Senin, 29 Mei 2023

SEKOLAH PASCAKEMATIAN -- Sebuah Cerpen

*Sumber Gambar: istockphoto.com




Kami membuat Pak Subadi bunuh diri di depan kelas, dan itu bukan kejadian tak menyenangkan terakhir di kelas IPA XIIA. Jumat siang itu kami tak bermaksud membuat Pak Subadi bunuh diri. Tak ada alasan bagi kami untuk membuat ia bunuh diri: ia hanya seorang pria lima puluhan, dengan tubuh seperti gagang sapu yang lapuk dan bengkok, yang tiga kali seminggu hanya menggambar angka-angka dan huruf-huruf dan garis-garis di papan, sambil mengoceh antusias seakan kami fokus mendengarkan pelajarannya. Poin terakhir itu yang terutama sekali membuat kami tak punya alasan untuk membuatnya bunuh diri: ia guru terbaik di SMA kami: saban kelas ia tak berusaha mengganggu kesibukan kami—yang tak berhubungan dengan pelajaran—dan ia tampak baik-baik saja dengan begitu.

Dan kami pikir Pak Subadi akan selamanya baik-baik saja dengan hal itu—dan seharusnya tak ada yang salah: ia tetap mendapat gaji meski kami tak mendapat ilmu.

Aku dan teman sebangkuku sedang membaca sebuah roman picisan, dan dua orang di belakangku sedang membicarakan pacar barunya, dan dua orang di depanku sedang membicarakan istri baru ayah tirinya, ketika mendadak aku tersadar: tak terdengar lagi ocehan antusias Pak Subadi di depan kelas. Ketika itulah aku menoleh ke papan dan aku menjerit sehingga seisi kelas turut menyadarinya: Pak Subadi telah tergeletak di lantai, cipratan darah menutupi angka-angka dan huruf-huruf dan garis-garis di papan. Pria itu tergeletak di lantai dan kulit lehernya menganga, ia berkelejotan seperti ikan yang terpeleset ke wajan berminyak mendidih, di tangannya yang penuh urat ia memegang cutter dengan bilah mencuat.

Tak lama murid-murid dan para guru dari kelas sebelah berkerumun di balik jendela kelas kami, dan para murid dibubarkan semenit kemudian melalui mikrofon di sudut setiap kelas. Mereka tampak baik-baik saja, murid-murid itu; mereka dengan antusias memenuhi lapangan parkir dan memacu kendaraan menjauhi sekolah. Dari lapangan parkir, aku menoleh beberapa jenak ke arah kelasku: para guru berkerumun di sana, mereka merapalkan doa bersama-sama, doa tersebut masih terdengar menggema ketika motor kupacu melewati gerbang, bahkan hingga sekitar seratus meter kemudian.

Esoknya adalah Sabtu, dan sepanjang Sabtu-Minggu grup Line kelas kami dipenuhi perbincangan menyangkut kematian Pak Subadi—yang kami duga kuat disebabkan ketidakmampuannya menghadapi kami—plus argumen-argumen tak penting: “Aku sedang tidak ribut waktu itu,” “Aku sedang mencatat waktu itu,” “Kau yang biasanya paling ribut di kelas,” dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya.

Dan pada Senin siang kami tak lagi berani ribut di kelas matematika. Bukan sebab kami tak ingin guru pengganti Pak Subadi ikut bunuh diri. Tak ada guru pengganti matematika di kelas kami. Pak Subadi memasuki kelas seperti biasa seolah ia tak pernah mati—bahkan di lehernya aku tak melihat bekas sayatan sama sekali. Pantas saja tak ada pengumuman apa pun selama upacara tadi pagi; biasanya akan ada sesi pengumuman khusus sebagai penutup upacara apabila ada berita besar.

Pak Subadi mulai mengoceh antusias seraya menggambar angka-angka dan huruf-huruf dan garis-garis di papan. Bunyi kapur yang menggesek papan membuatku ingin menutup telinga, tetapi aku tak berani. Udara dingin menyusup dari jendela-jendela yang terbuka, tetapi tak ada yang berani menutupnya pun mematikan kipas angin yang berputar kencang dengan poros berdecit-decit. Dengan tangan separuh membeku dan memucat dan gemetar, seperti refleks aku mulai mencatat angka-angka dan huruf-huruf dan garis-garis dari papan, teman sebangkuku dan setiap murid lain di kelas pun melakukan hal serupa. Jangan tanya berapa banyak di antara kami yang menahan diri untuk tak bertanya pada Pak Subadi soal kematiannya di kelas Jumat kemarin.

“Ada yang mau bertanya?” kata Pak Subadi. “Yang paling rumit, atau yang paling remeh—saya ingin mendengarnya. Atau, ada yang tak kalian pahami tentang apa pun itu di kelas Jumat kemarin?”

Teman sebangkuku mengangkat tangan. Telunjuknya tak mengacung lurus. Sikunya masih seperempat tertekuk. Dan kami serempak menoleh ke arahnya. Dan kipas angin mulai bergoyang-goyang tak stabil pada porosnya. Suara dari kelas-kelas lainnya sontak menghilang, seakan seisi sekolah ingin mendengar pertanyaan temanku. Pak Subadi mulai tersenyum sebab—seingatku—inilah saat pertama kali ada murid yang bertanya dalam kelasnya.

“Di pembagian yang itu, Pak,” Temanku menunjuk satu titik di papan dengan telunjuk tertekuk, “seharusnya hasilnya nol. Seharusnya sudah selesai di situ ....”

“Yang mana maksudmu?” Pak Subadi mengernyit sembari mempertahankan senyumnya. “Bisa kau maju dan tolong tunjukkan?”

Jeda beberapa detik, sebelum temanku berdiri, dan dengan langkah seseorang di atas seutas spageti ia berjalan ke samping Pak Subadi, dan menunjuk pembagian yang ia maksud.

“Kalau begitu, bisa tolong kauperbaiki?”

Temanku mengangguk dan mengambil penghapus, jari-jari pucatnya pasti semakin putih karena serbuk kapur. Ia mulai menulis ulang hasil pembagian dengan kapur yang pendek, tampak ia kesulitan karena kuku telunjuknya yang berkuteks merah muda itu lumayan panjang. Dan, terdengar bunyik tak! ketika ia menyambung garis untuk membentuk nol: kuku telunjuknya patah, dan tergeletak di lantai, dan tak sengaja ia injak saat berbalik dari papan untuk kembali ke bangkunya.

Saat bel pertanda pulang sekolah berbunyi, kami pulang dalam keadaan hening. Aku berharap grup Line kami akan penuh perbincangan soal Pak Subadi, tetapi seisi grup rupanya hening. Hingga malam larut aku menahan diri untuk tak menelepon teman sebangkuku, untuk bertanya apa yang ia rasakan saat berdiri di samping Pak Subadi; saat esok paginya kami berjumpa di kelas pun aku masih menahan diri untuk tak bertanya—entah karena apa.

Di gudang aula olah raga, di pagi yang sama setelah jam penjaskes, sesudah aku melakukan ritual rahasia setiap minggu bersama Pak Johan, padanya aku bertanya soal Pak Subadi yang hidup kembali. Guru yang setahun lalu baru lulus kuliah dan mengajar di SMA ini pun menjilat bibirnya yang penuh liur, sebelum ia menjawab, “Itu hanya hal besar yang terlalu kecil kepentingannya untuk dipusingkan. Bukan begitu, Cantik?” Ketika aku bertanya kenapa, ia lanjut menjawab, “Sebab kita dikutuk untuk belajar selamanya—sebusuk apa pun prosesnya.” Dan ia kembali membawaku ke jeratan sepasang lengan yang sekeras daging babi beku.

Pada Rabu siang Pak Subadi memasuki kelas dengan tas hitam yang panjang, sepertinya itu tas stik golf, dan ia mengatakan akan mengadakan ulangan mendadak, dan kuyakin hanya teman sebangkuku yang bisa menjawab ulangan—sebab secara ajaib ia pintar tanpa sering belajar. Dan, kupikir mendapat nilai buruk di kelas seorang guru yang pernah mati taklah elok sama sekali. Maka sesudah lembaran soal dibagikan dan Pak Subadi keluar ke toilet, aku mencontek jawaban teman sebangkuku, murid-murid lainnya pun mulai mengerumuninya—kami mencontek secara cepat berhubung jumlah soal hanya dua butir.  Kira-kira tiga puluh menit kemudian, Pak Subadi kembali; ia meminta kami mengumpulkan lembar jawaban di mejanya. Namun tak ada yang mau mengumpulkan lembar jawaban di meja seorang guru yang pernah bunuh diri. Refleks aku meletakkan lembar jawabanku di atas lembar jawaban teman sebangkuku, murid-murid di depan dan belakang kami lalu melakukan hal serupa, sebelum pelan-pelan para murid lainnya melakukan hal yang sama, dan teman sebangkuku sekali lagi berjalan di atas seutas spageti mendekati Pak Subadi.

Dan inilah awal mula aku merasakan pertanda kejadian tak menyenangkan kedua di kelas kami di bulan itu: “Harap tenang sebentar, saya akan memeriksa jawaban kalian satu per satu secara cepat.”

Kami menunduk. Kami yakin jawaban kami sama semua. Kami tak mau melihat dahi Pak Subadi yang mengerut. Aku bahkan menutup telinga, berjaga-jaga agar tak mendengar napasnya, jika ia mulai menarik-embuskan napas cepat-cepat karena menahan marah. Suara dari kelas-kelas lainnya juga menghilang, seakan seisi sekolah sedang duduk sambil menunduk. Decit poros kipas angin mulai menembus tanganku yang menutup telinga, seakan kipas itu berputar lebih cepat dengan sendirinya. Dan terdengarlah bunyi klik! yang dengan cepat disambung klak!

Aku menoleh ke depan kelas.

Kami menoleh ke depan kelas.

Pak Subadi telah berdiri dengan senapan mesin ringan siaga. Tatapannya nyalang. Ia mulai menembaki kami ....

Dan keesokannya kami bersekolah seperti biasa. Masih ada kejadian-kejadian tak menyenangkan lainnya yang menunggu kami. Baik itu di bulan yang sama, maupun di bulan-bulan berikutnya—dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya. Kami merasa aneh—dan jangan kauminta kami menjelaskan perasaan aneh yang seperti apakah itu. Tetapi, kami berusaha bertingkah seolah tak ada yang aneh pada esok harinya—begitupun seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya.



*) Catatan: Cerpen ini dimuat di kurungbuka.com pada 16 April 2023.