Jumat, 27 Oktober 2023

BOCAH-BOCAH ITU MEMBUAT VIDEO ANEH -- Sebuah Cerpen

*Ilustrasi: istockphoto.com


“Ini baru bagian awal—perhatikan baik-baik,” kata Adam, menggeser posisi duduknya mendekati Hawa, dan kasur berderit. “Pertama, mereka akan telanjang. Lalu, lebih aneh dari itu!” Tangan Adam yang memegangi ponsel bergoyang, dan Hawa memegang punggung tangan bocah lelaki itu sebagai penyangga.

“Oh ya,” lanjut Adam, “mereka berdua bicara dalam bahasa Inggris, bukan?”

“Bahasa Inggris. Tapi aku tak paham apa pun,” balas Hawa, mendekatkan tangan Adam yang memegang ponsel ke wajahnya, sebab cahaya dari jendela kamar membuat layar silau. “Bahasa Inggris di tempat kursusku tidak sesulit ini. Mereka berdua bicara terlalu cepat.”

Raung mobil-mobil terdengar dari jalan di depan rumah. Adam mengambil earphone dari samping bantal, lalu mencolokkannya ke ponsel, dan memasangkan earphone kiri ke telinga kanannya sendiri, dan memasangkan earphone kanan ke telinga kiri Hawa, sebelum bocah lelaki itu menaikkan volume video hingga lima puluh persen. Kemudian ia menjulurkan kaki, untuk menekan tombol off pada kipas angin di samping kasur dengan jempol kakinya. Sempurna: kini percakapan dua orang dewasa itu semakin jelas.

“Ada kata-kata yang kau pahami?” tanya Adam.

“Tidak. Mungkin waktu SMA nanti aku akan—Hei! Mereka benar-benar membuka pakaian!”

“Lihatlah terus. Nanti akan lebih aneh lagi.”

Hawa terus memerhatikan video. Ia mendekatkan wajah ke layar ponsel. Semakin lama kerutan pada dahinya semakin dalam.

 

***

 

Adam dan kakak lelakinya duduk di meja makan. Aroma opor ayam dan desis kompor dan samar-samar nyanyian Mama datang dari dapur. Adam memainkan jari telunjuk dan tengahnya di meja, menggerakkannya sedemikian rupa seperti seseorang yang menari, mengikuti nyanyian Mama yang samar. Tahu-tahu Kakak bergeser ke sampingnya, dan ia tersenyum jahil, menampakkan taring kanannya yang ompong; ia pun menunjukkan video aneh itu lewat ponselnya.

“Ini baru bagian awal—perhatikan baik-baik,” kata Kakak, seraya memasangkan earphone kanan ke telinga kanan Adam. Lalu ia menjeda video. “Nanti akan ada bagian yang aneh. Dan, ini cuma di antara kita berdua. Oke?”

Adam mengangguk, dan video diputar kembali. Semakin lama kerutan pada dahi Adam semakin dalam.

“Kata Mama, orang dewasa akan malu jika telanjang,” bisik Adam.

“Mama pembohong.”

“Mama pembohong ...?” Adam membeo.

“Ini cuma di antara kita berdua.”

“Boleh kutunjukkan video ini besok Minggu pada Hawa?”

“Hmm … biar kupikirkan dulu. Tapi, sampai aku berkata oke, ini tetap di antara kita berdua. Jika ada orang ketiga, kucubit pahamu sampai memar.”

 

***

 

“Ah, aku tahu artinya!” Hawa mendadak berseru. “Wanita itu bilang, Oh Tuhan-ku, Oh Tuhan-ku! Tapi kenapa ia dan teman prianya telanjang? Mereka sedang berdoa? Tapi kenapa tak di gereja?”

“Sekarang wanita itu bilang, Oh ya, oh tidak,” sambung Hawa cepat. “Aneh sekali.”

“Aneh sekali ....” Adam menaikkan volume video hingga enam puluh persen. “Apa agama mereka?”

“Entahlah .... Orang luar negeri punya cara berdoa yang aneh. Kadang memejam, kadang membelalak lebar.” Hawa menyeka hidungnya yang sedikit mengeluarkan ingus dengan lengan baju. “Sepulang dari sini, aku akan bertanya pada Mama dan Papa.”

 

***

 

Mama memanggil Adam dan Hawa dan Kakak dari dapur, makan siang sudah siap. Mama menuangkan jus jeruk ke empat gelas dan duduk bersama ketiga bocah itu.

“Ponselku hilang,” kata Kakak tiba-tiba. “Adam pasti mencurinya.”

“Hanya meminjam,” balas Mama cepat. “Adam akan mengembalikan ponselmu nanti, setelah PR-mu untuk besok Senin selesai. Bukan begitu, Adam?”

Adam mengangguk, dan Hawa ikut mengangguk.

“Kau ikut memakai ponselku, Hawa?” tanya Kakak.

Sekali lagi Hawa mengangguk. Kakak tersenyum. Setelah itu Kakak tak bicara apa pun; ia mengunyah paha ayam panggang, dan tetap tersenyum ke Hawa. Mata Adam bergiliran mengarah ke Hawa yang fokus pada sayap ayamnya, ke Kakak yang fokus pada Hawa, dan kembali ke Hawa. Adam menenggak jus jeruk: terlalu asam: air liur seketika berkumpul di mulutnya, ia mengernyit.

 

***

 

“Kakak tak pernah tersenyum padaku,” kata Adam, memerosotkan punggungnya, sehingga sol sandalnya dapat menyentuh langit-langit terowongan. Hujan semakin deras di luar terowongan di bawah perosotan itu. Hawa menjulurkan telapak tangan keluar terowongan, lalu meraupkan air hujan ke wajah. “Tetapi, Hawa, ia kerap tersenyum padamu—kau sadar?”

“Aku tidak sadar.” Sejenak Hawa melipat bibir bawahnya, dan mengerutkan keningnya, dan isapan pada bibir bawahnya menghasilkan suara seperti saluran TV yang rusak. “Tapi aku sadar, bau tubuh kakakmu aneh sekali. Persis daging busuk yang dipanggang di permukaan knalpot. Untung saja ia mempunyai globe salju yang bagus. Hanya itu yang kusuka darinya.”

 

***

 

Dan makanan mereka habis. Kakak menarik selembar tisu dan menyeka saus tomat di sudut bibir Hawa. Gadis itu hanya diam, menatap balik padanya. Adam langsung menendang pelan kaki Hawa.

“Mama akan pergi sebentar,” ucapnya, menumpuk piring-piring kotor di hadapannya. “Adam, jangan lupa tidur siang. Hawa, ingat, mama dan papamu bilang kau harus pulang pukul dua belas siang.” Mama memasukkan semua sendok-garpu kotor ke gelasnya, lalu menatap tajam Kakak. “Dan kau … Mama ingin melihat PR-mu sudah selesai begitu tiba di rumah nanti.”

 

***

 

Dari jendela kamar Adam, terlihat mobil Mama meninggalkan rumah, dan Kakak menutup gerbang. Adam dan Hawa kembali mengenakan earphone, dan memainkan video aneh itu, dan mengernyit kebingungan.

“Aku baru sadar hal ini,” kata Hawa. “Perempuan dewasa tak mengulum jari sendiri. Mereka mengulum ular!”

Adam menarik karet pinggang celananya dan memerhatikan seekor ular yang tidur.

“Kenapa …?”

“Entahlah—Hei! Tutup celanamu. Ayo kita tonton lagi video ini.”

Tiba-tiba Kakak membuka pintu. Adam cepat-cepat menutup video aneh itu.

“Apa yang kau tunjukkan ke Hawa?”

“Tidak ada ....” Adam menunjukkan wallpaper ponsel. “Lihat, tidak ada.”

“Lantas, untuk apa kalian memasang earphone?”

Adam dan Hawa bertukar tatapan.

“Hawa … Adam tak menunjukkan apa pun padamu?”

Ragu-ragu, Hawa menggeleng.

Kakak menutup pintu. Lalu ia mendekat pada Adam dan Hawa, berdiri di tepi kasur, bayangannya menimpa kedua bocah yang menunduk itu.

“Kalian akan habis,” kata Kakak. “Mama akan memukul kepala kalian dengan kemoceng. Kau ingat rasa sakitnya, Adam?”

Adam mulai terisak-isak. Hawa memegang tangan kawannya, dan meremasnya pelan, dan dengan jempol ia mengelus punggung tangan lelaki itu. “Maaf ....” Hanya itu yang Hawa ucapkan. Dan, Adam membeo.

“Kalian akan selamat kalau paham tentang video itu. Tentang rahasia itu,” kata Kakak. “Tapi kalian masih kecil. Kalian tak paham maksudnya.” Kakak duduk di samping Hawa. “Tapi, Hawa, kau lebih pintar dari Adam. Kau akan lebih cepat paham, dan kau akan selamat.”

Hawa mendongak menatap Kakak. “Tapi aku tidak paham. Mereka berbicara bahasa Inggris terlalu cepat.”

“Aku paham. Aku akan memberi tahu kalian sekarang.”

Berhentilah isakan Adam. Kakak tersenyum, dan mengelus-elus kepala Hawa.

“Sekarang, Adam, kau harus merekam. Dan Hawa …” Kakak melepas earphone dari ponsel dan telinga Adam dan telinga Hawa, “ini adalah rahasia di antara kita berdua. Tidak—kita bertiga, maksudku. Siapa pun yang membocorkannya, akan kucubit pahanya hingga memar. Apa kalian bersumpah akan menjaga rahasia ini?”

Adam dan Hawa mengangguk.

“Bagus. Untuk Adam, nanti kau akan kutunjukkan lebih banyak video aneh. Untuk Hawa, aku akan memberimu globe saljuku.”

Kakak berdiri. Bayangannya kembali menimpa Adam dan Hawa. Ia tersenyum jahil, menampakkan taring kanannya yang ompong. Lalu ia menurunkan celana. Seekor ular meliuk, mendesis, sisiknya lembap dan merah. Ular itu mengedipkan sebelah mata ke Hawa.

 

***

 

Adam mampir ke rumah Hawa. Mama dan papanya bilang gadis itu sakit dan sudah hampir seminggu tak keluar dari kamar. Adam pun naik ke lantai dua sendiri, membuka pintu kamar Hawa yang penuh stiker tokoh-tokoh kartun, dan … gadis itu tak ada di sana.

Jendela masih tertutup gorden hijau; cahaya terik menembus gorden itu dan memenuhi kamar dengan warna hijau yang tipis. Suhu pendingin ruangan membuat keringat Adam cepat mengering. Dan, sayup-sayup terdengar tangis seorang gadis. Adam mendekati nakas di samping kasur. Di atasnya, di samping pigura—yang berisi foto mereka berdua di terowongan bawah perosotan—adalah globe salju. Globe itu sekepalan tangan Kakak. Di dalamnya, berdiri di permukaan salju, adalah sebatang pohon tak berdaun, ranting-rantingnya seperti deduri penuh lekukan. Dan, di bawah pohon tersebut, Hawa meringkuk dan menangis. Seekor ular merah membelit tubuhnya.



*) Cerpen ini dimuat di Kurungbuka.co pada Agustus 2023.