Senin, 09 Maret 2020

HUMOR TENTANG TEMBAKAN-TEMBAKAN -- Sebuah Cerpen


*Sumber Gambar: Kompas




Pajenong sedang memakai deodoran di depan cermin, sambil mendengarkan pembawa berita di TV berbicara tentang terus bertambahnya kasus pemerkosaan di kota ini setahun belakangan. Tiba-tiba pistol Sarimin memuntahkan pelor ke belakang kepalanya. Pajenong seketika tumbang.

Sarimin yang dari tadi telah menyusup ke apartemen itu dan mengamati pemiliknya diam-diam dari kolong ranjang pun merangkak keluar dan memeriksa ponsel Pajenong. Screensaver ponsel itu berupa tulisan Kencan dengan Vianna pukul sembilan malam di Kafe X dengan font Times New Roman berwarna putih, berlatar belakang hitam.

Untuk tiba di wallpaper, Sarimin mesti memasukkan PIN yang tepat. Jika Sarimin berhasil memasukkan PIN yang tepat, pasti ia akan mengirim pesan ke Vianna, berbunyi, “Maaf, Sayang, aku tidak bisa kencan hari ini. Aku mendadak ingin putus denganmu. Omong-omong, kupikir Sarimin-lah pria yang paling tepat untukmu.” Sarimin lalu mencoba memasukkan PIN beberapa kali secara acak. Ketika ponsel Pajenong terblokir, Sarimin melempar ponsel itu keluar melalui jendela yang terbuka, bodoh amat perihal kepala siapa pun yang bakal terhantam sebuah ponsel yang terjun bebas dari ketinggian sepuluh lantai.
            
Akhirnya Sarimin tak tahu lagi mesti berbuat apa. Awalnya ia memang sengaja datang ke apartemen Pajenong berbekal sepucuk pistol. Tapi ia sama sekali tak berencana untuk membunuhnya, melainkan hanya secara tiba-tiba keluar dari kolong ranjang, menakut-nakuti Pajenong, memaksanya untuk membatalkan kencan dengan Vianna, dan memaksanya untuk memutuskan hubungan dengan wanita itu. Namun kemarahan yang secara mendadak menggigit kepalanya membuat Sarimin refleks menjulurkan tangan dari kolong ranjang dan menembak belakang kepala Pajenong, tanpa sempat ia memikirkan cara untuk mengamankan mayat korbannya, maupun cara menyelamatkan diri seandainya ia dikejar-kejar polisi.
            
Yang kemudian Sarimin lakukan, setelah menatap jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh malam, adalah melangkah cepat mendekati mayat Pajenong dan menendang-nendangnya sekuat tenaga hingga kakinya sendiri terasa sakit. Sarimin menganggap tendangan-tendangannya adalah pembalasan dendam atas pemerkosaan yang Pajenong lakukan terhadap Vianna. Lantas Sarimin memuntahkan enam peluru yang tersisa di pistolnya hingga kepala Pajenong hancur betul, dan menganggap tembakan-tembakan itu sebagai pelampiasan kefrustasiannya, karena tak dapat mengerti kenapa Vianna mau berkencan dengan pria yang telah memerkosanya.
            
Tiba-tiba terdengar pintu apartemen Pajenong diketuk. Suara tembakan-tembakan pasti telah menarik perhatian orang yang kebetulan berada di dekat pintu itu. Gempa dahsyat segera melanda jantung Sarimin sebab ia sama sekali belum siap untuk dipenjara. Keringat dingin mengucur deras dari tubuhnya seakan ketuban bocor. Ketika sebentar kemudian terdengar pintu diketuk lagi dengan sedikit lebih keras, Sarimin langsung bergerak cepat menutup pintu kamar, mematikan TV, dan mengguling-gulingkan mayat Pajenong ke kolong ranjang. Deodoran Pajenong ia letakkan di tempat semula setelah dibersihkannya darah di sana dengan beberapa lembar tisu. Lantas jejak-jejak kematian di lantai ia bersihkan dengan handuk yang diambilnya dari lemari pakaian dan dibuangnya juga ke kolong ranjang.
            
Sarimin berpikir untuk melangkah tanpa suara ke pintu dan mengintip sang pengetuk. Namun terdengarnya ketukan berikutnya yang jauh lebih keras membuatnya batal mendekat ke pintu, sebab ia merasa ketukan itu adalah ketukan mengancam, semacam yang dilakukan para penagih utang terhadap pintu rumah si Pemilik Utang yang tak kunjung melunasi utang sejak seabad lalu.

Sarimin menyesal berat karena telah menghabiskan pelurunya. Penyesalan ini sama beratnya seperti saat ia menyatakan cinta kepada Vianna dua minggu lalu, mengakibatkan rusak totalnya persahabatan yang telah mereka jaga seperti aib-aib sendiri selama bertahun-tahun. Oh, seandainya malam itu aku memutuskan untuk diam saja, Vianna pasti tidak akan marah-marah, tidak akan lari dari rumahku, tidak akan bertemu dengan Pajenong di tengah jalan, tidak akan diperkosa di dalam mobil, dan tidak akan berujung pada pembunuhan yang kulakukan hari ini, Sarimin membatin.
            
Kali ini pintu bukan lagi terdengar diketuk, melainkan ditabrak dengan keras, tapi belum sampai terlepas dari engsel-engselnya. Jantung Sarimin nyaris terlontar keluar ke jendela yang terbuka, yang jika dimanfaatkannya untuk kabur sekarang pasti malah akan membuatnya bunuh diri. Sarimin pun mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari apa saja yang dapat digunakannya untuk menyelamatkan diri: tongkat bisbol, tongkat golf, dan kaki lampu berdiri. Dipukul dengan ketiga benda tersebut mestinya lumayan sakit. Tapi seketika terlintas dalam pikirannya bahwa semua itu belum tentu dapat menyelamatkan dirinya, jika ternyata yang menunggu di balik pintu adalah lebih dari satu orang. Ataukah aku mesti menjelaskan secara baik-baik kepada sang pengetuk bahwa Pajenong layak dibunuh, tak lain karena ia telah memerkosa Vianna dan dengan bangganya meneleponku untuk mengabarkan pemerkosaan itu?

Bagaimanapun, pembunuhan sama saja jahatnya, sambung Sarimin dalam hati. Akhirnya tatapan Sarimin terpaku ke lemari pakaian yang ukurannya lumayan besar. Tepat setelah terdengar pintu berhasil ditumbangkan, tanpa pikir panjang Sarimin mengumpet ke dalam lemari pakaian tersebut. Aroma harum seluruh pakaian Pajenong memenuhi bagian dalam lemari, mengingatkannya pada aroma bebunga harum yang ditaburkan ke dalam peti mati.
            
Mulailah terdengar suara langkah kaki di luar sana. Langkah kaki yang sangat ringan, seakan sang pemilik kaki mencoba melangkah di udara sebelum menyergap lawannya dari atas. Meski Sarimin benar-benar ketakutan, ia masih sanggup untuk fokus pada apa yang didengarnya, dan ia bisa menyimpulkan bahwa itu adalah suara langkah kaki satu orang—tak mungkin lebih. Dan karena hanya ada satu orang, semestinya Sarimin bisa keluar dari lemari sekarang juga dan bertarung melawannya, atau sekadar menodongkan pistol ke arahnya sambil melangkah keluar dari apartemen. Tapi melakukan yang mana pun di antara dua kemungkinan itu tidaklah mudah. Orang di luar sana mestilah orang yang kuat lagi pemberani, terbukti dari beraninya ia mendobrak masuk ke apartemen ini.
            
Beberapa jenak kemudian suara langkah kaki itu lenyap sekonyong-konyong. Tidak mungkin orang itu telah keluar dari apartemen ini. Jika ia melangkah keluar, semestinya yang terdengar adalah suara langkah kaki itu semakin mengecil dan mengecil dan hilang, alih-alih seketika hilang. Orang itu pasti sedang terbang! Dan, pintu lemari pakaian itu terdengar dikunci dari luar.

***

Harusnya Vianna menembak Pajenong ketika mereka berjumpa di Kafe X pukul sembilan malam nanti, tanpa peduli akan diapakan dirinya oleh orang-orang di sekitar. Namun Vianna keburu tak sabar untuk membantai Pajenong saking murkanya ia, sehingga ia memutuskan untuk langsung berangkat ke apartemen mantan kekasihnya itu berbekal sepucuk pistol, menumpang sebuah taksi—yang radionya menyiarkan berita tentang terus bertambahnya kasus pemerkosaan di kota ini setahun belakangan—dan tiba di tujuan pada pukul tujuh malam.
            
Karena tak kunjung dibukakan pintu, Vianna menerjang pintu apartemen Pajenong hingga roboh, dan ia sendiri kaget karena dirinya bisa menjadi sekuat itu. Alih-alih mendapati Pajenong yang terkejut, Vianna mendapati ketidakberadaan siapa pun di dalam sana. Mungkin Pajenong sudah berfirasat aku akan datang membunuhnya, sehingga sekarang ia sedang mengumpet. Wanita itu lantas melangkah masuk dengan sangat perlahan, seakan mencoba melangkah di udara sebelum menyergap Pajenong dari atas.

Apartemen Pajenong tidaklah luas, sehingga sebentar kemudian Vianna telah usai menjelajahi seluruh sudutnya tanpa mendapati keberadaan siapa-siapa, termasuk di kolong ranjang. Sambil duduk di tepi ranjang, Vianna berpikir, Apakah Pajenong begitu tak sabar berkencan denganku, sehingga ia sudah berangkat ke Kafe X?

Mendadak sesuatu entah apa membuatnya memaku tatapan ke lemari pakaian. Tubuhnya sontak menggigil. Dengan langkah tanpa suara, Vianna pun mendekati lemari tersebut dan mengunci pintunya. Lalu ia mundur beberapa langkah, menarik napas panjang-panjang, dan memuntahkan ketujuh butir peluru di pistolnya.

Darah menetes-netes dari celah bawah pintu lemari.

Vianna tersenyum dingin, menjatuhkan pistolnya ke lantai, dan meninggalkan apartemen itu dengan perasaan damai.

***

Vianna tetap datang ke Kafe X pukul sembilan malam. Ia merayakan kemenangannya yang cukup gemilang dengan memesan makanan mahal. Sembari menunggu makanan pesanan tiba, ia mengeluarkan ponselnya, mengakses situs berita terpercaya, dan membaca berita tentang terus bertambahnya kasus pemerkosaan di kota ini setahun belakangan.

Mendadak ia merindukan Sarimin dan membayangkan pria itu duduk di hadapannya. Ah, seharusnya waktu itu aku tidak usah marah-marah kepadanya. Tidak ada yang salah dengan ia jatuh cinta ....
            
Tepat setelah makanan pesanannya tiba, Vianna melihat seorang pria berpakaian rapi memasuki kafe. Pria itu melambaikan tangan ke arahnya sambil melangkah mendekat. Napas Vianna sontak tercekat. Dan ia hampir pingsan ketika Pajenong, dengan wajah dipenuhi bekas luka yang baru kering, duduk di hadapannya.




*) Cerpen ini dimuat di Kompas pada Minggu, 8 Maret 2020.

PERJALANAN PUITIS SEORANG PEMBUNUH BAYARAN -- Sebuah Cerpen

*Sumber Gambar: Koran Tempo



Agak aneh rasanya karena yang membutuhkan jasaku kali ini adalah seorang remaja lelaki SMA, alih-alih pejabat atau semacamnya, terlepas entah dari manakah ia mengetahui tempat tinggalku atau dari manakah ia mendapatkan uang sebanyak itu untuk membayarku. Dan orang yang mesti kubunuh juga bukanlah seorang penting, yang jika mati akan menyebabkan satu negara gonjang-ganjing misalkan, melainkan seorang guru Bahasa Indonesia yang mengajar di kelas remaja pelangganku itu.
            
“Kenapa kau ingin ia mati?” tanyaku ketus, karena sempat kupikir ia datang kemari dengan tak seserius itu. “Jangan bilang hanya karena kau dijemurnya di lapangan sekolah, atau karena kau diberinya nilai ujian jelek.”
            
“Kejahatannya jauh lebih buruk, Tuan Pembunuh,” sahut si Remaja SMA, rupanya dengan ekspresi yang, kutahu betul, menandakan betapa ia ingin seseorang mati secara mengenaskan. “Ia mencuri puisi-puisiku yang kusetor sebagai tugas.”
            
“Hah? Apa maksudmu?”
            
Remaja itu menjelaskan lebih kurang begini: Sebulan lalu, si Guru Bahasa Indonesia menugaskan murid-muridnya membuat tiga puisi untuk dikumpulkan minggu depan. Sebagai murid yang baik, pelangganku itu mengerjakan tugas dan mengumpulkannya tepat waktu. Lucunya, tiga minggu setelah dikumpulkan, ia mendapati ketiga puisi tugasnya dimuat di kolom sastra koran nasional, atas nama si Guru Bahasa Indonesia!
            
“Kau tak tahu betapa lamanya aku telah menunggu puisi-puisiku dimuat di koran itu ....” sambungnya dengan getaran suara semakin menjadi.

***

Sehari setelah remaja SMA itu memberiku alamat rumah si Guru Bahasa Indonesia, aku langsung pergi ke alamat tersebut; bukan untuk membunuh, melainkan buat melakukan berbagai riset terlebih dahulu selama beberapa hari tanpa henti. Sebagai seorang pembunuh bayaran profesional, tentu aku mesti tahu bagaimana cara membunuh guru itu serapi mungkin, bagaimana cara melarikan diri dari lingkungan tempat tinggalnya tanpa terlihat siapa pun, apa-apa saja yang mesti kuwaspadai di sekitaran sana, dan lain-lain. Kusimpulkan, membunuh si Guru Bahasa Indonesia taklah sesulit itu, malah amat sangat jauh lebih mudah ketimbang membunuh Walikota A, Menteri B, Presiden Negara C, dan sebagainya. Targetku itu hanyalah seorang guru berusia empat puluh tahun yang, selain menghabiskan hari-hari biasa di sekolah, di rumahnya selalu sibuk memeriksa tugas-tugas para murid, membaca buku-buku puisi, serta menulis puisi sampai menangis tersedu-sedu—ini serius. Ia tak punya anak maupun istri; aku jadi berpikir bahwa ia hanya mau “memberikan” hidupnya kepada puisi. Selain itu, kompleks perumahan tempatnya tinggal tergolong sepi.
            
“Riset yang kulakukan sudah cukup,” jelasku kepada remaja SMA itu, saat ia datang lagi ke tempat tinggalku buat memastikan proses pekerjaanku. “Besok malam ia akan mati secara mengenaskan. Dan, sebagai bonus, aku akan mengambil beberapa koleksi buku puisinya untukmu.”
            
“Terima kasih, Tuan Pembunuh. Tapi, kalau kau tidak keberatan … selain secara mengenaskan, aku ingin ia mati secara puitis.”
            
Meski tidak sepenuhnya paham akan frasa ‘mati secara puitis’, aku membalas, “Meski aku bukan penyair, pembunuhan-pembunuhan yang kulakukan selalu lebih puisi ketimbang puisi.” Aku sendiri tak terlalu paham akan frasa ‘lebih puisi ketimbang puisi’, tapi sengaja kuucapkan supaya terdengar puitis saja dan membuat pelanggan cilikku itu senang.

***

Sekarang si Guru Bahasa Indonesia sedang menulis puisi di laptopnya, dan aku telah berdiri di belakangnya tanpa ia sadari. Aku membekali diri dengan segulung benang gelasan, alih-alih pistol berperedam yang biasa kugunakan; memang pembunuhan yang akan kulakukan bakal sedikit lebih sulit, tapi justru karena itulah rasanya akan jadi lebih puitis. Dan, sebagaimana permintaan si Remaja SMA, saat si Guru Bahasa Indonesia meronta-ronta kehabisan napas serta darah, di telinga guru itu aku akan mengucapkan larik-larik puisi ini—yang sudah kuhafalkan dari kemarin:

sebentar lagi akan tiba tamu terakhir itu
yang kausambut dengan sukacita:
kematian

           kau akan membukakan pintu untuknya
sedetik setelah terdengar ketukan kasar
lantas senyum kalian saling bertukar 
            
Itu adalah salah satu puisi karya si Remaja SMA yang ia kumpulkan sebagai tugas—entah kenapa aku lupa judulnya—puisi yang diharapkan akan langsung menyadarkan si Guru Bahasa Indonesia, di detik-detik terakhir, akan alasan dibunuhnya ia.
            
Kupikir ini akan menjadi misiku yang paling absurd dan tidak begitu gagah .... Tapi tak apa-apa.
            
Ketika aku perlahan melangkah mendekati guru itu untuk menjerat lehernya dari belakang, tiba-tiba saja ia berbalik dan meludah tepat ke wajahku. Buset! Tumben-tumbennya aku sekaget ini, sampai aku mematung sejenak sambil merasakan ludah itu di antara kedua mataku, ludah yang dingin seperti air laut di malam hari.
            
“Rasakanlah ludah yang dipenuhi puisi,” kata guru itu.
            
Jantungku sontak berdebar-debar teramat kencang, seperti akan meledak. Secara cepat, suatu sensasi menjalar dari wajah ke sekujur tubuhku. Aku tak tahu apa sebutan yang tepat untuk sensasi tersebut. Yang jelas, setelah sensasi itu berhenti menjalar, tahu-tahu …

            tangan angin memecah kaca jendela
            dan menghantam jantungku
            jam dinding yang berdetak kalem
            mencengkeram lambungku
            hingga kata-kata pengungkap rasa sakit
            termuntah dari seluruh pori tubuhku
           
            tiba-tiba ada yang mengetuk pintu
            di punggungku dengan
 suatu kelembutan ganjil:
            ia, tamu terakhir itu 
            
Sekujur tubuhku begitu lemas, sampai-sampai aku tak bisa berbuat apa-apa selain tergeletak di lantai, menatap …

            langit-langit itu tertawa lebar
            melihat tubuh layuku
            dari mulutnya terlihat
            hujan tombak segera datang

Aku sudah beberapa kali pernah hampir mati dalam misiku, tapi yang sekarang ini rasanya sungguh berbeda. Aku tidak merasa menderita, melainkan lumayan menikmatinya! Sialan!
            
Si Guru Bahasa Indonesia lalu berjongkok di sampingku. Ia tertawa kecil sebelum berkata, “Dan kini tibalah tamu terakhir itu, yang kausambut dengan suka cita: kematian.”

***

Keesokan paginya, di depan pintu rumah, remaja SMA itu mendapati selembar kertas A4 di tanah, hampir saja tak sengaja ia injak dengan sepatu sekolahnya. Sejenak ia memicingkan mata sambil menatap isi kertas itu, sebelum tangisannya meledak kencang. Tidak, ia bukan menangis sedih. Ia hanya begitu terharu karena melihat mayat pembunuh bayaran itu dikemas dengan sedemikian puitis.





*) Cerpen ini dimuat di Koran Tempo pada Sabtu, 7 Maret 2020.