Jumat, 15 Maret 2024

PELAJARAN MENJADI DETEKTIF -- Sebuah Cerpen



*Ilustrasi oleh: Basabasi.co




Menjadi detektif adalah menjadi detektif keren adalah menjadi detektif yang memecahkan kasus dengan teknik keren adalah menjadi detektif yang menumbalkan nyawa sendiri demi menjadi keren.

Setelah aku ujian nasional, kami berlibur di vila pribadi di bukit dan badai sedang gencar-gencarnya mengaburkan pemandangan di luar jendela dan tengah malam itu kutemukan Papa telanjang dan tewas di bak mandi—tahiku tak jadi ingin keluar. Mayat Papa terendam air yang merah total, tangan kiri terkulai ke luar bak, mulut tersumpal penisnya yang dipotong. Dan, di samping bak mandi, Pak Anton berlutut seraya menangis, pisau dapur tergeletak di samping kakinya, tangannya berlumur darah—aku hampir meneriakinya sebagai pembunuh, sampai tiba-tiba teringat: dalam novel-novel detektif, yang paling tampak seperti pelaku pasti bukan pelaku.

Alhasil, aku hanya menjerit panjang, membuat Mama dan Mbok Ike berlari ke depan kamar mandi, dan turut menjerit panjang.


***


Setelah mengatur napas, dengan ketenangan khas detektif, aku menggiring Mama dan Mbok Ike dan Pak Anton duduk mengelilingi meja makan di bawah lampu bercahaya pucat, dan usahaku menenangkan mereka tampak percuma: tak ada yang tenang tanpa sinyal untuk menghubungi polisi.

Oh ya, pertama-tama, izinkan aku memperkenalkan ketiga tersangka:

  1. Mama, 40 tahun kalau tak salah, rambut pirang sebahu plus kulit pucatnya membuat ia seperti hantu;
  2. Mbok Ike, asisten rumah tangga, sedikit lebih muda dari Mama, caranya melamun mengingatkanku pada jenglot raksasa;
  3. Pak Anton, sopir pribadi, lebih tua dari Mama barang sepuluh tahun dan seumuran Papa, geligi depan besarnya mirip Freddie Mercury dan aku yakin bukan ia pelakunya, tapi detektif keren memandang siapa pun sebagai tersangka.

Tentu kau heran kenapa aku setenang ini. Jujur, aku tidak tenang-tenang amat; aku hanya merasa kematian Ayah tak seberapa buruk, mungkin karena aku lelah mendengar ia mengoceh. Di matanya yang selalu berkantung, aku hanya bocah yang tak mungkin sukses karena terlalu sering membaca novel-novel detektif dan bukan buku-buku bisnis favoritnya, dan dendamku masih awet semenjak ia membanting laptopku, karena aku menulis cerita detektif pada malam sebelum ujian nasional—dan bukan belajar. Kini, dengan matinya Papa, aku berkesempatan melakukan hal lebih keren ketimbang menulis cerita detektif.

“Mohon perhatiannya!” pekikku, menembus pekikan badai di luar, dan semua melempariku tatapan nanar. “Satu di antara kalian adalah pembunuhnya. Tentu potongan penis di mulut bukanlah hasil kecelakaan, benar? Jadi, dari paling kanan,” aku menunjuk Pak Anton, “jelaskan alibi Anda.”

Semua hening. Kaca jendela bergetar seakan badai akan memecahkannya; ketegangan mencengkeram wajah ketiga tersangka; aku akan bersinar malam ini.

Aku bisa membayangkan bagaimana ini berlanjut: Setelah ketiga tersangka menjelaskan alibi, aku menemukan satu alibi ganjil, dan akan kuperkosa alibi itu habis-habisan, hingga si Pelaku yang panik menyambar pisau dapur dari rak, lalu kugampar ia dengan kursi—dan Hantu Papa bersujud padaku, memohon maaf karena meremehkanku.

“Bajingan!” Mama menggebrak meja. “Tidak usah sok jadi detektif, Bocah! Semuanya, ayo ke kantor polisi!”

Pak Anton berlari ke kamarnya untuk mengambil kunci mobil, dan sepuluh menit kemudian kembali dengan wajah pucat. “Kunci mobil tidak ada di tempat biasa.” Mama baru membuka mulut, pasti hendak meneriaki Pak Anton untuk mencari dengan lebih benar, sebagaimana ia berteriak tiap aku mencari remote televisi, tapi lebih dulu Pak Anton berkata, “Saya sudah cari dengan benar. Tidak ada. Mau ikut ke kamar …?”

“Bukankah itu membuatmu seperti pelaku?” balas Mama. “Kau membunuh suamiku karena … entahlah—lalu kau menyembunyikan kunci mobil dan kita tak bisa ke kantor polisi!”

“Maaf, Nyonya, bukankah banyak pembunuhan bermotif perselingkuhan?”

Mama menampar Pak Anton, dan meneriakkan kalimat yang tak terdengar jelas, dan pria itu membalas dengan teriakan yang sama tak jelasnya—dan aku baru tahu ia berani melawan—dan adu mulut sengit mereka membuatku curiga pada Mbok Ike: ia hanya duduk menunduk dan diam, air matanya mengalir ke pipi, dan di kebanyakan cerita detektif pelakunya adalah mereka yang paling tak menampakkan diri.

Mbok Ike memiliki motif kuat untuk membunuh Papa. Sekali waktu di rumah, untuk meminta uang SPP, aku memasuki ruang kerja Papa tanpa mengetuk, dan kudapati Mbok Ike berjongkok di kolong meja kerja, sementara Papa mendesiskan nama Tuhan seperti orang sekarat—dan aku menutup pintu segera, dan kami tak pernah membahas kejadian tersebut. Menurut analisaku, bisa saja Mbok Ike meminta Papa menceraikan Mama, dan Papa menolak, dan Mbok Ike menunjukkan keahliannya berpisau.

Bagaimanapun, lebih baik aku mengumpulkan alibi para tersangka terlebih dahulu.

Aku menggetok meja tiga kali sampai tanganku berdenyut; Mama dan Pak Anton dan Mbok Ike menoleh padaku. “Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menunggu hujan reda dan mendengarkan alibi masing-masing. Toh, kita tidak mungkin berjalan kaki ke kantor polisi karena lumayan jauh, benar?” Nadaku pasti terdengar sangat detektif; aku hanya membutuhkan pipa cangklong untuk membuat Holmes bersujud. “Baik, agar aku tak terkesan sok detektif, anggap saja aku juga tersangka.”

Aku pun menjabarkan alibi, dari aku yang terbangun tengah malam karena sakit perut hingga aku menemukan mayat Papa dan Pak Anton di kamar mandi.

Mama dan Mbok Ike sontak menatap Pak Anton curiga. Sopir itu langsung menarik napas panjang dan melontarkan alibi: “Saya terbangun karena mendengar erangan dari kamar mandi. Saya langsung mendatangi sumber suara dan pintu kamar mandi tidak dikunci. Saya menangis di sana … dan anak Nyonya melihat saya menangis. Bukan begitu, Nak? Oh, kalian bertanya kenapa tangan saya tadi berlumur darah? Saya mengguncang-guncang tubuh Tuan dan berharap ia hidup kembali.”

“Aku terbangun karena anakku menjerit—sesimpel itu.” Mama beralibi.

“Sama ....” sambung Mbok Ike.

Alibi Pak Anton masuk akal. Kamar mandi TKP berada di lantai satu sebagaimana kamar Pak Anton dan wajar jika ia mendengar erangan tersebut, sedangkan kamarku dan Mama di lantai dua, dan kamar Mbok Ike di lantai bawah tanah.

Alibi Mama dan Mbok Ike terdengar … entahlah. Aku bingung cara menganalisa alibi mereka.

Baik, aku akan memutar otak.

Papa biasa menghabiskan malam di ruang televisi hingga ketiduran. Ruang televisi berada di lantai satu, dan si Pelaku mungkin menyeretnya ke kamar mandi sebelum membunuhnya. Ah, tidak mungkin menyeret—Papa yang paling gemuk di sini, mencapai seratus kilogram. Maka, satu-satunya cara adalah menggodanya ke kamar mandi.

Mbok Ike semakin mencurigakan. Bukankah bercinta di kamar mandi pada tengah malam adalah tindakan ideal para peselingkuh?

Baik, mungkin juga Mama yang menggoda Papa ke kamar mandi. Mama mempunyai motif kuat untuk membunuh Papa. Pada suatu pagi di rumah, aku terbangun karena mendengar Mama membanting piring di ruang televisi dan menjerit-jerit, dan saat aku hendak turun ke ruangan itu Pak Anton dan Mbok Ike mencegatku di tangga.

“Tidak ada orang tua yang ingin pertengkaran mereka disaksikan sang anak,” kata Pak Anton. 

Esoknya, saat Pak Anton mengantarku ke sekolah dengan mobil, aku bertanya apa penyebab Mama dan Papa bertengkar, dan sopir itu menjelaskan: Mama mendapati Papa tidur di ruang televisi tanpa celana, ada sejumlah bekas cupang di pahanya, mengindikasikan bahwa semalam ia berselingkuh hingga ketiduran, “Dan ada beberapa kaleng bir di sana.” Papa menolak menyebutkan siapa pencupangnya, tapi siapa lagi yang bisa kami curigai selain Mbok Ike?

Tapi, jika Mama pelakunya, pada tengah malam aku pasti mendengarnya melewati kamarku sebelum menuruni tangga, sebab setiap langkahnya selalu seperti hendak membelah lantai dan anak-anak tangga.

“Ada kesimpulan, Pak Detektif?” cemooh Mama, membakar sebatang rokok. “Apa kau butuh energi untuk berpikir? Mbok Ike bisa memasakkanmu sesuatu. Ah, tapi sebaiknya jangan—kita tak ingin ada yang mati diracun.”

“Nyonya, bukannya saya bermaksud kurang ajar,” kata Pak Anton, urat-urat bertonjolan di pelipisnya, “tapi orang yang tidak bersalah biasanya lebih banyak diam.”

Mama pun terdiam, menahan diri untuk bicara, menahan diri untuk menyundut mata Pak Anton.

Omong-omong, sopir itu salah. Di kebanyakan cerita detektif, yang paling banyak diam adalah yang bersalah. Para karakter lain dibuat lebih cerewet, lebih dominan, agar perhatian pembaca luput dari pelaku yang sebenarnya—dan Hantu Papa harus bersujud pada kecerdasanku sekarang.

“Maaf, boleh berkomentar …?” ucap Mbok Ike. “Apa mungkin pelakunya bukan satu pun di antara kita? Misalkan perampok …? Maaf jika saya salah.”

“Jenius,” balas Mama. “Mungkin juga ada yang mengarang cerita tentang perampok.”

Aku menggetok-getok meja lagi. “Ada satu hal lain yang harus kulakukan, sambil menunggu badai berakhir.” Aku menyuruh mereka menunggu di sini, tidak ada yang boleh keluar atau tertidur—karena bisa saja merekalah target pembunuhan selanjutnya—dan aku akan memeriksa TKP lalu sekujur vila, menemukan jejak-jejak sang pembunuh, atau mendapati barang-barang menghilang karena diambil perampok.

Aku mengambil sebilah pisau dari rak buat berjaga-jaga, dan melintasi ruang televisi dengan bau rokok dan bir dan keringat Papa, dan tiba di hadapan pintu cokelat kamar mandi. Aku merasakannya, panggilan kuat untuk seorang detektif. Tapi, begitu menyentuh gagang pintu yang dingin, sekujur tubuhku gemetar. Pisau terjatuh dari tanganku. Panggilan itu semakin keras dan menggema. Aku akan muntah. Aku tak siap melihat mayat Papa untuk kali kedua, aku tak siap memutar gagang pintu—tapi tak apa: setiap detektif keren pernah tidak terlalu keren. 

Aku memungut pisau, menarik napas panjang, dan membuka pintu kamar mandi seraya memejam. Aku diam di tempat dan terus memejam dan berhitung: sepuluh detik, dua puluh detik, enam puluh detik: pintu kamar mandi kututup dengan suara yang akan mencapai telinga Mama dan Mbok Ike dan Pak Anton, lalu aku kembali ke ruang makan.

“Siapa pelakunya, Pak Detektif?” cemooh Mama, membakar batang rokok kedua, tangannya gemetar.

“Waktu kita pertama melihat mayatnya,” ucapku, “Papa mengenakan arloji. Bukan begitu, Pak Anton?” Pak Anton mengingat-ingat sejenak, dan aku melanjutkan, “Dan barusan … jam tangannya sudah lenyap.”

Mama dan Mbok Ike menelan ludah. Pak Anton tampak masih mengingat-ingat. Aku mengembalikan pisau ke rak.

“Saranku begini: kita mengunci diri di kamar masing-masing, jangan bukakan pintu pada siapa pun. Begitu badai reda, kita semua harus menghubungi polisi dengan ponsel masing-masing, dari kamar masing-masing. Oh, satu lagi: kita hanya akan keluar ketika polisi tiba.”

“Cukup aman,” komentar Mama, kali ini tak mencemooh. 

“Kau membuatku sedikit tenang, Nak,” kata Pak Anton.

Tentu aku berbohong, tentu aku memiliki sisi pengecut, tapi kau tak bisa meremehkan kecerdasanku. Ketika polisi tiba, aku akan mengambil ponsel setiap tersangka, dan pelaku sesungguhnya tak akan memiliki riwayat panggilan dengan polisi. Simpel dan memukau. Di samping itu, ada kemungkinan lain yang akan kujelaskan sebentar lagi padamu.

Aku menginstruksikan agar kami, pertama-tama, mengantarkan Mama ke kamar di lantai dua. Setelah Mama mengunci diri, kami mengantarkan Mbok Ike ke kamarnya di lantai bawah tanah. Strategi antar-mengantar berfungsi untuk berjaga-jaga semisal pelaku pembunuhan adalah perampok yang akan membantai siapa pun yang berpencar, sekaligus memastikan para tersangka tidak pergi ke titik lain untuk menghapus jejaknya.

Terakhir, aku mengikuti Pak Anton memasuki kamarnya di lantai satu, kamar berukuran empat kali tiga meter dan berlampu kuning.

“Whoa! Kau tidak mengunci diri di kamarmu, Nak …?”

“Kita harus bersama-sama. Kau satu-satunya yang kupercaya—dan percayalah, aku bukan pelakunya.” Aku naik ke kasur, menyibak gorden, dan tampak halaman samping tempat mobil terparkir, tampak kabur karena air hujan mencakar jendela. Inilah kemungkinan lain yang terlintas di kepalaku: “Siapa pun pelakunya, mungkin ia akan menghampiri mobil untuk kabur. Tentu ia yang menyembunyikan kuncinya.”

Dan saat itulah, saat yang terlambat, aku menyadari keberadaan sesuatu di birai jendela, berkilau memantulkan cahaya pucat dari lampu halaman: kunci mobil Papa.

“Pak Anton, kita tidak kehilangan kun—”

Dan leherku ditikam dengan pisau lipat.


***


Menjadi detektif adalah menjadi detektif keren adalah menjadi detektif yang memecahkan kasus dengan teknik keren adalah menjadi detektif yang menumbalkan nyawa sendiri demi menjadi keren.

Aku keluar dari tubuhku dan menyadari bahwa kasus ini telah terpecahkan.

Pak Anton mengambil kunci mobil, dan aku melayang mengikutinya ke kamar mandi, menjumpai mayat Papa, sekaligus Hantu Papa yang duduk telanjang di kloset dan tersenyum miring padaku, syukur tubuh hantunya utuh. Omong-omong, sebagai hantu, aku tak sedikit pun ngeri melihat mayat Papa. Justru yang membuatku menelan ludah adalah Pak Anton yang mendadak menangis dan memeluk mayat Papa dan berkata, “Maaf, Sayang ....”

“Papa, kenapa ia memanggilmu—”

“Aku sudah melihat kebodohanmu,” tukas Hantu Papa. “Kalau kau membaca buku-buku bisnis, pasti kau lebih memikirkan cara melanjutkan perusahaan keluarga ketimbang cara mati dengan tolol.”

Pak Anton berlari keluar dan aku dan Papa melayang mengikutinya. Sopir itu menembus badai membuka gerbang, memasuki mobil, dan kabur tanpa menutup gerbang kembali; hujan menembus tubuhku dan Papa.

“Sekarang, apa …?” tanya Papa.

“Entahlah. Mungkin aku akan ke kamar. Membaca novel detektif. Kalau bisa.”




*) Cerpen ini dimuat di Basabasi.co pada 2 Februari 2024.

MEMPERSIAPKAN KEMATIAN DENGAN SANTAI -- Sebuah Cerpen

 

*Ilustrasi oleh: Tiyok (MI)




“Waktumu 24 jam,” ucap seorang pria di seberang telepon dengan datar. “Persiapkan dengan santai.”

Panggilan ditutup. Pukul 19.08. Di sisi seberang meja makan, anak gadisku, Vianna, sedang menonton sesuatu dari YouTube atau Netflix dengan ponselnya, dengan earphone di kuping. Istriku meletakkan panci besar di tengah meja makan, kepulan uap sup menghalangi wajah Vianna. Di luar jendela, hanya tampak deretan rumah lain dan lampu jalan, semua bercahaya pucat, dan tak tampak siapa pun mengawasi rumahku—tapi aku cukup bijak untuk tak kabur, untuk tak menelepon polisi, untuk tak membuat masalah membesar.

“Besok aku mati,” kataku tiba-tiba, sesantai mungkin, seolah hanya izin ke toilet.

Vianna menjeda tontonan dan melepas earphone dan menoleh ke arahku; istriku menjeda gerakan saat menyendok nasi dari penanak dan menoleh ke arahku. Hening. Uap dari sup dan penanak nasi seperti arwah melayang. Hujan mulai mengetuk-ngetuk kaca jendela seperti detail klise dalam adegan melodrama. Apa arti tatapan mereka?

Apa latihan keluargaku selama ini berfungsi baik?

“Ayah,” kata Vianna, “bayarkan dulu SPP-ku.”

Bagus. Tak ada getaran dalam suaranya. Terdengar sangat santai. Bagus.

“Apa ini latihan ...?” kata istriku.

Bukan pertanyaan bagus. Sebentar lagi piring akan jatuh dari tangannya yang gemetar. Air mata di ujung dagu jatuh ke kerah daster birunya. Latihan selama ini tak berfungsi optimal. Tapi aku harus jujur.

“Ini bukan latihan. Tapi santailah—agar kita semua bisa santai.”

Piring pun terlepas dari tangannya, pecah di lantai—sekali lagi seperti detail klise dalam adegan melodrama—dan istriku menjerit, memukul-mukul kabinet dapur, lalu berlari ke lantai atas dan membanting pintu kamar.

“Tenang, Yah, aku sudah bisa menghasilkan uang sendiri.” Vianna menyusul istriku.

Aku sudah menduga panggilan itu akan tiba, meski sulit menerima bahwa dugaanku tepat. Aku telah melanggar salah satu aturan di organisasi kami: jangan sisakan saksi mata saat menjalankan misi.

Usianya mungkin 17 tahun, saksi mata itu—seumuran Vianna. Setelah membunuh sang ayah di perpustakaan pribadinya, aku tak tega membunuh gadis itu karena bayangan wajah Vianna terus menimpa wajahnya. Jadi, kubiarkan ia hidup, dengan satu syarat: jangan ceritakan pembunuhan ini pada siapa pun—tapi esoknya berita pembunuhan muncul di mana-mana, dan sketsa wajahku tersebar, dan tibalah panggilan itu.

Aku tak tahu siapa tepatnya yang akan mengeksekusiku; aturan lain di organisasi mengatakan bahwa kami, para pembunuh, dilarang saling mengenal satu sama lain—sehingga setiap misi selalu bersifat individu, dan kami tak pernah dipertemukan dalam satu tempat.

Bagaimanapun, aku harus santai. Toh, selama satu setengah tahun, telah kulatih keluargaku untuk bersikap santai jika tiba kematianku.


***


Tentu aku ingin—dan harus—menyembunyikan pekerjaan asliku dari putri dan istriku. Tapi, satu setengah tahun lalu, aku tak tahu bahwa mereka akan pulang lebih cepat dari rumah mertuaku; mereka tiba di rumah pada pukul 23.47, dan aku sedang menjerat leher seorang wanita dengan dasi merah di ruang tengah, seraya menimpa tubuhnya agar tetap telungkup di lantai.

“Tenang, tenang, tenang,” ucapku, menatap lekat tatapan nanar Vianna dan istriku, seraya terus menjerat leher wanita itu, hingga ia berhenti bergerak. “Hei, aku bukan tukang selingkuh.”

“Seperti di film-film Hollywood,” komentar Vianna. Keren, bukan? Dari awal ia sudah berbakat bersikap santai, berbeda dengan istriku yang mendadak pingsan. (Bahkan, hingga berhari-hari setelah kematianku, aku masih kagum pada bakat tersebut.)

Esoknya, setelah istriku siuman, kujelaskan sejujur-jujurnya pada keluargaku soal pekerjaan dan organisasi itu, dan mereka mendengarkan dengan mulut menganga. Tentu tak ada yang menduga bahwa inilah pekerjaan asliku, bahwa aku bukan pustakawan sungguhan, terlebih aku hanya pria kurus berkaca mata dan berambut mangkuk dan mirip ia-yang-selalu-dirundung dalam film-film—tapi pembunuh yang baik memang tak tampak seperti pembunuh. Dan, penjelasan kuakhiri dengan, “Kalian berminat kabur dariku?”

Mereka menggeleng, meski tak tersirat ancaman dalam pertanyaanku. 

Lalu aku menjelaskan soal risiko kematianku, baik di tangan targetku, rekan kerjaku, atau atasanku. Mereka pun menangis. Wajar saja, menerima fakta bahwa suami atau ayahmu bukan orang baik tak sesulit menerima fakta bahwa ia bisa mati sewaktu-waktu, dengan cara selain sakit atau kecelakaan. Di titik inilah aku mendapat ide untuk mengadakan latihan bersikap santai.

Latihan dimulai esok paginya, saat kami sarapan nasi goreng buatan istriku. Aku mendadak berkata, “Besok aku mati.”

Vianna berhenti mengunyah dan menjeda tontonan dan melepas earphone; istriku berhenti mengunyah dan sendok di tangannya terjatuh ke lantai.

“Besok aku mati,” ulangku. “Berikan reaksi yang paling santai. Vianna, silakan.”

“Wow,” balas putriku. “Titip salam untuk Izrail.”

“Bagus. Sayang, giliranmu.”

“Kau pikir ini lucu, Setan Alas?” Suaranya gemetar, air matanya menetes.

“Tidak. Ini cuma latihan.”

Ia berteriak dan meraup nasi goreng dengan tangan dan melemparnya ke wajahku sebelum berlari ke lantai atas dan membanting pintu kamar. Ia kurang santai. Melatih istriku memang tak mudah.

“Bisa berangkat sekolah sendiri hari ini, Nak?” kataku.

“Besok dan seterusnya pun bisa.”

“Terima kasih.”

Latihan kedua kulakukan di sarapan selanjutnya, begitupun latihan ketiga, keempat, dan seterusnya, sampai kalimat, “Besok aku mati,” menjadi sarapan rutin. Tiap hari, Vianna selalu memberi reaksi santai yang mengagumkan, tak jarang komikal, sedangkan istriku diam saja. Bagaimanapun, ada sedikit kemajuan darinya: di latihan kedua hingga ketiga ia langsung pucat begitu mendengar kalimatku, tapi di latihan keempat dan seterusnya ia tak pucat sama sekali, tak peduli sama sekali.

Aku menghentikan latihan rutin di hari keempat belas. Mereka membutuhkan variasi latihan, membutuhkan kejutan yang sehebat kematian sebenarnya. Maka, latihan kelima belas kulakukan dua puluh delapan hari kemudian, setelah mereka yakin bahwa aku bosan dengan latihan.

Hari itu adalah Minggu pagi, pukul 6.50, hujan hampir menghapus pemandangan di luar jendela. Aku berbaring di lantai dapur, dan menikam perut sendiri dengan pisau dapur, dan membelalakkan mata seakan mati akibat serangan kejutan. Beberapa menit kemudian, terdengar pintu kamar Vianna terbuka, dan suara langkahnya mendekat—aku menahan napas—dan ....

“Ayah ...?” Suaranya hampir bergetar. Sejenak ia menarik napas panjang, berusaha bersikap santai. Dan, “Sebelum mati, setidaknya kerjakan PR matematikaku.”

Bagus.

Pintu kamarku dibuka. Terdengar istriku menuruni tangga. Begitu melihatku, ia langsung berlutut di sampingku, menjerit panjang, mencabut pisau dari perutku dan hendak menikam leher sendiri—aku langsung menahan tangannya.

“Hei, hei, kau kurang santai!”

Heninglah sejenak. Pelan-pelan, Vianna mengambil pisau dari tangan istriku.

“Lebih baik latihan seperti biasa saja,” ucap istriku, parau.

“Baik. Bisa tolong antarkan Vianna ke sekolah? Aku harus ke rumah sakit.”

Viana meletakkan pisau di wastafel. “Aku bisa berangkat sendiri.”

“Tidak. Belakangan gurumu menelepon terus soal kau yang bolos.”

“Aku sibuk bekerja di kedai kopi. Semakin banyak tabungan, semakin santai kami menyambut kematianmu. Bukankah itu yang Ayah mau?”

“Terima kasih.” Aku tersenyum. “Tapi dikeluarkannya kau dari sekolah tidak akan membuat kami santai.”


***


Entah kenapa istriku bertanya, “Apa ini latihan ...?” setelah kusampaikan kabar kematianku-yang-sesungguhnya barusan. Biasanya ia diam. Mungkin, dari caraku bicara, ia merasakan sesuatu yang berbeda dari ratusan kali latihan. Mungkin aku sendiri belum sesantai itu. Tapi minimal kami sudah berlatih.

Pukul 19.00 pun tiba. Waktuku delapan menit lagi. Kami berkumpul di meja makan, menyantap pizza. Tadi Vianna dan istriku berpakaian serbahitam, tapi aku menyuruh mereka memakai pakaian biasa, seolah tak ada apa-apa hari ini. Vianna kini bersweter hitam dan rok pendek, istriku berdaster batik cokelat.

“Bagaimana caramu mati?” ucap istriku, sambil mengunyah pizza, tanpa menatapku.

Itu adalah kalimat pertamanya hari ini. Sedari pagi, ia menganggapku tak ada: tak sekali pun menatapku, tak sekali pun bicara padaku—Vianna membisikiku, “Ibu sedang berlatih hidup tanpa kau.”

“Cara kami selalu tak terduga, Sayang. Misalkan, mungkin, pemulung itu diam-diam membawa senapan jarak jauh—stop, jangan menoleh ke jendela.”

Dari jendela ruang makan, tampak seorang pemulung tua menyeret gerobak sampah dengan lamban, dan mengangkat tempat-tempat sampah di depan deretan rumah dengan lamban, seolah tiap gerakan berpotensi mematahkan tulang-tulangnya. Tapi mungkin seluruh tulangnya baik-baik saja. Mungkin ia hanya melambatkan gerakan untuk fokus memantauku.

“Sekali lagi kuingatkan,” kataku, “pembunuh dilarang menyisakan saksi mata.”

“Jadi, sebaiknya kami pergi ke kamar masing-masing,” balas Vianna, dan aku mengangguk.

Istriku menghabiskan pizzanya dan melangkah ke lantai atas tanpa bicara. Vianna masih duduk di tempat, mencocolkan pizza ke saus keju.

“Tolong jaga ibumu.” Sial, suaraku bergetar. “Jangan bolos sekolah lagi. Sekarang, pergilah.”

Vianna menghabiskan pizzanya dan berkata, “Selamat malam, Ayah,” dan memelukku.

Rasanya baru kali ini ia memelukku, setelah bertahun-tahun. Aku ingin menangis. Tapi aku harus bersikap santai. Vianna sudah cukup santai—aku tak boleh membuatnya ikut menangis. Mempersiapkan kematian dengan santai memang tak pernah mudah.

Tiba-tiba, sesuatu yang dingin menyentuh leherku.

Dan leherku disayat.

Vianna mundur beberapa langkah. “Sekarang kau tahu kenapa aku sering bolos,” kata putriku, gemetar, memasukkan sebilah pisau berkilau ke lengan sweternya. Lalu ia mengacungkan jempol ke luar jendela, ke pemulung itu—yang membalas dengan isyarat serupa—dan pergi ke kamarnya seolah tak terjadi apa pun.

Darah melengketkan bajuku ke kulit. Aku tumbang ke lantai. Pandanganku mengabur. Wow. Mungkin, selama ini bukan aku yang berusaha membuatnya santai dalam menyambut kematianku. Tapi sebaliknya.




*) Cerpen ini dimuat di Media Indonesia pada Minggu, 25 Februari 2024.