Jumat, 14 Oktober 2022

NERAKA PARA PENULIS FIKSI -- Sebuah Cerpen

*Sumber Gambar: Pinterest


Sebelum terlalu terlambat, sebelum kau keburu bercita-cita menjadi penulis fiksi, kuberi tahu satu hal: ada tempat khusus bagi para penulis fiksi di neraka. Semakin baik fiksi yang ditulis seorang penulis, semakin berat hukuman yang didapatkannya—begitupun sebaliknya: jika fiksinya buruk, hukumannya akan kurang berat, bahkan bisa jadi ia dihina dengan ditendang ke surga. Sudah cukup jelas: janganlah jadi penulis fiksi; jadilah sesuatu yang lebih berguna, semisal polisi atau pelacur atau presiden atau pembunuh bayaran. Agar argumenku lebih meyakinkan lagi, mari, kuperkenalkan kau pada Fixo.

***

Fixo, 25 tahun, mati karena terjatuh dari tangga indekos, dalam keadaan jomblo dan perjaka, tak lama setelah ia menulis paragraf penutup untuk draf pertama manuskrip novel terbarunya. Semasa hidup Fixo telah menerbitkan tiga novel; novel ketiganya mendapat penghargaan sastra nasional, beberapa kritikus sekitar menganggapnya inovatif dalam menggambarkan keadaan psikologis seorang remaja di bawah kaki negara yang otoriter.

Apa yang tubuh Fixo alami adalah terguling-guling di tangga sebelum mendarat di lantai dengan wajah terlebih dahulu. Namun apa yang arwahnya alami adalah, selepas terguling dari tangga, lanjut meluncur menembus lantai, menuju kedalaman yang selama beberapa saat tampaknya tak berdasar, membuat arwah Fixo menjerit sejadi-jadinya, dan tiba-tiba ia mendarat di kursi empuk dalam sebuah studio bioskop, dalam posisi duduk yang baik, seolah-olah ia bersiap menikmati satu hari libur menyenangkan.

Aku serius: kursi bioskop. Di kiri-kanan serta depan-belakang telah mendarat lebih dulu para penulis fiksi lainnya. Aroma brondong jagung tercium dari seluruh penjuru. Terdengar menyenangkan? Di sinilah hukuman pertama dimulai: pada layar lebar, mereka harus menonton hukuman yang dijalani beberapa penulis fiksi pendahulu mereka, hukuman berdasar konflik apa yang penulis-penulis itu jatuhkan ke protagonis di fiksi mereka.

Para penulis terbaik adalah para penulis terjahat: mereka sangat tahu cara menjerumuskan protagonis ke dalam konflik; mereka sangat tahu bagaimana cara membuat konflik seberat-beratnya, tanpa bisa ditolak oleh sang protagonis. Itulah kenapa ada hukuman khusus penulis fiksi di neraka, dan beruntunglah para penulis fiksi yang buruk: mereka tak tahu cara menciptakan konflik yang kuat, protagonis mereka tak seberapa menderita, dan besar kemungkinan mereka lebih cocok di surga.

Tayangan pertama yang muncul di layar: seorang lelaki tua sendiri di tengah laut, di atas perahu kayu. Ia sedang mengikat seekor ikan marlin besar ke tubuh perahu, ikan marlin yang setara perahu itu sendiri, dan sirip-sirip hiu terlihat mendekat, mengitari perahu si Lelaki Tua yang mulai panik. Gambar diambil dari sudut yang tinggi, seolah dari CCTV yang melayang di udara. Fixo segera mengenali si Lelaki Tua: Ernest Hemingway. Napasnya tertahan—begitupun napas para penulis lainnya. Ia menyukai Hemingway, dan karena Lelaki Tua dan Laut-lah ia mulai belajar menulis, dan sekarang ia melihat penulis itu dihukum di neraka, neraka yang Hemingway ciptakan sendiri untuk protagonisnya. Hemingway mengambil sebatang harpun dan menusuk-nusuk permukaan laut, tapi hiu-hiu tak kunjung pergi. Seekor hiu mulai menancapkan gigi-geligi ke tubuh marlin raksasa, Hemingway mengarahkan mata harpun ke mata hiu tersebut—tiba-tiba seekor hiu lain melompat dan menerkam Hemingway ke laut.

Fixo dan para penulis lain menjerit ketakutan—laut segera memerah. Fixo ingin muntah. Fixo ingin berlari keluar studio dan mencari toilet. Tapi ia tak bisa berdiri: entah sejak kapan sebatang besi membelitkan dirinya ke kursi. Para penulis lain di kiri-kanannya pun sama: mereka baru menyadari keberadaan sebatang besi itu; mereka meronta-ronta dan tetap tak bisa melepaskan diri; semakin Fixo memberontak, besi itu semakin panas dan melelehkan kulitnya. Para hiu tak lagi peduli pada marlin raksasa; mereka memperebutkan tubuh Hemingway. Fixo muntah ke pangkuannya sendiri. Para penulis lain pun sama. Dan jeritan-jeritan memekakkan kupingnya. Fixo ingin menutup telinga tapi tangannya tertahan belitan besi. Dan semakin ia berusaha memejam, semakin lebar terbuka kelopak matanya; semakin ia berusaha menunduk, semakin kaku batang lehernya; maka ia terus melihat Hemingway terkoyak gigi-geligi para hiu.

Dan tayangan segera berganti:

Seorang pria sedang tidur telentang sendiri di kamarnya. Mendadak bagian-bagian tubuhnya berubah satu per satu: tubuhnya membulat-mengeras, tangan dan kakinya memanjang serta meruncing ujungnya seperti mata tombak, lalu tumbuh sepasang lagi tombak serupa dari kedua sisi samping perutnya, dan sepasang antena mencuat dari pelipisnya, dan tumbuh yang lain-lainnya lagi, begitulah seterusnya: sempurnalah pria itu menjadi seekor serangga besar menjijikkan. “Kafka!” seorang penulis berteriak, dan ia menangis meraung-raung, tapi ia tak akan bisa mengubah apa pun. Beberapa saat kemudian, setelah lebih banyak penulis yang menjerit ketakutan, bahkan ada yang pingsan—dengan mata menganga lebar—setelah Kafka si Serangga Besar Menjijikkan akhirnya mati karena gagal meyakinkan keluarga untuk menerimanya, tayangan berganti lagi.

Mereka dipaksa menyaksikan Shakespeare menenggak racun; mereka dipaksa menyaksikan Akutagawa terjebak dalam dunia Kappa; Orwell dikoyak-koyak para anjing di sebuah peternakan; dan tak hanya para penulis fiksi dalam bentuk karya sastra, di layar terlihat hukuman para penulis skenario film fiksi terbaik: Stanley Kubrick terjebak dalam Overlook Hotel dan harus menyelamatkan diri dari Jack Torrance yang berlari ke sana kemari membawa kapak; Akira Kurosawa harus mengalahkan para samurai jahat sendirian di tengah gurun yang panas; Tobe Hooper harus menahan sakitnya perut yang dibelah dengan gergaji mesin oleh Leatherface—Fixo dan siapa pun penulis di studio itu menyesal: harusnya mereka tak menjadi penulis fiksi.

Tapi semua sudah terlambat bagi mereka. (Sedangkan sekarang belum terlambat bagimu.)

Setelah diteror dengan tontonan, dimulailah pertunjukkan sesungguhnya: lantai studio bergetar dan retak dan pecah, lalu semua penulis itu terjun bebas bersama, namun mereka tiba di tempat berbeda-beda.

***

Seperti yang kukatakan sebelumnya: novel ketiga Fixo mendapat penghargaan sastra nasional. Judulnya Cinta dan Puisi yang Berbahaya. Hukuman yang ia peroleh akan berdasarkan konflik utama di dalam novel tersebut.

Protagonis dalam novel itu adalah F, seorang remaja SMA culun yang baru pertama kali jatuh cinta, dan ia bertekad menulis puisi cinta pertamanya untuk perempuan yang dicintainya: seorang teman sekelas. Puisi itu berjudul Cinta adalah Mesiu yang Tersulut. Ia menyelesaikannya dalam tiga hari, setelah dua hari pertama ia habiskan untuk memikirkan cara menjadikan bubuk mesiu sebagai metafora bagi cintanya. Setelah puisi selesai, ia mencetaknya sebanyak sebelas lembar dan menempelkannya di mading, dinding kantin, dinding kelas, di titik mana pun yang sangat mungkin terlihat oleh pujaan hatinya. Esoknya F langsung menjadi buronan pemerintah. Sungguh absurd, memang. F tak pernah terpikir bahwa, dengan menggunakan bubuk mesiu sebagai metafora, mata-mata pemerintah yang menyamar menjadi guru di SMA itu tersinggung, ia pikir F sedang membicarakan penembakan para demonstran.

Setelah Fixo terjun dari studio bioskop, ia mendapati dirinya terikat di ruang interogasi, persis apa yang F alami setelah mendadak dibekap dari belakang dalam perjalanan pulang sekolah. Si Interogator mengisap panjang rokoknya, mematikan baranya di asbak, dan menyiagakan tongkat bisbol yang pernah menghancurkan lebih dari sepuluh kemaluan. Bagaimana cara Fixo mengakhiri hukumannya? Ia harus melarikan diri dari ruang interogasi, dan kabur dari negara itu bersama perempuan yang dicintainya, persis tujuan dari protagonis di novelnya. Apa yang terjadi jika Fixo gagal menyelesaikan konfliknya? Dunia Fixo akan mendadak gelap, dan sesaat kemudian ia akan kembali berada di titik awal adegan dalam hukumannya: terikat di ruang interogasi. Hal ini berlaku juga untuk Hemingway dan Kafka dan siapa pun penulis fiksi yang masuk neraka.

Jadi, bagaimana? Masih berminatkah kau menjadi penulis fiksi?

Untuk lebih meyakinkanmu memilih cita-cita lain, mari kita lihat nasib Fixo selanjutnya: ia berhasil kabur dari negara bersama peremuan yang dicintainya. Tujuannya tercapai. Apakah ini akhir dari hukumannya? Belum. Hukuman selanjutnya: ia akan reinkarnasi, dan bernasib serupa atau mendekati protagois dalam fiksinya. Kami memutuskan membuat Fixo terlahir dengan nasib mirip G, protagonis dalam novel keduanya yang berjudul Aku Bungkam, Maka Aku Menulis.

G terlahir di keluarga miskin dalam keadaan bisu, dan ia ingin membicarakan banyak hal, dan ia memutuskan untuk belajar menulis secara serius. Kelak G dikenal sebagai salah satu penulis fiksi terbaik di negaranya—penulis fiksi paling berbahaya dan dikejar-kejar para pembunuh bayaran.



*) Catatan: Cerpen ini dimuat di Lensa Sastra pada 24 September 2022.

Minggu, 02 Oktober 2022

PEMBUNUH DAN CINTA YANG BERBAHAYA -- Sebuah Cerpen

*Sumber Gambar: Pixabay



Ia guru baru di SMA-ku, dan ia membuatku tergila-gila padanya, dan ia seorang pembunuh. Murid-murid memanggilnya Bu Cinta, dan aku memanggilnya Cinta, dan ialah yang mengajariku membunuh. Aku tak menyesal telah membunuh: itu caraku menunjukkan cintaku padanya; ia ingin aku menunjukkannya dengan cara begitu. Lagipula, murid yang kubunuh memang layak dibunuh: ia tak pernah belajar di sekolah, ia selalu memaksaku memberi contekan saban ulangan, dan orang tuanya kini tak perlu membayar SPP untuk hal sia-sia.

Umurnya 26 tahun ketika ia mulai mengajar di SMA-ku, di kelas agama. Waktu itu sudah pertengahan semester di kelas sebelas, dan Cinta menggantikan Bu Marni yang pensiun. Kelas pertamanya hanya berisi perkenalan, dan Cinta meminta beberapa murid menjelaskan apa-apa saja yang telah Bu Marni jelaskan di kelas. Selama dua jam pelajaran itu aku hanya bengong: kurang ajar, ia cantik sekali. Hari itu aku masa bodoh pada ayat-ayat kitab suci dan para malaikat apalagi Tuhan, aku hanya peduli pada bibir Cinta yang berkilau terpapar cahaya dari jendela, aku ingin melumatnya, melumatnya, dan melumatnya—aku tak peduli pada pintu neraka yang menganga di bawahku sebab berani berpikir begitu. Bibir Cinta terus tergambar dalam kepalaku, bahkan sampai malamnya, dan malam esoknya, dan malam esoknya lagi; aku tak sabar menunggu tibanya minggu depan, tibanya kelas agama yang selanjutnya; aku tak tahan pada sensasi hangat di bawah perutku tiap tengah malam, yang memaksaku berlari ke kamar mandi dan bla-bla-bla, dan sebagai penutup adegan-tengah-malam itu aku mendesah, “Oh, Tuhan ....”

Kelas agama selanjutnya pun tiba. Di hari itu pula Cinta melakukan pembunuhan pertamanya. Maksudku, yang pertama kulihat.

Cinta memakai baju batik serupa minggu lalu, dan hari itu aku baru sadar: mestinya aku tak hanya memperhatikan bibirnya; aku mesti memperhatikan seluruh tubuhnya, indah seperti kematian di mata orang-orang yang ingin bunuh diri—sekujur ototku sontak melemas. Para murid begitu hening selama ia menjelaskan materi pelajarannya, tidak sebagaimana di kelas Bu Marni maupun guru-guru lainnya. Ada yang berbeda dengan cara mengajarnya, yang membuat para murid menaruh minat pada kalimat-kalimatnya—atau mungkin semua hanya perasaanku, yang menghapus suara para murid dan mendengungkan suara Cinta dalam kepalaku. Dan yang berikutnya mendengung bukan hanya kalimat-kalimatnya: decit spidol saat ia menulis di papan; ketukan-ketukan hak sepatu di setiap langkahnya; gesekan punggung tangan pada dahinya yang sedikit berkeringat—semuanya berdengung begitu keras, kepalaku akan pecah!

“Bu Cinta!” tiba-tiba Arno berkata. Cinta berhenti menjelaskan materi. Semua menoleh padanya, ke bangku pojok-belakang, tempat dua badut di kelas kami duduk. Murid yang duduk sebangku dengannya, Robin, melipat bibir untuk menahan tawa. “Sebenarnya …” lanjut Arno, “dadamu bagus sekali!”

Seisi kelas terbahak-bahak. Arno dan Robin bahkan sampai memukul-mukul meja. Seisi kelas terbahak-bahak, kecuali aku dan Cinta. Mata Cinta: mata yang sedih dan marah. Dan ia hanya berdiri dan diam di depan kelas. Tawa para murid perlahan memelan, seperti volume radio yang diputar pelan-pelan sampai ke titik nol. Lalu hening. Cinta masih di posisinya semula. Dan ia berdeham.

“Saya perlu ke toilet. Sebentar saja.” Cinta keluar dari kelas.

Kelas harusnya berlangsung hingga satu setengah jam lagi. Namun Cinta tak kunjung kembali dari toilet hingga bel tanda jam istirahat berbunyi. Beberapa murid menyalahkan Arno karena membuat Cinta tak kembali ke kelas, tetapi lelaki itu hanya tertawa-tawa menanggapi mereka.

Aku ingin membunuh Arno.

***

Kadang aku merokok di toilet belakang sekolah setelah mata pelajaran terakhir. Itu adalah area paling sepi, toilet yang hampir tak pernah digunakan siapa pun, konon itu area terangker di sekolah, tapi kami—para murid perokok—tak peduli pada hantu apa pun. Hari itu—hari di mana Arno membuat Cinta enggan mengajar—aku menuju toilet belakang setelah memastikan area parkir guru mulai sepi. Lorong menuju area tersebut terletak di samping kantin, dan di lorong itu aku berpapasan dengan Cinta. Jantungku hampir meletus. Apalagi ia mengangguk singkat seraya tersenyum padaku. Aku tak membalas dengan cara apa pun, seketika aku lupa cara membalas anggukan singkat seseorang, dan Cinta keburu menghilang dari pandanganku. Aroma parfumnya masih tertinggal di lorong, kuhirup udara sebanyak-banyaknya, seakan dengan begitu kukurung Cinta dalam tubuhku.

Entah kenapa ada guru yang memakai toilet belakang; di sekolah ini ada toilet khusus guru; barangkali suasana hatinya yang buruk membuat ia tak ingin berjumpa siapa pun, dan toilet belakang adalah pilihan yang tepat.

Toilet belakang memiliki empat bilik, dan alih-alih berbau pesing, aroma asap rokok mengendap di sekujur ruangan. Satu pintu bilik tertutup: berarti satu murid sedang merokok. Tapi terkadang satu bilik berisi dua orang, sekadar agar ada teman bercakap.

Aku memasuki bilik di sebelahnya. Saat kukeluarkan rokok dari sakuku, aku baru sadar korekku telah lenyap. Jadi aku mengetuk dinding pemisah bilik dan kepada siapa pun yang ada di bilik sebelah aku meminjam korek. Namun, tak ada jawaban dari sebelah. Aku mengulang ketukan sekali lagi, lalu sekali lagi: tetap saja tak ada jawaban.

Aku keluar dari bilikku dan kutatap pintu bilik sebelah: pintu itu tak benar-benar tertutup, hanya tiga per empat tertutup rupanya: mungkin sebetulnya tak ada orang di sana; atau mungkin memang sempat ada orang dan ia sudah keluar ketika aku baru memasuki bilikku. Mungkin juga sampai sekarang masih ada orang di sana, tapi ia luar biasa pelit dan enggan meminjamkan koreknya. Aku mendorong pintu bilik pelan dengan ujung kakiku, sekadar memastikan ada atau tidak adanya orang di sana, dan aku menemukan mayat Arno.

***

Dalam mimpiku, Cinta mengoyak-ngoyak leher Arno dengan pisau lipat. Pintu bilik terbuka, maka aku bisa menyaksikan kematiannya dari luar bilik, meski sebagian besar pemandangan kematiannya terhalang punggung Cinta dan pinggulnya yang membuatku berdebar-debar. Tak lama kemudian sempurnalah kematian Arno. Cinta keluar dari bilik dan menutup pintunya, ia menghampiriku dan mendorongku hingga menabrak wastafel, ia melumat bibirku—dan alarm berbunyi: pukul lima pagi. Celana dalamku basah.

Aku tak tahu apa yang harus kulakukan begitu tiba di sekolah. Apa aku harus memberi tahu orang-orang bahwa Arno tewas di toilet belakang? Kemarin, setelah melihat mayatnya, aku tak menjerit maupun muntah maupun mencari orang lain. Aku bengong selama beberapa saat. Waktu aku hendak menutup kembali pintu bilik, aku refleks terdiam. Aku tak boleh menyentuh apa pun: aku tak perlu meninggalkan sidik jariku. Untung saja kugunakan ujung kaki untuk membuka pintu itu sebelumnya. Maka aku langsung pulang, tak ada siapa pun tersisa di sekolah, motor kupacu sekencang-kencangnya dan—“Percepat mandimu, hei!” teriak Ibu dari luar, dan aku baru sadar sedari tadi aku bengong di sini, aku segera mengguyur tubuhku dan mengambil handuk.

***

Beberapa polisi berbaris di depan gerbang sekolah, menghalangi dan membubarkan para murid yang hendak masuk. Beberapa wartawan merekam polisi-polisi tersebut; beberapa wartawan merekam para murid; tetapi kebanyakan mereka menyorot Pak Kepala Sekolah, yang dikelilingi para orang tua murid serta masing-masing anak mereka dan, kuyakin—meski aku tak bisa mendengar suaranya—sedang menjelaskan apa yang terjadi di dalam sekolah. Kuparkir motorku di pinggir jalan, aku menjijit di trotoar, aku mencari-cari keberadaan Cinta dari balik punggung para wartawan, di antara para murid dan/atau orang tua mereka yang datang dan pergi dan orang-orang acak yang ikut terjebak dalam kemacetan: ia tak tampak di mana pun.

Hari itu dan besok sekolahku diliburkan. Berita tentang kasus pembunuhan itu telah tersebar, begitupun tentang ritual keagamaan yang segera diselenggarakan di sekolah. Setiap wartawan hanya mampu menangkap gambar di depan sekolah—tidak ada yang berhasil masuk—dan nama Cinta tak sekali pun disebutkan.

***

Malamnya aku memimpikan Cinta lagi. Kami bercinta di atas tumpukan mayat, kami bercinta dengan beragam posisi, aku hanya melihat langit merah di sekeliling kami, dan aroma melati meruap dari mayat-mayat tersebut. Ini pertama kalinya ada bau dalam mimpiku. Celanaku basah ketika aku terbangun. Dan setelah selesai urusanku di kamar mandi, aku tak bisa tidur.

Tibalah pukul dua pagi, dan mataku masih terbuka; tangan Cinta seolah mencegah kelopak mataku menutup—toh, besok sekolahku masih libur, tak ada yang salah dengan begadang, aku hanya ingin Cinta pergi dari kepalaku! Saat itulah muncul sebuah ide untuk mencari Cinta di Facebook.

Aku membuka laptop. Aku hanya tahu nama panggilannya, ia belum pernah memperkenalkan nama lengkapnya, jadi aku hanya mengetik Cinta di kolom pencarian Facebook, dan nama klise demikian memunculkan terlalu banyak hasil pencarian. Aku terus memutar roda gulir pada tetikus, bunyi srrrrt-srrrt-srrrt bertubi membuat kupingku muak, kuperhatikan foto setiap pengguna nama Cinta yang lewat di layar, sepuluh menit sudah berlalu, akun-akun tanpa foto kulewatkan begitu saja semuanya, dan aku baru terpikir: Untuk apa seorang pembunuh membuat akun Facebook?

Untuk iseng, tentu saja—atau untuk bertingkah seolah ia manusia biasa, seperti kita semua yang mempunyai akun Facebook.

Aku lanjut memutar roda gulir. Jika dalam sepuluh menit lagi aku tak menemukan akunnya, aku akan menyerah. Tak perlu aku melakukan hal tolol ini lebih dari sepuluh menit lagi.

Dan tepat setelah kuucapkan tekad itu dalam hati, akun Cinta lewat di depan mataku. Cinta 123. Dan, ya, itu Cinta: foto profilnya memang Cinta—dan jelas itu ia! Ia berjongkok di samping batu nisan entah siapa, tersenyum, bunga-bunga segar mengelilingi nisan tersebut. Jumlah temannya mencapai seribu orang; aktivitas terakhirnya yang terpantau adalah tiga tahun lalu—yaitu mengganti foto profilnya—dan aku tak berani mengklik “Tambahkan Teman”. Dan, ia sedang online.

Tak ada yang salah dengan berselancar di internet pada pagi buta begini. Barangkali ia sedang tak bisa tidur, iseng memantau halaman Facebook mantan pacarnya, atau entah apalah—tak ada bukti bahwa ia berselancar di internet sambil bersenang-senang dengan mayat seseorang. Mungkin aku hanya perlu mengiriminya pesan.

Mungkin tidak usah.

Mungkin harus kucoba.

Aku mengetik Hai dan mengirim pesan padanya.

Kini jantungku hanya menggelantung pada seutas benang tipis, terayun-ayun kencang sebab berdetak terlalu keras—benang akan segera terputus, jantungku akan segera terjatuh, aku tak akan bisa menemukannya di mana punangin kencang membuat kaca jendela kamarku gemetar, lubang udara menghantar siulan yang ganjil—Cinta pasti membaca pesanku sekarang, dan mengamati foto profilku. Ia akan mengenaliku. Ia akan memperhatikanku di kelas selama jam pelajarannya. Ia akan mencatat namaku di daftar absensinya. Ia akan mengenaliku lebih dekat. Terlalu dekat. Mungkin ia akan langsung mengenaliku sebagai siswa yang berpapasan dengannya di lorong. Ia tak akan pernah melupakan wajahku sejak detik itu. Ia akan menyeretku ke bilik toilet belakang sekolah. Aku akan tamat.

Dan tiba-tiba masuk panggilan video darinya.

Sesaat seluruh isi-isian tubuhku larut dalam kekosongan, dimulai dari jantungku. Tubuhku kosong dan akan jatuh seperti baju di jemuran. Namun perlahan-lahan, nada panggilan yang terus bertahan itu menjadi tangan yang memungutku, mengembalikanku ke jemuran; tangan itu adalah sesuatu yang tak mampu kutolak.

***

Kau tidak perlu tahu apa yang kubicarakan pada pagi buta itu dengan Cinta. Yang perlu kau tahu hanya aku mencintainya, aku menyampaikan hal itu padanya, dan ia mengaku hampir mencintaiku—aku bisa menjadi orang yang benar-benar dicintainya, asalkan aku mampu memenuhi apa yang ia butuhkan. Maka esoknya Robin mati.

Aku tidak menyesali kematiannya. Ia hanyalah badut sebagaimana Arno, dan seperti yang kubilang di awal tadi: ia tak pernah belajar di sekolah, ia selalu memaksaku memberi contekan saban ulangan, dan orang tuanya kini tak perlu membayar SPP untuk hal sia-sia. Apa yang kusesali hanya usahaku yang kurang elegan untuk membantainya: aku menunggunya di pintu kelas, dan begitu bel tanda mata pelajaran pertama dimulai berbunyi, dan begitu Robin hendak memasuki kelas, kucegat ia dan kutusuk pipinya dengan pisau lipat dan kugorok lehernya.

Jika Cinta yang membunuh Robin, pasti kematian lelaki itu akan lebih misterius, akan lebih elegan. Aku terlalu tak sabar untuk membunuhnya, tepatnya aku terlalu tak sabar untuk jadi dicintai Cinta—padahal mungkin Cinta akan lebih mencintaiku jika kubunuh Robin dengan lebih elegan.

Tapi Cinta tak akan kecewa pada usaha pertamaku. Aku sudah sangat berani untuk mencoba. Seandainya kau tak menangkapku, aku akan pulang dan membuka laptop dan melakukan panggilan video dengannya, ia akan tersenyum manis mendengarkan ceritaku, aku akan meminta maaf karena melakukannya tidak dengan elegan, dan Cinta pasti berkata, “Tidak apa-apa, aku sudah mencintaimu.”




*) Catatan: Cerpen ini telah dimuat di Nongkrong.co pada 17 September 2022.