Minggu, 13 September 2020

LIBURAN YANG GANJIL, dan Puisi-Puisi Lainnya

 

*Sumber Gambar: Pinterest



Fragmen tentang Api

 

api di dadamu

membakar bunga dan kata

di lidahku

 

malamnya aku bermimpi

tentang sinta yang dibakar

dan rama menjilat abunya

 

semasih panas

 

(Jakarta, Mei 2019)



Fragmen tentang Air

 

aku tenggelam

dalam ludahmu:

 

namaku tisu

menyerap air.

 

tapi tak apa:

aku semakin mudah

 

membayangkan kau

menjilat tubuhku.

 

(Jakarta, Mei 2019)



Sepasang Kekasih, Putus

 

kita tak tahu: bumi-kah lepas dari orbitnya

atau orbit yang terhapus

 

kita tak tahu: kenapa pohon yang menyerap

darahmu kini terbakar dan hangus

 

kita tak tahu: pikirankah yang membeku

atau waktu mendadak kaku

 

kita tak tahu: kenapa tuhan, ketika menyamar

sebagai ilmuwan penemu, mengatakan bahwa

dunia tak pernah baru

 

(Jakarta, Mei 2019)



Menyiapkan Kematian

 

sabit maut menancap di kepalamu

nyawa masih merah ceri

terkurung lingkaran api

tapi kau tahu hujan

akan tiba tak lama lagi

 

maka kau mempercepat langkah

menuju rumah demi rumah

para teman pun saudara

mencari pisau-pisau kautancap

pada pucat tetubuh itu

 

sebab kini kaupaham:

pisau-pisau mestinya kausimpan

hingga mati, sebab jalan menuju akhir

dipenuhi tali-tali ajaib melintang

menghalang jalan

 

tali-tali menghanguskan setiap

bilah menyentuhnya

 

*

kau hanya belum paham:

pisau-pisaumu adalah benda ajaib

yang mudah larut di dalam daging

 

(Jakarta, Mei 2019)



Liburan yang Ganjil

 

saat kau tidur telungkup, pesawat landing

di punggungmu, aku turun dengan koper

yang roda-rodanya menggelitik kulitmu sampai

di puncak pantat, aku mendirikan tenda biru,

menancapkan empat pasak, membuat api unggun,

dan menghangatkan diri sambil menenggak ciu.

 

hingga berjam-jam kemudian, aku tak bisa

tidur; dengkurmu tak kunjung libur. kemudian

aku menoleh ke mulut gua itu; setengah mabuk,

dengan sebatang kayu terbakar, aku pun masuk

ke situ. liburanku berakhir dengan berembusnya

udara busuk, membuat api yang kubawa membesar

ke mana-mana, melahapku sekujur tubuh.

 

(Jakarta, Juni 2019)




*) Puisi-puisi ini dimuat di Becik.id pada 25 Juli 2020.


Selasa, 08 September 2020

MIMPI-MIMPI SEORANG BURUH -- Sebuah Cerpen

 

*Ilustrasi oleh:  Oliva Sarimustika Nagung 



1/

 

Aku menemukan rumah tua berukuran kecil ketika sedang berjalan-jalan entah atas tujuan apa di padang rumput ini. Penampakan rumah itu membuatku mual. Namun aku merasa tak memiliki pilihan lain selain masuk ke sana, berhubung hujan tampaknya akan tiba tak lama lagi, dan kehujanan bukanlah hal baik sebab demam membuat pekerjaanku di pabrik besok menjadi semakin tak menyenangkan.

            

Di dalam rumah ini hanya ada satu ruangan, berbentuk balok. Berdasarkan ukuran rumah yang kulihat dari luar, ruangan ini jauh lebih besar dari yang seharusnya dapat ditampung rumah ini. Langit-langitnya tinggi sekali, dan di permukaan langit-langit terdapat tanaman rambat yang bebunganya warna-warni—istriku pasti akan senang jika kupetikkan beberapa buatnya, tapi aku yakin tak akan bisa menggapai bunga-bunga itu.

            

“Temani aku bermain, Pria Muda,” kata seorang wanita tua yang duduk di kursi roda, menghadap sebuah meja di tengah ruang.

            

Di atas meja itu terdapat papan catur. Berhubung aku lumayan suka catur, aku segera berdiri menghadapnya—ya, berdiri, sebab tak ada kursi untuk kududuki. Tetapi ada yang salah dengan buah-buah catur itu: kesemua buah putih, yang akan kumainkan, terdiri dari pion; sedangkan kesemua buah hitam terdiri dari menteri.

            

Tiba-tiba wanita tua itu menggerakkan salah satu menteri untuk membunuh salah satu pionku.

            

“Hei! Harusnya saya mendapat giliran pertama!” protesku.

            

“Ini papan caturku, dan akulah yang membuat keputusan,” balasnya, tanpa perasaan bersalah. “Sekarang, giliranmu.”

            

Kemudian aku tersadar: sang wanita tua mengenakan kalung dengan liontin emas berbentuk buah catur raja. Liontin itu seketika membuatku merasa tak berdaya.

            

Aku segera mengalihkan fokus dari kalung wanita itu.


Aku pun membunuh menteri yang barusan membunuh pionku.

            

Ia membunuh pionku lagi.

            

Aku membunuh menterinya lagi.

            

Dan begitulah terus, sampai akhirnya pion-pionku berada dalam posisi yang tak memungkinkan untuk membunuh. Maka, tinggal menunggu waktu sampai para menteri menghabisi para pionku.

            

“Menyerah?” tanya wanita tua itu.

            

Aku mengangguk.

            

“Nah! Sebagai gantinya, kau harus memetik bunga-bunga di atas sana untukku.”

            

“Apa? Tapi itu tinggi sekali!”

           

“Melompatlah!”

            

Aku tahu aku tak akan bisa. Tetapi aku merasa lidahku kaku ketika hendak memprotes.  Maka, aku melompat setinggi yang aku bisa … dan ternyata tak seberapa tinggi.

            

“Tarik napas yang panjang,” kata sang wanita tua, “tahan, lalu lompatlah!”

            

Aku mengikuti instruksinya. Dan, astaga, aku melompat tinggi sekali! Tanganku berhasil memetik sekaligus beberapa tangkai bunga di langit-langit! Namun, saking tingginya aku melompat, pendaratanku begitu mengerikan, sampai aku tergeletak di lantai tanpa bisa bergerak lagi. Bunga-bunga yang kupetik pun berserakan.

            

Sang wanita tua bangkit dari kursi rodanya dan melangkah ke arahku. “Terima kasih, Pria Muda,” ucapnya, seraya memunguti bunga-bunga itu. “Sepasang kakiku kini terasa jauh lebih baik.”

            

Mendadak aku merasa bersalah. “Apakah bunga-bunga yang saya petik sudah cukup?”

            

“Sebenarnya, tidak. Aku butuh semua yang ada di langit-langit.”

            

“Maafkan saya. Tetapi, sekarang mana bisa saya melompat?”

            

Tiba-tiba pintu dibuka dan masuklah seorang pria muda. Entah bagaimana, aku tahu bahwa ia jugalah seorang buruh ....

 

2/

 

Aku sedang berlibur bersama istri dan putriku di pantai. Ketika kami sedang berjemur seperti yang dilakukan para aktor di film-film Hollywood, tiba-tiba istri dan putriku berlari ke laut. Mereka berenang begitu cepat dan jauh. Aku berteriak, menyuruh mereka kembali, tetapi tampaknya mereka tak dapat mendengarku. Lalu, mereka tenggelam. Sesuatu di kedalaman laut seperti menarik kaki mereka!

            

Sebagai ayah sekaligus suami yang baik, aku cepat-cepat menyusul mereka ke kedalaman laut. Di dasar laut, aku melihat mesin-mesin pabrik berderet begitu panjang. Semua mesin itu memiliki tentakel-tentakel, dan beberapa tentakel menjerat istri serta putriku. Mata mereka terpejam, tapi aku tahu bahwa mereka belum mati. Aku bisa saja memotong tentakel-tentakel yang menjerat mereka, dengan sebilah pedang yang mendadak ada di genggamanku. Tetapi, aku tahu betul, tentakel-tentakel lain akan dengan cepat menjerat mereka jauh lebih kencang.

            

Dengan perasaan berdosa, aku pun berenang kembali ke permukaan laut. Saat lolos dari laut, tahu-tahu aku sudah berada di pabrik, bersiap untuk bekerja seperti biasanya. Suara debur ombak terdengar begitu jelas di sini, padahal pabrik ini terletak tidak dekat dengan pantai mana pun.


“Selamat pagi,” ucapku pada sebuah mesin pemotong, mesin yang paling sering kugunakan. Kemudian, aku mulai bekerja dengan giat.

            

Aku segera merasa istri dan putriku berada dalam situasi aman di dasar laut, dalam jeratan tentakel-tentakel itu.

 

3/

 

Aku dan puluhan orang lainnya yang tak kukenal berjalan di tengah dataran gersang. Di tangan kiri kami adalah obor yang menyala, satu-satunya sumber cahaya yang menembus kegelapan malam, dan di tangan kanan kami adalah sebilah pisau, satu-satunya senjata yang akan kami pakai untuk membunuh pasukan musuh yang, kata seseorang barusan, masih jauh di depan sana.

            

Aku baru pertama kali mengikuti rombongan petarung ini, sehingga kakiku terus gemetaran. Aku berusaha meyakinkan diri bahwa pertarungan besar yang akan datang itu penting dan layak untuk kujalani, sehingga ada yang mengikis kehendakku untuk kabur sesegera mungkin.

            

“Kau pasti bisa,” bisik seseorang di sampingku. Ia adalah pemilik pabrik tempatku bekerja.

            

“Bagaimana bisa Anda seyakin itu?” tanyaku, terbata-bata.

            

“Sebab, semua orang bisa.”

            

“Bagaimana bisa semua orang bisa?”

            

Tidak ada jawaban. Ia malah terbang dan lenyap di balik awan-awan.

            

Lalu api di oborku membesar, menjadi paling besar ketimbang api di obor-obor lainnya. Membesarnya api itu membuatku yakin bahwa api di oborkulah yang akan membunuhku, bukannya pasukan musuh.

            

“Hei, boleh kita bertukar obor?” ucapku pada seorang asing di depanku.

            

Ia tak menjawab.

            

“Hei, mau bertukar obor denganku?” ucapku pada seorang asing di belakangku.

            

Ia pula tak menjawab.

            

“Mau bertukar obor?” tahu-tahu seseorang di sampingku berkata. Aku mengenalnya. Ia adalah buruh dari pabrik saingan.

            

“Tentu saja!” balasku.

            

“Tapi, aku mau kita bertukar senjata juga.”

            

Aku langsung melirik pisau di genggamannya. Tidak, tidak ada pisau. Ia hanya memegang sebatang jarum dengan ujung jempol dan telunjuk.

            

Sebetulnya aku tak mau setuju. Tetapi mendadak obor dan senjataku sudah berpindah ke tangannya, begitu juga sebaliknya. Dan, ia melangkah begitu cepat jauh ke depan.

            

Beberapa jenak kemudian, barangkali karena tanganku terlalu licin, jarum itu terlepas dari apitan ujung jempol dan telunjukku, meluncur ke dalam retakan tanah.

            

Seruan pasukan musuh pun terdengar dari depan sana ....

 

4/

 

Aku mengayuh sepeda di permukaan danau yang tenang. Di boncenganku adalah atasanku. Ialah yang menyuruhku mengantarkannya ke pulau di tengah danau ini. Katanya, di pulau tersebut aku akan mendapatkan bonus berupa sebuah rumah yang nyaman, di mana aku bisa hidup sendirian tanpa mengkhawatiran istri dan putriku, sebab dinding-dinding rumah itu dapat menyerap segala kekhawatiran.

            

Mendadak jarum-jarum jam tanganku melaju begitu cepat. Kecepatan matahari dan bulan dalam mengelilingi Bumi pula meningkat drastis, sehingga cahaya dari langit seperti berkedip-kedip. Hari demi hari pun berganti tanpa terasa—secara harfiah.

            

Dari arah belakang, terdengar suara mobil melaju. Mobil itu, yang ternyata bergerak otomatis karena tampak tak dikemudikan oleh seorang pun, segera saja berhenti di depanku. Atasanku langsung menyuruhku berhenti, lantas turun dari boncenganku, dan melangkah mendekati mobil tersebut.

            

Atasanku membuka pintu jok belakang sebelum berkata, “Bukankah ini mimpi yang tak sulit untuk ditafsirkan, Pria Muda?” Kemudian ia masuk dan mobil melaju cepat ke pulau itu, meninggalkan aku yang tahu-tahu tenggelam.




*) Cerpen ini dimuat di Bacapetra.co pada 7 Agustus 2020.

SEBELUM MENCICIPI KEMATIAN -- Sebuah Cerpen

Sebelum Mencicipi Kematian

*Sumber Gambar: kurungbuka.com




Pemuda X melihat Bumi hancur ditabrak meteor berukuran dua kali planet itu. Setelahnya, semua gelap total, sebelum muncul tulisan “14 Februari 2XXX” di tengah kegelapan, entah apa maksudnya. Kemudian Pemuda X terjaga, merapikan tempat tidur, mandi, dan duduk di meja makan bersama Pemuda Y, kawan seapartemen yang pastinya telah lebih dulu bangun. Pemuda X menceritakan isi mimpinya barusan dan, sekonyong-konyong, wajah Pemuda Y memucat, lalu terbata-bata ia membalas, “Aku juga bermimpi seperti itu.” Pemuda X pun turut pucat. Udara di apartemen itu sontak dicemari kegelisahan.

            

Ternyata, di pagi yang sama, 6 Februari 2XXX, Pengusaha B digelisahkan mimpi serupa. Pun Gelandangan C, Filsuf D, Mucikari E, Wartawan F, Wakil Presiden G, Presiden H, dan yang lainnya. Saking banyaknya manusia yang mengalami mimpi serupa di pagi yang sama, dan saking banyaknya manusia yang menyadari bahwa mereka saling memimpikan hal serupa, malam hari di hari yang sama pun saluran-saluran berita hampir di seluruh dunia mengabarkan soal keanehan tersebut.

            

Keesokan siangnya, dengan suatu cara, akhirnya terbukti bahwa memang semua manusia di Bumi—kecuali para bayi dan orang-orang sekarat yang tak bisa berkomunikasi, sehingga tak bisa dimintai keterangan—bermimpi demikian. Mudah ditebak, para manusia pun berpikir: Bumi akan hancur minggu depan, tepat di hari Valentine, dan itu berarti kita harus menyiapkan sesuatu untuk menyambut kematian.

 

***

 

“Bagaimana kabar cita-citamu?” tanya Pemuda X.

            

“Entahlah,” balas Pemuda Y. “Yang jelas tidak mungkin tercapai dalam waktu dekat. Bukankah tidak mungkin ada remaja 19 tahun yang bisa menjadi bos dari sebuah bank besar?”

            

Pemuda X melangkah ke dekat jendela, memandangi langit mendung dan layangan yang lepas di sana. “Kalaupun cita-cita kita bisa tercapai sebelum Bumi hancur, tidak akan ada gunanya, kan?”

            

“Tidak ada gunanya.” Pemuda Y mengembuskan napas, kecewa. “Padahal, ibuku sering berkata bahwa tujuan utama dari hidup kita adalah mencapai cita-cita. Bukankah artinya kita mesti merevisi pemikiran itu sekarang? Apa yang bisa menjadi tujuan utama manusia, jika cita-cita sudah tak mungkin dicapai?”

            

Pemuda X berpikir sejenak. “Memuaskan nafsu?”

            

“Memuaskan nafsu?”

            

“Nafsu terliar, bahkan.”

            

Terjadilah keheningan beberapa jenak, sebelum Pemuda Y benar-benar memahami perkataan itu dan menyetujuinya.

 

***

 

Melalui berbagai media, pada 8 Februari 2XXX, pemerintah setempat mengumumkan soal akan diadakannya Perayaan Perpisaah sekaligus Perayaan Pra-Valentine yang diselenggarakan di setiap taman di kota itu, dari awal 13 Februari 2XXX sampai akhir dari hari, akhir dari Bumi. Pemerintah setempat akan menyediakan makanan, acara hiburan, dan banyak hal menyenangkan lainnya secara gratis, untuk memastikan setiap orang mati bahagia. Lalu ada keterangan tambahan berbunyi, “Perayaan ini pasti akan dilaksanakan, kecuali dalam waktu dekat manusia telah menemukan cara untuk pindah dan hidup di luar Bumi.”

            

Duduk di depan televisi, Pemuda X berkata, “Sebaiknya kita tidak usah hadir. Diam di apartemen yang nyaman ini jauh lebih baik.”

            

Pemuda Y mengerutkan dahi. “Kenapa?”

            

“Bayangkan seandainya bukan hanya kita berdua yang berpikir bahwa ‘memuaskan nafsu’ adalah alternatif dari ‘menggapai cita-cita’. Keributan macam apa yang akan terjadi?”

            

Pemuda Y tertawa kecil membayangkan keributan itu. Lantas ia bertanya, “Apa nafsu terliarmu?”

            

“Mungkin … mungkin, memerkosa mantan kekasihku. Sayangnya, ia sudah mati.”

            

“Kalau aku … mungkin, membunuh orang-orang yang aku benci.”

            

“Pasti menyenangkan, ya,” komentar Pemuda X. “Tapi, rasanya melakukan hal itu sungguh sia-sia sekarang. Memang apa bedanya mati sekarang, besok, atau enam hari lagi? Tak beda jauh, kan? Mungkin kau harus mencari nafsu lain.”

            

Pemuda Y terbahak-bahak.

 

***

 

Pemuda X dan Pemuda Y sedang ngopi di sebuah mall besar di kota itu, ketika Pemuda Y mencetuskan, “Bagaimana kalau kita menghambur-hamburkan seluruh uang kita? Bukankah segala hal dijual di sini?”

            

“Ide yang menarik. Bagaimana kalau kita lakukan sekarang, sebelum orang-orang lain berpikiran serupa, atau sebelum orang-orang lain ‘memuaskan nafsu’ dengan menjarah mall ini?”

 

***

 

Sembari menyimak berita di televisi, pada 12 Februari 2XXX, Pemuda X dan Pemuda Y menyiapkan segala hal untuk bersenang-senang di apartemen mereka sampai Bumi hancur. Tak ketinggalan, atas usul Pemuda X, mereka memasang berbagai pengaman pada pintu dan jendela, karena bisa saja nanti atau besok akan ada orang yang begitu bernafsu menyakiti mereka; pikiran negatif ini muncul berkat diberitakan banyaknya terjadi kejahatan di mana-mana (pasti karena pelampiasan nafsu), sedang para polisi begitu malas bertugas (pasti sebab sibuk melampiaskan nafsu masing-masing). Terlebih, Pemuda X dan Pemuda Y terus-menerus mendengar jerit ketakutan dari apartemen sebelah.

            

Dunia jadi terasa berantakan.

            

Akhirnya, 13 Februari 2XXX. Pemuda X dan Pemuda Y menikmati hidangan terlezat seraya menyaksikan siaran live Perayaan Perpisahan dan Pra-Valentine dari berbagai taman. (Untungnya para pekerja televisi masih mau bekerja menjelang akhir Bumi, tak seperti pekerja-pekerja lainnya yang memutuskan untuk libur.) Tak sesuai dugaan Pemuda X, perayaan itu tampak berjalan secara menyenangkan, tak ada tanda-tanda akan terjadi hal-hal jahat. Orang-orang memang banyak yang saling membenci karena kasus-kasus kejahatan kemarin, tapi hari ini mereka memutuskan untuk tak lagi mengingat-ingat hal tersebut, karena mereka ingin tenang di hari terakhir.

            

Setelah kedua pemuda selesai makan, Pemuda Y berkata, “Aku akan keluar dari apartemen ini. Toh, semua baik-baik saja.”

            

Saat itulah tiba-tiba Pemuda X meninju Pemuda Y hingga tumbang ke lantai. Pemuda Y belum sempat bereaksi apa-apa, ketika Pemuda X membuka paksa celananya. Beberapa serangan lagi Pemuda X berikan saat Pemuda Y mulai mencoba melawan. Hingga akhirnya, celana Pemuda Y sempurna terbuka, tubuhnya tak berdaya—tapi ia belum pingsan—dan Pemuda X membuka celananya sendiri.

            

“Maaf, Kawan. Inilah nafsu terliarku selama ini.”

            

Pemuda X memerkosa Pemuda Y di lantai. Pemuda Y tahu bahwa dirinya tak mungkin diselamatkan orang lain dari siksaan ini.

            

Pemuda Y kemudian pingsan, tepat saat Pemuda X mencapai klimaks.

 

***

 

Pemuda Y masih tergeletak pingsan di lantai saat Pemuda X, melalui televisi, menyaksikan orang-orang mulai menghitung mundur pergantian hari, seolah menantikan tibanya tahun baru.


Hari pun resmi berganti ke 14 Februari 2XXX.


Pemuda Y siuman, bangkit perlahan, dan melangkah tertatih-tatih untuk duduk di sudut ruangan.


“Maafkan aku,” kata Pemuda X, dengan perasaan bersalah. “Tak ada gunanya membalas dendam, kan?”


“Tak ada gunanya ....”

            

Pemuda Y pasrah menunggu tibanya meteor hari ini, begitu pula para korban kejahatan lainnya, begitu pula para pelaku kejahatan lainnya, baik yang didera perasaan berdosa maupun tidak.

 

***

 

Sayangnya, hingga 15 Februari 2XXX, Bumi belumlah hancur. Mungkin meteor itu agak terlambat, pikir orang-orang. Tapi, hingga besok, besok, dan besok, Bumi tak kunjung dihantam meteor. Orang-orang akhirnya berpikir, Jangan-jangan mimpi tetaplah mimpi ....


Pemuda X pun sadar bahwa kini membalas dendam tak akan lagi sia-sia bagi Pemuda Y.

            

“Bukankah Bumi sudah terlalu berantakan untuk tak jadi musnah?” kata Pemuda Y, seraya mendekati Pemuda X yang berdiri menghadap jendela. Tangan Pemuda Y yang memegang pisau tampak bergetar hebat, seperti Bumi yang hendak meledak. 




*) Cerpen ini dimuat di kurungbuka.com pada 9 Agustus 2020.

SANG AHLI RACUN -- Sebuah Cerpen

 purple jungle and lake

*Sumber Gambar: Pinterest



Dengan bayi sekarat di gendongannya, Tajul memasuki Hutan Satani yang dipenuhi tetumbuhan subur berwarna ungu, hutan yang pada bagian tengahnya berdiri gubuk reot tempat tinggal sang ahli racun.


Menjumpai sang ahli racun adalah pilihan terakhir yang Tajul ambil setelah bayinya sekarat selama seminggu, meski tak sedikit orang yang menyarankannya untuk tak mengambil pilihan tersebut. Mereka berpikir bahwa lebih baik bayi itu menderita sampai mati, ketimbang Tajul mesti ikut mati dengan menjumpai sang ahli racun dan mengalami kehancuran organ-organ dalam tubuh. Atau, lebih buruk, Tajul dan bayinya mengalami hal menyakitkan itu bahkan sejak memasuki Hutan Satani yang telah sang ahli racun jadikan daerah kekuasaan, hutan yang dulunya sehijau rumput-rumput yang baru bertumbuhan di tanah makam Istri Tajul. Namun, berkat perasaan bersalah sebesar pepohonan di sekelilingnya kini, Tajul memutuskan untuk mengambil pilihan terakhir itu.


Tak lama, Tajul tiba di depan pintu gubuk sang ahli racun. Kata orang-orang, “Seandainya kau memasuki gubuknya, jangan menyentuh benda apa pun yang ada di sana. Apalagi sampai menelan makanan-minuman yang disajikan. Segala apa yang ada di sana pasti beracun. Kalau bisa, malah sebaiknya kau tak usah menghirup udara di dalam gubuk itu!” Dan Tajul berpikir, sangatlah mungkin bahwa pintu gubuk itu telah diolesi racun yang dapat menggerogoti kulit tangannya.


Tiba-tiba, pintu gubuk dibuka dari dalam. Tajul segera menghirup aroma tengik yang berembus dari dalam sana, segera tak sengaja menatap sepasang mata wanita paruh baya, wanita yang konon tatapannya sungguh beracun.


“Masuklah.”


Mendengar kalimat itu, Tajul tahu dirinya sudah tak mungkin lari dari hadapan sang ahli racun, sekalipun ketakutannya telah meluap secara hebat. Seolah-olah kalimat wanita itu meracuni kehendak Tajul untuk lari, sehingga kehendak tersebut mati seketika.


Melewati pintu masuk gubuk, Tajul menjumpai ruang persegi yang membuatnya dipenuhi perasaan tak nyaman. Berseberangan dengan pintu masuk, terdapat selembar tirai merah yang menutupi ruang-entah-apa di baliknya. Di tengah ruang, terdapat dua kursi berhadap-hadapan, seakan keberadaan ruang itu memang hanya untuk sang ahli racun dan Tajul—beserta bayi di gendongannya. Selain itu, tak tampak hal lainnya.


Diarahkan sang ahli racun, Tajul duduk di salah satu kursi, sedang wanita itu duduk di kursi satunya lagi. Duduk sedemikian dekat dengan sang ahli racun, Tajul merasa berada di dalam gelembung rapuh, sementara di luar gelembung adalah udara beracun yang panas.


“Mestinya aku menyuguhkan teh dan makanan ringan,” ucap sang ahli racun. “Tapi kau akan menyangka aku hendak meracunimu.”


“Tolonglah anakku ....” Suara Tajul bergetar.


“Aku tahu kau akan mengucapkan itu.” Sang ahli racun diam sejenak. “Dari aroma napasnya, aku tahu bayimu telah menelan racun dari bunga Alph belum lama ini. Racun itu memang mempunyai aroma khas. Tapi hanya orang-orang tertentu yang bisa membauinya, sehingga wajar jika kau tak menyadari aroma tersebut.”


Tajul menelan ludah. Ia harap wanita itu mau langsung mengobati bayinya, tanpa melontarkan pertanyaan-pertanyaan personal terlebih dahulu.


“Semestinya naga dewasa pun segera tumbang setelah keracunan bunga Alph,” sambung sang ahli racun. “Anehnya, bayimu—”


“Belum ada yang berhasil mengobati bayiku,” sela Tajul. “Lalu, aku berpikir, semestinya orang yang paling mengerti cara mengobati racun adalah orang yang ahli membuat racun—”


“Walaupun orang-orang di sekitarmu sepertinya curiga bahwa akulah yang atas suatu alasan meracuni bayimu, setelah meracuni istrimu,” tukas sang ahli racun. “Bukankah begitu?”


Tajul semakin ketakutan. Ia curiga, jangan-jangan wanita di hadapannya bukan hanya ahli membuat racun, melainkan pula ahli membaca pikiran.


“Jika bukan kau yang meracuni istriku, bagaimana bisa kau tahu bahwa istriku mati keracunan?!” Tajul tak menyangka ketakutan yang meningkat dapat menaikkan nada bicaranya. “Jarak antara tempat tinggal kita lumayan jauh. Lebih-lebih, tempat ini begitu terasing. Bukankah aneh bila kabar kematian istriku sampai kemari?!”


Sang ahli racun tersenyum licik. “Kau mencurigaiku sekarang?”


“Tentu saja!”


“Baiklah. Silakan pergi dari sini.


Tajul terdiam. Tatapannya terarah ke lantai. Ia hendak mengatakan sesuatu, tapi ia tergagap-gagap sehingga kalimatnya tak kunjung keluar secara tuntas. Akhirnya, Tajul menyerah untuk berkata, dan menatap sang ahli racun dengan tatapan memohon.


Sang ahli racun tertawa mengejek. “Seandainya kau memang mencurigaiku, kenapa kau masih ingin meminta pertolonganku?”


Tampaklah ketakutan di wajah Tajul semakin bertumbuh subur. Ia merasa gelembung yang mengurung—atau melindungi—dirinya menjadi bertambah rapuh.


“Bagaimanapun, aku akan menolong bayimu,” sambung sang ahli racun. “Kemarikan bayimu.”


“A-apa?”


“Biarkan aku menggendong bayimu. Tenang saja, aku tak akan meracuninya. Kalau memang itu yang kukehendaki, aku bisa meracuni air yang bayimu minum tadi pagi, sehingga tubuhnya membusuk secepat daun gugur mencapai tanah.”


Jeda beberapa jenak. Tajul tak kunjung menyerahkan bayinya.


“Aku memang benar-benar ingin menolong bayimu,” lanjutnya. 

“Aku paham, kehilangan adalah racun paling menyakitkan. Aku pernah merasakan racun itu saat suamiku membawa kabur bayiku bersama wanita simpanannya.”


Mendengar kalimat itu, Tajul lantas membiarkan sang ahli racun menggendong bayi sekaratnya. Sang ahli racun, dengan tatapan keibuan yang muncul secara tak terduga, tersenyum ke arah wajah sang bayi, lalu melantunkan sebuah lagu yang sering almarhum Istri Tajul lantunkan untuk membuat bayi itu tertidur. Suara merdu sang ahli racun membuat Tajul mematung. Membuat Tajul yakin bahwa tak akan terjadi hal buruk saat wanita itu membawa bayinya memasuki ruang-entah-apa di balik tirai merah.


Sang ahli racun keluar dari ruang tersebut sekitar tiga puluh menit kemudian, dan selama itu pula Tajul menunggu dengan sabar di kursinya. Bayi Tajul tak ada di gendongan sang ahli racun, bayi itu pasti ditinggalkan di dalam sana.


Setelah duduk di kursinya, sang ahli racun berkata, “Bayimu sudah sembuh.”


“Hah? Secepat itu?” Dengan gerakan cepat, Tajul langsung bersujud dan menciumi kaki wanita itu. Tersedu-sedu, Tajul bertanya, 


“Bagaimana caraku membalas kebaikanmu?”


“Biarkan aku menjaga bayimu.”


“Maksudmu, bayiku belum sepenuhnya sembuh, jadi kau mesti merawatnya selama beberapa hari?”


“Bukan begitu, Bodoh. Bayimu sudah sepenuhnya sembuh. Namun, aku akan merasa amat berdosa bila membiarkan ia tumbuh serumah dengan orang yang membunuh ibunya.”


Tajul terbelalak kaget dan bangkit perlahan. Gelembung rapuh yang melindunginya dari udara beracun panas pun pecah. Tajul baru akan menjotos rahang sang ahli racun, ketika tiba-tiba wanita itu berdiri dan menancapkan sebatang jarum kecil ke lehernya. Tubuh Tajul seketika lumpuh dan tumbang.


“Aku sudah bisa membaca hampir segalanya,” ucap sang ahli racun. 


“Karena bayi itu belum mati, berarti ada yang membuat racun Alph melemah. Dan, aku tahu betul, racun Alph hanya bisa menjadi selemah itu jika terkontaminasi air susu ibu.”


Tajul ingin melontarkan kalimat. Tapi lidahnya kaku.


“Kau mungkin ingin membela diri,” sambung sang ahli racun. “Tapi kau tak bisa membohongiku. Barangkali kau tak tahu bahwa saking kuatnya racun bunga Alph, ketika menyentuhnya pun kau telah keracunan. Tetapi, efeknya tak semematikan jika ditelan, setidaknya sampai dua minggu kemudian. Dan, kau yang ternyata telah keracunan pun mengeluarkan aroma napas khas yang sudah kuendus dari awal perjumpaan kita.”


Andai saraf-saraf di tubuhnya tak lumpuh, tubuh Tajul pasti akan bergetar hebat, karena ia merasa begitu ditelanjangi.


“Aku membayangkan kejadian ini: setelah kau meracuni istrimu lewat makanan atau minuman, istrimu itu langsung menyusui bayi kalian. Sayangnya, kau telat mencegahnya. Karena tak berniat untuk membunuh bayi itu, kau merasa berdosa dan membawanya kemari. Sungguh pilihan yang tepat.


“Dan, sebagai bentuk ucapan terima kasihku karena kau telah membawa bayimu kemari, pada jarum di lehermu itu telah kuoleskan penawar racun Alph, selain racun tak mematikan yang melumpuhkanmu hanya selama tiga jam.


“Omong-omong, kurasa kini sudah tiba waktu bagiku untuk mengucapkan selamat tinggal.”


Wanita paruh baya itu menghilang di balik tirai merah. Sekitar sejam kemudian, ia keluar dari sana dengan membawa bayi Tajul dan buntalan kain yang tersampir di punggung. Sang ahli racun lantas meninggalkan gubuk.


Ketika akhirnya tubuh Tajul tak lagi lumpuh, ia segera bangkit, mencabut jarum di lehernya, dan cepat-cepat keluar dari gubuk. Lalu, Tajul tercekat; tumbuh-tumbuhan di Hutan Satani kini tak lagi berwarna ungu, melainkan kembali ke warna yang semestinya. Tajul langsung menangis meraung-raung.


Tajul merasa lebih baik dirinya tetap dihinggapi racun Alph, ketimbang disiksa oleh racun paling menyakitkan, bernama kehilangan.




*) Cerpen ini dimuat di Cendana News pada 25 Juli 2020.