Minggu, 09 Oktober 2016

KOTA, IA, DAN MALAM

Kota, Ia, dan Malam

/1/

dan menu makan malam yang
dicintainya pun perlahan mendekat,
menyebarkan aroma udara kota dari
uap kuahnya. dan ia tak pernah
sendirian di sana, meski di malam
yang paling sunyi sekalipun: paling
tak berbunyi dan tanpa ampun. dan
lagu-lagu penghabisan pun mulai
terdengar dari sudut kafe, dari lubang
speaker yang mengingatkannya pada
rakus malam juga tikus-tikus yang
memberi salam.

tanggal-tanggal pada kalender
rupanya tak lagi ada yang merah:
seluruhnya kelam, memeram
sejumlah dendam.

/2/

ia menetap di sana seperti sayap-sayap
kesedihan. di meja makannya cuma
ada makam malam. makam bulan.
dan jendela-jendela rumahnya yang
tak berkaca pun secara pelan-pelan,
tanpa ia ketahui, serempak memejam.
tapi ia tetaplah di sana seolah malam
adalah detik-detik pemakaman ibunya;
seolah malam adalah menu makan
malamnya. dan bohlam-bohlam lampu
di rumahnya yang selalu enggan menyebar
terang pun, secara diam-diam, mulai
memancarkan kegelapan.

berapa hari lagi hingga tanggal
merah tiba di kalender itu?

/3/

baginya, malam hari adalah saat
yang tepat untuk merekahkan dendam
yang dikeram, seumpama bibit-bibit
kantuk yang pudar dan karam. di saat
gelap dan lelap adalah dua hal yang
terus sambung-menyambung, maka
dirinya ingin menyabung mimpi dengan
kata “tetapi”. namun, malam yang satu
itu terlampau keji dan sepi, dan
memaksanya menyulut rokok tanpa
api.

di kemudian hari, tanggal-tanggal merah
yang lenyap pun muncul sebagai tanggal-
tanggal yang tak bermulut dan senyap.

Denpasar, 2016




Kasino Tua

/1/

di sebuah lelap, permainanmu yakin
akan dipertaruhkan oleh para perindu
mimpi. dan percayalah, mereka tidak
memburu, hanya biru merindu di antara
lirik-lirik doa yang semakin sendu.

di antara aroma apak ruangan dan basah
kesaksian, kita hendak bertaruh atas
permainan yang selama ini—ternyata
—telah mempermainkan kita: bertaruh
pada kata, pada hujan doa yang terbata-
bata.

lalu dari manakah jatuhnya koda yang
enggan berkata-kata?

/2/

ringkik kuda. tawa roda. serdawa
kaleng soda. posisi keempat adalah
titik lelap pada noda.

nada-nada yang bermuncratan dari
mulut senapan tidak akan membawamu
pada manuskrip tidur dan dansa spontan
yang meresahkan. lalu, di antara kisah dan
gelisah yang terasah, kau tak juga berjumpa
mata yang basah—sebagaimana kesaksian.
nada-nada yang kelak berlompatan dari atap
gedungmu pun tiada ingin bunuh diri. “mereka
hanya ingin bebas dalam sendiri.”

ringkik kuda. tawa roda. serdawa
kaleng soda. posisi keempat adalah
kematian yang menggoda.


Denpasar, 2016



*) Puisi-puisi ini dimuat di Medan Bisnis pada 9 Oktober 2016.

MALAM TIADA HENTI -- Sebuah Prosa

Tibalah hari ketika matahari tiada tampak dalam jangka waktu yang teramat panjang. Bola cahaya itu tiadalah bersembunyi di balik kulit mega-mega, maupun di balik selaput cakrawala malam kelam—tetapi kekelaman itulah yang sesungguhnya sedang abadi, sebagaimana malam yang hendak mencelakai Bumi. Di manakah sang mentari bersembunyi?
            
Seorang pria—penduduk desa—yakin bahwa matahari dicuri oleh seseorang. Seorang gadis yang terbungkus dalam sebuah kandang kumuh nan suram, beraroma tengik—mengundang muntah. Bisakah gadis “miring” itu berlaku sedemikian kejam? (Bukankah warga desa juga memperlakukannya sedemikian kejam?)
            
Kembalikan matahari! hardik si pria pada suatu malam yang sepi, kepada gadis yang “miring” itu. Kau akan mencelakai dunia!
            
Yang “miring” pun tersenyum miring, lantas tertawa terbahak-bahak dalam rangka merayakan kemenangan serta kewarasannya.
            
Kalimat-kalimat jadilah pedang; jadilah anak-anak panah; jadilah bom. Berperang! Hingga akhirnya yang “miring” mengacak-acak tumpukan feses—produknya—di sudut kandangnya. Lantas tergenggamlah sebuah bola oranye seukuran kepalan tangan. Ini matahari, ucap si gadis “miring” kepada si pria “lurus”. Lemparkanlah bola ini ke angkasa, maka kau akan melihat hasilnya.

            
Kemudian si pria “lurus”, penuh keraguan, melemparkan bola itu ke angkasa, hanya saja tak terjadi apa-apa. Ia ditipu! Ia murka! Tetapi ia tak pernah tahu bahwa matahari habis dimakan oleh para malaikat.



*) Prosa ini dimuat di Bali Post pada tanggal 9 Oktober 2016.