Rabu, 03 Januari 2024

CIUMAN DAN DEBU; dan Puisi-Puisi Lainnya


*Ilustrasi oleh: Gede Gunada



Kematian yang Bersahabat

 

kematian tak pernah sebersahabat ini

padaku: ia masuk sehening cahaya pagi

dari jendela, ia duduk di tepi ranjang

seanggun almarhum mama

dengan buku dongengnya.

 

“tentu aku bukan lagi musuhmu, eh?”

 

ia bukan lagi musuhku, yang dulu tersenyum

dingin di bawah tanah, menanti pijakan kaki

sebelum meledakkan tubuhku,

yang dulu terbahak di tengah

desing beribu peluru, atau diam

sebagai ketenangan palsu di pangkal lidah

mata-mata di barak.

 

itu berpuluh-puluh tahun yang lalu: kini tubuhku

tak lain instrumen perang membeku dalam museum,

selang-selang menembus keriput dan pucat kulitku,

dan di tengah badai rasa bosan yang menghimpit tubuhku

ke ranjang, musuh lamaku

tak lain sahabat baruku.

 

(Batam, September 2022)




Bonekamu

 

kehendakku tak lain tanganmu

dengan segala gerak jemari

yang dari ujungnya terjulur benang-benang

menuju ubun-ubun serta rahangku

kedua siku serta punggung tanganku

kedua lutut serta punggung kakiku

 

dan semuanya lebih dari sempurna:

 

kehendakku tak lain kehendakmu

terhadap aku, boneka itu:

entah sekadar diam di panggung

atau menari

atau melompat ke belakang panggung

dan tirai tertutup

 

lalu kaubakar gedung pertunjukan itu

 

(Batam, Agustus 2022)




Ciuman dan Debu

 

saat kaubekap bibirku dengan

bibirmu, segala makna

mulai bersayap dan melesat dari

setiap kata, kesalahan

itu pun kembali terulang:

 

siapa pun yang terbang terlalu tinggi

niscaya terbakar matahari

dan rontok sebagai

 

d

e

b

u

 

berjatuhan ke kepalaku

saat kutulis sebaris melankoli itu

ketika bibirmu

tak lagi membekap bibirku

 

(Batam, Agustus 2022)




Ranjang

 

ranjang itu, tempatmu bercinta

bersama istrimu, dan tidur bersama

istri serta anakmu, lima tahun kemudian

terserak di atas sebukit sampah,

di antara bau yang dibenci kenangan,

di bawah bintang-bintang yang seolah ada

di mata kita, seorang bocah berbaring

sendiri, lelah mencari kedua orang tuanya

yang kini hanya seolah ada.

 

(Batam, Agustus 2022)




“Bagaimana Caramu Mencintaiku?”

 

seperti laras senapan

di mulut thompson

di mulut hemingway

 

seperti gas beracun

di dada plath

di dada sexton

 

seperti obat tidur

di darah pavese

di darah koestler

 

seperti apa pun

yang membenci tulisan panjang

tentang rasa sakitmu

yang membenci tulisan itu

terus memanjang

 

(Batam, Agustus 2022)




Aku Benci Pakaianmu

 

pakaianmu menatapku curiga

berhubung di hotel ini kita berdua

 

kumasukkan kedua tangan ke saku celana

sejak pakaianmu mulai menggonggong

 

aku berlayar ke kota ini untuk memelukmu

tapi pakaian itu, yang mengembangkan duri-durinya

 

sebaiknya kau lepas dan bakar terlebih dahulu

agar tiada pihak yang penuh curiga

 

di antara kita, di hotel berdinding kedap suara,

jadi tanganku bisa keluar dari saku

 

dengan senyum ceria, tanganku

berdansa di tubuhmu

 

dan desahmu

menghina abu pakaian yang penuh curiga

 

(Batam, Agustus 2022)




Morse dan Akhir Dunia

 

seperti lampu soak, matahari

berkedip sembilan kali:

tiga kedipan cepat,

tiga kedipan yang lebih lambat,

tiga kedipan secepat tiga kedipan pertama

—dan di atap gedung itu, musim salju

bertumbuh dalam matamu, jam dinding

rontok jarum-jarumnya, serangga-serangga

penyengat di bawah sana berhenti bergerak:

musim salju semakin instens

dalam matamu, kau tatap

lampu soak itu, kau

kedipkan mata secara tegas:

 

... - --- .--.

 

dunia serba hitam serba beku

di luar matamu, aku

mencari hangat pada musim salju

dalam matamu, bunyi statis rontokkan kupingku.

 

(Batam, September 2022)




*) Catatan: Puisi-puisi ini dimuat di Balipolitika.com pada 9 Desember 2023.

KEMATIAN, SAHABAT TERBAIK; dan Puisi-Puisi Lainnya


*Ilustrasi oleh: Cahyu Heryunanto



Kematian, Sahabat Terbaik

 

ketika mama-papa pergi ke

kantor, kematian

senantiasa menggandengku di tengah jalan

menuju taman, mendorong ayunan

sampai posisi kakiku di kepala, atau meletakkanku

di cabang tertinggi untuk memetik

jambu-jambu yang tak tersentuh siapa pun.

 

tidak, kami tidak pernah mengajak pengasuhku

bermain: ia langsung mendengkur di sofa

beberapa menit setelah mobil mama-papa melaju;

ia juga membosankan seperti mama-papa

yang selalu meneriakiku untuk berhati-hati.

 

aku tidak suka diteriaki untuk berhati-hati

dan kematian memahamiku.

kematian lebih dari cukup

sebagai pengasuh,

sebagai mama dan papa;

kematian tak pernah meninggalkanku ke kantor

atau mendengkur di sofa.

 

suatu tengah malam, saat mama-papa tidur,

kematian membopongku ke atap,

dan menunjuk ke arah bulan semerah jambu,

dan berkata, “di sana, kau akan menemukan

lebih banyak sahabat sepertiku. maukah

kau ikut denganku, terbang ke sana?”

 

aku tak punya alasan untuk

menolak; orang-orang dewasa

selalu bekerja di kantor dan tidur

di rumah: mereka tak pernah

membopongku ke atap.

 

“dan lebih hebatnya lagi,” sambung kematian,

“jika kau ikut aku ke sana,

kau tak perlu menjadi orang dewasa.”

 

aku bersorak kegirangan.

kematian pun merangkulku

dan kami terbang ke bulan semerah jambu.

 

(Jakarta, November 2022)




Jack dan Kupu-Kupu

 

1/

 

jack menarik pelatuk dan ratusan kupu-kupu

menyeruak dari lubang di dahi itu,

beterbangan ke bulan merah bersama

gagak-gagak yang terkejut,

 

lalu kucing-kucing berkoreng

dalam tong-tong sampah di gang bacin itu

melompat dan kabur darinya:

jack seakan kenyataan yang tinggi

dan kekar dan mengerikan.

 

“tugas selesai, tuan.”

 

jack mengantungi ponsel

dan meninggalkan gang itu,

setenang koran hari kemarin

yang dibuang dan terbang terbawa angin.

 

2/

 

jack membeli hotdog di kedai pinggir jalan;

segaris saus tomat meliuk di atas sosisnya

seanyir darah: jack refleks melepehkannya

dan membuka botol air

dan berkumur

dan membuang seisi mulut

ke selokan.

 

jack menyeka mulut, lalu mendongak

untuk menyeka sebutir air yang

mengalir ke lehernya:

 

di kabel-kabel listrik itu,

yang terkena pantulan bulan merah

hingga tampak seperti garis-garis nadi di langit,

bukannya sekawanan gagak,

sepasukan kupu-kupu bertengger.

 

3/

 

tabungan jack akhirnya cukup:

ia membeli rumah idaman bagi ibunya;

wanita tua itu duduk nyaman di beranda

memandangi kebun yang sebelumnya ia sirami.

 

suatu minggu pagi di pertengahan desember,

ibu mengajak jack menyirami kebun.

jack menarik selang ke setapak di antara

bunga-bunga, dan ibu memutar keran

di ujung sana, dan air terlontar.

 

dari balik bunga-bunga pun

sepasukan kupu-kupu menyeruak

seakan hendak menyergap jack;

pistol di pinggangnya memanas,

ponsel di saku celananya berdering.

 

(Jakarta, November 2022)




Kamis Malam di Gen’s Bar & Resto, Blok M

 

bir mulai merebus lambungku

waktu little tokyo akhirnya datang:

kubayangkan akutagawa kecil terlelap

dalam jepitan dua potong roti,

basah berlumur saus,

di atas ranjang daging sapi

berselimut lelehan keju dan selada dan tomat

 

—aku menggigitnya

dan kita semua tak pernah membaca kappa.

 

ha ha ....

 

omong-omong, bir di sini enak.

 

(Jakarta, Desember 2022)




Di Kolong Jembatan, Jalan Raden Saleh,

Jakarta Pusat

 

meski semalam hujan deras

bocah-bocah nekat melompat

dan berenang di langit

pada permukaan sungai yang cokelat

 

dan salah seorang

menghilang

di antara

awan-gemawan

 

(Jakarta, Desember 2022)




Minggu Ketiga Perantauanmu

 

di dinding, fotomu diterangi

petir—ponselku berbunyi:

pesan undian berhadiah. lagi.

 

(Jakarta, Desember 2022)




Ada yang Mati

 

sejak pesawat dari istana berhenti

melintasi langit kami dan menabur

uang, dari balik awan

jatuhlah seorang bertubuh penuh cahaya

ke sungai

tempatku sedang berak

 

(Jakarta, Desember 2022)




*) Puisi-puisi ini dimuat di Kompas.id pada 24 November 2023.