Jumat, 24 November 2017

SEBATANG POHON ITU ADALAH SEEKOR BINATANG -- Sebuah Cerpen





Orang-orang mengira bahwa aku adalah sebatang pohon. Padahal, aku adalah seekor binatang.
            
Dua bulan lalu, pada tengah malam, aku muncul begitu saja di lapangan ini—entah karena apa. Sedari muncul, batangku sudah setinggi 10 meter dan berdiameter 2 meter. Ketika pagi tiba dan aktivitas orang-orang dimulai, tak ada seorang pun yang tak terkejut begitu melihatku. Keterkejutan itu pun membuat mereka segera mengerubungiku.
            
“Oh, besar sekali!” seru seseorang. “Pohon apa ini?!”
            
“Aku bukan pohon!” sahutku. “Aku adalah binatang!”
            
“Hei! Kalian dengar suara itu?”
            
“Suara apa?”
            
“Ya suara itu!”
            
Aku menyahut lagi, “Itu suaraku!”
            
“Suara itu terdengar lagi!”
            
“Ah! Aku mendengarnya!”
            
“Yang mirip serdawa itukah?”
            
“Ya! Suara yang itu!”
            
Aku lantas menyadari: orang-orang itu tak mengerti bahasaku—sedangkan aku mengerti bahasa mereka. Maka, dapat disimpulkan, memberitahukan mereka bahwa aku ini adalah seekor binatang tidaklah mudah.
            
“Aku juga mendengarnya! Dan, kuyakin suara itu berasal dari pohon ini!”
            
“Bagaimana bisa sebatang pohon bersuara?”
            
“Bagaimana bisa pohon ini berada di sini?”
            
“Ini pohon pasti bukan sembarang pohon!” tiba-tiba si Tetua berkata. “Ini pohon pasti titisan Dewa!”
            
Berkat kalimat si Tetua itulah aku jadi dipuja-puja oleh banyak orang setiap hari. Di kemudian hari, aku dinamai Pohon Dewa oleh mereka.
            
Kalau kupikir-pikir, tak bisa aku menyalahkan mereka karena menyangka aku adalah sebatang pohon. Sebab, bukan hanya mereka saja yang menyangka demikian, melainkan ....
            
“Sejak kemarin, kuperhatikan kau berdiri terus di dekatku,” ucapku kepada si Makhluk Halus—entah ia laki-laki atau perempuan. “Apa yang sebenarnya sedang kaulakukan?”
            
“Sejak kemarin, aku adalah penunggumu,” sahutnya. “Yah, ini semua gara-gara pohon yang sebelumnya kutunggui ditebang oleh seseorang. Jadi, terpaksalah aku berpindah tempat dan menungguimu, meski aku sendiri tak tahu pohon apakah kau ini.”
            
“Aku bukan pohon! Aku adalah binatang!”
            
Si Makhluk Halus pun terdiam beberapa jenak. Matanya menatapku lekat-lekat. “Tidak mungkin,” ucapnya kemudian.
            
“Tapi aku tak berbunga pun berbuah, Makhluk Halus! Sebab, aku ini binatang!”
            
“Tapi, lihatlah, kau ini berbatang, bercabang, beranting, dan berdaun.”
            
“Tapi aku bermulut! Mana ada pohon yang bermulut?!”
            
“Di mana mulutmu? Aku tidak melihatnya.”
            
“Di puncak batangku, tertutup oleh daun-daunku!”
            
“Kalau memang ada, tapi tak terlihat, bisa saja dianggap tak ada, kan?”
            
Apakah semua Makhluk Halus semenyebalkan ini? pikirku.

***

Saban pagi, aku selalu ditemani oleh orang-orang yang berdoa—kepadaku—bersama. Setelah acara berdoa bersama usai, mereka akan meninggalkan sesajen masing-masing di sini, di tanah yang terselimuti bayangan daun-daunku. Kala siang tiba, mereka akan kembali kemari untuk membawa sesajen-sesajen itu pergi.
            
Kutegaskan, apa yang kupermasalahkan hanyalah kebinatanganku yang tak diakui. Aku tak peduli mau seperti apa orang-orang memujaku.
            
Omong-omong, sebelum aku ada, siapakah yang mereka puja?
            
“Orang-orang itu pintar memilih sesajen, ya,” kata si Makhluk Halus suatu waktu, terdengar agak tak jelas sebab ia berbicara sembari mengunyah wujud halus salah satu sesajen yang dipersembahkan buatku. “Eh, kau yakin tak mau memakan sesajen-sesajen ini? Enak, lho.”
            
“Tidak. Aku mempunyai makanan dan cara makanku sendiri.”
            
Perihal cara makanku, akan kujelaskan padamu: Aku memiliki akar, tapi aku makan bukan melaluinya—bagian itu hanyalah “alat untuk berdiri”—melainkan melalui mulut yang terletak di puncak batangku. Mulut itu mengeluarkan aroma yang “menarik” sehingga mangsaku akan memasukinya. (Biasanya, yang menjadi mangsaku adalah kaum insek dan aves.) Dan, tentu saja mulutku akan langsung bekerja begitu ada mangsa yang masuk.
            
“Kalau tidak memakannya, bagaimana bisa kau menikmati-secara-utuh pemujaan yang dilakukan orang-orang?”
            
“Aku tak perlu dipuja-puja seperti itu, meski aku tak mempermasalahkan pemujaan yang mereka lakukan!”
            
“Oh, baiklah .... Setidaknya, Kawan, aku senang kau dipuja-puja. Karena dengan begitu, aku bisa menikmati banyak sesajen setiap hari.”
            
“Oh ya,” sambung si Makhluk Halus, “perihal kebinatanganmu itu … jangankan mereka, aku yang belakangan ini terus bersamamu pun masih sulit memercayai bahwa kau adalah seekor binatang.”
            
“Tapi, seperti yang sudah kubilang, aku mempunyai mulut, Makhluk Halus! Mulut bukanlah ciri fisik tumbuhan!”
            
“Tapi, kan, mulutmu tak kelihatan, tertutup oleh daun-daunmu sendiri. Jadi, wajar saja mereka tidak tahu kalau kau mempunyai ciri yang sah sebagai binatang.”
            
“Lantas, aku mesti bagaimana?”
            
“Selain mulut, apa saja ciri sahmu sebagai binatang?”
            
Aku berpikir beberapa jenak. “Aku tidak berfotosintesis. Bukankah itu termasuk ciri binatang?”
            
“Hmmm … kurang memenuhi. Asal kau tahu, ada beberapa binatang yang berfotosintesis, semisal Elysia chlorotica dan Anemonia viridis.”
            
“Ada ciri yang lain?” sambungnya cepat.
            
“Aku memiliki penis dan anus, di bawah tanah.”
            
Si Makhluk Halus mengernyit. “Kau serius?”
            
“Ya.”
            
“Syukurlah kalau memang di bawah tanah. Jadi, aku dan orang-orang tak perlu melihatnya.”
            
“Oh ya, aku memiliki sistem saraf.”
            
“Hmm … ada ciri yang lain?”
            
“Ciri kebinatangan seperti apa lagi yang harus kumiliki?!”
            
“Tentu saja ciri kebinatangan yang mudah dilihat dengan mata telanjang.”
            
Aku merenung. Satu menit .... Tiga menit.
            
“Tak ada,” jawabku pada akhirnya.
            
“Ya sudahlah. Semoga hidupmu bahagia, Pohon.”

***

Tadi pagi, si Makhluk Halus tiba-tiba saja berkata, “Aku mendapat ide! Aku tahu bagaimana cara agar kebinatanganmu diakui!” dan terbang-pergi selama beberapa menit. Ketika si Makhluk Halus kembali—dengan terbang pula—ia membawa sebuah benda pipih dan menyangkutkannya di rantingku.
            
“Apa yang kaulakukan, heh?!” tanyaku.
            
“Lihat saja nanti, Kawan. Aku mencuri benda ini dari langit.”
            
Tak lama kemudian, datanglah dua orang laki-laki: bocah dan dewasa.
            
“Di sana!” si Pria berkata sembari menunjuk ke arah benda pipih yang disangkutkan di rantingku.
            
“Apa yang harus kita lakukan, Ayah?” ucap si Bocah. “Itu layangan kesayanganku!” Ia pun jatuh-terduduk di tanah dan menangis tersedu-sedu. “Ayah, panjatlah Pohon Dewa! Ambilkan layanganku! Kumohon!”
            
“Memanjat Pohon Dewa?!” Si Pria mendelik. “Itu adalah perbuatan yang sungguh tidak sopan, Nak! Bisa-bisa Pohon Dewa marah!”
            
“Pokoknya ambilkan, Ayah!”
            
Mungkin sebab tidak ingin mendengar tangisan si Bocah lebih lama lagi, si Pria akhirnya memanjati tubuhku. “Maafkan aku, Pohon Dewa,” ucapnya lirih. Tak butuh waktu lama baginya untuk menggapai layangan itu.
            
Tangisan si Bocah usai sudah.
            
Tiba-tiba si Pria tertegun. Tatapannya terpaku pada mulutku. “Apa itu?” gumamnya. Pria itu pun berjalan perlahan di dahanku, mendekati mulutku. “Bau ‘menarik’ itu ternyata berasal dari situ, toh.”
            
“Nah! Momen inilah yang kutunggu-tunggu, Kawan,” ucap si Makhluk Halus dengan antusias. “Sebentar lagi ia akan menyadari kebinatanganmu! Dan, saat ia sudah menyadari kebinatanganmu, semoga saja ia akan memberitahukan apa yang baru disadari-dirinya-seorang itu ke banyak orang!”
            
Si Pria lalu berjongkok di samping mulutku. Aku segera bersuara, berharap si Pria ketakutan dan segera turun.
            
“Eh? Dari situ juga, toh, sumber suaranya?” Tangan kanannya kemudian bergerak ... memasuki “jebakan”-ku.

Sayangnya, mulutku tak bisa berhenti bekerja—karena memang begitulah mulutku.
            
“Tolong!!!” pekik si Pria, seraya berusaha menarik tangan kanannya dari mulutku.
            
Si Bocah pun berlari menjauhiku, menghilang entah ke mana. Beberapa saat kemudian, si Bocah kembali kemari bersama begitu banyak orang. (Mereka tak membawa sesajen sama sekali.)
            
“Ayah di sana!” pekik si Bocah—ia menangis lagi.
            
“Tolong! Pohon ini bermulut!” pekik si Pria.
            
“Mungkin itu hukumanmu karena berani-beraninya memanjati Pohon Dewa!” kata seseorang.
            
“Kasihan suamiku!” ujar seorang wanita, sesenggukan. “Berikanlah ia pertolongan!”
            
Tangan kanan si Pria makin hancur di mulutku. Ia pun terjatuh—ke belakang—dariku begitu disentakkannya tangan kanannya dengan kuat hingga terputus. Segeralah tubuhnya menghantam tanah, lantas ia tak bergerak-bersuara lagi.
            
Orang-orang menjerit.
            
“Ini semua gara-gara kau, Makhluk Halus!” hardikku.
            
“Orang-orang akan segera sadar bahwa kau adalah seekor binatang!” balas si Makhluk Halus, bangga.
            
Beberapa orang lantas mengangkat jasad si Pria dan mengaraknya entah ke mana, diikuti oleh yang lainnya.
            
“Dewa tidak mungkin sebrutal itu!” samar-samar kudengar salah seorang dari mereka berkata, ketika jarak mereka sudah agak jauh dariku.
            
“Apakah tadi kalian dengar? Sebelum tewas, pria ini berkata bahwa Pohon Dewa mempunyai mulut,” kata seseorang yang lain. “Mana ada pohon yang bermulut?!”
            
“Kalau bukan pohon, lantas apa?”
           
“Jangan-jangan, sebenarnya Pohon Dewa itu adalah seekor binatang!”
            
“Kau dengar itu?” ucap si Makhluk Halus padaku, dan tersenyum puaslah ia.

***


Malamnya—masih pada hari di mana si Pria tewas—orang-orang dewasa, termasuk si Tetua, datang mengerubungiku entah buat apa. Masing-masing dari mereka membawa obor. Dan tampak marah.




*) Cerpen ini dimuat di Balipost pada tanggal 12 November 2017.

Selasa, 17 Oktober 2017

MINUM AIR KLOSET AGAR LEKAS SEHAT -- Sebuah Cerpen

*Ilustrasi oleh: Anja Arowana



“Sebaiknya Anda minum air kloset agar lekas sehat,” balas dokter itu setelah kuucapkan keluhanku. Sinting bukan main, kan?!
            
Barangkali Sijit, teman baikku, tidak kalah sintingnya karena telah merekomendasikanku untuk pergi ke dokter sinting itu.
            
“Kau sialan, Jit!” hardikku melalui ponsel sepulangnya aku dari tempat praktik si Dokter Sinting. “Kau bilang dokter itu dapat diandalkan! Rupa-rupanya dokter itu sinting!”
            
“Lho? Sinting bagaimana?” tanya Sijit.
            
“Masa aku disuruh minum air kloset agar lekas sehat?!”
            
“Kalau memang begitu suruhannya, ikuti saja.”
            
“Ikuti saja?! Kau sinting sebagaimana dokter itu, ya?!
            
“Dengarkan aku baik-baik, Babah.” Sijit berhenti sebentar. “Waktu salah seorang saudaraku sakit gede, tak ada seorang dokter pun yang bisa menangani penyakitnya, kecuali dokter yang kau anggap sinting itu. Kau tahu dia menyuruh saudaraku minum apa? Dia menyuruhnya untuk minum kopi campur telur mentah! Dan, saudaraku langsung sembuh begitu menuruti suruhan dokter itu!”
            
“Itu, kan, hanya kopi campur telur mentah, Jit! Bukan a-i-r k-l-o-s-e-t!”

***

Rasa sakit yang ganjil itu hinggap di perutku sejak sebulan yang lalu. Semula, kupikir aku maag. Maka, kuminumlah obat maag, tapi rasa sakit di perutku tak kunjung membaik. Hari demi hari, sejak rasa sakit itu muncul, perutku terus membesar—sedikit demi sedikit saja, sehingga tak langsung kusadari hal itu. Kala rasa sakit di perutku semakin mengganggu, aku memutuskan untuk tidak ngantor sampai rasa sakit itu lenyap—entah kapan. (Toh, meski tak bekerja, uang tetap menghujani rekeningku.)
            
Sebelum mendatangi si Dokter Sinting, tak kurang dari sepuluh orang Dokter Normal yang telah kudatangi, dan mereka semua tidak tahu penyakit macam apa yang hinggap di perutku. Sempat aku berpikir bahwa aku disantet .... Tapi, bukankah tukang santet dan semacamnya sudah pada punah di tahun 2040 ini?

***

Pagi ini—sehari setelah kudatangi si Dokter Sinting—begitu membuka mata, kudapati perutku sudah sebesar perut seorang wanita yang kandungannya berusia delapan bulan! Padahal, kemarin, ukuran perutku masih sekitar setengah dari ukuran perutku yang sekarang. Otomatis, baju-bajuku jadi pada tidak muat, sehingga aku mesti telanjang dari pinggang ke atas. Langkahku pun terasa berat. Perutku semakin sakit.
            
Masa, sih, aku mesti minum air kloset?! pikirku.

***

Entah kenapa kekasihku, Babah, tak bisa dihubungi pagi ini. Oleh karena itulah aku memutuskan untuk pergi ke rumahnya. Di depan gerbang rumah mewah tempatnya tinggal, aku bertemu dengan Sijit. “Kekasihmu tak bisa kuhubungi, dan itu membuatku khawatir,” jawab Sijit ketika kutanyai maksud kehadirannya kemari.
            
Kami pun masuk ke rumah Babah—pembantunya yang sudah pantas disebut “nenek” itu yang membukakan pintu—dan terbelalak begitu sampai di kamarnya.
            
“Ya ampun, Babah!” pekikku dan Sijit bersamaan.
            
Kekasihku tergeletak lemas di kasur, tanpa memakai baju. Wajahnya pucat, sepucat mayat—tapi ia masih hidup—dan perutnya .... Ya ampun!
            
“Kenapa kau tidak berinisiatif untuk mencarikan dokter buat majikanmu?” ucapku pada si Pembantu yang sudah tua, setengah membentak.
            
Si Pembantu tertunduk. “Maunya, sih, begitu, Nona. Tapi Tuan Babah melarang saya.”
            
“Aku sudah bosan bertemu dengan dokter!” sambung Babah, suaranya parau. “Mereka semua tidak berguna!”
            
Sijit berdeham. “Apa kau sudah minum air kloset?”
            
(Aku sudah dengar soal “minum air kloset” itu dari Babah kemarin, via video call.)
            
“Bah! Kau jangan sinting, Jit! Pasti ada solusi yang lebih baik untuk menyembuhkan penyakitku ini!”
            
Heninglah beberapa jenak.
            
Si Pembantu memberi isyarat minta diri, dan Babah mengangguk, lantas pergi dari kamar ini.
            
Sijit tiba-tiba tampak menahan tawa. “Barangkali, perutmu itu terus membesar secara ganjil karena rekeningmu terus menggendut secara sama ganjilnya!” Tawa Sijit lantas pecah. “Makanya, jangan kaucurangi bosmu sendiri!”
            
Babah mengerang sebelum berkata, “Sialan betul kau! Mentang-mentang kini aku kesakitan, dan rasanya hampir mati, kau malah mengingatkanku akan dosa-dosaku sendiri!”
            
Sijit tergelak lagi, kemudian berkata kepadaku, “Nah! Benar, kan, apa kataku? Kekasihmu ini kotor!”
            
“Aku tidak peduli pada kotor-bersih dirinya,” balasku, dengan wajah memerah.
            
Sijit mendecak-decakkan lidah. “Wah … wah .... Cinta dan uang sama-sama bisa bikin bodoh.”
            
“Mending kau pergi saja, Jit!” hardikku.
            
Wajah teman baik kekasihku itu sontak masam. Ia lalu berlalu dari kamar ini, tanpa kata-kata, sehingga tersisalah aku dan Babah.
            
“Biarlah dia pergi,” kata Babah lirih. “Kita tak memerlukannya.”
            
Tak terlalu lama kemudian, Sijit kembali ke kamar ini dengan segelas air di tangannya. Aku langsung tahu air apa itu sebab aromanya yang rada-rada tengik tercium jelas di hidungku.
            
“Kau mau meminumkan air kloset kepadanya?!” kataku.
            
“Jangan gila, Sijit!” Babah memekik parau. “Kau tidak boleh meminumkanku air kloset!”
            
Dengan gerakan cepat, aku pun merebut gelas itu dari tangan Sijit. Dan Sijit merebut gelas itu dari tanganku. Dan aku merebut gelas itu dari tangan Sijit. Dan Sijit .... Selagi kami saling memperebutkan gelas tersebut, kulihat Babah bangkit perlahan-lahan, dengan susah sungguh, lantas meninju rahang Sijit dari samping dengan teramat keras hingga teman baiknya itu pingsan.

***

Aku mulai berpikir bahwa apa yang sempat Sijit katakan padaku ada benarnya ....
            
Pada pagi ketika kudapati ukuran perutku bertambah drastis, ada uang yang masuk ke rekeningku dalam jumlah yang jauh di atas biasanya—kuketahui itu setelah aku mengecek rekeningku melalui internet.
            
Tunggu dulu .... Tidak ada penjelasan logis mengenai hubungan antara perutku dengan rekeningku! Toh, aku bermain curang sekali saja; uanglah yang terus-terusan menghujani rekeningku berkat kemenanganku dalam permainan itu. Memang, sih, rasa sakit yang ganjil itu mulai hinggap di perutku sehari setelah hari kemenanganku ....
            
Tapi, mana mungkin kekayaanku merugikan diriku sendiri?

***

Sijit tak mau lagi peduli pada kekasihku yang kini—empat hari setelah hari di mana Babah meninju Sijit hingga pingsan—hanya mampu tergeletak di kasur. Perutnya yang besar ternyata masih bisa bertambah besar. Rasa sakitnya yang hebat masih bisa bertambah hebat.
            
Sudah tiga hari aku menunggui Babah di kamar rumah sakit ini. (Akhirnya, setelah benar-benar kesakitan, ia mau dibawa ke rumah sakit, meski pihak rumah sakit ini mengaku belum mengetahui penyakit macam apa yang diderita olehnya—tapi mereka berjanji akan terus berusaha mencari tahu, dan untuk sementara ini Babah hanya dirawat sebisanya.) Pekerjaan Babah di kantor jadi semakin terbengkalai. Tapi Babah tak khawatir soal pekerjaannya karena tanpa ngantor pun uang akan tetap diperolehnya.
            
Setiap hari, seorang dokter dan seorang perawat selalu datang ke kamar ini; si Dokter menyuntikkan suatu cairan ke tubuh Babah, sedangkan si Perawat meminumkannya sebutir pil berwarna putih.
            
“Kenapa rasa air minumnya aneh betul?” kekasihku memprotes setelah berhasil menelan pil berwarna putih, dengan bantuan air minum tentunya, yang diminumkan oleh si Perawat hari ini. “Apa air minumnya sudah kadaluarsa, eh?”
            
Si dokter dan si Perawat lantas kebingungan. Aku pun pura-pura kebingungan dengan ucapan Babah. Sesungguhnya, telah kuganti air minum itu dengan air kloset. Untungnya air kloset di rumah sakit ini tidak berbau tengik, sehingga tak ada yang terasa ganjil sebelum Babah menenggaknya. Apakah aku sudah sinting karena telah melakukan hal itu? (Setidaknya, aku melakukannya demi kebaikan.)
            
Mendadak dari dalam perut Babah terdengar gemuruh yang ganjil. Ia jadi panik betul—sebagaimana aku—seraya menjerit sejadi-jadinya, terlebih ketika perlahan-lahan perutnya yang amat besar itu membesar!
            
Bukannya bertindak, si Dokter dan si Perawat malah menundukkan kepala. Mulut mereka terlihat bergerak-gerak kecil, seperti sedang merapalkan doa.

            
Tahu-tahu saja perut Babah meledak, mengguncang ruangan, membuat siapa pun yang hidup pada terkejut. Alih-alih darah, daging, dan lainnya yang masuk akal, cairan kental berwarna emaslah yang terciprat dari perut itu!



*)Cerpen ini dimuat di Malangvoice.com pada tanggal 14 Oktober 2017.

Sabtu, 14 Oktober 2017

Buku Terbaru: CARA MENCINTAI MONSTER



Ini adalah buku kedua saya, berupa antologi puisi. Sudah, itu saja .... Oh ya, jika ingin memesan buku ini, silakan klik di SINI. Harganya murah, cuma Rp 40.000--tidak semahal harga diri saya, kok. Bahahahahakkk!

Oh ya, sebelum tidur, cobalah periksa kolong tempat tidur Anda. Semoga tidak ada seekor pun monster di sana .... Amin.

Minggu, 13 Agustus 2017

ROMAN HUTAN dan puisi-puisi lainnya


*Foto: Dokumentasi Pribadi




Roman Hutan

gigi pun menguning
dan usia mengerak
di batang-batang pohon

lidah pun kerontang
dan perjalanan
cuma akar-akar mati

ludah pun surut
dan ombak di pangkal jantung
menjadi basah lumut

ciuman-ciuman kita yang rawan:
ketersesatan di tengah kemungkinan
terbesar

(Denpasar, 2016)



Menonton Film dari Langit

kita hujan kini di antara bulan dan bualan.
kita barisan awan lusa:
petani-petani yang menanam kemungkinan
di ladang yang tak ada mungkin.
kita tambatan bagi ajal yang terlambat
datang ke sekolah. kita hambatan
bagi bahasa yang tak tahu bagaimana
cara menjadi dahaga.
kita hujan kini di antara bulan dan bualan.
kita barisan awan lusa:
menyaksikan dua pasukan berkuda emas
saling membunuh untuk ketidakmungkinan.

(Denpasar, 2016)



Mobil Tua yang Resah

di samping mobil tua yang resah:
anjing berjongkok,
katak berjongkok,
lelaki berjongkok (dan membakar
rokok)

di dalam mobil tua yang resah:
sejarah dan ingatan
bertengkar hebat—membikin riuh
di antara gedung-gedung
yang sedang dibangun dan tak akan
jadi

di kediaman pemilik mobil tua yang resah:
“tidak. kita bukan rahasia
yang sia-sia. sebab,
tersisalah cuma musim yang
amnesia.”

(Denpasar, 2016)



Petualangan Diego di Akhir Puisi

selagi lukanya basah, diego mencari remah-remah
keyakinan yang rontok di sepanjang jalur

selagi dukanya basah, diego mencatat ulang
jasa-jasanya yang lupa dicatat zaman


(Denpasar, 2016)



*) Puisi-puisi ini dimuat di Litera pada tanggal 12 Agustus 2017.