggi sekali! Tanganku berhasil memetik sekaligus beberapa tangkai bunga di langit-langit! Namun, saking tingginya aku melompat, pendaratanku begitu mengerikan, sampai aku tergeletak di lantai tanpa bisa bergerak lagi. Bunga-bunga yang kupetik pun berserakan.

            

Sang wanita tua bangkit dari kursi rodanya dan melangkah ke arahku. “Terima kasih, Pria Muda,” ucapnya, seraya memunguti bunga-bunga itu. “Sepasang kakiku kini terasa jauh lebih baik.”

            

Mendadak aku merasa bersalah. “Apakah bunga-bunga yang saya petik sudah cukup?”

            

“Sebenarnya, tidak. Aku butuh semua yang ada di langit-langit.”

            

“Maafkan saya. Tetapi, sekarang mana bisa saya melompat?”

            

Tiba-tiba pintu dibuka dan masuklah seorang pria muda. Entah bagaimana, aku tahu bahwa ia jugalah seorang buruh ....

 

2/

 

Aku sedang berlibur bersama istri dan putriku di pantai. Ketika kami sedang berjemur seperti yang dilakukan para aktor di film-film Hollywood, tiba-tiba istri dan putriku berlari ke laut. Mereka berenang begitu cepat dan jauh. Aku berteriak, menyuruh mereka kembali, tetapi tampaknya mereka tak dapat mendengarku. Lalu, mereka tenggelam. Sesuatu di kedalaman laut seperti menarik kaki mereka!

            

Sebagai ayah sekaligus suami yang baik, aku cepat-cepat menyusul mereka ke kedalaman laut. Di dasar laut, aku melihat mesin-mesin pabrik berderet begitu panjang. Semua mesin itu memiliki tentakel-tentakel, dan beberapa tentakel menjerat istri serta putriku. Mata mereka terpejam, tapi aku tahu bahwa mereka belum mati. Aku bisa saja memotong tentakel-tentakel yang menjerat mereka, dengan sebilah pedang yang mendadak ada di genggamanku. Tetapi, aku tahu betul, tentakel-tentakel lain akan dengan cepat menjerat mereka jauh lebih kencang.

            

Dengan perasaan berdosa, aku pun berenang kembali ke permukaan laut. Saat lolos dari laut, tahu-tahu aku sudah berada di pabrik, bersiap untuk bekerja seperti biasanya. Suara debur ombak terdengar begitu jelas di sini, padahal pabrik ini terletak tidak dekat dengan pantai mana pun.


“Selamat pagi,” ucapku pada sebuah mesin pemotong, mesin yang paling sering kugunakan. Kemudian, aku mulai bekerja dengan giat.

            

Aku segera merasa istri dan putriku berada dalam situasi aman di dasar laut, dalam jeratan tentakel-tentakel itu.

 

3/

 

Aku dan puluhan orang lainnya yang tak kukenal berjalan di tengah dataran gersang. Di tangan kiri kami adalah obor yang menyala, satu-satunya sumber cahaya yang menembus kegelapan malam, dan di tangan kanan kami adalah sebilah pisau, satu-satunya senjata yang akan kami pakai untuk membunuh pasukan musuh yang, kata seseorang barusan, masih jauh di depan sana.

            

Aku baru pertama kali mengikuti rombongan petarung ini, sehingga kakiku terus gemetaran. Aku berusaha meyakinkan diri bahwa pertarungan besar yang akan datang itu penting dan layak untuk kujalani, sehingga ada yang mengikis kehendakku untuk kabur sesegera mungkin.

            

“Kau pasti bisa,” bisik seseorang di sampingku. Ia adalah pemilik pabrik tempatku bekerja.

            

“Bagaimana bisa Anda seyakin itu?” tanyaku, terbata-bata.

            

“Sebab, semua orang bisa.”

            

“Bagaimana bisa semua orang bisa?”

            

Tidak ada jawaban. Ia malah terbang dan lenyap di balik awan-awan.

            

Lalu api di oborku membesar, menjadi paling besar ketimbang api di obor-obor lainnya. Membesarnya api itu membuatku yakin bahwa api di oborkulah yang akan membunuhku, bukannya pasukan musuh.

            

“Hei, boleh kita bertukar obor?” ucapku pada seorang asing di depanku.

            

Ia tak menjawab.

            

“Hei, mau bertukar obor denganku?” ucapku pada seorang asing di belakangku.

            

Ia pula tak menjawab.

            

“Mau bertukar obor?” tahu-tahu seseorang di sampingku berkata. Aku mengenalnya. Ia adalah buruh dari pabrik saingan.

            

“Tentu saja!” balasku.

            

“Tapi, aku mau kita bertukar senjata juga.”

            

Aku langsung melirik pisau di genggamannya. Tidak, tidak ada pisau. Ia hanya memegang sebatang jarum dengan ujung jempol dan telunjuk.

            

Sebetulnya aku tak mau setuju. Tetapi mendadak obor dan senjataku sudah berpindah ke tangannya, begitu juga sebaliknya. Dan, ia melangkah begitu cepat jauh ke depan.

            

Beberapa jenak kemudian, barangkali karena tanganku terlalu licin, jarum itu terlepas dari apitan ujung jempol dan telunjukku, meluncur ke dalam retakan tanah.

            

Seruan pasukan musuh pun terdengar dari depan sana ....

 

4/

 

Aku mengayuh sepeda di permukaan danau yang tenang. Di boncenganku adalah atasanku. Ialah yang menyuruhku mengantarkannya ke pulau di tengah danau ini. Katanya, di pulau tersebut aku akan mendapatkan bonus berupa sebuah rumah yang nyaman, di mana aku bisa hidup sendirian tanpa mengkhawatiran istri dan putriku, sebab dinding-dinding rumah itu dapat menyerap segala kekhawatiran.

            

Mendadak jarum-jarum jam tanganku melaju begitu cepat. Kecepatan matahari dan bulan dalam mengelilingi Bumi pula meningkat drastis, sehingga cahaya dari langit seperti berkedip-kedip. Hari demi hari pun berganti tanpa terasa—secara harfiah.

            

Dari arah belakang, terdengar suara mobil melaju. Mobil itu, yang ternyata bergerak otomatis karena tampak tak dikemudikan oleh seorang pun, segera saja berhenti di depanku. Atasanku langsung menyuruhku berhenti, lantas turun dari boncenganku, dan melangkah mendekati mobil tersebut.

            

Atasanku membuka pintu jok belakang sebelum berkata, “Bukankah ini mimpi yang tak sulit untuk ditafsirkan, Pria Muda?” Kemudian ia masuk dan mobil melaju cepat ke pulau itu, meninggalkan aku yang tahu-tahu tenggelam.




*) Cerpen ini dimuat di Bacapetra.co pada 7 Agustus 2020.

SEBELUM MENCICIPI KEMATIAN -- Sebuah Cerpen

Sebelum Mencicipi Kematian

*Sumber Gambar: kurungbuka.com




Pemuda X melihat Bumi hancur ditabrak meteor berukuran dua kali planet itu. Setelahnya, semua gelap total, sebelum muncul tulisan “14 Februari 2XXX” di tengah kegelapan, entah apa maksudnya. Kemudian Pemuda X terjaga, merapikan tempat tidur, mandi, dan duduk di meja makan bersama Pemuda Y, kawan seapartemen yang pastinya telah lebih dulu bangun. Pemuda X menceritakan isi mimpinya barusan dan, sekonyong-konyong, wajah Pemuda Y memucat, lalu terbata-bata ia membalas, “Aku juga bermimpi seperti itu.” Pemuda X pun turut pucat. Udara di apartemen itu sontak dicemari kegelisahan.

            

Ternyata, di pagi yang sama, 6 Februari 2XXX, Pengusaha B digelisahkan mimpi serupa. Pun Gelandangan C, Filsuf D, Mucikari E, Wartawan F, Wakil Presiden G, Presiden H, dan yang lainnya. Saking banyaknya manusia yang mengalami mimpi serupa di pagi yang sama, dan saking banyaknya manusia yang menyadari bahwa mereka saling memimpikan hal serupa, malam hari di hari yang sama pun saluran-saluran berita hampir di seluruh dunia mengabarkan soal keanehan tersebut.

            

Keesokan siangnya, dengan suatu cara, akhirnya terbukti bahwa memang semua manusia di Bumi—kecuali para bayi dan orang-orang sekarat yang tak bisa berkomunikasi, sehingga tak bisa dimintai keterangan—bermimpi demikian. Mudah ditebak, para manusia pun berpikir: Bumi akan hancur minggu depan, tepat di hari Valentine, dan itu berarti kita harus menyiapkan sesuatu untuk menyambut kematian.

 

***

 

“Bagaimana kabar cita-citamu?” tanya Pemuda X.

            

“Entahlah,” balas Pemuda Y. “Yang jelas tidak mungkin tercapai dalam waktu dekat. Bukankah tidak mungkin ada remaja 19 tahun yang bisa menjadi bos dari sebuah bank besar?”

            

Pemuda X melangkah ke dekat jendela, memandangi langit mendung dan layangan yang lepas di sana. “Kalaupun cita-cita kita bisa tercapai sebelum Bumi hancur, tidak akan ada gunanya, kan?”

            

“Tidak ada gunanya.” Pemuda Y mengembuskan napas, kecewa. “Padahal, ibuku sering berkata bahwa tujuan utama dari hidup kita adalah mencapai cita-cita. Bukankah artinya kita mesti merevisi pemikiran itu sekarang? Apa yang bisa menjadi tujuan utama manusia, jika cita-cita sudah tak mungkin dicapai?”

            

Pemuda X berpikir sejenak. “Memuaskan nafsu?”

            

“Memuaskan nafsu?”

            

“Nafsu terliar, bahkan.”

            

Terjadilah keheningan beberapa jenak, sebelum Pemuda Y benar-benar memahami perkataan itu dan menyetujuinya.

 

***

 

Melalui berbagai media, pada 8 Februari 2XXX, pemerintah setempat mengumumkan soal akan diadakannya Perayaan Perpisaah sekaligus Perayaan Pra-Valentine yang diselenggarakan di setiap taman di kota itu, dari awal 13 Februari 2XXX sampai akhir dari hari, akhir dari Bumi. Pemerintah setempat akan menyediakan makanan, acara hiburan, dan banyak hal menyenangkan lainnya secara gratis, untuk memastikan setiap orang mati bahagia. Lalu ada keterangan tambahan berbunyi, “Perayaan ini pasti akan dilaksanakan, kecuali dalam waktu dekat manusia telah menemukan cara untuk pindah dan hidup di luar Bumi.”

            

Duduk di depan televisi, Pemuda X berkata, “Sebaiknya kita tidak usah hadir. Diam di apartemen yang nyaman ini jauh lebih baik.”

            

Pemuda Y mengerutkan dahi. “Kenapa?”

            

“Bayangkan seandainya bukan hanya kita berdua yang berpikir bahwa ‘memuaskan nafsu’ adalah alternatif dari ‘menggapai cita-cita’. Keributan macam apa yang akan terjadi?”

            

Pemuda Y tertawa kecil membayangkan keributan itu. Lantas ia bertanya, “Apa nafsu terliarmu?”

            

“Mungkin … mungkin, memerkosa mantan kekasihku. Sayangnya, ia sudah mati.”

            

“Kalau aku … mungkin, membunuh orang-orang yang aku benci.”

            

“Pasti menyenangkan, ya,” komentar Pemuda X. “Tapi, rasanya melakukan hal itu sungguh sia-sia sekarang. Memang apa bedanya mati sekarang, besok, atau enam hari lagi? Tak beda jauh, kan? Mungkin kau harus mencari nafsu lain.”

            

Pemuda Y terbahak-bahak.

 

***

 

Pemuda X dan Pemuda Y sedang ngopi di sebuah mall besar di kota itu, ketika Pemuda Y mencetuskan, “Bagaimana kalau kita menghambur-hamburkan seluruh uang kita? Bukankah segala hal dijual di sini?”

            

“Ide yang menarik. Bagaimana kalau kita lakukan sekarang, sebelum orang-orang lain berpikiran serupa, atau sebelum orang-orang lain ‘memuaskan nafsu’ dengan menjarah mall ini?”

 

***

 

Sembari menyimak berita di televisi, pada 12 Februari 2XXX, Pemuda X dan Pemuda Y menyiapkan segala hal untuk bersenang-senang di apartemen mereka sampai Bumi hancur. Tak ketinggalan, atas usul Pemuda X, mereka memasang berbagai pengaman pada pintu dan jendela, karena bisa saja nanti atau besok akan ada orang yang begitu bernafsu menyakiti mereka; pikiran negatif ini muncul berkat diberitakan banyaknya terjadi kejahatan di mana-mana (pasti karena pelampiasan nafsu), sedang para polisi begitu malas bertugas (pasti sebab sibuk melampiaskan nafsu masing-masing). Terlebih, Pemuda X dan Pemuda Y terus-menerus mendengar jerit ketakutan dari apartemen sebelah.

            

Dunia jadi terasa berantakan.

            

Akhirnya, 13 Februari 2XXX. Pemuda X dan Pemuda Y menikmati hidangan terlezat seraya menyaksikan siaran live Perayaan Perpisahan dan Pra-Valentine dari berbagai taman. (Untungnya para pekerja televisi masih mau bekerja menjelang akhir Bumi, tak seperti pekerja-pekerja lainnya yang memutuskan untuk libur.) Tak sesuai dugaan Pemuda X, perayaan itu tampak berjalan secara menyenangkan, tak ada tanda-tanda akan terjadi hal-hal jahat. Orang-orang memang banyak yang saling membenci karena kasus-kasus kejahatan kemarin, tapi hari ini mereka memutuskan untuk tak lagi mengingat-ingat hal tersebut, karena mereka ingin tenang di hari terakhir.

            

Setelah kedua pemuda selesai makan, Pemuda Y berkata, “Aku akan keluar dari apartemen ini. Toh, semua baik-baik saja.”

            

Saat itulah tiba-tiba Pemuda X meninju Pemuda Y hingga tumbang ke lantai. Pemuda Y belum sempat bereaksi apa-apa, ketika Pemuda X membuka paksa celananya. Beberapa serangan lagi Pemuda X berikan saat Pemuda Y mulai mencoba melawan. Hingga akhirnya, celana Pemuda Y sempurna terbuka, tubuhnya tak berdaya—tapi ia belum pingsan—dan Pemuda X membuka celananya sendiri.

            

“Maaf, Kawan. Inilah nafsu terliarku selama ini.”

            

Pemuda X memerkosa Pemuda Y di lantai. Pemuda Y tahu bahwa dirinya tak mungkin diselamatkan orang lain dari siksaan ini.

            

Pemuda Y kemudian pingsan, tepat saat Pemuda X mencapai klimaks.

 

***

 

Pemuda Y masih tergeletak pingsan di lantai saat Pemuda X, melalui televisi, menyaksikan orang-orang mulai menghitung mundur pergantian hari, seolah menantikan tibanya tahun baru.


Hari pun resmi berganti ke 14 Februari 2XXX.


Pemuda Y siuman, bangkit perlahan, dan melangkah tertatih-tatih untuk duduk di sudut ruangan.


“Maafkan aku,” kata Pemuda X, dengan perasaan bersalah. “Tak ada gunanya membalas dendam, kan?”


“Tak ada gunanya ....”

            

Pemuda Y pasrah menunggu tibanya meteor hari ini, begitu pula para korban kejahatan lainnya, begitu pula para pelaku kejahatan lainnya, baik yang didera perasaan berdosa maupun tidak.

 

***

 

Sayangnya, hingga 15 Februari 2XXX, Bumi belumlah hancur. Mungkin meteor itu agak terlambat, pikir orang-orang. Tapi, hingga besok, besok, dan besok, Bumi tak kunjung dihantam meteor. Orang-orang akhirnya berpikir, Jangan-jangan mimpi tetaplah mimpi ....


Pemuda X pun sadar bahwa kini membalas dendam tak akan lagi sia-sia bagi Pemuda Y.

            

“Bukankah Bumi sudah terlalu berantakan untuk tak jadi musnah?” kata Pemuda Y, seraya mendekati Pemuda X yang berdiri menghadap jendela. Tangan Pemuda Y yang memegang pisau tampak bergetar hebat, seperti Bumi yang hendak meledak. 




*) Cerpen ini dimuat di kurungbuka.com pada 9 Agustus 2020.