Jumat, 07 Februari 2020

PERMAINAN LUCU ALA MICHAEL HANEKE -- Sebuah Cerpen


Image result for funny games
*Sumber gambar: Screenshot film Funny Games (1997)




Namaku Arno Frisch, sebelum dipaksa berubah menjadi Paul.

Pada awal 1997, suatu malam, ketika aku sedang tidur nyenyak, Michael Haneke—sutradara asal Austria itu—tiba-tiba membangunkanku dengan satu colekan di dahi. Jangan tanya bagaimana bisa ia masuk ke kamarku. Tanpa tedeng aling-aling, ia berkata, “Aku mau kau bermain di filmku, sebagai seorang pemuda psikopat.” Tentu aku kaget bukan main, dan kurasa wajar saja andai aku marah pada ketidaksopanannya. Namun, karena pada 1992 aku bermain di filmnya, Benny’s Video, sebagai tokoh utama—waktu itu, ia menawariku peran dengan cara “normal”—kuputuskan untuk tak memarahinya, dan bertanya soal film yang akan dibuatnya itu. Secara singkat, beginilah kira-kira penjelasannya: Film tersebut berjudul Funny Games; aku berperan sebagai Paul; bercerita tentang sebuah keluarga yang sedang berlibur di sebuah rumah di samping danau, lalu mereka kedatangan dua orang tamu psikopat yang pada akhirnya membunuh mereka semua secara perlahan-lahan dan “lucu”.
            
Aku kurang ingat bagaimana Haneke mengakhiri pertemuan kami malam itu. Yang jelas, keesokan paginya, di meja makan, tahu-tahu telah tersaji secangkir teh, sepiring tafelspitz[1], skenario Funny Games, dan surat perjanjian. Sesudah menghabiskan teh dan tafelspitz, aku membaca skenario film tersebut hingga selesai, dari pagi sampai siang. Lantas, setelah berdecak kagum sambil memaki Haneke dengan suara lirih, aku menandatangani surat perjanjian itu.
            
“Terima kasih banyak, Paul,” sekonyong-konyong Haneke muncul di belakangku dan menyambar surat perjanjian itu, sebelum mendadak lenyap, seakan tubuhnya menyatu dengan udara. (Belakangan, aku bertanya-tanya, kenapa Haneke yang mengambil surat perjanjian itu, alih-alih Veit Heiduschka, sang produser?)
            
Karena saking sukanya dengan skenario Funny Games, tadi aku terburu-buru menandatangani surat perjanjian, sebelum membaca isi dari surat tersebut. Namun, sudah terlambat ....

***

Sekitar dua minggu kemudian, sesudah aku membaca skenario Funny Games berkali-kali, aku mendapat panggilan telepon dari Haneke, berbunyi, “Besok pagi, kita akan mengadakan rapat kecil-kecilan di sebuah studio. Di sana, kau akan kuperkenalkan dengan aktor-aktor lainnya. Oya, aku akan menjemputmu.”

Tapi nyatanya Haneke tak menjemputku; begitu terbangun, aku, dan tempat tidurku, tahu-tahu sudah berada di suatu tempat asing, yang perlahan-lahan kusadari adalah sebuah studio. Di sudut studio, terdapat sebuah televisi; kamera yang mengambil gambar di televisi itu berada di sebuah perahu kosong yang mengapung di tengah danau, dan di tepi danau tersebut terlihat sebuah rumah. Di samping televisi, duduklah Haneke seorang diri—tak ada siapa pun di studio ini kecuali kami berdua—yang segera menyambutku dengan, “Selamat pagi, Paul, ayo kita mulai sekarang.”
            
“Mulai apa?” tanyaku. “Rapat kecil-kecilan itu? Di mana yang lainnya?”
            
Dengan langkah-langkah tenang, Haneke mendekatiku. Kusadari ia memegang sebatang tongkat golf di belakang punggungnya. Ia pun duduk di tepi kasur, di sampingku, dan merangkulku dengan tangan yang tak memegang tongkat. “Hari ini kau akan kumasukkan ke dalam televisi itu.”
            
“Hah?”
            
Haneke berdiri, dan tanpa basa-basi ia menghantam kepalaku dengan tongkat golf! Aku tidak pingsan; tubuhku hanya mendadak tak berdaya, tatapanku berkunang-kunang. Aku masih dapat merasakan tubuhku yang diseret Haneke mendekati televisi, lantas ia angkat dengan bersusah payah, dan ia lempar ke dalam layar televisi tersebut!
            
Aku pun secara ajaib telah berada di atas perahu di tengah danau itu. Ternyata, dari posisiku sekarang, yang kulihat bukan hanya ada sebuah rumah di tepi danau, melainkan beberapa. Dan, di perahu ini rupanya aku tak sendirian; ada seorang pria lain, yang segera memperkenalkan diri sebagai Peter.
            
“Jadi,” kata Peter, “ayo kita mulai permainan ini. Aku pilih rumah yang itu sebagai target pertama, karena barusan kulihat ada sebuah keluarga yang baru sampai di sana.”
            
“Mesti buru-buru seperti inikah?” Suaraku bergetar.
            
“Oh ya, di film ini, bukankah kau yang seharusnya lebih dominan ketimbang aku?”
            
“Ya ....”
            
“Tapi kenapa kau sekarang terlihat seperti anak anjing sekarat?”

***

Kukira keluarga yang dimaksud oleh Peter adalah keluarga Anna, sang tokoh utama.
            
“Bukan. Keluarga Anna belum datang,” jelas Peter, seraya menyalakan mesin perahu. “Mereka yang baru datang adalah keluarga Fred. Keluarga yang akan kita bantai terlebih dahulu sebelum keluarga Anna.”
            
“Kita harus benar-benar membantai keluarga Fred?” sahutku, terbata-bata.
            
“Kau belum membaca skenario, heh?”
            
“Aku sudah membaca skenario, tentu saja. Maksudku, di skenario, bukankah tidak diperlihatkan adegan kita membantai keluarga Fred?”
            
Peter tertawa kecil, seakan melihat seekor anak anjing terbuang yang sedang bertindak bodoh di hadapannya. “Benar. Tapi, sesuai isi surat perjanjian, kita harus benar-benar membantai keluarga Fred juga. Bahkan, sesudah membantai keluarga Anna, walaupun film telah selesai pada adegan di mana kau memasuki rumah keluarga selanjutnya, kita tetap harus benar-benar membantai keluarga itu.”
            
“Kau dapat surat perjanjian, bukan?” lanjut Peter.
            
Perahu mulai melaju. Rasanya aku ingin segera tenggelam saja di danau ini, persis seperti yang Anna alami pada bagian klimaks film.

***

Setelah dipaksa membunuh tiga keluarga dalam permainan lucu ala Michael Haneke dan dibebaskan dari dalam televisi, aku cepat-cepat pergi ke psikolog.
            
Sepuluh tahun kemudian, ketika aku merasa kejiwaanku sudah sedikit membaik, aku melihat Michael Pitt di layar bioskop, dipaksa menjadi Paul dalam permainan lucu yang pernah kualami.



[1] Masakan terkenal dari Wina, berupa daging sapi yang direbus dalam kaldu, lalu disajikan dengan saus apel dan lobak.






*) Cerpen ini dimuat di Tatkala.co pada 25 Januari 2020.

MERAYAKAN KEMATIAN dan Puisi-Puisi Lainnya


*Sumber gambar: Pinterest




Seorang Penyair, di Suatu Tempat

di rumah ini seekor ikan dipaksa berenang
di udara, ide puisi yang hendak ditulisnya
mencari air laut untuk larut dalam

lendir bening pelumas miliaran mesin.
di luar rumah ini lautan membungkus rapat,
namun pasukan kucing selincah kalimat-

kalimat penyair kelas dunia berjaga
di setiap pintu, ikan itu melihat kesempatan
membunuh para mesiah berkembang-biak

di terumbu karang dalam tengkorak
kawanan manusia akan berevolusi
menjadi gerombolan kucing.

(Denpasar, Januari 2019)




Waktu + Saya

waktu itu saya diperkosa waktu.
waktu menjebol dinding kamar
lalu menyeret diri saya hendak tidur
nyenyak, jauh menuju hutan asing

yang terbakar. di sana waktu
bermain-main dengan penis + vagina saya:
vagina-waktu menenggelamkan penis-saya;
penis-waktu menyelam ke vagina-saya. aduh,

betapa menderita: sakit selangkang + tubuh
perlahan dijilat api mengepung. mendadak,
dibingkai api, saya melihat sebentuk wajah
bercahaya di langit malam, terbentuk oleh

awan-gemawan + burung-burung berputar.
wajah itu menatap lekat mata saya nanar
lalu saya merasa memahami sesuatu
yang belum mampu dicerna bahasa

di otak bocah ini. saya pun, sejak detik itu
hingga sekarang, masih diperkosa waktu
di hutan yang sama, tanpa api mengepung,
dengan luka-luka bakar di tubuh

perlahan membaik berkat hujan
obat-cair ditumpahkan wajah itu.
wajah tersebut memberi hadiah kepada
saya yang menikmati jalangnya waktu.

(Denpasar, Februari 2019)




Kematian Kesedihan

sungguh aneh: tak seorang pun
bersedih ketika kesedihan mati
pada malam itu, mereka segera
membikin pesta di seputar

makam tersebut: memanggang
daging-perjuangan dengan saus bbq,
meledakkan petasan-penyesalan
hingga langit benderang, menuang

bir-kebahagiaan ke gelas masing-masing,
mabuk hingga pertanyaan-pertanyaan
termuntah seluruhnya dari perut,
dan memainkan musik-kepuasan

sekeras-kerasnya hingga ketakpuasan
berhamburan dari lubang telinga,
menyatu dengan bayangan pepohon
di bawah bulan-kecewa.

esoknya, makam-kesedihan dikelilingi
makam-makam lainnya.

(Jakarta, Februari 2019)




Percobaan yang Terus Gagal

saya mencoba memahami
waktu membunuh
hari kemarin menanam
monumen-luka melontarkan
nanah meng-“ada”-kan
hari ini hari depan meneror
saya mencoba memahami
waktu membunuh
hari kemarin …

(Jakarta, Februari 2019)




Merayakan Kematian

bintang-bintang yang menjadi lemakku
meluncur mendekati tangga itu
menjadi lampu-lampu sorot agar kau
tak tersandung menuju sebuah pintu

dari bawah sini
kupandangi kau di titik tinggi
sementara tubuhku ini
makin mengurus makin mengering

(Jakarta, Mei 2019)




Satu Kejutan

1/

sebatang jarum
dalam daging bibirmu
cahaya bulan
dari selanya

di kencan itu
kau tahu aku akan
mengunyah bibirmu
seperti steik

maka kau sedikit
melukai diri
demi sebuah
kejutan

2/

ketika jarum itu menancap
dalam daging lidahku
aku mencecap
kata-kata asinku
menyumbat aortamu

(Jakarta, Mei 2019)






Dalam Kepala yang Tua

di dalam kepala tuanya
tampak seorang anak berbaju emas
bercelana emas bertopi emas

bersepatu emas bertopeng emas
di pulau seberang; kepala tuanya
tak paham bahwa bukan sepasang

mata tua melihat, sebab di dalam
sana telah menggenang laut emas
menyembuhkan tubuh tua dari

kematian mengikis perlahan-lahan.

*
di luar kepala tuanya
tampak seorang anak tak berbaju
tak bercelana tak bertopi

tak bersepatu tak bertopeng
di pulau seberang; kepala tuanya
memasang bibir senyum

untuk yang tak ada.

(Jakarta, Mei 2019)




*) Puisi-puisi ini dimuat di Nyimpang.com pada 11 Januari 2020.

REPORTASE TENTANG SEBUAH PUISI dan Puisi-Puisi Lainnya


*Ilustasi oleh: Surya Gemilang




Reportase tentang Sebuah Puisi

yang terjadi di puisi ini adalah
museum-museum menyelam ke perut tanah
kereta api meluncur keluar dari jalur
            memerkosa rumah-rumah yang teratur
perpustakaan mengaktifkan sistem pencernaan
            melebur buku-buku di lambungnya
munculnya lautan baru
di mana kau bisa menjaring air
air hujan dipaksa kembali ke langit
            sehingga bebunga tak jadi mekar
            sehingga api di rambutku tak jadi padam

yang terjadi di puisi ini adalah
aku semakin kehilangan definisi
keberadaanmu
ketika hendak membuatnya menjadi patung

(Jakarta, Agustus 2018)




Kata “Cinta” di Dalam Kamus

kau lupa kapan terakhir kali ada mata
menjilat tubuhmu yang berdebu.
mereka hanya membentuk
definisi tubuhmu sesuai

kehendak arus sungai di dalam
tubuh masing-masing. mereka pikir
tubuhmu sudah mendaging di kepala
dari tahun ke tahun, sehingga

tubuhmu tak diraba saban kamus
dijamah. maka, di luar kamus, terlihat
mereka mengunyah tubuh para kekasih,
mengatasnamakan tubuh putihmu yang agung.

(Jakarta, Agustus 2018)




Kabar Seekor Burung

setelah menelan bebiji puisi
di ladang penyair,
belulang di sayapnya rontok
bagai geligi busuk
di hari tua.

burung itu menyangka dirinya akan murung.
namun ia salah: rupanya ia masih bisa
diterbangkan bahasa, kepedihan, dan kesadaran.
lalu, di langit, sekonyong-konyong kakinya lenyap

umpama masa-masa muda.
burung itu tahu bahwa ia tak perlu murung,
sebab daratan tempatnya mendarat

kini menjadi variasi langit
yang kelak menjadi tempatnya

terjatuh dalam petualangan lain.

(Jakarta, September 2018)







Situasi-Situasi Batas

mungkin aku akan tetap duduk
di sini, memandangi seribu kemungkinan
jeda puitik bermekaran umpama bunga racun
di tubuhmu, beberapa meter dari mejaku.

mungkin akulah lelaki yang akan menjadi
bunga layu di meja kafe ini, pula pena
yang bingung harus mencatat apa tentangmu
dalam sebuah puisi di kelopak tubuhku.

mungkin aku tak perlu menghabiskan kopi ini;
aku tak sengaja menjadikan tubuhmu
sebuah metafora: kopi masam yang perlahan
menggelapkan kantukku.

aku ingin tetap terlena
dalam
tidur
dan
mimpi
dalam jeda puitik yang agung di tubuhmu
dalam jeda puitik yang kusunting terus-menerus.

(Jakarta, Agustus 2018)




*) Puisi-puisi ini dimuat di Bacapetra.co pada 20 Januari 2020.

Kamis, 06 Februari 2020

BOCAH DAN PISAU -- Sebuah Cerpen

*Ilustasi oleh: Mahdiduri




Mungkin beberapa saat lagi bocah itu akan membunuh ayahnya, mungkin pula tidak. Yang jelas, cita-citanya untuk membunuh sang ayah telah mengalami kemajuan: malam ini, ia sudah berani meraih sebilah pisau dari rak di dapur, meski dengan tangan gemetar, begitu mendengar ibunya dimarahi lagi oleh sang ayah di kamar mereka, tak ketinggalan pula mendengar rintihan-rintihan sang wanita malang dan bunyi tinju-tinju mengenai tubuh.
            
Ia sudah lama bercita-cita membunuh ayahnya, agar suasana di rumah kecil yang tampak akan roboh dua-tiga tahun lagi itu menjadi tenang. Lebih spesifik, ia ingin membunuhnya menggunakan pisau dapur bergagang merah muda, warna kesukaan sang ibu—Dengan begitu, kematian Ayah pasti akan mendapat nilai tambah di mata Ibu, pikirnya. Namun pada malam ketika ia akhirnya berani meraih pisau dapur, yang diambilnya malah pisau bergagang hitam, sebab pisau bergagang merah muda tak dapat ditemukannya. Apa pun warna gagangnya, tak masalah, yang penting Ayah mati.
            
Pelan-pelan, tanpa suara, bocah itu melangkah ke hadapan pintu kamar orang tuanya yang tertutup. Suara-suara yang dihasilkan kemarahan ayahnya terdengar makin jelas. Ketika ia mengintip ke dalam lewat lubang kunci, yang dilihatnya hanya hitam, seperti masa depan yang ia bayangkan setelah membunuh sang ayah—tapi itu tak menggugurkan cita-citanya—pasti sebab kunci tertancap di balik pintu.
            
Ia membayangkan beberapa kemungkinan: 1) ia membuka pintu, berlari menuju tubuh Ayah, dan menikamnya tepat di dada kiri; 2) ia membuka pintu, berlari menuju tubuh Ayah, dan menikamnya tak tepat di dada pun area vital lain—karena saking paniknya ia saat menyerang—sehingga pria yang kerap menyakiti ibunya itu tak mati, berkesempatan melakukan serangan balik, dan ia yakin dirinya yang bertubuh jauh lebih kecil akan kalah; dan 3) ia membuka pintu, berlari menuju tubuh Ayah, dan gagal menikamnya sama sekali, sehingga seketika dirinya akan dibuat mampus. Meski kemungkinan gagal lebih besar, dengan tangan masih gemetar, ia memberanikan diri meraih gagang pintu. Dan, ternyata pintu dikunci.
            
Sejenak hening di dalam sana, barangkali mereka berdua dikejutkan suara gerakan gagang. “Kembali ke kamarmu, Edo!” sang ayah berteriak. Teriakan mengerikan itu membuat sepasang kaki sang bocah bergetar. Tapi, ia tetap bertahan di sana. Seolah masih dapat merasakan keberadaan bocah itu di balik pintu, sang ibu melanjutkan, “Tidurlah, Edo. Besok kau mesti sekolah.” Suara itu bergetar dan penuh kasih sayang.
            
Edo pun masuk ke kamarnya; ia tak sanggup melawan kehendak Ibu, lebih-lebih ketika wanita itu sedang merana—seperti biasanya. Bagaimanapun, pisau bergagang hitam masih berada di tangannya; pisau tersebut, sembari ia telentang di kasur, digenggamnya dengan kedua tangan di atas dada. Seketika Edo teringat saat dulu ia suka tidur telungkup di atas tubuh Ibu, menempelkan telinga ke dada kirinya, dan degup jantung yang ia dengar seakan memberi semacam kekuatan hidup yang lembut. Mungkinkah pisau ini merasakan hal itu sekarang?
            
Kemudian ia teringat saat minggu lalu, di dapur, ia melihat Ibu menggunakan pisau bergagang merah muda itu dengan amat lihai buat memotong-motong daging ayam, untuk membuat sup. “Masakan kesukaanmu, Edo,” ucap sang ibu, sembari melirik ke arahnya dan memperlihatkan seulas senyum yang selalu ditunjukkan pada Edo setiap hari, tanpa berhenti memotong-motong. Lalu ingatannya berpindah ke pukul tujuh malam tadi, saat ia meminta Ibu untuk membeli daging ayam lagi, agar ia bisa menelan masakan kesukaannya itu. Namun, alih-alih pulang dengan membawa daging ayam, Ibu malah pulang bersama Ayah yang menjambak rambutnya seraya berjalan cepat. “Uang kita tinggal sedikit! Jangan belanja sembarangan!” bentak sang ayah di kuping Ibu. Ayah pun menyeret Ibu ke kamar mereka, dan bocah kecil itu, penuh keraguan, melangkah ke dapur buat meraih pisau bergagang hitam dengan tangan gemetar.
            
Tiba-tiba Ibu menjerit keras. Edo ditikam kebimbangan setajam pisau; ia ingin berlari ke kamar mereka dan menggedor-gedor pintunya yang terkunci, tapi di saat bersamaan ia tak mau melanggar suruhan Ibu. Setelah terdengar jeritan keras kedua yang hadir sekitar setengah menit setelah jeritan pertama, Edo memutuskan untuk melangkah cepat, tanpa suara, ke hadapan pintu kamar orang tuanya, dan—entah kenapa baru terpikir olehnya—mengintip ke dalam sana melalui lubang bawah pintu.

Ia tak melihat siapa pun di kamar itu, tapi ia melihat celana dalam Ibu tergeletak di dekat kaki ranjang yang berderit-derit. “Ucapkan, ‘Dagingmu enak sekali,’” ucap Ayah, di tengah napasnya yang memburu. “Dagingmu … enak sekali,” sahut Ibu, di tengah desah kesakitan.

Perutnya yang mencium lantai keramik dingin mendadak keroncongan; bocah itu belum mendapat makan malam berupa sup ayam yang ibunya janjikan.

Entah apa yang terjadi di atas kasur, Ibu kemudian menjerit lebih hebat lagi. Tubuh Edo bergetar semakin hebat, mungkin akan langsung tumbang andai ia tak sedang telentang di lantai. Teriakan tersebut mengingatkan Edo saat Ibu berjuang melahirkan adiknya sekitar setahun lalu, dan keguguran. Ah, tidak, tidak sekeras itu. Lebih tepatnya, teriakan itu sekeras saat, pada tengah malam keesokan harinya di tempat pemakaman umum, si Penjaga Pemakaman dan Ayah berusaha merebut mayat adik Edo dari pelukan Ibu. Peristiwa tersebut bermula dari istri si Penjaga Pemakaman yang menggedor-gedor pintu rumah dengan keras, membuat Ayah dan Edo terbangun, lalu segera berlari menuju pintu. “Istrimu menggila! Ia menggali makam bayinya!” kata istri si Penjaga Pemakaman, ketakutan. Ayah dan istri si Penjaga Pemakaman pun berlari ke pemakaman. Cahaya dari petromaks di tangan istri si Penjaga Pemakaman tampak seperti arwah berbentuk bola cahaya yang terbang mencari mayatnya. Edo sendiri mesti mengendap-endap ke tempat itu karena sang ayah sempat berkata, “Kau jangan ikut, Edo! Tidur saja lagi!” Dari balik sebatang pohonlah Edo melihat kejadian tersebut; apa yang paling tak dapat dilupakannya adalah mulut dan tangan ibunya yang dipenuhi darah, serta perut mayat adiknya yang telah koyak. “Biarkan ia kembali ke tubuhku! Ia mati karena menolak dunia luar!” pekik Ibu. Edo mendadak mual, segera kembali ke rumahnya, muntah di kamar mandi, dan berusaha tidur—meski tak kunjung bisa.

Baju Ibu pun tanggal ke lantai, di dekat celana dalamnya. “Anjing!” maki Ayah. “Pintar juga kau, ya!” Lantas ada sesuatu yang terpelanting ke lantai, ke dekat lubang bawah pintu di mana Edo mengintip. Bocah kecil itu terbelalak seketika. Benda yang terpelanting itu adalah pisau bergagang merah muda. Ibu kemudian terlihat turun dari ranjang dengan gerakan cepat, menggapai pisau itu, dan Ayah dengan cepat pula bergerak menyusulnya. Ibu langsung berbalik menghadap Ayah, dan Ayah tahu-tahu terjatuh dalam posisi menyamping. Wajah Ayah menghadap lubang bawah pintu, tatapannya berjumpa dengan tatapan Edo. Tatkala darah mulai keluar dari mulut sang ayah, bersamaan dengan air mata Edo yang tumpah, gerakkan mulutnya menunjukkan bahwa ia ingin menyebut nama anak laki-lakinya itu, namun tak ada suara yang keluar.

Edo cepat-cepat kembali ke kamarnya, tanpa mempertimbangkan kemunculan suara langkah-langkah kakinya yang pasti terdengar sampai ke dalam kamar Ayah dan Ibu, lantas naik ke kasur, menutup diri dengan selimut, sambil menggenggam pisau bergagang hitam itu di atas dada. Lama-lama, tanpa ia kehendaki, meski ketakutan sibuk menggigiti sekujur tubuh, akhirnya ia ketiduran.

***

Pisau bergagang hitam itu tak ada di tangannya kala Edo terbangun keesokan harinya. Mungkin cuma mimpi. Ia lantas mengucapkan, “Ibu!” dengan suara lantang, dan mendapat balasan, “Ibu di dapur, Sayang. Ayo sarapan!” Edo turun dari kasur, kakinya gemetaran selama melangkah. Langkahnya sangatlah pelan, seakan tubuhnya menolak untuk dibawa keluar dari kamar. Dan, tumben-tumbennya, Edo berharap ia akan melihat sang ayah begitu keluar dari kamar, sekalipun Ayah sedang memarahi Ibu—yang penting, nyata-atau-tidaknya kejadian semalam menjadi jelas.
            
Edo pun keluar dari kamarnya. Suasana begitu sepi. Dari situ Edo dapat melihat pintu kamar orang tuanya yang tertutup, entah terkunci atau tidak. Dengan langkah semakin pelan, ia mendekati pintu kamar tersebut. Kutub seakan berpindah ke belakangnya saat ia hendak mengintip ke lubang bawah pintu.
            
“Edo, ayo sarapan! Jangan sampai kau terlambat ke sekolah!”
            
Terbata-bata, bocah kecil itu menjawab, “Iya, Bu!” dan meninggalkan kamar yang tertutup di hadapannya, tanpa sempat mengintip melalui lubang bawah pintunya.
            
Di dapur, di atas meja makan, terlihat sebuah panci besar mengepulkan uap. Di belakang panci itu Ibu berdiri tegak, dengan seulas senyum yang selalu ditunjukkannya pada Edo setiap hari. Edo mengalihkan tatapan ke rak; di sana, pisau bergagang hitam dan pisau bergagang merah muda terdiam di tempat yang seharusnya, berdempetan, seperti sepasang suami istri yang mesra. Ia mengalihkan tatapan kembali ke Ibu yang mengisi salah satu mangkuk dengan sup, dan berkata, “Masakan kesukaanmu, Edo.” Edo kemudian duduk di hadapan mangkuk tersebut. Ia menatap potongan-potongan daging yang berenang-renang di sana dan berpikir, Daging ayam tidak tampak seperti ini. Ia menatap Ibu. Ibu tersenyum semakin lebar. Ia menatap kedua pisau di rak lagi. Dan ia merasa semestinya ia mengintip melalui lubang bawah pintu kamar orang tuanya terlebih dahulu sebelum mulai sarapan.
            
“Edo, kenapa kau bengong?”
            
Tangan Edo kontan gemetaran seperti tadi malam. Ia ingin cepat-cepat meraih pisau bergagang hitam itu.




*) Cerpen ini dimuat di Biem.co pada 25 Januari 2020.