Sabtu, 04 Januari 2020

MIND EXPRESS -- Sebuah Cerpen

*Ilustrasi oleh: Mahdiduri



Ia sudah mendengar soal Mind Express, kereta khusus untuk mengunjungi pikiran orang-orang lain—kecuali presiden, wakil presiden, para menteri, dan sebagainya—sejak kereta itu diresmikan setahun lalu. Waktu itu, begitu mendengar berita peresmian Mind Express di televisi, ia langsung mengutuki perusahaan kereta tersebut, karena menurutnya mengunjungi pikiran orang-orang lain bukanlah tindakan benar, kecuali dilakukan oleh orang-orang tertentu macam ahli jiwa—itupun dengan izin sang pemilik pikiran. Pasalnya, tak ada peraturan demikian di Mind Express, seakan memasuki pikiran orang-orang lain sama saja seperti berlibur ke pantai.

Ia bersumpah tak akan pernah sekali pun menggunakan layanan kereta hina itu. Sayang, kini ia terpaksa membatalkan sumpah tersebut. Semua tak lain gara-gara ia merasa perlu mengunjungi pikiran putri semata wayangnya, putri yang tak dapat lagi ia mengerti pikirannya, sehingga terasa ada jarak jauh di antara mereka, seperti antara otak orang tak berpendidikan dan otak Einstein.
            
Putrinya mulai jarang bicara dan murung berkepanjangan sejak masuk SMA. Ia, sang ayah, semula berpikir bahwa itu adalah semacam tanda-tanda jatuh cinta. Entah lelaki mana yang ia terus-menerus pikirkan. Aku tak akan menginterupsi “lamunan cinta” itu. Tapi lama-kelamaan kondisi putrinya semakin ganjil: suatu pagi, saat sarapan, sesudah suapan pertama, putrinya berkata, “Rasanya seperti abu,” sebelum muntah di atas meja makan; selanjutnya, kejadian kurang lebih serupa terjadi hampir tiap hari, saat makan pagi-siang-malam; pihak sekolah sering mengabarinya soal itu saban terjadi di sekolah. Sang putri sama sekali tak memberi tahu siapa pun perihal apa yang terjadi pada dirinya. Seandainya istriku masih ada, mungkin ia bisa sangat membantu. Awalnya ia berencana mengajak putrinya ke psikolog atau psikiater, namun sang putri menolak keras, dan ia tak berani untuk memaksa. Ia akhirnya memutuskan untuk membeli tiket Mind Express sesudah secara tak sengaja mendapati putrinya sedang berancang-ancang menyileti punggung sendiri di kamar mandi—gadis itu pasti lupa mengunci pintu.
            
Ia pergi ke Mind Station—stasiun khusus Mind Express—di hari pertama musim liburan, pukul enam pagi, sementara di rumah sang putri sedang bersama bibinya. (Ia meminta adik iparnya itu untuk menjaga sang putri secara ketat, dengan tak membiarkannya berada sendirian di suatu ruang, termasuk kamar mandi.) Mind Station sama seperti stasiun-stasiun pada umumnya di kota itu, kecuali karena di sana terdapat sebuah portal ajaib yang seperti mulut menganga lebar di udara, menampakkan dimensi lain di dalamnya.
            
Tiap penumpang Mind Express diberi chip organik untuk ditelan, lalu mereka mesti membuat chip tersebut bekerja dengan memunculkan wajah seorang-yang-dipilih di benak masing-masing selama setengah menit, sebelum naik ke gerbong. Nantinya chip organik itu akan melebur di perut—dan berhenti bekerja sama sekali—dalam jangka waktu sesuai paket perjalanan yang dibeli. Ketika ia mencoba memunculkan citra wajah putrinya, pertama kali yang muncul adalah ekspresi sedih gadis itu. Lantas ia mencoba mengganti ekspresi putrinya, menjadi ceria atau setidaknya datar, namun tak bisa. Seakan sudah beradab-abad ia terus melihat kesedihan di wajah putrinya, sampai-sampai ia melupakan bentuk ekspresi nonsedih di wajah tersebut.
            
Tak lama kemudian ia telah duduk di samping salah satu jendela di dalam kereta—tiap jendela hanya bersisian dengan satu tempat duduk. Dari speaker terdengar, “Mohon perhatian. Kereta ini akan mulai melaju sebentar lagi. Sesudah melewati portal di depan sana, pada jendela di samping Anda akan tampak pikiran orang lain yang ingin Anda kunjungi. Kami tidak akan bertanggung jawab atas rasa sakit hati atau semacamnya yang diakibatkan oleh pikiran orang tersebut. Jika pikiran orang lain membuat Anda merasa tak nyaman, segeralah menutup mata. Jangan sampai tersedu-sedu, berteriak, dan lain sebagainya, karena itu akan mengganggu kenyamanan para penumpang lain. Apabila ada masalah, silakan bertanya pada para petugas. Terima kasih atas perhatian Anda, selamat menikmati pikiran orang lain.”
            
Saat Mind Express melaju mendekati portal, ia mendadak takut menoleh ke jendela di sampingnya. Tepatnya, ia takut mendapati bahwa ia tetap tak memahami pikiran sang putri, sekalipun ia sudah memasuki pikirannya, dan tetap tak bisa menemukan jalan keluar bagi masalah di pikiran gadis itu. Seharusnya aku membayar seorang ahli jiwa untuk duduk di tempat dudukku ini.
            
Begitu Mind Express memasuki portal, jendela di samping tiap-tiap penumpang pun, secara mengagumkan, menampilkan pemandangan-pemandangan yang membuat ia nyaris disorientasi. Ada jendela yang menampilkan citra acara pernikahan dan membuat orang yang duduk di sampingnya tersenyum bahagia, kemudian citra tersebut tampak tergeser oleh citra lain karena kereta terus bergerak; ada jendela yang menampilkan citra adegan perang-perangan yang dimainkan para bocah dan membuat orang yang duduk di sampingnya tersenyum geli, kemudian citra tersebut tampak tergeser oleh citra lain karena kereta terus bergerak; ada jendela yang menampilkan citra adegan persetubuhan dan membuat orang yang duduk di sampingnya menangis tanpa suara, kemudian citra tersebut tampak tergeser oleh citra lain karena kereta terus bergerak; bahkan ada jendela yang menampilkan gambaran-gambaran abstrak yang entah apa maksudnya, sekalipun kereta terus bergerak. Mind Express seolah melintasi banyak tempat sekaligus di waktu bersamaan.

Semula, ia kira menatap pikiran orang lain melalui jendela Mind Express hanya akan terasa seperti menonton film; rupanya, memang kesan yang ditimbulkan begitu nyata, sebagaimana ia melihat pemandangan asli.

Kira-kira, citra apa yang muncul di jendela di sampingku? Detak jantungnya mengencang. Setelah sekitar tiga puluh menit tersiksa oleh ketakutan itu, akhirnya ia memberanikan diri buat menoleh ke jendela di sampingnya. Dan, inilah yang ia lihat: hitam. Seumpama Mind Express menerobos lautan tinta.

Ia pun memanggil seorang petugas yang kebetulan melintas di sampingnya. “Mungkinkah ia sedang tidur, sehingga tak memikirkan apa-apa?” tanyanya. “Atau chip organik yang saya telan ternyata bermasalah?”

Sang petugas mengerutkan kening sejenak sebelum menjawab, “Maaf, saya rasa bukan karena pemilik pikiran itu sedang tidur. Mind Express mengunjungi pikiran orang-orang, bukan mengunjungi apa yang orang-orang sedang pikirkan. Jadi, sekalipun pemilik pikiran sedang tidur, pikirannya akan tetap tampak melalui jendela, karena pikiran manusia akan tetap ada selama manusia itu hidup.”

“Berarti, chip organik saya bermasalah?”

“Ada dua kemungkinan.” Jeda sejenak, sang petugas berdeham. 

“Kemungkinan pertama, chip organik Anda bermasalah. Kemungkinan kedua ....”

Tiba-tiba seorang penumpang di belakangnya meledakkan tangisan. Entah apa yang disaksikannya melalui jendela.

***

Mungkin seharusnya ia bukan mengatakan, “Jangan membiarkannya berada sendirian di suatu ruang, termasuk kamar mandi,” kepada sang adik ipar, melainkan mengatakan, “Kau harus selalu melihatnya tiap detik.”
            
Adik iparnya menemani gadis itu memasuki kamar mandi. Gadis tersebut semula keberatan, tapi kemudian ia menyerah pada kehendak sang bibi. “Tapi, biarkan tirai bak mandi tertutup, Bibi.” Sang bibi pun mengangguk setuju, karena ia pikir itu bukan masalah. Sayang, ia tak tahu bahwa gadis itu menyimpan silet di balik behanya.



*) Cerpen ini dimuat di Biem.co pada 7 Desember 2019.

KEMARI, KUBISIKI KAU PERIHAL CARA MENGENANGKU -- dan puisi-puisi lainnya

*Sumber Gambar: Pinterest





Kemari, Kubisiki Kau Perihal Cara Mengenangku

aku bukan jalan tak ada ujung
bukan jalan sekadar gelap
yang bisa kauselidiki dengan mata
sepeka kucing

aku bukan ide tak ada akhir
yang bisa kautemukan dengan puisi
pun dalam puisi
bukan pula ide sesuka hati

jangan kautanya padaku!

pun aku tak menemu bayang
diri di kulit danau jernih
tak menemu bayang
diri yang dicipta api
tak menemu tubuh
diri di foto keluarga kecil
—sedang namaku tercantum
jelas di sebelah sini

mungkin aku ikan mati
di lambung predator
kekenyangan

mungkin aku bintang
di atas kota malam
berpolusi cahaya

mungkin aku komposisi puitik
di mata orang
tak bisa baca

mungkin aku …

(Jakarta, Januari 2019)



Nasib Sebuah Puisi Modern di Sebuah Tempat yang Dekaden

dengan tubuh penuh ludah hinaan
puisi itu marah sekaligus sedih
membanting diri ke lantai
pecah terserak seperti bulan kaca
tergelincir dari langit
sebab kini ia sadar
orang-orang hanya mencari
hangan tubuh kekasih
asin air mata
anyir darah kotor
dengan sobekan halaman kitab suci
koran maupun buku motivasi
dari tubuh seksinya
sedang bukan demikian
takdirnya ketika dikeluarkan
dari luka-bernanah
seorang penyair
yang remuk sekujur badan
tergencet pemahaman

(Jakarta, Januari 2019)



Malam Penjemputan

dibangunkan dingin bilah sabit pada dada,
ditahannya jerit agar degup jantung malam
tetap pelan, digerakkan tubuhnya perlahan
agar tak menyenggol-pecah udara yang terbuat
dari kaca, diciumnya kening anak dan istri
setenang keluar-masuk napas mereka,
ditinggalkannya rumah dengan langkah
terlampau ringan, dirasakannya udara dingin
menyeret ia kembali ke bawah selimut.

“pakailah ini.”

ia pun mengenakan jubah hitam
malaikat itu, dijalari tubuhnya dengan
hangat kematian, dan ia merasa akan
segera tidur senyenyak tadi.

(Jakarta, Januari 2019)



Penguasa Sebuah Dunia

1/

matahari memasuki lubang hidung saat ia menghela napas. kehidupan di dalam tubuhnya pun kembali berjalan normal: sawah-sawah dapat menjadi sekering luka lama, para ayah dapat menjadi pupuk di sana setelah mati kepanasan, para ibu dapat menunggu laut menjadi garam buat mempersedap kesedihan yang mereka lahap sehari-hari, anak-anak dapat memasuki hutan untuk bermain, mumpung hari tak lagi gelap dan menyesatkan, tanpa tahu bahwa para predator sedang giat mencari mangsa.

2/

doa para manusia melesat dari lubang hidung saat ia mengembus napas. doa-doa itu tak pernah mencapai rumah tuhan yang diyakini berada di langit di balik kulit ubun-ubunnya. doa-doa itu hanyalah daun-daun yang gugur namun tak pernah mencapai tanah, apalagi menjadi pupuk yang menyenangkan pohon tempat tinggalnya.

3/

di hela napas selanjutnya, tak ada yang tahu apa lagikah yang memasuki lubang hidungnya, apa lagikah yang akan melengkapi kehidupan di dalam tubuhnya.

(Jakarta, Januari 2019)



Api di Bawah Perut

laki asing yang menanam api
di bawah perutmu itu, istriku,
biarlah membusuk dan tertanam
sebagai pupuk di bawah pohon

pernikahan kita. biar menguat
pohon itu, bertumbuh dengan ceria,
menghasilkan berbagai buah
semerah api, lagi semanis

darah laki asing yang tumpah
di bawah kakiku ini. api di bawah
perutmu itu, istriku, tak perlu
kaubiarkan membakar

tubuhmu, meski hujan
yang kubawa ke bawah perutmu
tak mungkin bisa memadamkan
api nista tersebut.

(Jakarta, Januari 2019)



Bayang-Bayang di Langit-Langit Kamar

bayang-bayang yang semula hanya bersemadi di langit-langit kamarnya itu kini mulai menetes pelan-pelan memasuki nganga mulutnya hingga hitamlah seluruh darah di tubuhnya telentang-telanjang di kasur hingga tergerak kedua tangannya menggapai mercusuar pemancar cahaya-ingatan tentang bagaimana ia menyusu pada ibu bagaimana ia tidur di pelukan ibu bagaimana ia dicium-cium oleh ibu hingga tubuh mercusuar itu bergetar-getar hebat seperti hendak menembakkan lendir ke langit-langit buat membersihkan bayang-bayang yang tahu-tahu telah membanjiri sekujur kamar plus menenggelamkan ia tanpa diketahui ibu dan ayah yang lantun desah keduanya mencapai kamar tersebut

(Jakarta, Januari 2019)



Lelaki Tua dan Bach di Sebuah Kamar

air tumpah dari corong gramofonnya.
lelaki tua yang menguning di kamar itu
mulai merasa nyaman, bach membersihkan
angka-angka nol berserakan di lantai,
dinding, langit-langit, kasur, apa pun itu
termasuk tubuhnya, kecuali kaca jendela
sejernih kehilangan mencupang dadanya.

lelaki tua itu bangkit dari kasur,
melangkah ke jendela tanpa takut,
memandangi barisan pasukan nazi
menginjak genangan darah itu sama
seperti yang mengalir dalam tubuhnya.

dari arah belakang, lelaki tua mendengar
suara pintu kamar didobrak. air masih
bertumpahan dari corong gramofon,
seperti darah dari lubang-lubang peluru
di tubuh itu.

(Jakarta, Januari 2019)



Puisi-puisi ini dimuat di Nyimpang.com pada 22 Desember 2019.