Kamis, 28 Januari 2021

PAK GURU BELAJAR MEMBUNUH -- Sebuah Cerpen

Setelah sepuluh tahun mengajar fisika di sebuah SMA, Pak Jose sadar bahwa murid-murid bodoh bukan mesti diberi ilmu pengetahuan; mereka hanya butuh dijadikan lahan tempat menanam biji-biji peluru. Ia sadar akan hal itu setelah pada suatu sore, ketika awan-awan serupa kumpulan ubi busuk mengambang, sepulangnya ia dari rapat guru yang membahas hal tak lebih penting dari celana dalam, ia mendapati seisi rumahnya persis pemakaman yang diobrak-abrik para hantu mengamuk. Sang putri dan sang istri, yang wajahnya dibuat seperti telur penuh tumpukan tahi ayam, memberi kesaksian bahwa pelakunya adalah sekelompok remaja, kira-kira berjumlah tiga puluh orang. Memang tak ada bukti pasti apakah remaja-remaja itu adalah tiga puluh orang yang kemarin diberinya nilai nol saat ulangan—karena ketahuan berbuat curang—tapi ia yakin: merekalah, murid-murid dengan otak berbahan nasi jamuran itu, para hantu mengamuk yang sesungguhnya.

Pak Jose pun teringat akan senapan mesin ringan ilegal dan sembilan puluh tujuh butir peluru yang ia simpan di gudang; benda-benda menyenangkan itu diwariskan kakeknya seusai perang, kakeknya yang kehilangan kedua bibir dalam pertempuran yang brutal, sehingga ia selalu tampak antara menyeringai kejam atau cabul, dan berdasar pengalaman kehilangan dua bibir sawo mentah itulah ia kerap berkata: “Setiap pemenang akan kalah dengan cara yang sama, setiap pecundang akan menang dengan caranya masing-masing.” Pak Jose tak pernah sepenuhnya memahami kalimat itu, tapi ia pikir itu terdengar segagah dada bidang berbulu yang mementalkan sembilan puluh tujuh peluru.

Ketika Pak Jose menyalakan lampu gudang yang membuat wajahnya tampak pasi, ketika Pak Jose memandangi peti penyimpan senapan dan peluru itu dengan tatapan Hawa saat melihat buah terlarang, sontak sebuah kalimat terngiang-ngiang kembali di kepalanya: “Orang-orang bodoh bukan sebab tak dididik, melainkan begitulah pilihan mereka.” Kalimat itu diucapkan oleh Hel, sahabatnya yang sebulan lalu tewas dengan meledakkan diri di sebuah kampus ternama, di mana ia bekerja sebagai dosen filsafat; Pak Jose sering membayangkan janggut gimbalnya terbakar dalam slow motion dalam ledakan itu.

Kalimat Kakek dan Hel terus berjoget dalam kepala Pak Jose, terus membuatnya tak bisa tidur, seolah para tetangga kompak mengadakan pesta dangdut sepanjang malam, hingga kantung mata Pak Jose seperti gumpalan lelehan plastik saat keesokan paginya mengajar, menghadapi empat puluh murid yang tiga puluh di antaranya, ia yakin, “bertamu” ke rumahnya kemarin.

Pak Jose mengajar seperti biasa, seolah tak terjadi apa-apa; ia memberi sebuah soal yang amat mudah di papan dan, seperti biasa, hanya sepuluh murid yang mampu menjawab. Mereka yang mampu menjawab adalah murid dengan ranking sepuluh besar, sepuluh murid yang tak memilih menjadi bodoh, sepuluh murid yang setahunya tak pernah berbuat curang, sepuluh murid yang tak akan membahayakan masa depan umat manusia, sepuluh murid yang tak akan ia jadikan hantu.

***

Jam istirahat tiba, ke ruang guru Pak Jose memanggil Ros si Ketua OSIS, dan guru itu membuka pembicaraan dengan gemetar, suaranya serendah jejak-jejak sepatu di lantai yang tak diperhatikan para guru lain di sana. Pak Jose mengatakan bahwa ia sangat mengapresiasi ketekunan Ros dan seluruh murid lain yang mendapat ranking sepuluh besar di sekolah itu, dan sebagai wujud apresiasi ia akan membayarkan mereka semua tiket pulang-pergi untuk liburan plus penginapan bintang tiga; mereka akan berangkat tujuh hari lagi ketika masa liburan dimulai, dan pulang tujuh hari kemudian saat masa liburan selesai. Ros tentu mengernyit, seakan yang ia dengar adalah sekolah mereka akan dipindahkan ke ruang angkasa, dan Pak Jose menambahkan, “Liburan kalian memang tak akan mewah, tapi saya menjanjikan kenyamanan.” Sebagai ketua OSIS, Ros pun diminta Pak Jose untuk mengkoordinasikan rencana liburan itu ke semua murid dengan ranking sepuluh besar di masing-masing kelas; rencana itu tak boleh sampai terdengar oleh satu pun guru lain atau murid di luar ranking sepuluh besar, sebab, “Orang-orang cemburu, Ros, adalah hantu-hantu paling jahat.”

Tiba-tiba guru agama itu, Pak Dong, melintas di samping Ros, dan tangannya yang seburuk daging dalam capit kepiting rebus pun mencolek dagu gadis tersebut, dan dengan suara sekasar angin laut musim hujan ia berkata, “Selamat siang, Ros cantik.”

“Selamat siang, Pak,” balas Ros, dengan wajah semerah cangkang kepiting rebus.

Pak Dong lantas pergi dari ruang guru, entah hendak ke mana, Pak Jose tak peduli, asalkan ia tak pergi ke neraka, sebab Pak Jose akan membutuhkannya.

Kepergian Pak Dong pun membuat Ros teringat sesuatu, dan sesuatu itu ia ingatkan pada Pak Jose: Masa liburan harusnya dimulai delapan hari lagi, dan tujuh hari lagi sekolah akan mengadakan perpisahan untuk guru agama itu.

“Kau benar, Ros,” balas Pak Jose. “Tapi tak masalah, guru agama itu akan memberkati ketidakhadiran kalian.”

***

Mampirnya Pak Jose ke rumah Pak Dong, pada malam hari lebih-lebih, adalah sesuatu yang pantas membuat guru agama itu terheran-heran, seolah yang bertamu adalah Tuhan atau kematian. Setelah melirik ke sekeliling dan memastikan tak ada siapa-siapa di ruang tamu selain mereka berdua, Pak Jose mulai membuka percakapan. “Apakah Bapak ingat waktu kita berbincang-bincang soal ‘kematian suci’? Saya ingin membahas itu lebih dalam. Saya tertarik dengan seratus bidadari perawan.”

***

Seraya merangkai sebuah bom di gudang, Pak Jose tersenyum-senyum sendiri: Ia membayangkan Pak Dong berdiri di podium lapangan sekolah dengan bom di balik seragam, ia membayangkan Pak Dong membawakan kisah para nabi dan mengucapkan salam perpisahan, ia membayangkan Pak Dong melompat ke kerumunan murid lalu hantu-hantu pun memenuhi lapangan. Ledakan itu tidak akan seberapa, tapi cukup untuk menghancurkan seluruh murid yang berkerumun, dan tak akan sampai menjangkau posisi para guru di sisi lain lapangan—kalaupun perhitungan Pak Jose salah dan ledakan menjangkau para guru, setidaknya ia yakin mereka tak akan sampai terbunuh. Entah Pak Dong akan bertemu seratus bidadari perawan atau tidak, Pak Jose tak peduli, yang ia pedulikan adalah betapa membahagiakannya sekolah andai hanya ada murid-murid pintar di sana.

Sebelum bepikir tentang bom, Pak Jose sempat memerbaiki senapan mesin ringan ilegal yang sang kakek wariskan, dan hendak menyuruh Pak Dong menembaki murid-murid sebelum menembak diri sendiri. Namun, setelah ia pikir-pikir, bomlah yang paling efektif dan efisien, meski ia jadi harus merepotkan diri lagi. Setelah bom selesai dirangkai dalam dua hari—tak sulit baginya, sebab bom ini tak sedahsyat yang ia buat untuk Hel—Pak Jose mengantarkannya langsung ke rumah Pak Dong, dan guru agama itu menyambutnya sehangat menyambut berkah-berkah yang tepat waktu. Ketika Pak Jose tuntas mengajarkan Pak Dong cara menggunakan bom, dan guru agama itu tersenyum seperti mendapat tawaran untuk melanjutkan penulisan kitab suci agamanya, Pak Jose seakan mencium wangi seratus bidadari perawan.

***

Para murid bodoh dan para guru telah berkumpul di lapangan sekolah, sedang murid-murid pintar itu, berdasar SMS dari Ros, telah tiba di Hotel Suwarga. Para murid bodoh berkerumun di utara podium, persis berhadapan dengan podium tersebut, sedang para guru berbaris di sebelah timurnya. Di antara para guru, Pak Jose tersenyum-senyum sendiri; ia tak sabar menunggu Pak Dong naik ke podium, membawakan kisah para nabi, mengucapkan salam perpisahan, dan ....

“Apa ada yang melihat Pak Dong?” ucap kepala sekolah lirih, kepada para guru.

Guru-guru lainnya saling bertukar pandang. Sebagaimana mereka, Pak Jose pun tersadar bahwa ia tak melihat Pak Dong sedari tadi. Angin berlari kencang dan menggoyang-goyangkan mik yang hampir jatuh dari podium; mik itu sendirian dan tak ada sang juru selamat yang akan menggenggamnya.

Diam-diam, Pak Jose menyelinap keluar dari barisan para guru, dan ia melangkah ke arah toilet; saat itulah mik akhirnya jatuh dari podium, dan speaker menembakkan suara yang membakar telinga. Tiba di toilet, Pak Jose menelepon Pak Dong. Telepon segera diangkat dan ia disambut dengan, “Selamat pagi!” yang guru agama itu ucapkan dengan terengah-engah. “Saya tidak jadi ke sekolah hari ini.”

Pak Jose mendengar desahan seorang perempuan dari seberang telepon, jarak sang pendesah terdengar seperti hanya sejengkal—atau kurang—dari telepon tersebut.

“Saya mendapat kabar dari Ros bahwa hari ini ia berada di Hotel Suwarga.” Pak Dong mengambil jeda sejenak, mengatur napas. “Jadi, saya cepat-cepat menyusulnya, dan akhirnya kami melakukan apa yang sedari lama kami inginkan!”

Desahan Ros terdengar semakin menjadi-jadi.

“Bom itu! Bagaimana, Bodoh?!” Pak Jose tak tahan untuk tak membentak.

“Hei, santailah! Bantuanmu tak akan saya sia-siakan!” Pak Dong terbatuk-batuk. “Setelah kami mencapai klimaks, Ros akan mengumpulkan semua murid di halaman hotel, dan di sanalah saya akan ....”

Pak Jose melempar ponselnya ke bak air, berlari pulang, dan mengambil senapan mesin ringan dari gudangnya.



*) Cerpen ini dimuat di Nongkrong.co pada 6 Januari 2021.

x