Minggu, 23 Mei 2021

DARI LUBANG YANG PANAS, dan Puisi-Puisi Lainnya


 *Sumber Gambar: Jawa Pos, 23 Mei 2021



Dari Lubang yang Panas

 

dari lubang yang panas di tahun 1998,

8.991 ton lumpur meteor terciprat dari

puncak piramid: sebuah kota perlahan

tenggelam, ketika seorang ibu berendam

dalam sakit yang lumer dalam udara:

dari lubang yang hangat meluncur

seorang bocah: seketika ia melihat merah

pekat yang dulu menghukum atmanya.

 

(Jakarta, April 2021)




Nursery Rhyme, 1

 

seorang bocah penyendiri, cuma bocah itu sendiri

malam itu ingin bunuh diri

ia ambil pisau di laci

lantai ternoda darahnya suci

 

seorang bocah penyendiri, cuma bocah itu sendiri

malaikat hitam tiba kemari

ke kamarnya dengan pintu terkunci

di tangannya ada sabit yang suci

 

seorang bocah penyendiri, cuma bocah itu sendiri

ia terbang ke langit sendiri

sendiri, sendiri, sendiri

di akhirat ia tetap sendiri

 

(Jakarta, Mei 2021)

 

 

 

Nursery Rhyme, 2

 

papi berteman dengan banyak polisi

setiap saat ia dicari para polisi

 

papi bermain dengan banyak polisi

di loteng rumah ia suka sembunyi

 

papi sangat jago sembunyi

di petak umpet ia tak pernah kalah dari polisi

 

papi berteman dengan banyak polisi

setiap saat ia dicari para polisi

 

papi bermain dengan banyak polisi

dan kemarin mereka bermain hal lain

 

papi digandeng ke lapangan oleh polisi

padaku papi bilang, “jaga ibu, oh Sisi”

 

papi baik dan baik juga padanya para polisi

papi dikubur dan para polisi meninggalkannya sendiri

 

“tahun depan kami kembali kemari,”

kata satu polisi dengan senyuman manis

 

“kuburnya akan kami gali

dan giliran ia mengubur kami sendiri”

 

papi berteman dengan banyak polisi

dan mami tak suka para polisi

 

aku tak suka mami terus menangis

sebab terus marah pada para polisi

 

(Jakarta, Mei 2021)




*) Puisi-puisi ini dimuat di Jawa Pos pada Minggu, 23 Mei 2021.

Senin, 03 Mei 2021

TENTANG KEMATIAN HEMINGWAY, dan Puisi-Puisi Lainnya

*) Sumber gambar: The Dallas Morning News
 


Tentang Kematian Hemingway

 

1/

 

udara juli yang merah

menyeret hemingway

ke ruang bawah tanah

berjumpa sahabat lama

 

selamat pagi, hemingway

lama tak menembak,

senapan berlaras ganda berkata padanya

di tengah gelap membusuk dada tuanya

 

selamat pagi, sahabat,

balas hemingway

hari ini aku menembak

terakhir kalinya

 

2/

 

hemingway merangkul sahabat lama

ke pintu masuk serambi

 

anjing-anjing pemakan bangkai

menunggu di sana

berenang dalam udara juli

semakin merah

 

3/

 

mesiu tertumpah ke laut darah

dan melihat santiago pula manolin

berlayar ke arah lubang peluru

diikuti seekor marlin raksasa

 

semuanya hendak keluar

dari kepala hemingway

 

(Denpasar, Mei 2020)



Kisah Ramayana Versi Alternatif

 

sinta berbohong ketika berkata

hanya mencinta rama.

ia jatuh cinta kepada hanuman

kala sang wanara menyusup ke alengka

membawa cincin emas.

 

“pakailah cincin ini, untuk membuktikan

kesucian lagi kesetiaan kau kepada rama,”

ucap hanuman.

 

“kupakai cincin ini sebagai simbol

bahwa aku menerima lamaran kau,”

balas sinta, tanpa sang wanara duga.

rupanya sinta dapat membaca cinta

pada keluguan tatap mata seekor kera,

cinta yang sama-sama mereka rasa

seperti hutan tumbuh seketika.

 

maka membaralah cinta mereka

seperti api rama membakar sinta,

cinta yang lebih tertutup

ketimbang letak istana rahwana,

hingga agni sekalipun meyakini

kesetiaan sinta kepada rama.

 

sinta tak pernah terlunta seorang diri

sehabis diusir rama dari ayodya,

sebagaimana hanuman tak pernah

sibuk bertapa di kendalisada.

 

sesungguhnya mereka terbang

menuju berbagai rahasia,

bercinta hebat di udara,

di berbagai macam buana,

dan menghapus cita-cita

mencapai moksa.

 

akhir cerita,

cinta dan tubuh mereka

tak akan bosan berpetualang,

tak akan lesap sekalipun ramayana

dilupakan seluruh dalang.

 

(Denpasar, Mei 2020)



Laporan tentang Akutagawa

 

akutagawa belumlah mati.

ia tak pernah menenggak barbital.

mayat yang ditemukan hanya

mayat yang mirip dengannya

 

mayat yang dipilih untuk manipulasi.

akutagawa sesungguhnya menyepi

di dunia kappa. fakta itu kudapati

tatkala aku berlibur ke jepang,

 

berjalan santai di sebuah hutan,

terperosok ke dalam lubang,

dan tibalah aku di dunia kappa,

lalu bla bla bla, hingga berjumpa

 

akutagawa di sebuah gua.

“apakah para kappa lebih baik ketimbang

para manusia secara umum, dan orang-orang

jepang secara khusus?” aku bertanya.

 

akutagawa hanya menggeleng.

“lantas, kenapa kau pergi kemari?”

akutagawa menjawab, “kelak kau

akan memahamiku setelah memahami

 

tulisan yang kalimat lagi gagasannya

selicin kulit para kappa.”

kemudian aku kembali ke dunia normal

diantar beberapa kappa,

 

kembali ke penginapan,

ketiduran di pemandian air panas,

dan bermimpi berdiri di sebuah gerbong

kereta bawah tanah, terjepit orang-orang

 

berseragam kantor,

serasa diremukkan

batu-batu sekeras

cangkang para kappa.

 

(Denpasar, Mei 2020)



Setelah Kebahagiaan

 

setelah ratusan kupu-kupu

berkembang biak pesat di lambungmu

kau memuntahkan semuanya

ketika lampu di ubun-ubunmu

mendadak pecah dan gelap melebar

beratus kilometer di sekelilingmu

 

kau harus menelan kembali

kesemua kupu-kupu, tentu saja

kau harus mengejar kesemuanya

di antara rimbun geligi iblis

yang tak terlihat

yang menyayat kulitmu di sana-sini

hingga kau tenggelam

dalam kolam darah sendiri

 

sementara itu, ratusan kupu-kupu

meninggalkanmu menuju langit

di mana ia yang menembak lampumu

menganga lebar

mengundang kesemua kupu-kupumu

menuju lambung masamnya

 

(Denpasar, Mei 2020)



Fermentasi

 

setelah menaburi diri dengan gula

kau hanyutkan diri dalam darahku

setakterduga terjamah bibir kau oleh

bakteri-bakteri

di tubuhku segera mencintai kau

memeluk tubuh kau

berminggu-minggu

berbulan-bulan

bertahun-tahun

menjadikan kau sesuatu yang awet

lagi memabukkan:

 

entah alkohol entah puisi

 

(Denpasar, Mei 2020)



Tubuhmu, Gedung Apartemen

 

aku pindah ke tubuhmu, menyewa apartemen

di lantai 7, tepat di dada kanan, bertetangga

dengan hantu mantan pacarmu di dada kirimu.

itu hantu paling berisik yang pernah kutemui,

melebihi berisiknya para penghuni lain

di lantai 3 sampai 5: sekitar kelaminmu.

 

sepanjang hari hantu itu berteriak,

menggetarkan apartemenku sampai

retak-retak sekujur dindingnya.

ia ingin menyewa apartemen di lantai 10

—oh, berani-beraninya ia meminta tinggal

di atas apartemen keluarga kecilmu

di lantai 9—bagian yang sengaja

kaukosongkan

mungkin sampai selama-lamanya.

 

“jika bosan dengan apartemen di lantai 7,”

katamu, “kau boleh pindah ke lantai

1, 2, 6, atau 8. di sana kosong

dan bukan karena sengaja dikosongkan.”

 

hantu itu merasa dilecehkan oleh kau

sehingga ia mengamuk dan membuat

dada kananmu berdarah-darah.

 

melihat dada kananmu berdarah-darah,

aku membikin sepucuk senapan

dilengkapi peluru-peluru khusus

untuk membantai hantu tetangga.

dan ketika senapan itu jadi, jadilah

ketololanku mematikanmu:

 

karena hantu itu tak kunjung membuka

pintu apartemennya, padahal sudah

ribuan kali aku mengetuk, aku pun

menembaki pintunya bertubi-tubi,

dan tentu saja peluru itu tak berhenti

di daun pintu, melainkan menembusnya,

menghujani sang hantu yang mengumpet

sampai mampus semampus-mampusnya.

 

tapi aku baru sadar bahwa ada jantungmu

di dalam situ ....

 

(Denpasar, Mei 2020)



Pandemi

 

pintu terbuka

orang-orang tersebut

tetap terkurung

 

(Denpasar, Mei 2020)




*) Puisi-puisi ini dimuat di Lensa Sastra pada 23 April 2021.

PURA-PURA KESURUPAN, TRIK GEMILANG UNTUK AKALI TEKANAN DI TEMPAT KERJA -- Sebuah Esai



Dari seorang teman kini saya tahu, pura-pura kesurupan adalah kemampuan khusus yang penting dimiliki hari ini. Hari di mana kita hidup dalam kekangan kapitalisme, hari di mana kita dipaksa memuaskan fetish kapitalisme, yaitu kecepatan. Fetisisme ini mengharuskan kita menyelesaikan pekerjaan secepat-cepatnya untuk melayani konsumen. Ironis memang, karena ketika kita menjadi konsumen, kita juga menginginkan pelayanan secepat-cepatnya. Dan ini berlaku dalam banyak sekali bidang.

Masalahnya, tak jarang ada kondisi kita tak bisa bertindak cepat dalam bekerja. Ini berakibat fatal, kita mengalami kerugian dengan skala variatif karena tak mampu mengikuti standar kecepatan yang ditentukan. Misalnya kita dicaci-maki atasan karena tak mampu memasak, mengantarkan barang, atau menulis dengan cepat. Kemungkinan terburuknya kita dipecat dari pekerjaan. Padahal kan wajar manusia sesekali butuh kesempatan untuk bergerak lamban, baik untuk mengisi ulang energi yang terkuras sekadar buat mikir.

Lantas, adakah cara untuk mengakali tekanan di tempat kerja yang harus bergerak serbacepat ini, tanpa mengalami kerugian? Dari teman ini saya belajar bahwa cara seperti itu ada. Dan untuk melakukannya diperlukan kemampuan khusus seperti yang saya katakan di awal tulisan: pura-pura kesurupan.

Kesurupan adalah kondisi manusia kehilangan kesadaran, tetapi tidak pingsan. Dalam momen tersebut seseorang akan melakukan hal-hal di luar kontrol diri sendiri, seperti menjerit-jerit dan berkelojotan hebat di lantai seperti cacing tersundut bara rokok. Banyak orang percaya, pada korban kesurupan, jiwanya sedang diambil alih setan.

Lumrahnya, saat ada kita kesurupan, aktivitas di sekeliling bakal terhenti sejenak, baik karena orang-orang lain panik atau sekadar menonton tingkah kita. Di sanalah kuncinya: saat terjadi kesurupan, kecepatan bekerja yang diharapkan kapitalisme itu akan menurun. Dan apakah kita akan dicaci-maki atasan atau dipecat gara-gara kesurupan? Anda tahu sendiri jawabannya.

Kiat ini saya pelajari dari seorang teman saya, sebut saja Raflesia, untuk tidak menyebutnya Mawar. Ia bekerja sebagai pembantu umum di berbagai syuting iklan audiovisual. Sebagai pembantu umum, terutama ketika situasi syuting sudah memanas karena tenggat sudah terlampaui tapi pekerjaan belum selesai, ia selalu dituntut untuk bergerak cepat membuatkan dan mengantarkan teh dan kopi dan gorengan atau makanan apa pun kepada para kru, yang teriakan kesalnya lebih tinggi beberapa oktaf dari situasi normal.

Suatu waktu, Raflesia begitu kelelahan menghadapi para kru yang berteriak, dan ia mengambil keputusan bijak itu: berpura-pura kesurupan. Syuting terhenti beberapa jenak, produser dan produser pelaksana dan asisten sutradara tak lagi menyuruh siapa pun untuk bergerak cepat. Benar-benar siapa pun, tidak hanya si Raflesia sahabat kita itu. Bahkan klien memaklumi perjalanan syuting harus terlambat.

Anda tahu, syuting adalah kegiatan yang sangat mementingkan kecepatan, di samping ketepatan/presisi. Ini akibat dari prinsip terkutuk “waktu adalah uang” yang benar-benar diterapkan. Anda harus menyelesaikan syuting sebelum segala sesuatu yang disewa—studio dan kamera dan properti dan apa pun—berakhir jangka waktu sewanya. Dan apakah Raflesia dicaci-maki atau dipecat oleh atasan setelah memperlamban syuting? Mana berani. Bahkan, setelah usai berpura-pura kesurupan, ia diberi kesempatan untuk diam beberapa jenak, para kru mendadak mandiri dalam membuat/mengambil teh dan kopi dan gorengan; malah setelah usai waktunya untuk diam pun Raflesia diberi pemakluman oleh semua pihak untuk bekerja pelan-pelan. Dan tersebab akting kesurupan Raflesia tadi masih menyisakan kepanikan di kepala para kru lain, mereka turut memperlamban pekerjaan mereka tanpa dibonusi caci-maki.

“Itu adalah pertama kalinya aku sempat berkontemplasi di lokasi syuting,” aku Raflesia kepada saya. “Berpura-pura kesurupan memang melelahkan, tapi setidaknya setelah itu aku bisa beristirahat.”

Selain untuk menghadapi tekanan di tempat kerja yang menuntut apa-apa serbacepat, pura-pura kesurupan juga berfungsi menghibur diri dan kawan-kawan. Ini pernah saya praktikkan sendiri. Waktu itu kelas Matematika sedang berjalan secara menyebalkan, Pak Guru menuntut para murid untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di papan secara cepat sehingga saya memutuskan bertindak heroik. Saya pura-pura kesurupan, berujung dengan diakhirinya kelas sebelum waktunya. Berakhirnya kelas lebih cepat adalah sebenar-benarnya hiburan bagi saya dan kawan-kawan sekelas.

Lantas, bagaimanakah caranya pura-pura kesurupan? Pura-pura kesurupan adalah kemampuan yang harus dipelajari, ia tak bisa kita dapatkan seinstan kemampuan mengisap puting ibu atau berak di celana. Berpura-pura kesurupan adalah kemampuan yang mesti dipelajari, sebagaimana aktor berakting marah dan sedih dan terangsang. Dibutuhkan konsentrasi yang kuat dan latihan yang berulang. Saya sendiri mendapatkan kemampuan ini dari ekstrakurikuler teater semasa SMA. Sedangkan Raflesia mendapatkannya dari menyaksikan sutradara memberikan sejumlah nasihat kepada para aktor. Teman-teman saya yang lain mempelajarinya dari buku karya Stanislavski dan video di YouTube tentang tata cara berakting.

Singkatnya, kita perlu memiliki dan melatih kemampuan berpura-pura kesurupan, sebab kita, sebagai manusia normal, perlu sekali-kali memperlamban tempo pekerjaan yang dituntut cepat selesai. Kapitalisme dan fetish-nya memang menyebalkan, dan kemampuan berpura-pura kesurupan sedikit menyelamatkan kita dari tekanan di tempat kerja. Ya, saya bilang sedikit. Kita tidak mungkin sepenuhnya selamat, kapitalisme sudah telanjur terlalu hebat, tapi sedikit penyelamat jelas jauh lebih ketimbang tidak sama sekali. Dan ternyata obat sementaranya bukan dari buku-buku Kiri, tapi jagat mistis Indonesia.




*) Esai ini dimuat di Mojok.co pada 13 Maret 2021.