Senin, 23 Januari 2017

TAROM -- Sebuah Cerpen




Tarom akhirnya menerima Surat Peringatan Penggusuran dari pemimpin Penjaga Tanah Negara. Sehari kemudian, Tarom mengumpulkan para kepala keluarga di dalam rumahnya yang tak luas itu. “Mulai besok,” kata Tarom di hadapan para kepala keluarga yang duduk berdesak-desakkan menghadap dirinya, “setiap keluarga wajib menyumbangkan seperdelapan dari uang penghasilan hariannya kepadaku. Uang itu akan kugunakan buat mengusir pasukan Penjaga Tanah Negara yang, berdasarkan isi Surat Peringatan Penggusuran, akan datang kemari sebulan lagi untuk menggusur permukiman kita!”
            
Beberapa jenak, semua hening, ketakutan menatap hari depan.
            
“Bagaimana bisa kau menggunakan uang kami untuk mengusir mereka?” kau bertanya tiba-tiba, memecah hening.
            
“Aku akan membuat sebuah senjata,” jawab Tarom, dingin. “Sebuah senjata yang tak akan pernah dibayangkan oleh siapa pun.”

***

Sebagaimana aku, sebagian besar orang yang telah mendengar rencana Tarom—secara langsung maupun tak langsung—pun ragu dengan rencananya. Memangnya, ia mempunyai ilmu untuk membikin senjata macam itu? Bukankah dulu ia tak tamat SD?
            
Namun, kami tetap menyumbangkan seperdelapan dari uang penghasilan harian keluarga kami kepada Tarom, sebab kami berusaha untuk percaya padanya, terlebih karena pria berusia 43 tahun itu adalah pemimpin di permukiman—yang terletak di bantaran Sungai Cisatoke—ini; orang yang berkali-kali sudah, sebelum dan sesudah kami angkat jadi pemimpin, menuntaskan berbagai permasalahan-yang-berkaitan-dengan-permukiman-liar-ini dengan pihak-pihak luar.
            
Seminggu setelah sistem pungutan harian itu berjalan, Tarom terlihat pulang membawa sebuah kotak kardus. Isinya pasti berat sekali, karena Tarom yang menggendongnya sampai tampak begitu tersiksa.
            
“Aku tak perlu bantuan,” sahutnya ketika kutawari bantuan untuk mengangkat kotak kardus tersebut.
            
Pada hari-hari selanjutnya, Tarom terlihat lagi pulang membawa kotak-kotak kardus berisi sesuatu yang berat. Rupanya, bukan cuma bantuanku saja yang ia tolak; ketika yang lainnya pada menawari bantuan buat mengangkat kotak-kotak kardus itu, bantuan dari mereka pun ditolak. Penolakan-penolakan itu kemudian menimbulkan kesan rahasia—membuat kami penasaran betul dengan isi dari kotak-kotak kardus tersebut, dan senjata macam apa yang akan Tarom buat dengannya.
            
“Sekarang ini, kalian tidak perlu tahu soal senjata apa yang kubuat,” jawab Tarom—kutanya ia saat aku menemuinya di depan rumahnya untuk menyerahkan seperdelapan dari uang penghasilan keluargaku. “Nanti kau dan yang lainnya pasti akan tahu.”
            
“Kalau begitu,” sambung salah seorang kawanku—yang juga datang untuk menyerahkan uang sumbangan, “bolehkah kami masuk ke dalam rumahmu dan melihat proses pembuatan senjata itu?”
            
“Tidak boleh! Pokoknya, proyek-pembuatan-senjata itu rahasia untuk sementara ini!”
            
Dan, kabar soal kerahasiaan proyek-pembuatan-senjata itu pun menyebar dengan cepat di sekujur permukiman kami, lantas membuat semuanya—kecuali Tarom, tentu saja—pada penasaran.
            
“Seandainya Tarom tinggal bersama istri, atau anak, atau siapa saja di dalam rumahnya,” ucap istriku pada suatu malam, “kita pasti akan dengan mudah mengetahui apa yang sebenarnya sedang Tarom kerjakan di dalam sana. Kita, kan, jadi bisa bertanya pada anggota keluarganya yang lain.”
            
Ketika hari penggusuran tinggal seminggu lagi, terjadilah sesuatu yang mengerikan. Sesuatu yang mengerikan itu menimpa Joni Kecil, anak laki-lakiku satu-satunya. Sesuatu yang mengerikan tersebut berhubungan dengan proyek-pembuatan-senjata Tarom.

***

Kau pernah berkata bahwa kau ingin hidup hingga usia 90 tahun—sebenarnya, hanya karena kau menyukai angka itu. Tapi kau mati ketika kau berusia 9 tahun oleh sebab keingintahuanmu yang berlebihan.
            
Sore itu kau tak lagi bersama kawananmu. Kau pergi, seorang diri, secara diam-diam, ke arah rumah Tarom. Setiap rumah di permukiman itu tak mungkin dindingnya tak terbuat dari triplek-berlubang, termasuk rumah Tarom. Melalui lubang-lubang yang ada, kau mengintip ke dalam rumah Tarom, ke setiap ruang yang mampu matamu jangkau. Tidak pernahkah ada orang lain yang mengintip ke dalam rumah Tarom seperti aku? pikirmu sesaat. Kau tidak tahu bahwa sudah banyak orang yang berbuat seperti itu. Hanya saja kau berbeda; kau beruntung. Kau mengintip ke dalam rumah Tarom, tepatnya ke dalam kamarnya, di saat yang benar-benar tepat: senjata yang sedang dalam proses pembuatan itu sedang tak ditutupi dengan selembar kain karena Tarom sedang sibuk mengerjakannya.
            
Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Tatapanmu, yang terarah ke senjata itu, mendadak kosong. Tiba-tiba ada yang menepuk pundak kau; itu adalah ibumu. Kau sama sekali tak dikejutkan oleh tepukan itu; kau sama sekali tak menoleh ke arah ibumu.
            
Baru saja ibumu hendak berkata, Tarom sudah terlebih dahulu, dari dalam kamarnya, berteriak, “Hei! Jangan mengintip!” Dan dengan sendirinya tahulah ibumu akan apa yang sedang kaulakukan sedari tadi.
            
Tahu-tahu kau berteriak, “Gigi Tuhan tinggal dua!!!” lantas berlari, berlari, berlari, menuju tepi Sungai Cisatoke—tak jauh, tentu saja, karena di bantarannyalah permukiman kau dan yang lainnya berada. Berkat keterkejutannya, ibumu tak langsung mengejarmu. Saat kau sudah berada di tepi Sungai Cisatoke dan mengambil sebongkah batu seukuran bola basket yang lumayan berat, barulah ibumu berlari ke arahmu. Ketika akhirnya kau menghantamkan batu itu ke kepalamu—hingga terluka parah—dan kau terhuyung-huyung lalu tercebur ke Sungai Cisatoke yang arusnya sedang tak ramah, ibumu pun, dan siapa pun yang melihat kejadian itu, reflek memekik nyaring.
            
Tarom terlihat muncul dari balik pintu rumahnya tepat ketika kau tercebur ke Sungai Cisatoke. “Tuhan memang sudah tua!” teriaknya dari tempat ia berdiri, tanpa merasa bersalah sedikit pun atas kematianmu.

***

Berkat ibunya, tersebarlah kabar kematian Joni Kecil dan apa yang sebelumnya ia lakukan—sebelum nekat mencari ajal—ke seluruh keluarga yang tinggal di bantaran Sungai Cisatoke. Segera sajalah mereka berpikir bahwa senjata yang sedang Tarom kerjakan itu mengandung suatu ilmu hitam; sebuah pemikiran yang sama sekali tidak ilmiah, tidak intelek, dan sebaiknya tidak usah kaupusingkan.
            
Tapi, pemikiran itu kemudian—tiga hari sebelum hari penggusuran—semakin diamini berkat bunuh dirinya seorang pria—yang juga tinggal di bantaran sungai itu—yang, sebelum bunuh diri, kedapatan sedang mengintip ke dalam kamar Tarom melalui salah satu lubang pada dinding rumahnya. Pria tersebut bunuh diri dengan cara yang tak berbeda jauh dengan yang Joni Kecil lakukan. Dan, sebelum lari dari rumah Tarom, ia berteriak, “Tuhan sudah osteoporosis!”
            
Orang-orang lain yang sebelumnya sempat mengintip ke dalam rumah Tarom, tetapi pada saat yang tidak tepat, pun benar-benar bersyukur.

***

Hari penggusuran tiba. Pasukan Penjaga Tanah Negara tiba pula ke permukiman yang terletak di bantaran Sungai Cisatoke itu pada pukul 10 pagi. Alat-alat penghancur pun sudah terlihat di tangan mereka. Dan, para penduduk di sana hanya bisa berdiri di luar rumah, menatap mereka dengan tatapan iba yang sia-sia.
            
“Kalian semua sepertinya ingin bersenang-senang dengan kehancuran,” kata pemimpin Penjaga Tanah Negara dengan volume suara tinggi, membikin para penduduk di permukiman itu semakin ketakutan.
            
Kemudian aku tersadar, ada satu orang yang belum terlihat: Tarom. Di manakah ia?
            
Sekonyong-konyong pintu rumah Tarom dibuka dari dalam. Tarom keluar dengan gagah-berani, tak lama kemudian berdiri di hadapan pasukan Penjaga Tanah Negara.
            
“Kalian semua sepertinya ingin bersenang-senang dengan kehancuran,” kata Tarom dengan dingin, kemudian melangkah kembali ke rumahnya.
            
Beberapa detik kemudian, Tarom keluar lagi dari rumahnya, kali ini dengan senjata itu di tangannya …

***

Tumben-tumbennya suamiku pulang tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Ah, mungkin ia lupa saking lelahnya—sebab, tadi ia baru saja mendapat tugas untuk turut serta dalam penggusuran permukiman di bantaran Sungai Cisatoke.
            
“Makan siang sudah siap, Sayang,” ucapku.
            
Suamiku tak menjawab. Ia hanya melangkah ke meja itu—bukan meja makan—menarik lacinya, dan mengambil sekotak paku payung dari sana. “Rupanya rambut Tuhan sudah rontok,” ucapnya dengan datar sebelum membuka kotak paku payung itu … dan menelan semua isinya.

***

Parjo, pria yang tergabung dalam Penjaga Tanah Negara itu, terlihat melangkah tertatih-tatih di jalan, menuju rumahnya. Aku yang sedang duduk di beranda sambil menikmati udara siang sengaja memerhatikannya karena tumben-tumbennya Parjo seperti itu; biasanya ia melangkah dengan tegap dan gagah.
            
Sampai di depan pintu rumahnya, alih-alih memasukkan kunci ke lubangnya, ia malah berteriak, “Tuhan hampir lumpuh!!!” dan membentur-benturkan kepalanya ke gagang pintu, dengan teramat keras, hingga …

***

Badri, pemimpin Penjaga Tanah Negara, ditemukan tewas di kamarnya dengan kondisi mengenaskan: sebatang garpu menusuk mata hingga otaknya. Pihak kepolisian hanya menemukan sidik jari Badri seorang di garpu itu.

***

Tuan Gubernur mendapat laporan bahwa Penjaga Tanah Negara kehilangan seluruh anggotanya yang ditugaskan di bantaran Sungai Cisatoke.

***

Air Sungai Cisatoke tampak begitu merah. Begitu merah.



*) Cerpen ini dimuat di Bali Post pada tanggal 22 Januari 2017.

U



U
di kota yang terbakar:
riuh kata-kata membangun
sebuah rumah untuk
dirobohkan
riuh kata-kata
merasuk aku dan kau
riuh kata-kata menjelma jadi
sebuah puisi untuk menikam
tanpa diketahui
(menikam dengan cara yang cantik
dan mengundang lelap)
*
di kota yang terbakar:
aku dan kelamin waktu adalah yang
paling sopan
dalam menyambut kefanaan bara

Denpasar, 2016


Jangan Bersepeda di Sana
tuan alfon bersepeda di tengah putaran
burung-burung pingai
di sepanjang setapak yang dibenci
pohon-pohon eru
butir-butir azab dari pori-pori di dahinya
tegangkan rahim bumi
(tak ada bayi di sana
dan tak boleh ada
dan tak pernah ada)
titik akhir yang dicarinya
diam-diam
mengikutinya dari belakang
—ingin melihatnya terus bersepeda:
ketegangan otot-otot kaki;
ketegangan penantian;
ketegangan kelamin waktu;
ketegangan janji-janji yang bertumpahan dari
sejumlah doa tuan alfon
o, tuan alfon,
takkah kaudengar anakmu memanggil melalui
kepak sayap pingai-pingai itu?
(tapi sepasang kakimu tetap mengayuh sepeda
kau ingin sampai
pohon-pohon eru mulai membencimu)
sekepal batu: tuan alfon tak melihatnya
sepeda tuan alfon melindasnya
tuan alfon terjatuh
(darah: aku menemukan sesuatu yang lebih hangat
ketimbang kepala pria itu: tanah)
burung-burung pingai bubar
pohon-pohon eru menjauh ke lembah dada
setapak mengerut di balik celana keyakinan
di rumah, anakmu menanti
bersama segelas jus apel
yang mulai kusam

Denpasar, 2016


Nurlela Kedua
—teringat Bing Slamet
/1/
nurlela tak cantik lagi; ia putih serupa
buih dan mayat, dan mayat yang ditelan
buih (sebelum kapal pemberontak
menemukannya
dan salah seorang awak kapal berkata:
“siapa yang mengeluarkan feses
sedemikian besar?!”)
nurlela tak cantik lagi; siapa kena lirik
benak terjebak intrik
(dan ia akan berdendang; rasamu
di awang)
/2/
nurlela tak pandai menari lagi;
kaki-kaki itu kupatah, aku kaupatah
dengan musim
nurlela tak pandai menari lagi;
tubuh bahasa rontok
memotong saraf dramaturgi
/3/
nurlela tidak cantik
nurlela tidak pandai menari
tapi nurlela tahu cara membunuh
pelantunnya


Jakarta, 2016


Sinopsis
kata hampir tuntas meminjam rupa. kata hampir
tuntas menanam kepala aku ke dalam botol bahasa.
kata hampir menjadi lampu yang menjelmakan puisi.
kata hampir membangun dinding-dinding “aku”
menjadi kau dan kata “penuh” yang jenuh terhadap
kata.
tapi gorden kau belum dibuka. tapi gorden kau belum
melihat tamu mana yang hendak menjadi aku. aku yang
jenuh; aku yang penuh—aku yang hampir dituntaskan oleh
rupa
dan
kata-kata.

Jakarta, 2016


Sinopsis, 2
menembak seekor burung camar. mencatatnya dengan
rumus yang salah. membawa pulang ke apartemen.
melewati komidi putar bahasa—yang dinaiki oleh bocah-
bocah logika cahaya. merekamnya dengan sebutir peluru
dan bau daging gosong. berangan mencetak-memajangnya
di kamar prosa
menikmatinya sambil masturbasi dengan puisi.
tunggu. burung camar menjadi kata “tembak”. kata “tembak”
lalu jadi bahasa. bahasa keluarga kita. tunggu. lidah kaku,
berasa bubuk mesiu. jangan kau campur dengan menu sarapan
aku. tunggu. aku tak bisa bicara dengan tembok jika ada
peluru
di mulutku.

Jakarta, 2016


Bayang-Bayang Merah: Scene 5
membiarkan kau diaduk secangkir kopi. mengajarkan kau
menahan belai dari belakang, lalu didorong ke tembok
untuk bercumbu. tidak berbicara satu kali pun. kecuali
alat perekam di tangan seseorang.

Jakarta, 2016



*) Puisi-puisi ini dimuat di Nusantaranews.co pada tanggal 22 Januari 2017.

Kamis, 19 Januari 2017

TES MASUK IKJ





Tes Masuk IKJ
dan kursi serta kantung kemih
ini semakin berkontraksi.
tawa atau amarah
adalah selaput tertipis
yang pernah kukoyak dengan
bualan pena.
“tapi kau bukan seniman yang
menciptakan derit pada nadi pintu.”
aku tak tahu.
tak tahu jika di antara nama-nama
yang asing terselip rasa
nyaman dan percaya
diri.
“tapi aku bukan seniman yang
menonjol pada putingmu.”
dan napas juga detak jantung
semakin mendekati film bisu
hitam dan putih. apa yang kutulis
pada kertas bukanlah puisi.
bukan keyakinan.
hanya pertanyaan yang
coba-coba
menjelma jadi pernyataan.
sementara itu, pergeseran daun pintu
adalah nama-nama yang dipanggil.
berarti pula penantian
dan sejumlah doa
yang beterbangan.
(Denpasar, 2016)

Persinggahan Data-data
data-data yang singgah
perlahan-lahan
hilang
ingatan.
sajak-sajak tak kunjung bertumpahan
dari mulutmu, mungkin
sebab bukan bagian
dari doa.
namun data-data yang singgah
masih hendak mengunggah-
menggugah doa-doamu,
sebelum ingatan mereka
menjadi hujan pada kata-kata
yang terpatah.
“izinkanlah kekataku singgah pada
jejak-jejak para musafir,
pada dosa-dosa para penyair,
dan pada hujan purba yang
menggigilkan senja di matamu!”
*
“menurutmu, apa yang lebih mudah ketimbang
meledakkan persinggahan data-data?”
(Denpasar, 2016)


*) Puisi-puisi ini dimuat di Nusantaranews.co pada tanggal 18 Desember 2016.