Minggu, 25 September 2016

POHON, API, REMBULAN, DAN LAPISAN TANAH TERBAWAH -- Sebuah Prosa


Ilustrasi oleh: Surya Gemilang



Ibuku adalah salah satu pohon yang menjulang di antara pohon-pohon lainnya, membentuk sebuah hutan yang tiap hari berisik selalu oleh daun-daun yang saling bergesekan sebab dijilati arus angin. Tiada lain ibukulah yang bersuara paling merdu, paling menenangkan jiwa, paling tahu bagaimana cara untuk membikin kedua sudut bibirku melengkung ke atas, hingga laksana bulan sabit.
            
Ayahku adalah api. Api dari segala macam api. Terpanas di antara panas-panas lainnya. Ia begitu mengerikan. Ia keluar dari mulut seekor naga merah yang teramat besar, meluncur mengoyak gelap malam dan kesunyiannya, kemudian melahap dedaunan pada dahan-dahan Ibu. Ibu pun menjerit nyaring. Daun-daunnya menghitam, mengerut, lantas hancur dan menghujani permukaan berumput yang juga dilapisi tirai Ayah.
            
Adikku adalah langit malam. Bocah itu hanya dapat bersiul pilu kala Ayah menjilati Ibu. Suluruh kengerian meliputi tatap matanya yang sedari lahir hingga kini teruslah sendu, sebagaimana lapisan tanah terbawah.
            
Dan, lapisan tanah terbawah itu adalah aku. Begitu jauh dari Ibu, Ayah, juga Adik. Aku mendapati semua kenyataan yang kuceritakan padamu ketika, setelah beribu-ribu tahun lamanya, akhirnya ada seseorang yang menggali tanah hingga mencapai tempatku.


Denpasar, 2015



*) Prosa ini dimuat di Bali Post pada tanggal 25 September 2016.