Kamis, 04 Januari 2018

KHIANAT MUSIM DAN SEORANG PRIA PERLENTE

Khianat Musim dan Seorang Pria Perlente


khianat musim sedang begitu dingin
pria perlente itu keluar dari sangkarnya
yang memagut detik:
akankah ada sapa dari nona-nyonya
di temali perjalanan?

ia tidak tahu …
sebab ia adalah ketidaktahuan itu sendiri

di perempatan jalan,
sunyi yang itu juga mulailah menyapanya
ia membalas dengan pesan sepi
yang membuatnya terlepas dari sangkar

lampu merah sedang nyalang
dan begitulah seterusnya
tapi pria perlente itu tak peduli:
ia sedang tidak berada di dalam sangkarnya

ia sedang bebas …
sebab ia adalah kebebasan itu sendiri

di seberang jalan,
waktu yang menghitungnya sedari tadi
mulai melambat—
tidak seperti di kandangnya;
tidak seperti di pandangnya

kendaraan-kendaraan yang berlalu-lalang
menghangatkan paru-parunya yang rapuh
dengan seporsi polusi:
entah berapa lama lagi alveolinya
dapat menahan ledakan dari dalam

ia sedang menghitung …
sebab ia adalah perhitungan itu sendiri

dan, setelah perjalanannya
membawa kelelahan,
tahu-tahu saja ia sudah berada
di dalam sangkarnya lagi

dan, setelah perjalanannya
membawa kekalahan,
tahu-tahu saja ia sudah berada
di titik awal perjalanannya lagi

ia tetap bahagia …
sebab ia adalah kebahagiaan itu sendiri

 

Rantai Waktu


merekam gumpalan-gumpalan ruang dan
patung-patung kecil. pencahayaan kadang-
kadang khianat layar kamera: kebenaran
yang lantas terungkap di layar komputer.

memilah barisan gambar yang seolah
menari dalam lamun mata robot. sepasang
kaki palsu yang tak bisa bergerak:
alasan benda itu dianggap layak pakai.

mengatur ukuran pita waktu. subwaktu
rupanya fana—bersedia dimanipulasi.

aku meludah pekat pemberitahuan;
aku menelan pekat pertanyaan



*) Puisi-puisi ini dimuat di http://linikini.id/linifiksi/4556/linifiksi-puisi-surya-gemilang pada 1 Januari 2018.

ATMAKU DI CANGKIR KOPIMU -- Sebuah Cerpen

 Kau tak pernah tahu bahwa atmaku merasuki cangkir kopi yang bibirnya selalu kaukecup berkali-kali tiap pagi. Yah, mumpung pintu akhirat belum terbuka buat atmaku, apa salahnya kalau aku menunggu di cangkir kopimu untuk entah berapa lama? Toh, kaulah yang membikinku mati sebelum ajalku yang sesungguhnya tiba. Tapi tak apa, aku tak marah padamu—lagi pula, mana ada lelaki yang bisa marah kepada wanita secantik dirimu?
            
Tiap pukul delapan pagi, tubuhku selalu menerima air mendidih yang kaugunakan buat melarutkan serbuk kopi. Setelahnya, aku akan merayakan kehidupan dengan upacara ngopi yang kau adakan di beranda rumahmu. Empuk bibirmu akan hinggap di padat bibirku berkali-kali hingga kopi di tubuhku habis—mengalir ke lambungmu yang dipenuhi rahasia.
            
Pukul sembilan pagi, lelakimu akan muncul dari balik gerbang, menyapamu yang duduk manis di beranda bertemankan tubuhku yang telah kosong dari kopi. Kalian lalu bercumbu mesra di hadapanku, dan tentu saja akan ada sesuatu yang diam-diam membara di dalam diriku. Tapi kini aku tak bisa berbuat apa-apa.


***

Namamu adalah Pisau. Setiap kau meletakkanku di rak bersama sekawanan piring, gelas, dan mangkuk—aku adalah satu-satunya cangkir yang kau punya—aku selalu dibayang-bayangi oleh kematianku sendiri.
            
Namamu adalah Pisau. Tapi kenapa waktu itu kau membunuhku bukan dengan sebilah pisau? Kupikir orangtuamu menamaimu seperti itu karena mereka ingin suatu saat kau membunuh seseorang menggunakan sebilah pisau.
            
Namamu adalah Pisau. Meski kau tak membunuhku dengan sebilah pisau, setidaknya kau membunuhku dengan sesuatu yang juga tajam. Sesuatu yang tajam itu menguras habis darahku, sebelum mengeluarkan atmaku yang kini berada di cangkir kopimu.
            
Namamu adalah Pisau. Di dapur di mana rak ini berada, kau sedang memasak sesuatu, dibantu oleh lelakimu.
            
“Bukankah aroma masakan ini membangkitkan gairah, Kapak?” tanyamu.
            
“Ya, sebagaimana aroma tubuhmu, Pisau.” Perlahan lelakimu melingkarkan tangannya, yang sedikit ternodai oleh suatu bumbu, di pinggangmu, dari belakang. “Tapi, apa yang sebenarnya sedang kita masak? Aku belum kau beri tahu.”
            
“Kita sedang memasak sesuatu yang luar biasa. Sesuatu yang bisa meledak,” jawabmu. “Jadi, masakan ini nanti akan kita makan bersama dalam satu piring. Jika kita memang berjodoh, maka makanan ini akan membuat kita bergairah. Tapi, kalau kita tidak berjodoh, kita berdua akan … BUMMM!!!
            
“Ledakan dari mulutmu membikinku kaget, Pisau!” Kapak pun menggelitik perutmu, dan kau cekikikan.
            
Diam-diam, sesuatu di dalam diriku meledak sekaligus bergairah.
            
“Setidaknya, kalau kita berdua meledak,” lanjut Kapak, “kita bisa bercinta di akhirat.”
            
“Jangan di akhirat, Kapak. Nanti para malaikat iri!”
            
Lantas kalian berdua tertawa terbahak-bahak.


***

Meja makan itu terletak di ruang makan yang terpisah tanpa sekat dari dapur, sehingga dari rak ini aku dapat menyaksikan kalian yang sedang makan bersama—sepiring.
            
Rupanya masakan itu tidak meledak, melainkan membuat kalian bergairah. Lantas kalian berdua memutuskan untuk pergi ke kamar tidur. Dan, kau membawa serta aku sebagai wadah air mineral yang telah melarutkan obat penguat—tumben-tumbennya yang kutampung bukan kopi.
            
Di meja di kamarmu, aku yang telah kosong—setelah lelakimu menenggak habis air mineral bercampur obat penguat itu—terduduk tanpa daya di samping sebuah ponsel yang tidur telungkup, mengeluarkan kefanaan musik jazz dari speaker-nya.
            
Oh ya, ini adalah percintaan kalian yang pertama. Dan terakhir ....


***

“Bagaimana permainanku tadi, Pisau?” tanya Kapak setelah berpakaian.
            
“Kau yakin ingin tahu jawabannya?” katamu, dengan raut wajah yang sungguh menantang dan membuatku ingin menerkam wajahmu!
            
“Tentu aku ingin tahu, Pisau.”
            
Kau malah cekikikan, Pisau. Kau malah cekikikan! Di wajah Kapak pun terlihat tanda tanya sebesar Empire State Building yang terus berdenyut karena memerlukan asupan jawaban sesegera mungkin.
            
“Cepat jawab, Pisau,” ujar Kapak, berlagak manja. “Apa permainanku tadi hebat? Apa permainanku tadi melebihi nikmatnya secangkir kopimu tiap pagi?”
            
Tiba-tiba ponsel di sampingku berhenti mengeluarkan kefanaan musik jazz dari speaker-nya.
            
Heninglah sejenak sebelum kau menjawab, “Sayangnya tidak, Kapak.”
            
“Tidak? Apanya yang tidak, Pisau?”
            
“Permainanmu tak melebihi kenikmatan secangkir kopiku saban pagi.”
            
“Tidak mungkin.” Suara Kapak bergetar, tatapannya menyiratkan ketidakpercayaan. “Kau pasti sedang bercanda, Pisau.”
            
“Tidak, Kapak,” balasmu. “Aku serius. Kau payah sekali. Malah cumbuanmu tak lebih nikmat dari cumbuan cangkir kopiku.”
            
Diam-diam ada yang berbunga-bunga di dalam diriku.
            
“Intinya,” lanjutmu, “kau payah secara menyeluruh.” Pisau, kau tersenyum. “Apalagi, punyamu itu terlalu kecil, Kapak.”
            
Kalimat terakhirmu yang begitu tajam, setajam namamu, itu pun menusuk leher Kapak. Darahnya langsung saja muncrat ke mana-mana, termasuk ke tubuhmu dan cangkir kopi di mana atmaku berada. Kapak taklah langsung mati. Terlebih dahulu ia megap-megap seakan seluruh oksigen sengaja menghindari dirinya yang tumbang ke lantai. Lama-lama, tubuhnya menjadi seperti sebuah pulau di tengah danau darah. Sementara itu, Pisau, kau hanya tertawa terbahak-bahak seraya meraih telingaku. Lalu kita berlalu dari kamarmu, meninggalkan Kapak yang sedang menuju kematiannya.


***

Namamu adalah Pisau. Kau membiarkan Kapak mati secara perlahan-lahan dan menyakitkan di lantai kamarmu.

            
Namaku adalah Kapak. Ya, Kapak adalah dan tetaplah namaku, sekalipun atmaku telah berpindah ke cangkir kopimu ini.




*) Cerpen ini dimuat di Semay Media pada tanggal 30 Desember 2017.

AGROPAKUS -- Sebuah Cerpen

 Agropakus, kakakku yang kini berusia 21 tahun, memutuskan untuk meniru jalan yang ditempuh oleh Robin Hood: mencuri dari orang-orang kaya dan membagikan barang-barang curiannya ke orang-orang miskin. Namun, lelaki itu taklah pandai memanah seperti Robin Hood. Setidaknya, ia jago mencuri.
            
Di kala senja mati dan sebagian besar penduduk kota telah terlelap, ia pun beraksi di balik topeng badutnya. Dimulai dari dalam rumahnya sendiri; apa saja yang ingin ia ambil, pasti diambilnya, termasuk barang-barangku yang dapat menunjukkan bahwa aku ini adalah seorang gadis dari keluarga bangsawan—kuizinkan ia, tiada lain sebab aku mendukung jalan Robin Hood yang diambilnya.
            
Kemudian Agropakus beraksi di rumah-rumah lain. Untuk mencapai rumah-rumah yang lain itu, ia melompat dari atap ke atap dan berjalan di kabel-kabel listrik yang terentang dari tiang satu ke tiang lainnya. Tentu itu berarti ia akan masuk ke rumah para “mangsa”-nya tidak melalui “pintu yang umum”.
            
Setelah barang-barang curian yang didapatnya dirasa cukup, ia pun bergegas menuju Tempat Sampah—sebutan kami, orang-orang kaya di kota yang bernama Saleagon ini, untuk permukiman orang-orang miskin di sebelah selatan sana, di luar wilayah kota—melalui jalur-jalur tersembunyi, dan bakal balik ke rumah sebelum pukul empat pagi.
            
Begitu orang-orang pada terbangun, orang-orang kaya yang rumahnya dimasuki oleh  kakakku semalam akan … begitulah. Maka, untuk melampiaskan amarah, mereka—termasuk kedua orangtuaku—bakal memarahi para penjaga rumah habis-habisan, dan para penjaga rumah bakal bersumpah bahwa tak ada seorang pun yang memasuki rumah semalam, karena rumah sudah dijaga depan-belakang-samping—namun mereka melupakan “atas”.
            
“Kalau tidak ada yang masuk ke rumah semalam, kenapa barang-barangku hilang?!” Demikianlah para majikan bakal membalas sumpah para penjaga rumah.
            
Aksi Robin Hood ini tidaklah setiap hari Agropakus lakukan; hanya kurang lebih dua minggu sekali, terkadang lebih. Itu karena sehabis Agropakus beraksi, pastilah para penjaga rumah akan menjadi lebih ketat dalam menjaga rumah majikan masing-masing. Barang dua minggu kemudian (biasanya), sebab tak kunjung kedatangan pencuri, para penjaga rumah akan mulai lengah; saat itulah ia kembali beraksi.

***

Tentulah yang paling dicurigai oleh orang-orang kaya Saleagon adalah orang-orang yang tinggal di Tempat Sampah. Maka, pada suatu pagi, berbondong-bondonglah para penjaga rumah, berbekalkan senjata-senjata mematikan, menuju Tempat Sampah. Dari puncak Bukit Gargan, aku dan Agropakus menyaksikan kekejian yang para penjaga rumah lakukan terhadap orang-orang miskin itu. Saking brutalnya, sampai-sampai aku menangis.
            
Tiba-tiba kakakku tertawa kecil. “Mereka tidak akan pernah menemukan barang-barang majikan mereka yang kucuri. Aku telah membuatkan tempat khusus bagi orang-orang miskin itu untuk menyembunyikan barang-barang curianku.”
            
“Di manakah tempat itu, Kakak?” tanyaku seraya menghapus air mata.
            
“Kau tidak perlu tahu.”
            
Dan memang pada akhirnya para penjaga rumah itu tak ada menemukan barang-barang majikan mereka sama sekali.
            
Di puncak Bukit Gargan pula, di pagi yang lain, aku dan Agropakus bercakap-cakap sembari asyik memandangi Tempat Sampah.
            
“Dua tahun sudah Kakak menempuh jalan Robin Hood,” kataku. “Kenapa tak ada perubahan apa pun yang terjadi di Tempat Sampah? Misalkan … lihatlah, rumah-rumah di sana tetap saja begitu, tanpa ada perubahan. Benarkah Kakak telah menyerahkan barang-barang hasil curian itu kepada mereka?”
            
Agropakus tersenyum miring. “Tentu sudah. Dan mereka memang tidak akan menggunakannya untuk membiayai renovasi rumah.”
            
“Lantas mereka menggunakannya untuk apa?”
            
“Kau tidak perlu tahu.”
            
Aku tahu aku tak perlu bertanya lebih pada Agropakus. Jikalau ia sudah berniat untuk merahasiakan sesuatu, rahasia tersebut pasti akan awet.
            
Yang terpikir olehku, tidaklah mungkin orang-orang miskin itu menjual barang-barang hasil curian Agropakus di Saleagon—Kau mengerti, kan, sebabnya? Orang-orang miskin itu bisa saja menjual barang-barang tersebut ke tempat-tempat lain.


***

Akhirnya, pada suatu malam, Agropakus terkelabui oleh sebuah perangkap yang dipasang di rumah seorang pria kaya yang biasa dipanggil Mona Luwir.
            
Malam itu pula, Mona Luwir menyeret Agropakus yang telah tak berdaya ke tengah sebuah lapangan olah raga—topeng badut yang dikenakannya ketika beraksi tak lagi menyembunyikan wajahnya. Hampir secepat angin badai kabar mengenai tertangkapnya Agropakus menyebar—disebarkan oleh beberapa orang penjaga rumah Mona Luwir—sehingga tak lama kemudian, ribuan orang telah mengelilingi Agropakus—yang tergeletak di tengah lapangan—dengan keterpanaan masing-masing. Mereka semua masih sulit percaya dengan apa yang mereka lihat.
            
Seorang gadis berusia 18 tahun dan kedua orangtuanya—yang juga orangtua Agropakus—yang semula tergabung dalam kerumunan itu segera saja berlari ke tengah lapangan, lantas berjongkok dan memeluk Agropakus sembari menangis tersedu-sedu.
            
“Para hadirin,” ucap Mona Luwir dengan lantang, “saya yakin bahwa orang yang saya tangkap ini adalah orang yang selama ini mencuri barang-barang kita! Dan, dia adalah salah seorang penduduk kota ini, bahkan berasal dari keluarga bangsawan!”
            
“Kembalikan barang-barang kami!” teriak seseorang dari tengah kerumunan, dilanjutkan dengan teriakan-teriakan dari yang lainnya.
            
Di tengah kebisingan yang berasal dari ratusan pita suara itu, mendadak langit malam mengeluarkan suara yang lebih bising. Demi mendengar suara yang lebih bising itu, berhenti bersuaralah mereka, lalu memandang ke atas. Samar-samar sebab terlapisi selaput malam, terlihat sebuah benda lonjong yang semakin lama semakin besar sebab semakin dekat dengan tanah. Angin yang bergesekan hebat dengan benda lonjong itulah yang menimbulkan suara bising.
            
“Sekarang, pertanyaanmu yang waktu itu terjawab sudah, Dik,” kata Agropakus, lirih, kepada adiknya sembari menatap langit malam.

“Mereka membeli benda yang sedang meluncur kemari itu dengan barang-barang curian Kakak?” tanya sang adik.

“Ya.”

“Memangnya, benda apa itu?”

“Itu adalah …”
           
Agropakus tak sempat menuntaskan kalimatnya. Benda lonjong itu sudah terlebih dahulu menyentuh tanah dan meledak.


***


Semula, aku kesal betul karena Ayah membatalkan liburan keluarga kami ke Saleagon. Tapi, kini aku malah bersyukur betul karena liburan keluarga kami dibatalkan, sebab hari ini, di televisi, diberitakan bahwa sebuah bom nuklir menghancurkan sekujur Kota Saleagon tadi malam!




*) Cerpen ini dimuat di Semay Media pada tanggal 29 Desember 2017.

CERITA-CERITA YANG DITUMPAHKAN LANGIT -- Sebuah Cerpen

Alih-alih air hujan, langit menumpahkan cerita-cerita ke kota itu dalam jumlah yang tak mungkin dihitung. Tak ada yang tak terheran-heran, termasuk kau. Bagaimanakah rasanya kehujanan cerita-cerita? pikirmu penasaran, tapi tak berani keluar dari rumah buat membiarkan diri kehujanan cerita-cerita, sebagaimana orang-orang lain yang juga penasaran, karena sama sekali tak mengetahui dampaknya.
             
Kala mendarat, sebagian besar dari cerita-cerita itu terpecah lalu lenyap, sedangkan sisanya terpental. Taklah masalah seandainya cerita-cerita tersebut hanya terpental ke langit, bukan ke arah-arah tak terduga seperti yang tersaji dalam kenyataan.
            
Sebuah cerita terpental ke rumahmu, tepatnya ke arah ibumu yang sedang memandang ke luar melalui jendela yang terbuka. Begitu mengenai ibumu, cerita itu langsung meresap ke dalam tubuhnya. Tiba-tiba, ibumu terjatuh ke lantai, menangis, dan memekik, “Di mana anakku?!”
            
Kau dan adik perempuanmu segera mendekati ibumu dan serempak berkata, “Kami di sini, Bu. Kami di sini.”
            
“Kalian bukan anakku!” balas ibumu sesenggukan.
            
“Hei! Kenapa kau ini?” ucap ayahmu setelah mendekat pula. “Jelas-jelas mereka adalah anakmu!”
            
“Bukan! Anakku masih bayi dan hanya satu!”
            
Kemudian kau tersadar bahwa wanita itu, untuk sementara, bukanlah ibumu lagi, melainkan tokoh seorang-ibu-yang-kehilangan-bayinya dalam cerita yang barusan meresap ke tubuhnya.
            
Kau lantas menatap ke luar melalui jendela yang terbuka itu. Dan, kau mendapati bukan ibumu seorang yang bernasib demikian; tetangga-tetanggamu yang kemasukan cerita pun sontak berubah kelakuannya: ada yang menjadi pemalu dan yang tak tahu malu; ada yang menjadi terlampau baik dan yang terlampau jahat; ada yang suka memakan manusia lain sesekali dan yang suka memakan manusia lain berkali-kali; dan lainnya.
            
Yang paling menarik perhatianmu adalah Tuan Fargo; pria itu berlari keluar dari rumahnya—cerita-cerita yang mengenai dirinya terpental ke berbagai arah, kalau tak terpecah lalu lenyap, karena ia sudah dimasuki oleh sebuah cerita yang terpental memasuki rumahnya melalui pintu yang terbuka—seraya berteriak, “Aku adalah Tuhan!” berkali-kali. Kau ingat betul tokoh apa yang sedang bersemayam di dalam Tuan Fargo; tokoh itu adalah tokoh utama dalam cerpen yang dimuat di sebuah koran nasional kemarin. Di akhir cerita, tokoh itu mengambil kesimpulan bahwa semua manusia di dunia ini, kecuali dirinya, adalah Tuhan. Karena kesimpulan itu, sang tokoh pun berhenti meneriak-neriakkan kalimat, “Aku adalah Tuhan!” kemudian kembali ke rumahnya, dan tidur dengan tenang. Kau mengasumsikan akhir dari cerita itu tak lama lagi akan ditemui oleh Tuan Fargo sebab yang meresap ke tubuhnya adalah cerpen. Lalu kau berpikir, Seberapa panjangkah cerita yang meresap ke ibuku? Bagaimana kalau cerita yang meresap ke ibuku adalah cerita yang sangat panjang, semisal novel?
            
Salah satu cerita yang jatuh ke tubuh Tuan Fargo terpental ke arahmu. Kau reflek menunduk. Dan, cerita itu mengenai ayahmu yang berada tak jauh di belakangmu, setelah melewati jendela yang terbuka. Begitu cerita tersebut meresap ke dalam tubuh ayahmu, ayahmu langsung tertawa terbahak-bahak. “Pemerintah sungguh lucu! Tapi orang-orang yang diperintah jauh lebih lucu!” serunya di sela-sela tawanya.
            
Ah! Kau mengenal kalimat itu! Itu adalah kalimat tokoh utama dalam cerpen karya salah seorang temanmu di Komunitas Penulis! Beberapa hari yang lalu, temanmu itu mengirim cerpen tersebut kepadamu via surel, memintamu untuk membacanya dan memberikan tanggapan. Kemarin, kau baru saja selesai membaca cerpen itu dan memberikan tanggapanmu—Bagus sekali! Aku suka cerpenmu!—melalui surel, kemudian ia membalas, Terima kasih banyak, Kawan! Kalau begitu, aku akan mengirimnya ke redaksi koran nasional hari ini. Tentu saja hari ini cerpen karya temanmu itu belum dimuat. Tapi, rupanya cerita(-cerita) yang belum dipublikasi pun turut bertumpahan dari langit.
            
Tiba-tiba kau teringat akan cerpen-cerpenmu yang belum dipublikasi, yang nasib tokoh utamanya begitu buruk. Bagaimana kalau cerpen-cerpen itu meresap ke tubuh orang lain? (Syukurnya, cerpen yang meresap ke tubuh ayahmu akan berakhir bahagia. Entah bagaimana dengan cerita yang meresap ke tubuh ibumu.)
            
“Yona, tolong jaga Ayah dan Ibu!” ucapmu pada adik perempuanmu sembari menutup jendela. “Aku harus melakukan sesuatu yang penting di kamarku!”
            
Yona mengangguk.
            
Kau pun cepat-cepat masuk ke kamarmu yang terletak di lantai dua, lantas menyalakan laptop. Kau hendak mengubah cerpen-cerpenmu—yang belum dipublikasi—yang suram itu menjadi cerah, sekalipun mesti membuatnya jadi jelek, agar siapa pun yang kemasukan cerpen-cerpen tersebut tidak menderita.


***

Dorrr!!!
            
Kau kaget. Kau lalu buru-buru keluar dari kamar—padahal baru satu cerpenmu yang berhasil kau cerah-kan—dan turun ke lantai satu. Di sana, kau terkejut sebab melihat ayahmu tergeletak di lantai, berlumuran darah, dan dahinya berlubang. Tak jauh dari jasad ayahmu, terduduk ibumu yang masih menangis; bukan menangisi ayahmu, melainkan menangisi bayinya yang hilang. Tak jauh dari ibumu, adik perempuanmu berdiri dengan sepucuk revolver—satu dari sekian banyak yang ayahmu koleksi—di tangan kanannya. Asap tipis masih mengepul dari moncong revolver itu.
            
“Yona! Kenapa kau membunuh Ayah?!” teriakmu, marah. Kurang dari sedetik setelah melontarkan pertanyaan itu, kau langsung yakin bahwa Yona sedang kemasukan cerita—entah bagaimana bisa itu cerita terpental-memasuki tubuhnya, padahal rumahmu, kau yakin, sudah tertutup-aman.
            
“Aku benci siapa pun yang tertawa!” balas Yona, sama marahnya denganmu. “Semua orang yang tertawa harus mati!”
            
Kau tercenung. Kau pun mengingat-ingat sesuatu tentang dua kalimat yang Yona ucapkan itu. Sementara kau mengingat-ingat sesuatu tersebut, Yona berlari ke luar karena didengarnya ada yang tertawa di luar sana, dan kau gagal mencegahnya karena Yona serta-merta menodongkan revolver di tangannya ke arahmu begitu kau hendak mencegahnya keluar.


***

Langit akhirnya berhenti menumpahkan cerita-cerita. Cerita yang meresap ke tubuh ibumu kebetulan telah berakhir; diakhiri dengan ikhlasnya sang tokoh dalam menerima kematian bayinya, sehingga ia dapat berhenti menangis. Tapi ibumu segera menangis lagi begitu mendapati suaminya telah mati.
            
“Dahinya berlubang! Ia pasti dibunuh!” ucap ibumu, sesenggukan. “Siapa yang telah membunuhnya?!”
            
Kau sengaja tak menjawab pertanyaannya karena takut perasaan ibumu semakin terpukul.
            
“Di mana Yona?” ucap ibumu lagi.
            
Dan kau lagi-lagi tak menjawab pertanyaannya ....


***

Kau pun menyusuri jalanan dengan sepucuk revolver tersembunyi di balik jaket setelah mengunci-meninggalkan ibumu di rumah bersama mayat suaminya dan tanda tanya yang terus bermunculan.
            
Di sepanjang perjalanan, matamu bergerak-gerak terus, mencari-cari adikmu sekaligus mengawasi setiap orang yang masih berada di bawah pengaruh cerita—barangkali ada di antara mereka yang menjadi berbahaya.


***

Kau tak menemukan adikmu di jalanan. Jadi, kau memutuskan untuk langsung menuju rumah kontrakan Vlosbon, salah seorang kawanmu di Komunitas Penulis. Kau tahu bahwa Vlosbon-lah yang menulis (manuskrip) novel tentang seorang tokoh yang berambisi untuk membunuh siapa pun yang tertawa—sebab dirinya sendiri tak bisa tertawa. Vlosbon sempat memintamu membaca manuskrip itu sebelum karya tersebut memasuki “masa revisi yang kelima” yang masih berlangsung sampai detik ini.
            
“Jadi, adik perempuanmu sedang memerankan tokoh utama dalam ceritaku itu?” Vlosbon bertanya, memastikan apa yang dirinya dengar darimu tidaklah salah.
            
“Ya! Bahkan ia telah membunuh ayahku yang tadi tertawa!”
            
“Padahal, tokoh utama dalam ceritaku itu, kan, laki-laki ....
            
“Barangkali, dalam beberapa cerita, perbedaan jenis kelamin tokoh utama dengan pemerannya taklah berpengaruh.”
            
Di luar, cerita-cerita kembali bertumpahan dari langit. Vlosbon cepat-cepat menutup jendela, lalu berkata, “Lantas, apa yang kauharap aku lakukan untuk menolongmu?”
            
“Kumohon, ubahlah ambisi tokoh utama dalam ceritamu itu.”
            
Vlosbon terbelalak. “Kau gila?! Justru ambisi si Tokoh Utama yang ganjil itu adalah daya tarik utama dalam ceritaku!”
            
“Tapi si Tokoh Utama sungguh berbahaya di dunia nyata! Dan, kisahnya panjang! Berakhir buruk pula!”
            
“Pokoknya aku tidak akan mengubahnya!”
            
“Kumohon, Vlosbon.”
            
“Tidak!”
            
“Kumohon ....
            
“Tidak! Tidak! Dan tidak!”
            
“Vlosbon ....” Tiba-tiba kau mengeluarkan revolvermu dari balik jaket dan menodongkannya ke Vlosbon. “Ubahlah ambisi tokoh utama dalam ceritamu itu, atau cerita tersebut akan tetap manuskrip untuk selamanya.”
            
Vlosbon jadi gentar. Sayang, keputusannya belum goyah. Demi membuatnya semakin gentar, otomatis jadi goyah, kau pun menembak langit-langit.
            
“Astaga! Apa-apaan kau ini, heh?!” Dari getaran suaranya, jelas Vlosbon bertambah gentar.
            
Kau tak sadar bahwa peluru dari revolvermu itu bukan hanya melubangi langit-langit rumah kontrakan Vlosbon, melainkan sampai melubangi atapnya. Sebuah cerita lantas jatuh tepat ke bagian atap yang berlubang itu dan menjumpai ubun-ubunmu. Tapi, kau merasa baik-baik saja setelah cerita itu meresap ke tubuhmu. Ya, baik-baik saja … sebab kau tak mempunyai cukup waktu untuk menyadari bahwa cerita yang meresap ke dalam tubuhmu itu adalah salah satu cerpen karyamu yang belum dipublikasi, yang belum sempat kauhilangkan kesuramannya sebab tadi kau terburu-buru keluar dari kamar karena mendengar suara tembakan—dan mendapati ayahmu telah tewas di tangan Yona. Cerpen itu mengisahkan tentang seorang lelaki, yang biasa-biasa saja, yang di akhir nanti dibunuh oleh adik perempuannya sendiri dengan sepucuk revolver.
            
Tiba-tiba Vlosbon cegukan. Dan, cegukannya yang begitu unik itu selalu mampu memancing tawa hampir setiap orang yang mendengarnya, termasuk kau ....



*) Cerpen ini dimuat di Semay Media pada tanggal 28 Desember 2017.