Rabu, 17 Oktober 2018

PENEMUAN BANDAR -- Sebuah Cerpen


*Sumber Gambar: archive.thedali.org



Bandar melahirkan sebuah penemuan baru: dunia tanpa Tuhan. Kita tak pernah tahu bagaimana bisa bujangan itu menciptakan dunia tersebut, tapi kita tahu bahwa dunia tanpa Tuhan berada di balik salah satu pintu di dalam rumahnya.
            
Penemuan itu Bandar umumkan melalui Koran Negara edisi 21 Mei 20xx. Salah satu paragraf di kolom pengumuman itu berbunyi, “Kau bisa membangun dunia itu sesuka hati, tanpa ada peraturan yang menghalangi. Sederhananya: kau bisa menjadi Tuhan bagi dunia tersebut.” Paragraf yang lain menyebutkan bahwa dunia itu akan ia sewakan seharga 1000 Finto per lima belas menit untuk satu orang saja—harga yang sangat mahal bagi ukuran negara kita.
            
Beberapa jam setelah Koran Negara edisi 21 Mei 20xx terbit, ribuan orang telah berkumpul di sekeliling rumah Bandar. Mereka semua ingin menyewa dunia tanpa Tuhan, tetapi hanya dua puluh satu orang yang mampu dan akan menyewanya. Sisanya hanya akan menyaksikan bagaimana reaksi dari para penyewa setelah keluar dari dunia itu.
            
Bandar membuat undian-nomor-antrian bagi para calon penyewa penemuannya. Dan, Vixien-lah yang mendapatkan nomor urut pertama.

“Untuk pertama kali, aku akan menyewanya selama lima belas menit saja,” kata Vixien. Setelah ia membayar 1000 Finto—tunai—pada Bandar, Bandar langsung mengantarnya masuk ke ruang dalam rumahnya, lantas membiarkannya melangkah sendiri ke balik pintu itu, pintu yang menutupi dunia tanpa Tuhan.

Bandar mempunyai usaha berupa warung makan sederhana yang terletak di halaman depan rumahnya. Bangku-bangku di warung itu kebetulan bisa menampung dua puluh orang. Di warung itulah, para penyewa lainnya duduk menunggu. Sesekali mereka memesan makanan atau minuman—yang disuguhkan oleh Kontan, pemuda yang dua tahun lalu mengemis pekerjaan di warung itu pada Bandar. Sebenarnya, mereka merasa jijik dengan makanan-minuman yang disajikan—karena mereka terbiasa makan di restoran-restoran mewah—tapi mereka tak mau pergi ke tempat lain saking tak sabarnya menyaksikan reaksi Vixien saat keluar dari dunia tanpa Tuhan—seakan waktu lima belas menit itu bisa habis kapan saja.

Sementara itu, para wartawan, termasuk dari Koran Negara, sibuk mewawancarai orang-orang yang berada di sekitaran rumah Bandar—soal tanggapan mereka begitu mendengar kabar tentang dunia tanpa Tuhan—baik yang akan menyewa penemuan itu maupun tidak. Tapi tak ada satu pun yang berhasil mewawancarai Bandar saat itu, karena Bandar selalu menolak buat diwawancarai—ia sekadar ingin “mendramatisasi”.

***

Akhirnya giliran Vixien habis.

Para wartawan menyiagakan kamera.

Para calon penyewa menyiapkan diri untuk takjub atau kecewa.

Bandar menggiring Vixien ke halaman depan rumah untuk memberikan komentar atas dunia tanpa Tuhan, dan ....

***

Awalnya, Bandar tidak ingin menyewakan dunia tanpa Tuhan demi mengeruk keuntungan dari orang lain. Bandar memutuskan untuk menyewakan penemuannya itu sejak, pada suatu malam, ia masuk ke dunia tanpa Tuhan dan menciptakan harta yang tak terhingga—mudah saja dilakukannya karena ia adalah “Tuhan”—tapi begitu ia membawa harta tersebut keluar dari sana, tiba-tiba saja kesemuanya menghilang tanpa jejak, seolah tanpa suatu cara pun.
          
Barangkali Tuhan tidak ingin ada sesuatu pun di dunia ini yang diciptakan bukan atas kehendaknya, pikir Bandar pada mulanya. Tapi Bandar lantas menghapus pikiran itu karena ia yakin Tuhan tidak seegois apa yang dipikirkannya. Jadi, ia membiarkan kejadian itu tetap misteri.
            
Semisal Tuhan seegois itu, ia pasti sudah menghilangkan dunia tanpa Tuhan yang kuciptakan, pikir Bandar lagi.

***

Berkat reaksi positif Vixien, Bandar mendapatkan jauh lebih banyak pelanggan pada hari berikutnya, bahkan ada banyak yang berasal dari luar negeri. Saking banyaknya pelanggan, Bandar yakin bahwa antrian tak mungkin habis selama satu hari, sedangkan ia akan menutup tempat usahanya itu pada tengah malam—agar dirinya bisa beristirahat, tentu saja—dan membukanya kembali pada pukul delapan pagi.

Agar para calon penyewa yang belum kebagian kesempatan pada hari itu tak perlu menunggu terlampau lama di sekitaran rumah Bandar, ia pun merancang “estimasi waktu giliran tiba” yang dibuatnya berdasarkan nomor antrian. Jadi, jika nomor antrian masih jauh, para calon penyewa bisa pulang atau pergi ke tempat lain, dan Bandar akan menghubungi mereka—melalui Juru Panggil yang ia bayar sejak hari kedua—kurang lebih satu jam sebelum giliran masing-masing tiba.

Mulai dari hari keempat setelah penemuannya diumumkan lewat Koran Negara, Bandar telah membayar puluhan orang penjaga bersenjata lengkap untuk berjaga di dalam dan sekitaran rumahnya, sebab di hari ketiga ada segerombolan “orang jahat”—mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh pada prinsip “hanya ada satu Tuhan”—yang menerobos ke dalam rumah Bandar untuk menghancurkan dunia tanpa Tuhan, tetapi untungnya para calon penyewa beramai-ramai menghadang-mengusir gerombolan tersebut.

Setelah itu, para calon penyewa meminta pengurangan harga sewa—sebanyak lima puluh persen—karena merasa telah amat berjasa bagi dunia tanpa Tuhan. Dan, Bandar tak mempunyai alasan untuk menolak permintaan mereka. Lalu, setelah Bandar hitung-hitung secara matang, uang yang dikorbankan untuk membayar puluhan orang penjaga bersenjata lengkap jauh lebih sedikit ketimbang memberikan pengurangan harga sebanyak lima puluh persen kepada para calon penyewa.

***

Prokhova keluar dari dunia tanpa Tuhan. Ia membawa kebahagiaan yang bukan main, sekaligus kebingungan karena tak bisa membawa sumber kebahagiaan yang bukan main itu ke “dunia yang sesungguhnya”. Bagaimanapun, ia tak repot-repot memprotes keadaan karena ia sudah sempat terlampau bahagia di dalam sana, sampai-sampai ia takut seandainya kebahagiaan macam apa pun bakal jadi terasa membosankan.

Ketakutan seperti itu juga yang dirasakan oleh Mendevka dan Parwiro dan Husein dan Michael dan Tophany dan yang lainnya, sehingga mereka mengeluarkan diri dari dunia tanpa Tuhan dalam waktu kurang lebih lima jam, padahal mereka sudah membayar mahal untuk menyewa dunia itu selama lebih dari dua puluh empat jam—maka kacaulah “estimasi waktu giliran tiba”, tapi hal itu bukan masalah besar. (Mereka memang dirugikan secara finansial, tetapi mereka tak meminta-kembali kelebihan pembayaran masing-masing sebab, seperti Prokhova, semuanya sudah sempat terlampau bahagia di dalam sana.)

Ketakutan serupa pulalah yang membuat Bandar sejak awal memutuskan untuk tak tinggal selamanya di dalam dunia ciptaannya sendiri, meskipun ia bisa dan berhak untuk itu.

***

Bertahun-tahun kemudian, tak ada seorang pun yang mengantri untuk menyewa dunia tanpa Tuhan. Tapi Bandar tak ambil pusing; kekayaan yang dimilikinya sudah terlampau banyak. Hal itu membuat Bandar terlampau bahagia—sampai-sampai ia merasa tak membutuhkan istri seorang pun—sebagaimana para bekas pelanggan setia dunia tanpa Tuhan yang sudah bosan dengan dunia tersebut.
           
Tentu saja masih ada sangat banyak orang yang berminat dengan dunia tanpa Tuhan; mereka adalah orang-orang “miskin” yang tak kunjung mempunyai cukup uang buat menyewa dunia itu.
            
Suatu hari, Bandar ditemukan tewas di kamarnya karena ia sudah terlalu tua. Kekayaannya tak diwariskan ke siapa pun. Tak ada lagi yang membayar Kontan, para penjaga bersenjata lengkap, maupun Juru Panggil, dan dengan sendirinya mereka tak lagi bisa dikatakan bekerja di bawah naungan Bandar.

Bagaimanapun, dunia tanpa Tuhan tetap ada, dan tak ada yang “menjaga”-nya. Maka, orang-orang yang belum sempat mengunjungi dunia tanpa Tuhan pun berbondong-bondong masuk ke sana dan saling bertarung untuk menjadi Tuhan-nomor-satu.

***

Dari sana, Tuhan menatap ke bawah sembari tertawa terbahak-bahak. Tak jauh dari-Nya, berdirilah Bandar yang hanya bisa tertunduk malu.



*) Cerpen ini dimuat di Janang.id pada 30 Juni 2018, kemudian dimuat pula di Balairung Press pada 9 februari 2019.