Selasa, 30 Oktober 2018

O, JOSEF -- Sebuah Cerpen


Portrait double exposure fireworks  proposal
*Sumber Gambar: Pinterest



Salah satu mercon berbentuk roket meluncur terlalu tinggi hingga mengenai bulan. Bulan pun bergetar begitu mercon itu meledak, dan kami yang berada di taman ini sontak waswas. Bulan bergetar semakin hebat, semakin hebat, dan semakin hebat. Langit mendadak sepi dari ledakan-ledakan mercon dan terompet-terompet berhenti ditiup, mungkin sebab setiap orang di bagian lain pulau ini, yang juga merayakan malam tahun baru, turut waswas mengamati bulan. Untungnya, perlahan getaran bulan berkurang hingga berhenti sama sekali; tidak terjadi hal yang lebih aneh lagi di perayaan ini.

            
“Maaf,” ucap orang yang tadi meluncurkan mercon berbentuk roket yang mengenai bulan, dengan wajah tertunduk. Ia lantas pergi meninggalkan taman ini, entah karena merasa tidak enak hati atau apa, yang jelas tak ada yang mengusirnya pun menyalahkannya atas insiden barusan.
            
Suasana kembali ramai setelahnya. Orang-orang kembali bersorak-sorai, sebagaimana mercon-mercon di atas sana. Terompet-terompet pun mulai menjerit keras sekali, seolah meneriakkan ucapan terima kasih pada langit yang telah menjaga bulan.
            
Aku merasa ada trauma yang membekas di dada Josef berkat insiden barusan; lelaki itu jadi berhenti meluncurkan mercon-merconnya yang berbentuk roket—padahal masih tersisa banyak di dalam tasnya—dan hanya meniup terompet untuk menyumbangkan kesan meriah, sementara para peledak mercon berbentuk roket lainnya kembali meluncurkan mercon masing-masing.
            
“Lawan, Josef,” kataku, “lawanlah!”
            
“Lawan?” Josef mengernyit. “Apa yang mesti kulawan?”
            
“Rasa takutmu.”

***

Josef berhenti belajar mengemudikan mobil. Josef tak mau lagi menggendong adik kandungnya yang masih bayi. Josef keluar dari sekolah kedokteran dan menutup cita-citanya untuk menjadi dokter. Josef berhenti mempelajari agama. Lebih aneh (untuk tak menyebut “bodoh”) lagi, ia jadi tak kunjung memiliki keberanian untuk menikahiku. Semua hanya karena masalah milik orang lain yang tak ada hubungannya dengan ia.
            
Kurang lebih pada latihan mengemudinya yang keempat, Josef menyaksikan kecelakaan mobil beberapa ratus meter di depannya. Kata Josef, kejadian yang disaksikannya itulah yang membuatnya takut untuk mengemudi lagi. “Aku tidak mau menewaskan pengemudi lain, seperti yang dilakukan oleh pengemudi mobil yang sembrono itu,” aku Josef. Dalam kasus ini, aku masih bisa memaklumi ketakutannya.
            
Seminggu setelah kecelakaan mobil itu, Ibu Josef melahirkan. Kata Ibu Josef kepadaku, “Josef benar-benar menyukai bayi itu. Bahkan, rasanya, ia lebih sering menggendong bayi itu ketimbang aku maupun suamiku.” Saat Adik Josef berusia tiga bulan, ada salah satu tetanggaku yang dilanda kesedihan hebat. Kesedihan itu disebabkan oleh meninggalnya bayi mereka yang baru berusia lima bulan. Penyebabnya, saat si Ayah menggendong sang bayi, ia tak sengaja menjatuhkan makhluk mungil itu dari gendongannya. Sehari setelah mendengar kabar itu, saat aku sedang berada di sebuah restoran bersama Josef, aku menceritakan kabar tersebut padanya, benar-benar sesuai dengan apa yang aku dengar. Lalu, beberapa hari kemudian, saat aku berkunjung ke rumah Josef untuk merayakan ulang tahunnya, Ibu Josef—yang sedang menggendong sang bayi—berkata, “Entah kenapa ia tidak pernah lagi menggendong adiknya. Kalau aku tidak salah mengamati, itu dimulai sepulangnya ia dari kencan terakhirnya denganmu. Biasanya, begitu pulang, ia langsung mencari bayi ini dan menggendongnya. Tapi, waktu itu ia tak melakukannya sama sekali. Malah malam harinya ia menolak-dengan-panik saat kumintai tolong untuk menggendong bayi ini sebentar saja.” Aku memaklumi Josef untuk kedua kalinya. Walaupun tidak semudah yang pertama.
            
Kurang lebih dua minggu kemudian, Josef memutuskan untuk keluar dari sekolah kedokteran. Aku maupun ayah dan ibunya tentu terkejut. Setelah diselidiki, Josef sama sekali tak mempunyai masalah dengan warga kampus. Tidak juga ada masalah dengan nilai mata kuliah maupun kelakuan buruk. “Dua hari lalu, aku membaca sebuah berita mengerikan di koran,” jelas Josef akhirnya. “Seorang dokter gagal menyelamatkan nyawa pasiennya!” Kami—aku dan kedua orang tua Josef—yang mendengarkannya tetap diam, lantas Josef melanjutkan, “Dan aku tidak mau melakukan hal yang sama dengan dokter gagal itu! Maka aku tidak mau menjadi dokter, dan akan percuma saja kalau aku melanjutkan kuliahku!” Dan alasan itu, bagi kami, sama sekali tak bisa dimaklumi! Kami pun mati-matian berusaha membujuknya agar menghapus pemikiran konyol itu, tapi masih gagal hingga sekarang. Yang paling membuat kami bingung—dan tak kunjung dijawab oleh Josef—adalah, kenapa baru kali ini Josef begitu ketakutan dengan berita kegagalan-dokter-menyelamatkan-nyawa-pasien, sementara berita-berita semaca itu sudah sejak lama bertebaran?
            
Sekitar lima hari kemudian, Ibu Josef mendapati Josef membakar seluruh buku agama yang ada di rumahnya. Katanya, “Aku tidak mau kita menjadi seorang teroris! Kita mesti berhenti mempelajari agama!” Rupanya keputusan tolol itu diambilnya setelah semalam, di televisi, ia menonton berita tentang pengeboman yang dilakukan di pusat kota oleh seorang tokoh agama yang selama ini terkenal amat baik. Ibu Josef menceritakan kejadian itu padaku setelah aku bertanya kepadanya melalui telepon. Aku sendiri bertanya pada Ibu Josef karena, beberapa jam lalu, Josef tiba-tiba datang ke rumahku dan langsung meluncur ke rak buku untuk mengambil buku-buku agama, lantas membakarnya di halaman belakang. (Jika waktu itu ayah atau ibuku ada di rumah, sudah pasti Josef akan dilaporkan ke polisi.) Saat kutanyai Josef perihal alasannya, ia mengatakan hal serupa dengan yang dikatakannya pada Ibu Josef. Begitu Josef pergi, aku cepat-cepat membersihkan abu dari buku-buku agama itu dan meluncur ke toko buku secepat mungkin untuk membeli buku-buku agama yang sama dengan yang Josef bakar. Bukan karena aku religius atau benar-benar memerlukannya, tapi demi menyelesaikan “masalah tambahan” yang mungkin terjadi andai kedua orang tuaku menyadari lenyapnya buku-buku agama itu.
            
Keesokan harinya, Josef mulai memasuki rumah teman-temannya untuk membakar buku-buku agama mereka. Maka tak heran jika akhirnya Josef kehilangan sangat banyak teman dan digebuki di lebih dari satu rumah.

Dua hari kemudian, kedua orang tua Josef memutuskan untuk mengawasi anak mereka secara “penuh” dan membawanya ke psikolog—sebuah keputusan yang sangat kusetujui. Di kemudian hari agenda itu menjadi rutin, dan rutin pula Josef memprotes karena merasa tak ada kesalahan sedikit pun pada jiwanya. Setelah agenda rutin itu berjalan selama kurang lebih dua bulan, sang psikolog langganan meninggal karena alasan yang tak jelas. Untungnya saat itu Josef sudah tidak berniat membakar buku-buku agama milik orang lain lagi, meski kejiwaannya belum sembuh benar—terbukti dari belum bersedianya ia untuk kembali mengemudikan mobil, menggendong adiknya yang masih bayi, bercita-cita menjadi dokter, dan mempelajari agama. Bagaimanapun, kedua orang tua Josef sudah tak perlu khawatir untuk meninggalkannya sendirian di rumah saat mereka pergi buat mencari psikolog lain.

Aku memutuskan untuk menemani Josef saat ia sedang sendirian di rumah. Aku membelikannya sebuah novel agar ia tak terlalu bosan lagi nantinya—saat benar-benar sendirian. Ternyata, di sanalah timbul masalah lagi. Maksudku, berkat novel itu ....

“Kupikir aku tidak akan pernah menikahimu, Sayang,” ucap Josef melalui telepon, beberapa hari kemudian, setelah usai membaca novel yang kuberikan itu. “Aku takut upacara pernikahan kita akan berlangsung secara tragis, seperti yang dialami oleh si Protagonis dalam novel pemberianmu itu!” Dalam kasus ini, aku tidak tahu bagaimana cara merespon kalimat Josef, selain dengan basa-basi penenang yang “kosong”. (Setidaknya, Josef tidak sampai mencegah orang-orang lain untuk melamar kekasih masing-masing.)

***

Ledakan salah satu mercon yang sangat keras menyadarkanku bahwa sempat terjadi keheningan selama beberapa menit di antara aku dan Josef.
            
“Apa kau sadar bahwa insiden mercon-mengenai-bulan barusan bukanlah salahmu?” aku kembali membuka percakapan.
            
Josef menatap mataku lekat-lekat sejenak, sebelum berkata, “Tentu aku sadar.”
            
Aku menarik napas panjang. “Dan kecelakaan mobil yang kau saksikan, dan bayi yang tewas karena terjatuh dari gendongan ayahnya, dan dokter yang gagal menyelamatkan nyawa pasiennya, dan tokoh agama yang meledakkan bom, dan upacara pernikahan si Protagonis yang berlangsung secara tragis .... Semua itu bukan salahmu, Josef!”
            
Lagi, Josef menatap mataku lekat-lekat sejenak, sebelum berkata, “Itu aku juga sadar.”
            
Kami saling diam lagi. Jika tidak ada ledakan mercon-mercon dan bunyi terompet-terompet, mungkin sudah akan tercipta keheningan yang ganjil di antara kami berdua.

Lantas aku mencium bibirnya. Sepuluh detik. Dua puluh detik. Tiga puluh detik.

Orang-orang menghitung mundur dari sepuluh, sebelum terdengar teriakan, “Selamat tahun baru!!!”

Ciuman Josef turun ke leherku. Dan di telinganya aku berkata lirih, “Nyalakan merconmu, Josef. Nyalakan merconmu.”

***

Pesawat alien itu meluncur menuju Bumi dengan kecepatan tinggi. Tiba-tiba ia menghentikan laju pesawatnya sebab dilihatnya bulan terjatuh ke Bumi, setelah sebelumnya bergetar semakin kencang, semakin kencang, dan semakin kencang. Dan, insiden itu sangatlah traumatis bagi sang alien. Alien itu pun tak pernah lagi mengunjungi planet-planet lain yang bersatelit!



*) Cerpen ini dimuat di Semay Media pada Oktober 2018.

Rabu, 17 Oktober 2018

PENEMUAN BANDAR -- Sebuah Cerpen


*Sumber Gambar: archive.thedali.org



Bandar melahirkan sebuah penemuan baru: dunia tanpa Tuhan. Kita tak pernah tahu bagaimana bisa bujangan itu menciptakan dunia tersebut, tapi kita tahu bahwa dunia tanpa Tuhan berada di balik salah satu pintu di dalam rumahnya.
            
Penemuan itu Bandar umumkan melalui Koran Negara edisi 21 Mei 20xx. Salah satu paragraf di kolom pengumuman itu berbunyi, “Kau bisa membangun dunia itu sesuka hati, tanpa ada peraturan yang menghalangi. Sederhananya: kau bisa menjadi Tuhan bagi dunia tersebut.” Paragraf yang lain menyebutkan bahwa dunia itu akan ia sewakan seharga 1000 Finto per lima belas menit untuk satu orang saja—harga yang sangat mahal bagi ukuran negara kita.
            
Beberapa jam setelah Koran Negara edisi 21 Mei 20xx terbit, ribuan orang telah berkumpul di sekeliling rumah Bandar. Mereka semua ingin menyewa dunia tanpa Tuhan, tetapi hanya dua puluh satu orang yang mampu dan akan menyewanya. Sisanya hanya akan menyaksikan bagaimana reaksi dari para penyewa setelah keluar dari dunia itu.
            
Bandar membuat undian-nomor-antrian bagi para calon penyewa penemuannya. Dan, Vixien-lah yang mendapatkan nomor urut pertama.

“Untuk pertama kali, aku akan menyewanya selama lima belas menit saja,” kata Vixien. Setelah ia membayar 1000 Finto—tunai—pada Bandar, Bandar langsung mengantarnya masuk ke ruang dalam rumahnya, lantas membiarkannya melangkah sendiri ke balik pintu itu, pintu yang menutupi dunia tanpa Tuhan.

Bandar mempunyai usaha berupa warung makan sederhana yang terletak di halaman depan rumahnya. Bangku-bangku di warung itu kebetulan bisa menampung dua puluh orang. Di warung itulah, para penyewa lainnya duduk menunggu. Sesekali mereka memesan makanan atau minuman—yang disuguhkan oleh Kontan, pemuda yang dua tahun lalu mengemis pekerjaan di warung itu pada Bandar. Sebenarnya, mereka merasa jijik dengan makanan-minuman yang disajikan—karena mereka terbiasa makan di restoran-restoran mewah—tapi mereka tak mau pergi ke tempat lain saking tak sabarnya menyaksikan reaksi Vixien saat keluar dari dunia tanpa Tuhan—seakan waktu lima belas menit itu bisa habis kapan saja.

Sementara itu, para wartawan, termasuk dari Koran Negara, sibuk mewawancarai orang-orang yang berada di sekitaran rumah Bandar—soal tanggapan mereka begitu mendengar kabar tentang dunia tanpa Tuhan—baik yang akan menyewa penemuan itu maupun tidak. Tapi tak ada satu pun yang berhasil mewawancarai Bandar saat itu, karena Bandar selalu menolak buat diwawancarai—ia sekadar ingin “mendramatisasi”.

***

Akhirnya giliran Vixien habis.

Para wartawan menyiagakan kamera.

Para calon penyewa menyiapkan diri untuk takjub atau kecewa.

Bandar menggiring Vixien ke halaman depan rumah untuk memberikan komentar atas dunia tanpa Tuhan, dan ....

***

Awalnya, Bandar tidak ingin menyewakan dunia tanpa Tuhan demi mengeruk keuntungan dari orang lain. Bandar memutuskan untuk menyewakan penemuannya itu sejak, pada suatu malam, ia masuk ke dunia tanpa Tuhan dan menciptakan harta yang tak terhingga—mudah saja dilakukannya karena ia adalah “Tuhan”—tapi begitu ia membawa harta tersebut keluar dari sana, tiba-tiba saja kesemuanya menghilang tanpa jejak, seolah tanpa suatu cara pun.
          
Barangkali Tuhan tidak ingin ada sesuatu pun di dunia ini yang diciptakan bukan atas kehendaknya, pikir Bandar pada mulanya. Tapi Bandar lantas menghapus pikiran itu karena ia yakin Tuhan tidak seegois apa yang dipikirkannya. Jadi, ia membiarkan kejadian itu tetap misteri.
            
Semisal Tuhan seegois itu, ia pasti sudah menghilangkan dunia tanpa Tuhan yang kuciptakan, pikir Bandar lagi.

***

Berkat reaksi positif Vixien, Bandar mendapatkan jauh lebih banyak pelanggan pada hari berikutnya, bahkan ada banyak yang berasal dari luar negeri. Saking banyaknya pelanggan, Bandar yakin bahwa antrian tak mungkin habis selama satu hari, sedangkan ia akan menutup tempat usahanya itu pada tengah malam—agar dirinya bisa beristirahat, tentu saja—dan membukanya kembali pada pukul delapan pagi.

Agar para calon penyewa yang belum kebagian kesempatan pada hari itu tak perlu menunggu terlampau lama di sekitaran rumah Bandar, ia pun merancang “estimasi waktu giliran tiba” yang dibuatnya berdasarkan nomor antrian. Jadi, jika nomor antrian masih jauh, para calon penyewa bisa pulang atau pergi ke tempat lain, dan Bandar akan menghubungi mereka—melalui Juru Panggil yang ia bayar sejak hari kedua—kurang lebih satu jam sebelum giliran masing-masing tiba.

Mulai dari hari keempat setelah penemuannya diumumkan lewat Koran Negara, Bandar telah membayar puluhan orang penjaga bersenjata lengkap untuk berjaga di dalam dan sekitaran rumahnya, sebab di hari ketiga ada segerombolan “orang jahat”—mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh pada prinsip “hanya ada satu Tuhan”—yang menerobos ke dalam rumah Bandar untuk menghancurkan dunia tanpa Tuhan, tetapi untungnya para calon penyewa beramai-ramai menghadang-mengusir gerombolan tersebut.

Setelah itu, para calon penyewa meminta pengurangan harga sewa—sebanyak lima puluh persen—karena merasa telah amat berjasa bagi dunia tanpa Tuhan. Dan, Bandar tak mempunyai alasan untuk menolak permintaan mereka. Lalu, setelah Bandar hitung-hitung secara matang, uang yang dikorbankan untuk membayar puluhan orang penjaga bersenjata lengkap jauh lebih sedikit ketimbang memberikan pengurangan harga sebanyak lima puluh persen kepada para calon penyewa.

***

Prokhova keluar dari dunia tanpa Tuhan. Ia membawa kebahagiaan yang bukan main, sekaligus kebingungan karena tak bisa membawa sumber kebahagiaan yang bukan main itu ke “dunia yang sesungguhnya”. Bagaimanapun, ia tak repot-repot memprotes keadaan karena ia sudah sempat terlampau bahagia di dalam sana, sampai-sampai ia takut seandainya kebahagiaan macam apa pun bakal jadi terasa membosankan.

Ketakutan seperti itu juga yang dirasakan oleh Mendevka dan Parwiro dan Husein dan Michael dan Tophany dan yang lainnya, sehingga mereka mengeluarkan diri dari dunia tanpa Tuhan dalam waktu kurang lebih lima jam, padahal mereka sudah membayar mahal untuk menyewa dunia itu selama lebih dari dua puluh empat jam—maka kacaulah “estimasi waktu giliran tiba”, tapi hal itu bukan masalah besar. (Mereka memang dirugikan secara finansial, tetapi mereka tak meminta-kembali kelebihan pembayaran masing-masing sebab, seperti Prokhova, semuanya sudah sempat terlampau bahagia di dalam sana.)

Ketakutan serupa pulalah yang membuat Bandar sejak awal memutuskan untuk tak tinggal selamanya di dalam dunia ciptaannya sendiri, meskipun ia bisa dan berhak untuk itu.

***

Bertahun-tahun kemudian, tak ada seorang pun yang mengantri untuk menyewa dunia tanpa Tuhan. Tapi Bandar tak ambil pusing; kekayaan yang dimilikinya sudah terlampau banyak. Hal itu membuat Bandar terlampau bahagia—sampai-sampai ia merasa tak membutuhkan istri seorang pun—sebagaimana para bekas pelanggan setia dunia tanpa Tuhan yang sudah bosan dengan dunia tersebut.
           
Tentu saja masih ada sangat banyak orang yang berminat dengan dunia tanpa Tuhan; mereka adalah orang-orang “miskin” yang tak kunjung mempunyai cukup uang buat menyewa dunia itu.
            
Suatu hari, Bandar ditemukan tewas di kamarnya karena ia sudah terlalu tua. Kekayaannya tak diwariskan ke siapa pun. Tak ada lagi yang membayar Kontan, para penjaga bersenjata lengkap, maupun Juru Panggil, dan dengan sendirinya mereka tak lagi bisa dikatakan bekerja di bawah naungan Bandar.

Bagaimanapun, dunia tanpa Tuhan tetap ada, dan tak ada yang “menjaga”-nya. Maka, orang-orang yang belum sempat mengunjungi dunia tanpa Tuhan pun berbondong-bondong masuk ke sana dan saling bertarung untuk menjadi Tuhan-nomor-satu.

***

Dari sana, Tuhan menatap ke bawah sembari tertawa terbahak-bahak. Tak jauh dari-Nya, berdirilah Bandar yang hanya bisa tertunduk malu.



*) Cerpen ini dimuat di Janang.id pada 30 Juni 2018, kemudian dimuat pula di Balairung Press pada 9 februari 2019.

Senin, 15 Oktober 2018

CELENGAN TANAH LIAT


*Sumber Gambar: www.berfrois.com



Masalah Radio


radio selalu mengikutimu. kau tak tahu apakah ia berkaki
tapi ia selalu ada di sekitarmu - entah itu di toilet umum,
di meja makan kantin kampusmu,
di antrean menuju atm saat kau mesti membayar sisa hidupmu,
bahkan di dalam kekosongan mimpi dan batok kepalamu.

radio selalu mengikutimu, dan perlahan-lahan menjadi
bagian tubuhmu. kau pun mulai mencoba membalas
segala kata dari mulutnya, tanpa menyadari bahwa radio
telinga pun tiada punya.

(Jakarta, April 2018)




Senapan


dan di malam yang panas ini
tubuhku digenggam
untuk kesekian kali

dan di malam yang jahanam ini
kudengar lagi ada yang memohon
ampunan pada sang tuan
yang menguasaiku sepenuhnya

dan di malam yang mulai mendung ini
lelaki itu memohon agar tak dihujani peluru
dari tubuhku, sembari menghujani tanah
dengan air mata penyesalan
yang hampir sehangat moncongku

dan di malam yang mulai hujan ini,
untuk kesekian kalinya,
disadarkannya bahwa aku hanyalah

alat untuk memuntah peluru
tanpa bisa memuntah
air mata
saban sebutir peluru

termuntah
menembus
tubuh
yang
tunduk

*
dan di malam yang mulai pergi itu
sengsara datang kala aku diistirahatkan:

menanti tangan dinginnya
kembali menggenggamku

(Jakarta, Juli 2018)




Celengan Tanah Liat

meski tubuhnya hanya separuh isi
ia tahu bahwa tak lama lagi
setelah terdengar erang
dari usia yang tipis

tubuhnya akan menemu takdir
yang dulu pernah hampir hadir:
dipecahkan dengan harap

usia menebal, meski maut tetap beribu kali
lebih liat ketimbang tanah yang membuat

dirinya ada

(Jakarta, Agustus 2018)



*) Catatan: Puisi-puisi ini dimuat di Kompas pada 13 Oktober 2018.
*) Catatan 2: Puisi Senapan, sebelum dikirim ke Kompas, telah disunting oleh Mas AYE ketika saya mengikuti program Diskusi Intensif Puisi.
*) Catatan 3: Puisi Masalah Radio berjudul asli Permasalahan Radio, namun telah disunting oleh pihak redaktur karena suatu alasan. Selain itu, paragraf pertama juga telah disunting oleh pihak yang sama.

KURIR AKHIRAT DAN SESEORANG YANG MENGIRIM DIRINYA -- Sebuah Cerpen

Copyright: Axel/BAL



Ia dipanggil Kurir Akhirat sebab pekerjaannya adalah mengantarkan berbagai barang dari orang-orang di dunia fana ke orang-orang di akhirat, baik surga maupun neraka. Kurir itu mengelilingi dunia fana dengan bersepeda sambil menyerukan, “Akhirat!” berkali-kali, dan siapa pun yang sedang memerlukan jasanya akan memanggilnya supaya berhenti. Dan, Kurir Akhirat mesti dan hanya bisa dibayar dengan rasa terima kasih yang tulus.
            
Paling sering, orang-orang hidup mengirimkan surat buat teman atau keluarganya yang telah mati, mungkin sekadar untuk mengabarkan bahwa diri mereka baik-baik saja dan yang-telah-mati tak usah cemas di sana, atau apalah. Sayangnya, seberapa sering pun mereka mengirim surat atau barang apa pun, mereka tak akan pernah mendapat kiriman balasan dari yang-telah-mati, karena Kurir Akhirat hanya melayani pengantaran barang dari dunia fana ke akhirat, tidak sebaliknya. (Dulu sekali, ia pernah melayani pengiriman barang dari akhirat ke dunia fana. Tapi, semenjak ada penghuni neraka yang mengirimkan sesuatu-yang-khas-neraka buat entah-siapa di dunia fana dan menyebabkan dunia fana heboh bukan main untuk beberapa lama, Tuhan pun melarang Kurir Akhirat buat melayani pengantaran barang dari akhirat ke dunia fana.)
            
Hari itu, Kurir Akhirat melintasi Desa Bomay dan ada salah seorang penduduk yang memanggilnya karena membutuhkan jasanya.
            
“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” tanya Kurir Akhirat dengan ramah.
            
“Aku ingin diriku dikirim ke istriku yang berada di neraka.”
            
Tentu saja Kurir Akhirat terkejut. “Permintaan Tuan aneh sekali.”
            
“Memang aneh, tapi bukan berarti salah, kan? Toh, aku ini termasuk barang.”
            
“Tapi, Tuan, tidak ada manusia yang ingin masuk neraka. Apalagi manusia yang masih hidup.”
            
“Nah! Sekarang kau tahu bahwa pemikiranmu itu salah.”
            
“Apakah Tuan tahu bahwa jika saya membawa Tuan ke neraka, Tuan tidak akan bisa kembali ke dunia ini?”
            
“Aku tahu.”
            
“Apa Tuan yakin?”
            
“Astaga! Bisakah kau tidak usah banyak bertanya?!” Kemarahan orang itu meletus. “Aku hanya ingin kau mengirimku ke istriku dan, demi Tuhan, aku akan membayarmu dengan rasa terima kasih yang paling tulus sedunia!”

***

Ternyata seluruh tubuhnya muat untuk masuk ke ransel Kurir Akhirat yang ukurannya taklah lebih besar dari perutnya yang buncit. Ajaibnya lagi, ia berada di dalam ransel itu bersama ribuan barang lainnya tanpa perlu berdesak-desakan!
            
“Apa Tuan sudah siap untuk melakukan perjalanan?” ucap Kurir Akhirat.
            
Ia mendengus kesal. “Apa kau selalu bertanya demikian pada tiap barang yang akan kau antar ke akhirat?”
            
“Ah, maafkan saya, Tuan.”
            
Kurir Akhirat pun mulai mengayuh sepedanya.
            
Diam-diam, manusia itu membuka sedikit ritsleting ransel Kurir Akhirat sehingga ia bisa mengintip ke luar dan menghafalkan jalan yang dilalui untuk sampai ke neraka.

***

Begitu melewati sebuah gerbang besar berlapis emas yang dijaga oleh banyak malaikat rupawan, ia pun sadar bahwa Kurir Akhirat pergi ke surga terlebih dahulu.

Ketika sepeda Kurir Akhirat berhenti—karena telah sampai di salah satu tujuan—ia cepat-cepat menutup ritsleting ransel itu agar tak menimbulkan kecurigaan pada sang kurir. Kala sepeda mulai dikayuh, lagi-lagi ia membuka ritsleting ransel Kurir Akhirat dari dalam.

***

Setelah melewati gerbang besar berlapis api yang dijaga oleh banyak iblis buruk rupa, Kurir Akhirat mengatakan, “Saya akan mengantarkan Anda terlebih dahulu, sebab istri Tuan tinggal paling dekat dengan gerbang neraka.”
            
Ia pun senang bukan main.
            
Ketika sepeda berhenti, ia cepat-cepat menutup ritsleting ransel Kurir Akhirat, dan beberapa detik kemudian ritsleting itu dibuka oleh sang kurir untuk mengeluarkan dirinya dari dalam ransel.
            
“Inilah rumah istri Tuan,” ucap Kurir Akhirat sembari mendekati pintu rumah yang ia maksud, lalu mengetuknya sebanyak tiga kali.
            
Pintu lantas dibuka dan ia melihat istrinya yang dipenuhi luka busuk, tetapi tetap cantik.
            
“Astaga! Suamiku!” pekik wanita itu, lantas berlari mendekati sang suami dan memeluknya erat.
            
Ia merasakan air mata sang istri di pundak kirinya. Tapi ia, juga istrinya, tak mempunyai waktu untuk menikmati keharuan. “Kita harus segera kembali ke dunia fana, Sayang,” ujarnya.
            
Sang istri terkejut. “Apa? Bagaimana caranya?”
            
“Saya tidak melayani pengantaran barang dari akhirat ke dunia fana, Tuan,” Kurir Akhirat menimpali.
            
Ia pun melepaskan diri dari pelukan istrinya dan mengeluarkan sebilah pisau dari balik kaus kaki, lalu membunuh Kurir Akhirat dengan menikam jantungnya. Ia kemudian cepat-cepat mengambil ransel Kurir Akhirat, memasukkan istrinya secara paksa ke dalam sana, dan mencuri sepeda sang kurir untuk kabur dari neraka.
            
Ia mengayuh sepeda itu dengan amat cepat. Saking cepatnya, sampai-sampai para penjaga gerbang neraka tak bisa menangkapnya saat ia melintasi gerbang itu.

***

Ia terpental dari dunia mimpi sebab jam bekernya yang berdering. Ia lalu cepat-cepat keluar dari rumahnya dan menunggu Kurir Akhirat lewat.
            
Kurang lebih sepuluh menit kemudian, apa yang ditunggunya pun tiba. Ia segera menghentikan Kurir Akhirat di depan rumahnya dan meminta kurir itu untuk mengirimkan dirinya ke sang istri yang berada di neraka. Rupanya, Kurir Akhirat langsung saja mengiyakan.
            
Ia kemudian dimasukkan ke dalam ransel Kurir Akhirat. Seluruh tubuhnya muat di dalam sana, meskipun mesti berdesak-desakan bersama ribuan barang lainnya, sampai-sampai ia sesak napas. Tapi itu taklah masalah; ia bisa bernapas bebas setelah membuka sedikit ritsleting ransel Kurir Akhirat dari dalam, buat mengamati-menghafalkan jalan yang dilalui untuk sampai ke neraka.

***

Kurir Akhirat mengetuk pintu salah satu rumah di akhirat. Ketika pemilik rumah itu membuka pintu, Kurir Akhirat berkata, “Suami Anda mengirimkan dirinya untuk Anda.”
            
Wanita itu terkejut. “Benarkah?”
            
Kurir Akhirat pun membuka ranselnya dan mendapati tubuh pria yang mengirim dirinya itu tinggal abu, akibat tingginya suhu neraka. Istri dari pria itu lantas menangis meraung-raung, dan Kurir Akhirat menghiburnya dengan berkata, “Semoga saja suami Anda telah melakukan cukup kejahatan, sehingga bisa berbahagia bersama Anda di sini.”



*) Catatan: Cerpen ini dimuat di Balairung Press pada 10 Oktober 2018.