Rabu, 15 Juli 2020

SEDIKIT MENGANALISA VIAN, 2 dan Puisi-Puisi Lainnya


*Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi




Sedikit Menganalisa Vian, 2

vian adalah jam dinding
yang mencengkeram lambungku
membuatku memuntah hantu-hantu
kenangan masa depan yang kaku

vian adalah kematian sejarah
yang menusuk keningku
mengusir seribu doa gagal
dari lubang luka membusuk

(Jakarta, Oktober 2019)





Jendela yang Baik

sebagai sebuah jendela yang baik,
yang merasa beruntung sebab telah
diciptakan ayahmu, di tubuhku
aku memasang pagi, siang, dan malam

untuk menghiburmu,
sesekali kubuatkan hujan salju
atau dedaunan gugur atau hal lainnya
agar kaupikir segalanya

terus bergerak di luar sana,
meski tubuhmu setengah lumpuh
dan akan sepenuhnya lumpuh.
kautahu, aku melihat kau tersenyum

umpama lelaki tua melihat usainya perang
dari balik jendela kamar, perang yang
berlangsung sedari dirinya bocah.
sebab, apa lagi yang bisa kulihat

selain pemandangan di dalam rumah?

di luar tinggal hitam ....
di luar kini hitam pekat ....

(Denpasar, Oktober 2019)





Hancurnya Rumahku

rumahku bersembunyi di balik
sangkar igaku. rumahku tahu bahwa
sesuatu hendak mengetuk pintunya,
atau bahkan membobol jendelanya;
sesuatu yang melesat dari lubang kecil
di puting kirimu, dan akhirnya bersemadi
di titik pusat rumahku, membuat panas
dada, membuat rumahku

meleleh
menetes
ke puting kananmu.

(Denpasar, Oktober 2019)





Menjadi Sepasang Matamu

aku ingin menjadi sepasang matamu
sehari saja
sepasang mata yang secara langsung
melihat ketelanjanganmu di depan cermin
serta ledakan bintang-gemintang di sana

aku ingin menjadi sepasang matamu
sehari saja
sepasang mata yang secara langsung
melihat hantu-hantu bergentayangan di dadamu
dan para petualang membangun tenda
dari kesedihan mereka

aku ingin menjadi sepasang matamu
sehari saja
sepasang mata yang mampu membuatku
memahami bagaimana pohon-pohon bahasa
yang membuahkan mentari-mentari kecil
dapat bertumbuh begitu subur di pusarmu
dan bagaimana pohon-pohon itu
tak kunjung punah meski berkali-kali
ditumbangkan lidah para penyair keji

aku ingin menjadi sepasang matamu
sehari saja
meski kini matamu menuju buta
sebab berkali kucuri penglihatanmu
dan kusembunyikan dalam puisi-puisiku

(Denpasar, Oktober 2019)





Kota yang Terjatuh

kota ini terjatuh dari rambut ikalmu.
kota ini retak di segala sisi,
dari area istana negara
hingga apartemenku.

tapi, ada area yang tak retak setitik pun:
bahasa kota.
kalimat-kalimat masih mengatur kematian
para gelandangan gila secara tertib,
kalimat-kalimat masih mengatur
macet jalanan secara sempurna.

namun tak ada puisi di muka kota ini
pun dalam celah tiap retakan.
puisi masih terjerat dengan nyaman
di rambut ikalmu.

(Jakarta, Oktober 2019)





*) Catatan: Puisi-puisi ini dimuat di majalah Mata Puisi No. 2, Juni 2020.