Minggu, 18 Februari 2018

PERTUNJUKAN TENTANG PARA PENCARI KEBEBASAN --- Sebuah Cerpen

Di tengah laut yang tak bergelombang sedikit pun, aku melihat tiga orang bocah—satu lelaki, satu perempuan, satu tak jelas apakah lelaki atau perempuan—yang sedang berkumpul.

Si Bocah Lelaki, duduk di punggung mayat yang mengapung. “Tadinya aku cuma seorang budak di Kapal Searagoon. Ya, tadinya. Tapi tidak lagi semenjak ada Bintang Jatuh. Ya, Bintang Jatuh!”

Si Bocah Perempuan, duduk di sepedanya yang beroda empat. “Ah! Kau pasti langsung mengucapkan permohonan, kan?”

Si Bocah Lelaki. “Ya! Ya! Permohonan! Dalam hati aku berkata begini: O, Bintang Jatuh, aku tak mau lagi jadi budak di kapal ini. Aku mau bebas! Ya, bebas! Tapi aku tidak langsung bebas saat itu juga. Aku mesti menunggu selama beberapa jam. Ya, beberapa jam!”

Si Bocah Perempuan. “Lalu apa yang terjadi beberapa jam kemudian, sampai kau bisa bebas dari kapal itu?”

Si Bocah Lelaki, agak kesal. “Bisakah kau tak usah menyela ceritaku? Ya, bisakah?!”

Si Bocah Perempuan menunduk, ada sedikit penyesalan yang ditunjukkan melalui raut wajahnya.

“Baik, aku akan melanjutkan ceritaku.” Si Bocah Lelaki berhenti sebentar untuk berdeham. “Jadi, beberapa jam setelah aku mengucapkan permohonan itu pada Bintang Jatuh, Kapal Searagoon diserang oleh sekelompok bajak laut. Ya, sekelompok bajak laut! Mereka mengambil benda-benda berharga di Kapal Searagoon setelah membunuh semua anggota kapal itu, kecuali aku, karena aku masih kecil. Ya, begitulah kata salah satu anggota kelompok bajak laut itu!”

Hening beberapa jenak. Si Bocah Lelaki tak kunjung melanjutkan ceritanya.

Si Bocah Perempuan. “Apa kau melupakan lanjutan dari ceritamu?”

Si Bocah Lelaki. “Tidak, aku tidak lupa. Tapi aku mau mendengarkan cerita dari kalian berdua terlebih dahulu sebelum melanjutkan ceritaku. Ya, cerita dari kalian berdua!”

“Baiklah, aku akan bercerita.” Si Bocah Perempuan diam sejenak, memerbaiki posisi duduknya di sepeda. “Tadinya aku hanya orang yang dikurung di sebuah kamar di Rumah Bahagia. Setiap malam, selangkanganku selalu disakiti oleh para lelaki dewasa yang tak aku kenal. Karena itulah aku ingin bebas. Dan, tadi malam, dari jendela, ketika aku melihat ada Bintang Jatuh, aku cepat-cepat mengucapkan keinginanku-untuk-bebas. Tiba-tiba ada sebuah sepeda beroda empat yang jatuh dari atas. Maksudku, dari langit-langit kamarku. Sepeda itu, sepeda yang kududuki sekarang, mendarat di atas kasur.”

Si Bocah Lelaki. “Apa tiba-tiba ada lubang di langit-langit kamarmu? Ya, lubang!”

“Tidak ada. Pokoknya, sepeda ini jatuh dari sana begitu saja, entah bagaimana bisa. Aku pun menurunkannya dari kasur dan menggunakannya untuk berputar-putar di kamarku. Lalu pintu kamarku dibuka dari luar oleh seorang pria asing dan, entah kenapa, aku reflek mendayung-kencang sepedaku untuk menabrak pria itu, kemudian terus melaju melewati pintu.”

Si Bocah Lelaki. “Apa pria itu mati?”

Si Bocah Perempuan, agak kesal. “Rupanya kau juga suka menyela.”

Si Bocah Lelaki mendecak.

“Aku tak tahu apa pria itu mati atau masih hidup,” lanjut si Bocah Perempuan. “Aku tak memerhatikannya karena selanjutnya aku cepat-cepat mengarahkan sepeda untuk keluar dari Rumah Bahagia. Lantas …. Nah, aku juga mau menyimpan ceritaku dulu.”

Si Bocah Lelaki dan si Bocah Perempuan pun serempak menoleh ke bocah yang tak jelas apakah lelaki atau perempuan itu—agar lebih mudah, sebut saja ia si Bocah Tak Jelas. Si Bocah Tak Jelas hanya menunduk malu.

Si Bocah Lelaki, kepada si Bocah Tak Jelas. “Hei, sekarang giliranmu untuk bercerita. Ya, giliranmu!”

Si Bocah Tak Jelas tetap menunduk malu tanpa bersuara sedikit pun.

Si Bocah Perempuan menatap sebuah balon gas berwarna merah yang salah satu ujung talinya terikat pada pinggang si Bocah Tak Jelas, yang membuatnya melayang sekitar lima sentimeter di atas permukaan laut. “Omong-omong, dari mana kau mendapatkan balon gas itu? Apakah dari Bintang Jatuh?”

Si Bocah Lelaki. “Balon gas itukah yang kuat, atau kau yang terlalu kurus sampai-sampai balon gas itu bisa mengangkatmu? Ya, atau kau yang terlalu kurus?”

Si Bocah Tak Jelas tetap diam, tetap menunduk malu, bahkan hingga beberapa menit kemudian.

“Kalau begitu,” kata si Bocah Lelaki, terkesan tak sabar, “biarkan aku melanjutkan ceritaku. Ya, ceritaku!” Si Bocah Lelaki berdeham. “Setelah aku dipindahkan ke kapal bajak laut, mereka langsung menghancurkan Kapal Searagoon dengan meriam. Tapi, setelah Kapal Searagoon hancur, tahu-tahu kapal bajak laut itu meledak! Ya, meledak! Aku tidak tahu kenapa …. Yang jelas, kapal bajak laut itu hancur, orang-orang di dalamnya terpental, termasuk aku, dan mati … kecuali aku. Ya, kecuali aku! Agar tidak tenggelam—karena nantinya aku pasti lelah berenang—aku pun cepat-cepat mencari sesuatu-yang-mengapung. Dan, mayat kapten bajak laut yang kududuki inilah sesuatu-yang-mengapung yang terdekat. Ya, mayat ini!

“Setelah duduk di atas mayat ini, aku langsung mendayungnya dengan kedua tangan, berharap akan bertemu dengan siapa saja yang mau menolongku. Akhirnya, sampailah aku di sini, di tempat kita bertiga berkumpul ini. Ya, di sini!”

Hening selama beberapa jenak. Si Bocah Lelaki melempar tatapan ke si Bocah Perempuan dan si Bocah Tak Jelas secara bergantian, sebelum berkata, “Ceritaku sudah selesai. Ya, sudah selesai!”

Si Bocah Perempuan, kepada si Bocah Lelaki. “Sekarang kau memang sudah bebas dari kapal itu. Sudah tidak menjadi budak lagi. Tapi, apa kau sudah merasa benar-benar bebas?”

Tersentaklah jantung si Bocah Lelaki oleh sebab pertanyaan itu. Ia pun menunduk. Tangannya mengais-ngais air laut. Bungkam. Berpikir keras.

Si Bocah Perempuan menoleh ke si Bocah Tak Jelas—yang masih menunduk malu seperti tadi. “Apa kau mau bercerita sekarang?”

Si Bocah Tak Jelas taklah menjawab.

Si Bocah Perempuan. “Kalau begitu, aku akan melanjutkan ceritaku.” Ia terdiam sebentar dan sekali lagi memerbaiki posisi duduknya di sepeda. “Jadi, begitu aku keluar dari Rumah Bahagia dengan sepeda ini, Bos Besar—majikanku—dan kedua pengawalnya langsung mengejarku. Aku panik dan mengayuh sepeda dengan lebih cepat. Sehubung aku sangat jarang keluar dari Rumah Bahagia sehingga hanya satu jalan yang kuhafal, aku pun melaju mengikuti satu-satunya jalan yang kuhafal itu. Itu adalah jalan menuju pantai.

“Bos Besar dan kedua pengawalnya tak juga berhenti mengejarku sesampainya aku di pantai. Barangkali karena bertambah panik, aku dengan sendirinya mengarahkan sepeda ke laut, dengan perasaan ingin bunuh diri seperti yang pernah kurasakan beberapa kali sebelumnya. Dan, keajaiban itu pun muncul: sepedaku ini ternyata bisa berjalan dengan baik di atas air! Tentu saja setelah itu Bos Besar dan kedua pengawalnya tak bisa lagi mengejarku. Mereka hanya berteriak-teriak marah dari tepi pantai, sementara aku semakin jauh. Kemudian, sampailah aku di sini …. Selesai.”

Si Bocah Lelaki, sembari mengais-ngais air laut. “Apa sekarang kau sudah merasa benar-benar bebas? Ya, benar-benar bebas?!”

Si Bocah Perempuan menggeleng pelan.

Si Bocah Lelaki, kepada si Bocah Tak Jelas. “Nah! Cerita kami berdua sudah selesai. Sekarang benar-benar tiba giliranmu untuk bercerita. Ya, giliranmu!”

Mendadak si Bocah Tak Jelas bergerak cepat melepas simpul tali balon gas di pinggangnya, hingga kemudian balon gas itu terbang, sementara dirinya terjatuh ke laut dari ketinggian sekitar lima sentimeter, dan tenggelam ….

Si Bocah Lelaki dan si Bocah Perempuan terkejut. Bukan hanya karena tindakan si Bocah Tak Jelas, juga sebab gelombang yang tiba-tiba hadir-berkelanjutan, yang kemunculannya berpusat pada titik di mana si Bocah Tak Jelas tenggelam. Gelombang itu tenang saja sebenarnya, tapi tetaplah mampu membuat si Bocah Lelaki dan si Bocah Perempuan nyaris kehilangan keseimbangan di atas tunggangan masing-masing.

***

Di antara awan-gemawan, kulihat sebuah balon gas berwarna merah yang terus bergerak naik. Lalu kulihat pula ada seekor burung berbulu biru yang melintas tak jauh dari balon gas itu. Si Burung Berbulu Biru sempatlah berpikir untuk mematuk balon tersebut, tapi ia ragu-ragu karena balon yang satu itu terus berseru bahagia karena baru sajabebas, dan dipikirnya pasti akan kasihan betul dirinya jika dipecahkan saat itu juga.

Kemudian, aku melihat ada seekor burung berbulu putih yang melintas amat cepat di atas si Burung Berbulu Biru, lantas menukik tajam ke arah balon gas merah yang berbahagia itu, dan mematuknya hingga pecah.

Si Burung Berbulu Biru, kepada si Burung Berbulu Putih. “Jahat sekali kau! Kau merusak balon gas yang berbahagia karena baru saja bebas itu!”

Si Burung Berbulu Putih, kepada si Burung Berbulu Biru. “Jahat? Tidak. Apa kau tahu bahwa yang berseru-seru bahagia itu bukanlah balon tersebut, melainkan gas yang berada di dalamnya?”

***

Aku melihat si Bocah Tak Jelas tenggelam … semakin dalam …. Ia bingung kenapa dirinya tak kunjung mati meski telah tenggelam.

Tak sebentar kemudian, dirinya pun mendarat di dasar laut yang gelap.

Apakah di sini ada kebebasan? batinnya. Kalaupun tak ada kebebasan, setidaknya di sini tak akan ada lagi yang bertanya-tanya padaku—menanyakan kenapa aku memilih untuk kabur … apalagi menanyakan apakah aku lelaki atau perempuan.

Tampaklah dua ekor ikan seukuran dua kali si Bocah Tak Jelas yang melintas lambat tak jauh darinya. Sepasang mata kedua ikan itu memancarkan cahaya kemerahan. Dan, cahaya kemerahan itu menjangkau tubuh si Bocah Tak Jelas.

Ikan Satu, terkejut. “Hei, lihat! Ada seorang bocah tampan di sana!”

Ikan Dua. “Di mana? Di mana? Oh, itu! Eh, bukan! Yang kulihat adalah seorang bocah cantik!”

Si Bocah Tak Jelas. “Tai.”

***

Di tengah laut yang bergelombang tenang, aku melihat dua orang bocah yang sedang membicarakan sesuatu dengan tak tenang. Beberapa saat kemudian, ada pecahan-pecahan balon gas berwarna merah yang terjatuh tepat di kepala mereka. Entah mendarat di manakah talinya.


*) Cerpen ini dimuat di Semay Media pada tanggal 15 Februari 2018.