Jumat, 06 April 2018

ANOMALI KODOK -- Sebuah Cerpen

Anomali Kodok
Ilustrasi oleh: Komang Astiari




Kepada putri kecilnya, Elisa, Ibu menekankan bahwa kodok yang bisa berubah menjadi pangeran tampan—jika dicium bibirnya—itu hanya ada di dunia dongeng. Tapi Man Joko, pembantu rumah tangga sekaligus sopir pribadi keluarga Elisa, di lain waktu mengatakan padanya bahwa kodok yang bisa berubah menjadi pangeran tampan tersebut benar-benar ada.
            
“Kenapa kau yakin kalau ibuku salah?” tanya Elisa pada Man Joko yang duduk di sampingnya, tepatnya di balik kemudi mobil. (Saat itu ia dan Man Joko hanya berdua di dalam mobil, sebab tadi Ibu dan Ayah Elisa telah diturunkan di kantor masing-masing.) “Bukankah Ibu tidak mungkin salah karena dia sudah dewasa?”
            
Man Joko berdeham. “Tapi, Elisa, aku juga orang dewasa.”
            
“Lalu, siapa yang benar?”
            
“Kenapa tidak kau buktikan sendiri?”
            
“Ibu bilang, kodok itu jorok! Kalau aku mencium sesuatu yang jorok, aku bakal sakit!”
            
“Tapi aku tahu di mana kau bisa menemukan kodok yang tidak jorok, yang bisa kaucium tanpa perlu sakit kemudian. Dan, kodok itu akan berubah menjadi pangeran tampan jika kaucium bibirnya.”
            
Mata Elisa melebar. “Benarkah?”
            
“Akan kutunjukkan nanti, Elisa, sepulangnya kau dari sekolah.”
            
“Aku jadi tidak sabar!”
            
“Oh ya, jangan bilang pada siapa-siapa soal kodok itu, sebab ia sangat spesial dan rahasia.”
            
Elisa mengangguk mantap.

***

Man Joko dan istrinya, Men Sunya, berlari di tepi sungai dengan kayu pemukul dan karung di tangan, mengejar seekor kodok Mandalus—yang langka dan tinggi harganya. Kodok itu melompat-lompat cepat, sudah agak jauh di depan sana.
            
Tiba-tiba kodok Mandalus itu berhenti melompat sebab, dari sampingnya, ada seorang pria bule—dengan kamera di tangan—yang sekonyong-konyong menginjaknya hingga tewas. Menyadari ada sesuatu yang ia injak, tombol shutter pun batal ditekannya, sungai dan sekitarannya tak jadi ia tangkap.
            
“Eh! Maaf! Aku tidak sengaja menginjak buruan kalian!” kata pria itu dengan bahasa Indonesia yang fasih, dengan raut muka yang menunjukkan penyesalan, begitu Man Joko dan Men Sunya berhenti di sampingnya. Ia yakin kodok yang tak sengaja diinjaknya itu adalah incaran kedua orang tersebut, karena tongkat pemukul serta karung—yang dari dalamnya terdengar bunyi beberapa ekor kodok—di tangan mereka jelas menandakan bahwa keduanya tak lain pemburu kodok (profesi yang tak sulit ditemukan di Desa Dagingkeras, sebab yang paling khas dari desa itu adalah berbagai makanan olahan kodok).
            
“Justru kami sangat berterima kasih, Mister!” Men Sunya berseru senang. “Dari tadi kami mengejar kodok itu!”
            
“Tapi, bukankah kodok yang sudah mati tidak baik buat dimasak?” si Bule bertanya, masih merasa tidak enak hati.
            
“Sebelum kodok dimasak pun pasti akan dimatikan dulu,” sahut Man Joko. “Yang penting, kodok yang sudah mati mesti cepat-cepat dimasak atau dibekukan.”
            
“Di mana kalian akan memasak atau membekukan kodok-kodok tangkapan kalian?”
            
Man Joko berdeham. “Di rumah kami, Mister.”
            
“Kalau begitu, biar saya yang mengantarkan kalian pulang. Mobil saya terparkir tak jauh dari sini.”

***

“Omong-omong,” ucap Elisa, begitu ia keluar dari mobil yang Man Joko parkir di garasi, “di mana kita bisa menemukan kodok itu?”
            
“Kodok itu berada di dalam rumah ini, Elisa,” jawab Man Joko.
            
“Apa?! Serius?! Sejak kapan kau tahu itu?!”
            
“Sudah sejak lama.”
            
Elisa melompat-lompat di tempat. “Kenapa kau tidak pernah bilang padaku?! Kenapa aku, mungkin yang lainnya juga, tidak pernah melihat kodok itu?!”
            
“Kodok itu cuma muncul saat kau, Ayah, dan Ibu sedang pergi. Ia juga ingin agar aku merahasiakan keberadaannya dari siapa pun. Tapi, kemarin, aku memintanya agar mau bertemu denganmu, dan ia tidak menolak.”
            
Elisa pun kegirangan bukan main; kegirangan paling hebat yang pernah hinggap di dirinya.

***

Man Joko maupun Men Sunya tak pernah mengatakan bahwa kodok yang Stewart si Bule injak adalah kodok yang langka dan mahal—atas alasan yang bisa kauperkirakan sendiri. Tapi mereka tetap berterima kasih dengan mentraktir si Bule makanan khas desa itu—olahan kodok biasa—sekaligus menawarkannya untuk menginap gratis di rumah mereka. Tentu saja si Bule menerima semuanya dengan senang hati.
            
Kalaupun kami mengalami kerugian finansial gara-gara melayani si Bule, harga kodok Mandalus sudah pasti akan menutupinya.

***

Man Joko mengajak Elisa memasuki gudang. Lampu gudang tak dinyalakannya. Penerangan berasal dari sedikit cahaya yang masuk lewat ventilasi. Bagaimanapun, Elisa tetap tak bisa melihat apa-apa karena ada selembar kain hitam yang menutupi matanya.

“Aku baru ingat bahwa kodok itu meminta agar matamu ditutup saat kalian bertemu nanti,” jelas Man Joko sebelum mereka masuk ke gudang. “Sebetulnya, ia belum terlalu siap untuk dilihat oleh orang lain.”
            
“Di mana kodok itu?” tanya Elisa, memecah keheningan gudang. “Aku tidak ada mendengar suara kodok di sini.”
            
“Kodok itu sudah di depanmu, Elisa,” balas Man Joko. “Dan ia memang tidak berbunyi.”

***

Seperti biasa, Man Joko tak mendapati Men Sunya di sampingnya ketika ia terbangun pada pagi hari. Pasti itu karena, pada tengah malam, Men Sunya sempat terbangun gara-gara mendengar tangisan putri mereka, Anisa, kemudian berpindah kamar untuk menemani bocah berusia 2 tahun itu.
            
Sekeluarnya dari kamar tidur, seperti biasa pula, Man Joko langsung menengok ke dalam kamar Anisa. Namun kali itu yang didapatinya adalah sesuatu yang tak mungkin ia lupakan: Men Sunya yang berlumuran darah tergeletak di lantai; Anisa yang juga berlumuran darah tergolek di ranjang, tanpa celana, dengan kelamin hancur, ternodai cipratan cairan putih-kental. Leher mereka berdua robek.
            
Pagi itu, Stewart dan mobilnya sudah menghilang entah ke mana.

***

Man Joko menurunkan celananya. “Aku akan mengarahkan kepalamu untuk mencium kodok itu, Elisa,” ucapnya. “Jadi, persiapkan bibirmu.”
            
Elisa pun segera mengerti kenapa ibunya mengatakan bahwa kodok itu jorok; tapi ia tetap menciumnya.

***

Stewart tak meninggalkan jejak sama sekali. Man Joko juga tidak mengingat nomor plat mobil tersangka utama itu. Bagaimanapun, pihak kepolisian berjanji untuk tetap memburu Stewart.

***

Mulut Elisa dipenuhi oleh suatu cairan yang rasanya tak enak.

“Itu cairan kodok,” jelas Man Joko. “Wajib ditelan jika kau ingin kodok ini berubah menjadi seorang pangeran tampan.”

***

Dua tahun penuh, kesedihan Man Joko tak pernah surut, terlebih usaha para polisi belum menunjukkan hasil sama sekali.
            
Man Joko pun, dengan harapan dapat menghilangkan kesedihannya, memutuskan untuk pergi dari Desa Dagingkeras sekaligus mencari pekerjaan di kota. Dengan bantuan Badan Penyalur Tenaga Kerja Desa, Man Joko—yang dulu, sebelum menjadi pemburu kodok, sempat bekerja sebagai sopir truk—kemudian dipilih oleh sebuah keluarga untuk menjadi sopir pribadi merangkap pembantu rumah tangga.
            
Dari Terminal Kota, Man Joko dijemput oleh seorang wanita bernama Nurul, salah satu anggota keluarga yang mempekerjakannya, dengan sebuah mobil berwarna merah.
            
Sesampainya di rumah Nurul—Man Joko sudah mulai mengemudikan mobil merah itu dari Terminal Kota—ia bertemu dengan putri semata wayang Nurul, Elisa, dan suaminya … Stewart. Tapi Stewart tampak biasa-biasa saja ketika bertemu dengan Man Joko, sebab ia sudah melupakan wajah pria yang digigiti kesedihan itu.
            
Tapi, Man Joko tak akan pernah lupa ....

***

Man Joko ingin Stewart turut merasakan kesendirian yang menyedihkan. Maka, ia hanya menaburkan racun ke makanan di dalam kotak makan siang Nurul, sebelum berkata, “Tuan, Nyonya, Elisa, bekal kalian sudah siap.”

Khusus untuk Elisa, ia memang sudah menyiapkan “permainan” itu.

***

Man Joko belum selesai, sekalipun sudah sempat orgasme. “Kodok”-nya masih kuat untuk menerobos kemaluan Elisa.
            
Elisa menahan jeritan.
            
“Ini permintaan si Kodok, Elisa. Ia tidak ingin hanya dicium. Jadi, bersabarlah.”

Tak lama kemudian, ada rasa sakit luar biasa nan aneh yang, entah kenapa, menyengat “kodok”-nya. Man Joko pun langsung menariknya keluar dan menjerit teramat keras sambil memeganginya.
            
“Ada apa?!” tanya Elisa, kaget.
            
Man Joko terjatuh-telentang ....

            
Elisa lantas menarik kain yang menutupi matanya—saking penasarannya ia akan apa yang sedang terjadi pada Man Joko—dan melihat sesuatu yang sedari tadi ia tunggu: “kodok” itu membesar-dengan-cepat dan menjadi seorang pangeran tampan!




*) Cerpen ini dimuat di Tatkala.co pada 31 Maret 2018.