Jumat, 09 Desember 2016

LAGU BUKAN UNTUK AYAH

Negara tanpa Kepala -- Lukisan Bismar Siagian
(sumber: Nusantaranews.co)


Lagu Bukan untuk Ayah
ayah adalah seekor burung
ketika kematian tak jadi urung
aku adalah laras senapan—
selaras menembak luka yang tak mapan
(Jakarta, 2016)


Sang Nakhoda dan Teka-Tekinya
/1/
kepala dan leher: terpasang sempurna. dan kapal pun menginjak
dermaga sore ini. kau masih duduk di lambung itu, memasangkan
tangan dengan belati, kaki dengan kalimat “ibu berlari di tempat”.
sang nakhoda kemudian turun—kakinya merindu pasir pantai
dan aroma sosis bakar yang membakar para pengunjung pantai.
/2/
“laut mencintai orang yang tenggelam dalam darah bahasa,”
katamu. “laut selalu jatuh cinta pada orang yang giat
menanam rindu pada cahaya dan mata yang dirundung
gelap.”
memasangkan lambung dengan asam: berhenti! ada puisi
yang menyeberang ruang. akan selesai besok: menyatukan
lidah dengan bahasa dengan keingintahuan dangkal
sang nakhoda.
/3/
dermaga itu palsu. dan pulau itu palsu. sang nakhoda tak
memerlukan peta barang selembar. sebab ia pun lupa
meminjam mata dari laut—lupa meminjam asa dari kau
yang perlahan palsu.
(Jakarta, 2016)


Pelajaran Memasak
/1/
menulis tentang dapur. memasak diri kau di buku harian
yang kuning. yang sepi.
teko lalu bersiul. seekor burung mendidih (meniru kubangan
darah di cahya batokmu). perlahan-lahan tungku yang panas
itu menggigil, mengingin tangan kau menyentuh abu dan
aroma aneh di pipinya yang keras.
/2/
ibu akan meminjam luka dari tetangga sebelah.
tetangga sebelah akan menjadi batu, dan geligi ibu berubah
menjadi lagu yang lugu.
ibu pun memasak kau di dapur kenangan. dan kau memasak
lagu ibu hari ini—di buku harian yang kuning.
yang sepi.
(Jakarta, 2016)


Para Pemeran Sejarah
di balik meja, ada nama-nama
yang memangkas data.
tak ada bahasa yang sedang
bergurau
ketika kata-kata perlahan
berkarat.
“hei! ada perhitunganku yang
tertera di sepanjang garis
lehermu!”
ya, sesederhana itu.
kata-katamu sesederhana yang
akan lahir pun mati,
atau yang tak akan pernah lahir
tapi sudah mati terlebih dahulu.
“kau seperti kata-kata.”
“tapi aku keluar di sela-sela
percintaanmu.”
kelak akan lahir nama-nama yang
lebih sederhana,
hangat,
dan mudah dipahami.
mungkin mereka bukan
terdiri dari
kata-kata.
mungkin mereka tak akan
tercatat di satu pun
data.
tapi mereka adalah
para pemeran sejarah.
sesederhana itu.
(Jakarta, 2016)


*) Catatan: Puisi-puisi ini dimuat di Nusantaranews.co pada tanggal 4 Desember 2016.

Minggu, 06 November 2016

HANTU PUISI -- Sebuah Cerpen


Ilustrasi oleh: Citra Sasmita



Hantu itu terlihat menyusuri jalanan Kota Daging pada suatu sore. Orang-orang di kota itu pun pada ketakutan. Bergegaslah para suami mengurung istri masing-masing di kamar tidur, kamar mandi, loteng, gudang, atau di ruangan lainnya. Ada pula beberapa orang istri yang berinisiatif untuk mengurung diri mereka sendiri. Hal itu orang-orang Kota Daging lakukan demi menghindari terulangnya tragedi yang terjadi dua puluh lima tahun silam di kota mereka.

***

Dua puluh lima tahun yang lalu, pada sore hari pula, untuk pertama kalinya hantu itu terlihat menyusuri jalanan Kota Daging. Tak ada seorang pun yang takut sebab mereka merasa mempunyai Tuhan yang mahapelindung. Kemudian, hantu tersebut terlihat memasuki Hutan Sumsum.
            
Pada pagi keesokan harinya, pukul sembilan, tahu-tahu saja dari Hutan Sumsum terdengar sebuah puisi yang dinyanyikan dengan begitu indah, memenuhi sekujur Kota Daging. Puisi yang dinyanyikan itu mengisahkan tentang cinta seorang ibu yang begitu sia-sia, namun mahaagung. Dan, efek dari puisi tersebut sungguhlah mengerikan: seluruh ibu di Kota Daging kehilangan kendali atas diri sendiri dan dengan sendirinya mereka bergerak menuju sumber suara, sementara yang bukan-ibu mendadak mengalami kelumpuhan-sekujur-tubuh sehingga tak bisa mencegah kepergian para ibu.
            
“Kami, para ibu, akan pergi ke Hutan Sumsum untuk mencari puisi, mencari kemerdekaan,” kata para ibu, seperti kepada diri sendiri, dengan ekspresi dan nada yang datar sebelum meninggalkan orang-orang yang mengalami kelumpuhan-sekujur-tubuh itu.
            
Ketika siang tiba, kelumpuhan-sekujur-tubuh itu lenyap. Para suami dan para anak lantas segera pergi ke Hutan Sumsum sebab para ibu belum kembali. Tepat di titik tengah hutan itu, mereka menemukan hantu yang kemarin sempat terlihat menyusuri jalanan kota sedang duduk di atas sebongkah batu.
            
“Apakah kau yang tadi menyanyikan puisi itu?” tanya salah seorang pria.
            
“Ya,” sahut si Hantu. “Dan, seperti yang sudah kalian duga, dengan puisi itulah aku menyihir para ibu dan kalian semua.”
            
“Di mana ibuku sekarang?!”
            
“Di mana istriku?!”
            
“Di mana nenekku?!”
            
Keriuhan pun tak dapat dihindari. Si Hantu hanya terdiam, sampai ketika ada seseorang yang maju hendak menyerangnya. Apa yang kemudian dilakukan oleh si Hantu, sebelum serangan dari seseorang itu mengenainya, adalah menyanyikan sebuah puisi mbeling yang menyebabkan orang-orang yang mengerubunginya pada mengantuk … lalu jatuh-tertidur. Ketika mereka semua terbangun, pada sore hari di hari yang sama, mereka mendapati diri telah berada di kamar tidur masing-masing.
            
Segeralah para suami dan para anak kembali ke Hutan Sumsum, tepatnya ke titik di mana sebelumnya mereka menemukan si Hantu, tetapi mereka tidak mendapatinya lagi di sana. Pencarian-terhadap-si Hantu pun beralih ke pencarian-terhadap-para ibu. Namun hasil dari pencarian-terhadap-para ibu pada hari itu nihil, sebagaimana pencarian-terhadap-para ibu di hari-hari berikutnya, hingga akhirnya mereka pasrah.
            
Entah siapa yang kemudian menamai hantu itu Hantu Puisi. Yang jelas, nama itulah yang hingga kini digunakan oleh orang-orang untuk menyebutnya.
            
Dan, tentu saja tak ada yang menyangka bahwa Hantu Puisi bakal muncul lagi …

***

Suamiku mengurungku di kamar tidur. Ia tak ingin aku pergi-menghilang—jika pagi nanti Hantu Puisi terdengar menyanyikan puisinya—sebagaimana ibunya, ibuku, neneknya, dan nenekku dua puluh lima tahun silam.
            
Tentu saja bukan suamiku seorang yang melakukan hal ini kepada istrinya. Bahkan, aku yakin bahwa ada saja suami yang “menahan” istrinya secara jauh lebih ketat, sampai sang istri merasa tersiksa.
            
Tapi, apakah yang lebih menyiksa ketimbang terpisah dari keluarga?

***

Tatkala udara pagi akhirnya menghantarkan puisi—tentang cinta seorang ibu yang begitu sia-sia, namun mahaagung—yang dinyanyikan oleh Hantu Puisi di Hutan Sumsum ke sekujur Kota Daging, segeralah para anak dan para suami mengalami kelumpuhan-sekujur-tubuh. Tapi mereka yang mengalami kelumpuhan-sekujur-tubuh itu merasa sedikit tenang sebab para ibu telah “ditahan”. Sayangnya, ketenangan mereka yang sedikit itu taklah bertahan lama; rupanya, para ibu yang “ditahan” itu, entah mendapatkan kekuatan dari mana, berhasil melepaskan diri dari “tahanan” masing-masing—segala macam pintu-yang-terkunci yang menghalangi pada mereka robohkan dengan begitu mudahnya. Benda-benda yang digunakan untuk menyumpal telinga pun taklah berguna sama sekali karena puisi yang dinyanyikan oleh Hantu Puisi dapat didengar bukan melalui telinga saja.
            
Alhasil, pagi itu, jalanan Kota Daging kembali dipenuhi oleh para ibu yang bersama-sama berjalan ke Hutan Sumsum.

***

Puisi yang dinyanyikan oleh Hantu Puisi itu mulai terdengar. Indah sekali. Saking indahnya, sampai-sampai kegelapan dan keapakan di gudang ini lenyap. Dan, aku yakin bahwa, di luar sana, suami dan kedua anakku mendadak mengalami kelumpuhan-sekujur-tubuh.
            
Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Puisi yang dinyanyikan itu tak menyebabkan apa-apa pada diriku.
            
Empat detik. Lima detik. Aku harus mencabut kalimatku yang barusan.
            
Ada semacam keindahan yang menyusup ke dalamku. Tapi, entah bagaimana, keindahan itu menyebarkan suatu perasaan ganjil ke sekujur badan dan mengambil alih otakku. Lalu, dengan sendirinya, aku melangkah. Pintu gudang—terkunci—yang menghalangi langkahku kurobohkan dengan begitu mudahnya …

***

Siangnya, sebagaimana dua puluh lima tahun silam, kelumpuhan-sekujur-tubuh yang menghinggapi para anak dan para suami sontak lenyap. Mereka pun langsung pergi ke Hutan Sumsum—beberapa orang dewasa membawa senjata.
            
Sebagaimana dua puluh lima tahun yang lalu, Hantu Puisi ditemukan sedang duduk di atas sebongkah batu di titik tengah Hutan Sumsum.
            
“Kembalikan para ibu!” teriak beberapa orang, nyaris bersamaan.
            
“Tidak,” jawab Hantu Puisi.
            
“Kalau begitu, kami akan menyerangmu!”
            
“Silakan.”
            
Rupanya mereka malah saling menunggu untuk menyerang Hantu Puisi.
            
“Ayo! Langsung saja kita bunuh ia!” seru seorang pria, begitu kesal karena semuanya, termasuk dirinya, tak kunjung menyerang.
            
“Kalau ia langsung kita bunuh, apakah para ibu sudah pasti bakal kembali?” sahut pria yang lain, agak lirih. “Lagi pula, kalau ada yang coba-coba menyerangnya, bukankah hantu itu akan segera menyanyikan puisi mbeling yang membuat kita semua tertidur, lantas berada di kamar masing-masing ketika terbangun, sebagaimana yang dilakukannya dua puluh lima tahun silam?”
            
“Dasar pengecut! Bilang saja kalau kau takut!”
            
“Tapi apa yang dikatakannya itu benar!”
            
“Nah! Kau juga pengecut!”
            
“Ayahku tidak pengecut!”
            
“Hei! Ayahmu memang pengecut!”
            
“Tidak! Ayahmu yang pengecut!”
            
Adu mulut yang panas pun terjadi di kerumunan itu.
            
“Aku tidak akan mengembalikan para ibu sebab kini mereka telah merdeka,” mendadak Hantu Puisi berkata lantang, membuat orang-orang yang mengerumuninya seketika berhenti beradu mulut.
            
“Merdeka?! Apanya yang merdeka kalau kauculik?!” teriak seorang perempuan remaja, disusul oleh teriakan-teriakan dari yang lainnya.
            
Kemudian, Hantu Puisi bersiul nyaring.
            
Orang-orang pun terpana …
            
Tahu-tahu saja para ibu, yang menghilang pagi tadi dan dua puluh lima tahun silam, sudah berada di sekeliling mereka. Ya! Di sekeliling mereka, berbaur dengan kerumunan itu! Ajaibnya lagi, para ibu yang menghilang dua puluh lima tahun silam pada tampak tak bertambah tua sama sekali!
            
“Ibu!”
            
“Nenek!”
            
“Istriku!”
            
“Mertuaku!”
            
Tapi para ibu tak tergerak hatinya oleh pekikan-pekikan pun pelukan-pelukan penuh haru yang mereka peroleh. Sekonyong-konyong, warna bola mata para ibu berubah menjadi merah menyala—begitu terang!—mengejutkan para anak dan para suami sehingga mereka reflek bergerak mundur beberapa langkah—dan terjadilah tabrakan-tabrakan kecil antara tubuh satu dengan tubuh lainnya di dalam kerumunan itu. Lalu, para ibu berteriak, “Biarkan kami tetap merdeka!!!”



*) Cerpen ini dimuat di Bali Post pada tanggal 6 November 2016.

KAU YANG BERCERITA

Wine glass the wine bottle bullet match still life/Lukisan Abstrak Bernard/Foto: id.aliexpress.com

Kau yang Bercerita
kepadaku, kau pernah bercerita tentang
ngarai yang lugu dan arwah-arwah
penuh lelah di rumahmu yang gagu.
*
/1/ ngarai lugu
kokang senapanmu, burai isi
kelaminku: tiada perangai yang
sebusuk ngarai. kepadamu, pelor-
pelor mengadu untuk pinta
yang berpadu di atap-atap
rumah. dan di atap-atap rumah
ada serpihan-serpihan badai
yang sedang menanti tidurmu.
kepadaku, ada yang bercerita:
kepak sayap hujan menerbangkan
apa yang ada di dalam kepalamu.
ngarai yang lugu mungkin tak
mengerti cara memagut rindu-rindu
purba dan gagunya randu yang
mempersiapkan tidurmu. tapi ia
dapat mempersiapkan kekalahanmu
yang sedia menjamu.
/2/ arwah-arwah penuh lelah
kematian bagi mereka serupa lelah
yang sehat dan menyenangkan,
seumpama kata-kata yang kadang
mengenyangkan. ternyata,
kelelahan adalah resep menuju
cinta pada rumahmu: kegaguan
yang abadi selain di kehidupan.
anak-anak maut berada di cermin,
kolong ranjang, kaca jendela, serta
di keremangan kamar tidurmu.
setelahnya, tidur bagimu adalah
cara untuk bunuh diri yang tak
pakai lelah. lelah itu tersimpan rapi
di lari pagimu dan di kesedihanmu
yang bertubi-tubi. hingga malam
terlarut di secangkir kopi, lelap hanya
mengetuk-ngetuk pintu kamarmu;
kepalamu tersembunyi di bawah
bantal yang tertimpa seribu kepala
yang berbeda setiap harinya.
*
kepadaku, kau pernah bercerita tentang
ngarai yang memudarkan kata-kata
dan arwah-arwah penuh lelah yang,
ke dalam sedihmu, hendak bertamu.

Peluru di Benakku
kau tak pernah usai mengendus
mesiu di tingkah laku dan
pikiranku. panas timah yang
mematangkanku memanggil-
memanggul nama-nama peristiwa
di sekitaran kita yang perlahan-lahan
dipalsukan, atau dilupakan.
*
kembali ke beberapa hari yang
lalu, ketika dengan sepucuk revolver
kau melubangi pelipisku, dan
aku memekik geli seraya mencubit
pipimu saking gemasnya. bau
mesiu yang membikin paru-paruku
jatuh cinta adalah aroma yang
membikin hidungku patah hati.
darahku yang mengucur deras
digunakan oleh seorang dewi cantik
untuk keramas, atau untuk mencuci
bajunya yang selangit punya harga.
dan keesokan harinya sang dewi
lesap entah ke mana, entah bagaimana.
*
aku mengecap karat pelatuk
di ciuman kita.

Sibuk Mati*
aku sedang sibuk mati hari ini. aku
sedang sembuh dari sakit yang
mengendap di jantungku dan di
jantungmu. aku sedang pulang dari
kepulangan lainnya yang tak
kunjung tampak. “selamat tinggal.”
*) Puisi ini terinspirasi dari puisi “Minggu” karya Joko Pinurbo.


Puisi-puisi ini dimuat di Nusantaranews.co pada tanggal 6 November 2016.

Minggu, 09 Oktober 2016

KOTA, IA, DAN MALAM

Kota, Ia, dan Malam

/1/

dan menu makan malam yang
dicintainya pun perlahan mendekat,
menyebarkan aroma udara kota dari
uap kuahnya. dan ia tak pernah
sendirian di sana, meski di malam
yang paling sunyi sekalipun: paling
tak berbunyi dan tanpa ampun. dan
lagu-lagu penghabisan pun mulai
terdengar dari sudut kafe, dari lubang
speaker yang mengingatkannya pada
rakus malam juga tikus-tikus yang
memberi salam.

tanggal-tanggal pada kalender
rupanya tak lagi ada yang merah:
seluruhnya kelam, memeram
sejumlah dendam.

/2/

ia menetap di sana seperti sayap-sayap
kesedihan. di meja makannya cuma
ada makam malam. makam bulan.
dan jendela-jendela rumahnya yang
tak berkaca pun secara pelan-pelan,
tanpa ia ketahui, serempak memejam.
tapi ia tetaplah di sana seolah malam
adalah detik-detik pemakaman ibunya;
seolah malam adalah menu makan
malamnya. dan bohlam-bohlam lampu
di rumahnya yang selalu enggan menyebar
terang pun, secara diam-diam, mulai
memancarkan kegelapan.

berapa hari lagi hingga tanggal
merah tiba di kalender itu?

/3/

baginya, malam hari adalah saat
yang tepat untuk merekahkan dendam
yang dikeram, seumpama bibit-bibit
kantuk yang pudar dan karam. di saat
gelap dan lelap adalah dua hal yang
terus sambung-menyambung, maka
dirinya ingin menyabung mimpi dengan
kata “tetapi”. namun, malam yang satu
itu terlampau keji dan sepi, dan
memaksanya menyulut rokok tanpa
api.

di kemudian hari, tanggal-tanggal merah
yang lenyap pun muncul sebagai tanggal-
tanggal yang tak bermulut dan senyap.

Denpasar, 2016




Kasino Tua

/1/

di sebuah lelap, permainanmu yakin
akan dipertaruhkan oleh para perindu
mimpi. dan percayalah, mereka tidak
memburu, hanya biru merindu di antara
lirik-lirik doa yang semakin sendu.

di antara aroma apak ruangan dan basah
kesaksian, kita hendak bertaruh atas
permainan yang selama ini—ternyata
—telah mempermainkan kita: bertaruh
pada kata, pada hujan doa yang terbata-
bata.

lalu dari manakah jatuhnya koda yang
enggan berkata-kata?

/2/

ringkik kuda. tawa roda. serdawa
kaleng soda. posisi keempat adalah
titik lelap pada noda.

nada-nada yang bermuncratan dari
mulut senapan tidak akan membawamu
pada manuskrip tidur dan dansa spontan
yang meresahkan. lalu, di antara kisah dan
gelisah yang terasah, kau tak juga berjumpa
mata yang basah—sebagaimana kesaksian.
nada-nada yang kelak berlompatan dari atap
gedungmu pun tiada ingin bunuh diri. “mereka
hanya ingin bebas dalam sendiri.”

ringkik kuda. tawa roda. serdawa
kaleng soda. posisi keempat adalah
kematian yang menggoda.


Denpasar, 2016



*) Puisi-puisi ini dimuat di Medan Bisnis pada 9 Oktober 2016.

MALAM TIADA HENTI -- Sebuah Prosa

Tibalah hari ketika matahari tiada tampak dalam jangka waktu yang teramat panjang. Bola cahaya itu tiadalah bersembunyi di balik kulit mega-mega, maupun di balik selaput cakrawala malam kelam—tetapi kekelaman itulah yang sesungguhnya sedang abadi, sebagaimana malam yang hendak mencelakai Bumi. Di manakah sang mentari bersembunyi?
            
Seorang pria—penduduk desa—yakin bahwa matahari dicuri oleh seseorang. Seorang gadis yang terbungkus dalam sebuah kandang kumuh nan suram, beraroma tengik—mengundang muntah. Bisakah gadis “miring” itu berlaku sedemikian kejam? (Bukankah warga desa juga memperlakukannya sedemikian kejam?)
            
Kembalikan matahari! hardik si pria pada suatu malam yang sepi, kepada gadis yang “miring” itu. Kau akan mencelakai dunia!
            
Yang “miring” pun tersenyum miring, lantas tertawa terbahak-bahak dalam rangka merayakan kemenangan serta kewarasannya.
            
Kalimat-kalimat jadilah pedang; jadilah anak-anak panah; jadilah bom. Berperang! Hingga akhirnya yang “miring” mengacak-acak tumpukan feses—produknya—di sudut kandangnya. Lantas tergenggamlah sebuah bola oranye seukuran kepalan tangan. Ini matahari, ucap si gadis “miring” kepada si pria “lurus”. Lemparkanlah bola ini ke angkasa, maka kau akan melihat hasilnya.

            
Kemudian si pria “lurus”, penuh keraguan, melemparkan bola itu ke angkasa, hanya saja tak terjadi apa-apa. Ia ditipu! Ia murka! Tetapi ia tak pernah tahu bahwa matahari habis dimakan oleh para malaikat.



*) Prosa ini dimuat di Bali Post pada tanggal 9 Oktober 2016.

Minggu, 25 September 2016

POHON, API, REMBULAN, DAN LAPISAN TANAH TERBAWAH -- Sebuah Prosa


Ilustrasi oleh: Surya Gemilang



Ibuku adalah salah satu pohon yang menjulang di antara pohon-pohon lainnya, membentuk sebuah hutan yang tiap hari berisik selalu oleh daun-daun yang saling bergesekan sebab dijilati arus angin. Tiada lain ibukulah yang bersuara paling merdu, paling menenangkan jiwa, paling tahu bagaimana cara untuk membikin kedua sudut bibirku melengkung ke atas, hingga laksana bulan sabit.
            
Ayahku adalah api. Api dari segala macam api. Terpanas di antara panas-panas lainnya. Ia begitu mengerikan. Ia keluar dari mulut seekor naga merah yang teramat besar, meluncur mengoyak gelap malam dan kesunyiannya, kemudian melahap dedaunan pada dahan-dahan Ibu. Ibu pun menjerit nyaring. Daun-daunnya menghitam, mengerut, lantas hancur dan menghujani permukaan berumput yang juga dilapisi tirai Ayah.
            
Adikku adalah langit malam. Bocah itu hanya dapat bersiul pilu kala Ayah menjilati Ibu. Suluruh kengerian meliputi tatap matanya yang sedari lahir hingga kini teruslah sendu, sebagaimana lapisan tanah terbawah.
            
Dan, lapisan tanah terbawah itu adalah aku. Begitu jauh dari Ibu, Ayah, juga Adik. Aku mendapati semua kenyataan yang kuceritakan padamu ketika, setelah beribu-ribu tahun lamanya, akhirnya ada seseorang yang menggali tanah hingga mencapai tempatku.


Denpasar, 2015



*) Prosa ini dimuat di Bali Post pada tanggal 25 September 2016.

Sabtu, 17 September 2016

NOR DOMAT -- Sebuah Cerpen




Seluruh penduduk Desa Polepa kini merasakan buah dari selalu absennya mereka dalam bersembahyang: menyebarnya berbagai penyakit mematikan—yang tak bisa ditangani oleh mantri terbaik sekalipun—dan kegagalan panen bertubi-tubi. Padahal, sudah sedari lama seorang pria tua bernama Nor Domat mengingatkan seluruh penduduk Desa Polepa, dengan mendatangi rumah mereka satu per satu, untuk tidak lupa bersembahyang, sebab bisa-bisa Tuhan kecewa, lantas menjatuhkan kesengsaraan ke Desa Polepa. Namun yang Nor Domat peroleh adalah pengusiran demi pengusiran sebab peringatan darinya dianggap omong kosong. Semua orang Polepa yang pada miskin itu merasa lebih baik bekerja untuk mencari uang ketimbang buang-buang waktu untuk bersembahyang. (Sesungguhnya, dulu mereka pada rajin bersembahyang. Tapi karena mereka tetap saja miskin meski sudah bersembahyang berkali-kali, mereka pun tak lagi sudi bersembahyang.)
            
Berkat kesengsaraan yang kini menghujan, Nor Domat mendapatkan kepercayaan dari para penduduk Desa Polepa; terbukti dengan datangnya mereka—beramai-ramai—ke rumah pria tua itu demi meminta solusi atas segala masalah yang menimpa.
            
“Sudah kuingatkan sedari dulu untuk jangan lupa bersembahyang!” bentak Nor Domat. “Tapi kalian malah mengusirku dan menganggap peringatanku sebagai omong kosong!”
            
“Tolonglah kami! Kami menyesal! Mulai sekarang, kami akan selalu mendengarkan nasihat-nasihatmu!”
            
Sebab kesakithatian—buah dari pengusiran-pengusiran yang dulu diperolehnya—itu masih bersemayam di hati Nor Domat, tetapi ia ingin membantu para penduduk Desa Polepa, ia pun berkata, “Ikuti saja segala hal yang kulakukan!” kemudian menutup pintu dengan keras di hadapan mereka.

***

Keesokan harinya, salah seorang penduduk Desa Polepa dikirim untuk mengamati-secara-diam-diam segala kegiatan Nor Domat di dalam rumahnya—melalui jendela, lubang udara, dan lain-lain—seharian penuh, dan mencatat kegiatan-kegiatan itu sedetail mungkin di sebuah buku catatan. Ya, sedetail mungkin! Mulai dari seberapa sering Nor Domat bersembahyang, bagaimana sikapnya saat bersembahyang, bahkan hingga bagaimana cara ia membersihkan pantatnya seusai buang air besar! Sesungguhnya, Nor Domat tahu bahwa dirinya diamati-secara-diam-diam seharian penuh, tetapi ia memilih untuk pura-pura tidak tahu.
            
Di hari-hari tertentu kala Nor Domat pergi ke sebuah hutan untuk bermeditasi, ada pula seorang penduduk Desa Polepa yang dikirim untuk mengamatinya-secara-diam-diam—tentu saja orang Polepa itu membawa sebuah buku catatan dan alat tulis.
            
Akhirnya, tercatatlah segala kegiatan Nor Domat selama satu minggu penuh. Catatan itu pun segera diperbanyak, kemudian disebarkan ke seluruh penduduk Desa Polepa yang sudah bisa membaca. Dan, satu hari setelah catatan yang diperbanyak itu disebar, para penduduk Desa Polepa mulai melakukan segala hal yang Nor Domat lakukan.

***

Ketika Nor Domat tiba di hutan itu buat bermeditasi, sungguhlah terkejut dirinya sebab mendapati para penduduk Desa Polepa telah berkumpul di sana untuk bermeditasi pula.
            
Ketenangan yang biasa didapatnya saat bermeditasi pun tak lagi ada karena sebagian besar penduduk Desa Polepa yang berada di hutan itu tidak bisa fokus selama bermeditasi, lalu pada krasak-krusuk. Nor Domat memutuskan untuk menganggap ketidaktenangan itu sebagai tantangan dalam bermeditasi. Sayangnya, ia gagal menaklukkan tantangan itu dan merasa geram karenanya.
            
Sebab kejadian semacam itu terulang-ulang terus di kemudian hari, terulang-ulang terus pula kegagalan Nor Domat dalam mengatasinya, ia pun bertekad untuk merusak kepercayaan para penduduk Desa Polepa terhadap dirinya.

***

Suatu hari, seorang gadis mengatakan bahwa dirinya diperkosa oleh Nor Domat. Alih-alih bersedih dan merasa ternodai, gadis itu malah bahagia sebab merasa telah dikaruniai. Padahal, Nor Domat melakukan pemerkosaan itu agar dirinya dianggap tak baik oleh para penduduk Desa Polepa dan kehilangan kepercayaan mereka. Kalau kepercayaan itu sudah hilang, tentu saja mereka tak akan mengikuti segala kegiatannya lagi—Yang terpenting dari semuanya, aku akan mendapatkan ketenanganku kembali saat bermeditasi, pikir Nor Domat.
            
Ketika berita itu telah menyebar di sekujur Desa Polepa, terjadilah apa yang disebut “kawin massal”—itu hanya terjadi pada orang-orang yang alat reproduksinya sudah berfungsi. Apa yang ada di pikiran mereka adalah Tuhan, melalui Nor Domat, mengisyaratkan bahwa orang-orang Polepa harus segera melanjutkan keturunan dikarenakan sudah banyak yang mati berkat berbagai penyakit mematikan yang menyebar. Dan, kepercayaan mereka terhadap Nor Domat tidaklah lenyap sama sekali.
            
Nor Domat hanya bisa mendesah kecewa begitu mengetahui usahanya gagal. Tapi itu baru usaha pertama, batinnya.
            
Keesokan harinya, seseorang mengumumkan, “Nor Domat telah membunuh seorang pria di pasar!” Kebetulan sekali, pria yang dibunuh oleh Nor Domat itu adalah seorang preman. Apa yang para penduduk Desa Polepa pikirkan adalah Tuhan, melalui Nor Domat lagi, mengisyaratkan bahwa para preman yang telah membikin resah mesti dimusnahkan karena dosa mereka terlampau banyak. Maka, beberapa saat setelah berita tentang pembunuhan-yang-dilakukan-Nor Domat itu menyebar di sekujur Desa Polepa, preman-preman di desa itu pun pada dibantai oleh orang-orang yang selama ini merasa diresahkan.

***

Sehari setelah pembantaian terhadap preman-preman itu, seseorang menemukan mayat Nor Domat mengambang di danau.
            
Tak ada yang tahu bahwa pada hari ketika para preman dibantai, saudara kembar preman-yang-Nor Domat-bunuh-di pasar berhasil masuk ke kediaman Nor Domat secara sembunyi-sembunyi—setelah berhasil menyelamatkan diri dari pembantaian itu—lantas, dari belakang, mencekik pria tua itu hingga tewas. Selanjutnya, secara sembunyi-sembunyi pula, ia menyeret-membuang jasad Nor Domat ke danau, lalu melarikan diri entah ke mana.
            
Para penduduk Desa Polepa berpikir bahwa kematian Nor Domat adalah sebuah isyarat dari Tuhan. Yang Mahabesar menganggap dosa-dosa seluruh orang Polepa sudah terlampau banyak dan tak dapat diampuni lagi, sehingga sebaiknya mereka mati saja sebelum semakin banyak menciptakan dosa di dunia ini.
            
Maka, apa yang terjadi kemudian adalah …



*) Cerpen ini dimuat di Rakyat Sumbar pada Sabtu, 17 September 2016.
**) Cerpen ini terinspirasi dari cerpen "Nini Sang Pengoceh" karya Moch Satrio Welang dan "Dodolitdodolitdodolibret" karya Seno Gumira Ajidarma.