Selasa, 30 Oktober 2018

O, JOSEF -- Sebuah Cerpen


Portrait double exposure fireworks  proposal
*Sumber Gambar: Pinterest



Salah satu mercon berbentuk roket meluncur terlalu tinggi hingga mengenai bulan. Bulan pun bergetar begitu mercon itu meledak, dan kami yang berada di taman ini sontak waswas. Bulan bergetar semakin hebat, semakin hebat, dan semakin hebat. Langit mendadak sepi dari ledakan-ledakan mercon dan terompet-terompet berhenti ditiup, mungkin sebab setiap orang di bagian lain pulau ini, yang juga merayakan malam tahun baru, turut waswas mengamati bulan. Untungnya, perlahan getaran bulan berkurang hingga berhenti sama sekali; tidak terjadi hal yang lebih aneh lagi di perayaan ini.

            
“Maaf,” ucap orang yang tadi meluncurkan mercon berbentuk roket yang mengenai bulan, dengan wajah tertunduk. Ia lantas pergi meninggalkan taman ini, entah karena merasa tidak enak hati atau apa, yang jelas tak ada yang mengusirnya pun menyalahkannya atas insiden barusan.
            
Suasana kembali ramai setelahnya. Orang-orang kembali bersorak-sorai, sebagaimana mercon-mercon di atas sana. Terompet-terompet pun mulai menjerit keras sekali, seolah meneriakkan ucapan terima kasih pada langit yang telah menjaga bulan.
            
Aku merasa ada trauma yang membekas di dada Josef berkat insiden barusan; lelaki itu jadi berhenti meluncurkan mercon-merconnya yang berbentuk roket—padahal masih tersisa banyak di dalam tasnya—dan hanya meniup terompet untuk menyumbangkan kesan meriah, sementara para peledak mercon berbentuk roket lainnya kembali meluncurkan mercon masing-masing.
            
“Lawan, Josef,” kataku, “lawanlah!”
            
“Lawan?” Josef mengernyit. “Apa yang mesti kulawan?”
            
“Rasa takutmu.”

***

Josef berhenti belajar mengemudikan mobil. Josef tak mau lagi menggendong adik kandungnya yang masih bayi. Josef keluar dari sekolah kedokteran dan menutup cita-citanya untuk menjadi dokter. Josef berhenti mempelajari agama. Lebih aneh (untuk tak menyebut “bodoh”) lagi, ia jadi tak kunjung memiliki keberanian untuk menikahiku. Semua hanya karena masalah milik orang lain yang tak ada hubungannya dengan ia.
            
Kurang lebih pada latihan mengemudinya yang keempat, Josef menyaksikan kecelakaan mobil beberapa ratus meter di depannya. Kata Josef, kejadian yang disaksikannya itulah yang membuatnya takut untuk mengemudi lagi. “Aku tidak mau menewaskan pengemudi lain, seperti yang dilakukan oleh pengemudi mobil yang sembrono itu,” aku Josef. Dalam kasus ini, aku masih bisa memaklumi ketakutannya.
            
Seminggu setelah kecelakaan mobil itu, Ibu Josef melahirkan. Kata Ibu Josef kepadaku, “Josef benar-benar menyukai bayi itu. Bahkan, rasanya, ia lebih sering menggendong bayi itu ketimbang aku maupun suamiku.” Saat Adik Josef berusia tiga bulan, ada salah satu tetanggaku yang dilanda kesedihan hebat. Kesedihan itu disebabkan oleh meninggalnya bayi mereka yang baru berusia lima bulan. Penyebabnya, saat si Ayah menggendong sang bayi, ia tak sengaja menjatuhkan makhluk mungil itu dari gendongannya. Sehari setelah mendengar kabar itu, saat aku sedang berada di sebuah restoran bersama Josef, aku menceritakan kabar tersebut padanya, benar-benar sesuai dengan apa yang aku dengar. Lalu, beberapa hari kemudian, saat aku berkunjung ke rumah Josef untuk merayakan ulang tahunnya, Ibu Josef—yang sedang menggendong sang bayi—berkata, “Entah kenapa ia tidak pernah lagi menggendong adiknya. Kalau aku tidak salah mengamati, itu dimulai sepulangnya ia dari kencan terakhirnya denganmu. Biasanya, begitu pulang, ia langsung mencari bayi ini dan menggendongnya. Tapi, waktu itu ia tak melakukannya sama sekali. Malah malam harinya ia menolak-dengan-panik saat kumintai tolong untuk menggendong bayi ini sebentar saja.” Aku memaklumi Josef untuk kedua kalinya. Walaupun tidak semudah yang pertama.
            
Kurang lebih dua minggu kemudian, Josef memutuskan untuk keluar dari sekolah kedokteran. Aku maupun ayah dan ibunya tentu terkejut. Setelah diselidiki, Josef sama sekali tak mempunyai masalah dengan warga kampus. Tidak juga ada masalah dengan nilai mata kuliah maupun kelakuan buruk. “Dua hari lalu, aku membaca sebuah berita mengerikan di koran,” jelas Josef akhirnya. “Seorang dokter gagal menyelamatkan nyawa pasiennya!” Kami—aku dan kedua orang tua Josef—yang mendengarkannya tetap diam, lantas Josef melanjutkan, “Dan aku tidak mau melakukan hal yang sama dengan dokter gagal itu! Maka aku tidak mau menjadi dokter, dan akan percuma saja kalau aku melanjutkan kuliahku!” Dan alasan itu, bagi kami, sama sekali tak bisa dimaklumi! Kami pun mati-matian berusaha membujuknya agar menghapus pemikiran konyol itu, tapi masih gagal hingga sekarang. Yang paling membuat kami bingung—dan tak kunjung dijawab oleh Josef—adalah, kenapa baru kali ini Josef begitu ketakutan dengan berita kegagalan-dokter-menyelamatkan-nyawa-pasien, sementara berita-berita semaca itu sudah sejak lama bertebaran?
            
Sekitar lima hari kemudian, Ibu Josef mendapati Josef membakar seluruh buku agama yang ada di rumahnya. Katanya, “Aku tidak mau kita menjadi seorang teroris! Kita mesti berhenti mempelajari agama!” Rupanya keputusan tolol itu diambilnya setelah semalam, di televisi, ia menonton berita tentang pengeboman yang dilakukan di pusat kota oleh seorang tokoh agama yang selama ini terkenal amat baik. Ibu Josef menceritakan kejadian itu padaku setelah aku bertanya kepadanya melalui telepon. Aku sendiri bertanya pada Ibu Josef karena, beberapa jam lalu, Josef tiba-tiba datang ke rumahku dan langsung meluncur ke rak buku untuk mengambil buku-buku agama, lantas membakarnya di halaman belakang. (Jika waktu itu ayah atau ibuku ada di rumah, sudah pasti Josef akan dilaporkan ke polisi.) Saat kutanyai Josef perihal alasannya, ia mengatakan hal serupa dengan yang dikatakannya pada Ibu Josef. Begitu Josef pergi, aku cepat-cepat membersihkan abu dari buku-buku agama itu dan meluncur ke toko buku secepat mungkin untuk membeli buku-buku agama yang sama dengan yang Josef bakar. Bukan karena aku religius atau benar-benar memerlukannya, tapi demi menyelesaikan “masalah tambahan” yang mungkin terjadi andai kedua orang tuaku menyadari lenyapnya buku-buku agama itu.
            
Keesokan harinya, Josef mulai memasuki rumah teman-temannya untuk membakar buku-buku agama mereka. Maka tak heran jika akhirnya Josef kehilangan sangat banyak teman dan digebuki di lebih dari satu rumah.

Dua hari kemudian, kedua orang tua Josef memutuskan untuk mengawasi anak mereka secara “penuh” dan membawanya ke psikolog—sebuah keputusan yang sangat kusetujui. Di kemudian hari agenda itu menjadi rutin, dan rutin pula Josef memprotes karena merasa tak ada kesalahan sedikit pun pada jiwanya. Setelah agenda rutin itu berjalan selama kurang lebih dua bulan, sang psikolog langganan meninggal karena alasan yang tak jelas. Untungnya saat itu Josef sudah tidak berniat membakar buku-buku agama milik orang lain lagi, meski kejiwaannya belum sembuh benar—terbukti dari belum bersedianya ia untuk kembali mengemudikan mobil, menggendong adiknya yang masih bayi, bercita-cita menjadi dokter, dan mempelajari agama. Bagaimanapun, kedua orang tua Josef sudah tak perlu khawatir untuk meninggalkannya sendirian di rumah saat mereka pergi buat mencari psikolog lain.

Aku memutuskan untuk menemani Josef saat ia sedang sendirian di rumah. Aku membelikannya sebuah novel agar ia tak terlalu bosan lagi nantinya—saat benar-benar sendirian. Ternyata, di sanalah timbul masalah lagi. Maksudku, berkat novel itu ....

“Kupikir aku tidak akan pernah menikahimu, Sayang,” ucap Josef melalui telepon, beberapa hari kemudian, setelah usai membaca novel yang kuberikan itu. “Aku takut upacara pernikahan kita akan berlangsung secara tragis, seperti yang dialami oleh si Protagonis dalam novel pemberianmu itu!” Dalam kasus ini, aku tidak tahu bagaimana cara merespon kalimat Josef, selain dengan basa-basi penenang yang “kosong”. (Setidaknya, Josef tidak sampai mencegah orang-orang lain untuk melamar kekasih masing-masing.)

***

Ledakan salah satu mercon yang sangat keras menyadarkanku bahwa sempat terjadi keheningan selama beberapa menit di antara aku dan Josef.
            
“Apa kau sadar bahwa insiden mercon-mengenai-bulan barusan bukanlah salahmu?” aku kembali membuka percakapan.
            
Josef menatap mataku lekat-lekat sejenak, sebelum berkata, “Tentu aku sadar.”
            
Aku menarik napas panjang. “Dan kecelakaan mobil yang kau saksikan, dan bayi yang tewas karena terjatuh dari gendongan ayahnya, dan dokter yang gagal menyelamatkan nyawa pasiennya, dan tokoh agama yang meledakkan bom, dan upacara pernikahan si Protagonis yang berlangsung secara tragis .... Semua itu bukan salahmu, Josef!”
            
Lagi, Josef menatap mataku lekat-lekat sejenak, sebelum berkata, “Itu aku juga sadar.”
            
Kami saling diam lagi. Jika tidak ada ledakan mercon-mercon dan bunyi terompet-terompet, mungkin sudah akan tercipta keheningan yang ganjil di antara kami berdua.

Lantas aku mencium bibirnya. Sepuluh detik. Dua puluh detik. Tiga puluh detik.

Orang-orang menghitung mundur dari sepuluh, sebelum terdengar teriakan, “Selamat tahun baru!!!”

Ciuman Josef turun ke leherku. Dan di telinganya aku berkata lirih, “Nyalakan merconmu, Josef. Nyalakan merconmu.”

***

Pesawat alien itu meluncur menuju Bumi dengan kecepatan tinggi. Tiba-tiba ia menghentikan laju pesawatnya sebab dilihatnya bulan terjatuh ke Bumi, setelah sebelumnya bergetar semakin kencang, semakin kencang, dan semakin kencang. Dan, insiden itu sangatlah traumatis bagi sang alien. Alien itu pun tak pernah lagi mengunjungi planet-planet lain yang bersatelit!



*) Cerpen ini dimuat di Semay Media pada Oktober 2018.