Jumat, 07 Februari 2020

PERMAINAN LUCU ALA MICHAEL HANEKE -- Sebuah Cerpen


Image result for funny games
*Sumber gambar: Screenshot film Funny Games (1997)




Namaku Arno Frisch, sebelum dipaksa berubah menjadi Paul.

Pada awal 1997, suatu malam, ketika aku sedang tidur nyenyak, Michael Haneke—sutradara asal Austria itu—tiba-tiba membangunkanku dengan satu colekan di dahi. Jangan tanya bagaimana bisa ia masuk ke kamarku. Tanpa tedeng aling-aling, ia berkata, “Aku mau kau bermain di filmku, sebagai seorang pemuda psikopat.” Tentu aku kaget bukan main, dan kurasa wajar saja andai aku marah pada ketidaksopanannya. Namun, karena pada 1992 aku bermain di filmnya, Benny’s Video, sebagai tokoh utama—waktu itu, ia menawariku peran dengan cara “normal”—kuputuskan untuk tak memarahinya, dan bertanya soal film yang akan dibuatnya itu. Secara singkat, beginilah kira-kira penjelasannya: Film tersebut berjudul Funny Games; aku berperan sebagai Paul; bercerita tentang sebuah keluarga yang sedang berlibur di sebuah rumah di samping danau, lalu mereka kedatangan dua orang tamu psikopat yang pada akhirnya membunuh mereka semua secara perlahan-lahan dan “lucu”.
            
Aku kurang ingat bagaimana Haneke mengakhiri pertemuan kami malam itu. Yang jelas, keesokan paginya, di meja makan, tahu-tahu telah tersaji secangkir teh, sepiring tafelspitz[1], skenario Funny Games, dan surat perjanjian. Sesudah menghabiskan teh dan tafelspitz, aku membaca skenario film tersebut hingga selesai, dari pagi sampai siang. Lantas, setelah berdecak kagum sambil memaki Haneke dengan suara lirih, aku menandatangani surat perjanjian itu.
            
“Terima kasih banyak, Paul,” sekonyong-konyong Haneke muncul di belakangku dan menyambar surat perjanjian itu, sebelum mendadak lenyap, seakan tubuhnya menyatu dengan udara. (Belakangan, aku bertanya-tanya, kenapa Haneke yang mengambil surat perjanjian itu, alih-alih Veit Heiduschka, sang produser?)
            
Karena saking sukanya dengan skenario Funny Games, tadi aku terburu-buru menandatangani surat perjanjian, sebelum membaca isi dari surat tersebut. Namun, sudah terlambat ....

***

Sekitar dua minggu kemudian, sesudah aku membaca skenario Funny Games berkali-kali, aku mendapat panggilan telepon dari Haneke, berbunyi, “Besok pagi, kita akan mengadakan rapat kecil-kecilan di sebuah studio. Di sana, kau akan kuperkenalkan dengan aktor-aktor lainnya. Oya, aku akan menjemputmu.”

Tapi nyatanya Haneke tak menjemputku; begitu terbangun, aku, dan tempat tidurku, tahu-tahu sudah berada di suatu tempat asing, yang perlahan-lahan kusadari adalah sebuah studio. Di sudut studio, terdapat sebuah televisi; kamera yang mengambil gambar di televisi itu berada di sebuah perahu kosong yang mengapung di tengah danau, dan di tepi danau tersebut terlihat sebuah rumah. Di samping televisi, duduklah Haneke seorang diri—tak ada siapa pun di studio ini kecuali kami berdua—yang segera menyambutku dengan, “Selamat pagi, Paul, ayo kita mulai sekarang.”
            
“Mulai apa?” tanyaku. “Rapat kecil-kecilan itu? Di mana yang lainnya?”
            
Dengan langkah-langkah tenang, Haneke mendekatiku. Kusadari ia memegang sebatang tongkat golf di belakang punggungnya. Ia pun duduk di tepi kasur, di sampingku, dan merangkulku dengan tangan yang tak memegang tongkat. “Hari ini kau akan kumasukkan ke dalam televisi itu.”
            
“Hah?”
            
Haneke berdiri, dan tanpa basa-basi ia menghantam kepalaku dengan tongkat golf! Aku tidak pingsan; tubuhku hanya mendadak tak berdaya, tatapanku berkunang-kunang. Aku masih dapat merasakan tubuhku yang diseret Haneke mendekati televisi, lantas ia angkat dengan bersusah payah, dan ia lempar ke dalam layar televisi tersebut!
            
Aku pun secara ajaib telah berada di atas perahu di tengah danau itu. Ternyata, dari posisiku sekarang, yang kulihat bukan hanya ada sebuah rumah di tepi danau, melainkan beberapa. Dan, di perahu ini rupanya aku tak sendirian; ada seorang pria lain, yang segera memperkenalkan diri sebagai Peter.
            
“Jadi,” kata Peter, “ayo kita mulai permainan ini. Aku pilih rumah yang itu sebagai target pertama, karena barusan kulihat ada sebuah keluarga yang baru sampai di sana.”
            
“Mesti buru-buru seperti inikah?” Suaraku bergetar.
            
“Oh ya, di film ini, bukankah kau yang seharusnya lebih dominan ketimbang aku?”
            
“Ya ....”
            
“Tapi kenapa kau sekarang terlihat seperti anak anjing sekarat?”

***

Kukira keluarga yang dimaksud oleh Peter adalah keluarga Anna, sang tokoh utama.
            
“Bukan. Keluarga Anna belum datang,” jelas Peter, seraya menyalakan mesin perahu. “Mereka yang baru datang adalah keluarga Fred. Keluarga yang akan kita bantai terlebih dahulu sebelum keluarga Anna.”
            
“Kita harus benar-benar membantai keluarga Fred?” sahutku, terbata-bata.
            
“Kau belum membaca skenario, heh?”
            
“Aku sudah membaca skenario, tentu saja. Maksudku, di skenario, bukankah tidak diperlihatkan adegan kita membantai keluarga Fred?”
            
Peter tertawa kecil, seakan melihat seekor anak anjing terbuang yang sedang bertindak bodoh di hadapannya. “Benar. Tapi, sesuai isi surat perjanjian, kita harus benar-benar membantai keluarga Fred juga. Bahkan, sesudah membantai keluarga Anna, walaupun film telah selesai pada adegan di mana kau memasuki rumah keluarga selanjutnya, kita tetap harus benar-benar membantai keluarga itu.”
            
“Kau dapat surat perjanjian, bukan?” lanjut Peter.
            
Perahu mulai melaju. Rasanya aku ingin segera tenggelam saja di danau ini, persis seperti yang Anna alami pada bagian klimaks film.

***

Setelah dipaksa membunuh tiga keluarga dalam permainan lucu ala Michael Haneke dan dibebaskan dari dalam televisi, aku cepat-cepat pergi ke psikolog.
            
Sepuluh tahun kemudian, ketika aku merasa kejiwaanku sudah sedikit membaik, aku melihat Michael Pitt di layar bioskop, dipaksa menjadi Paul dalam permainan lucu yang pernah kualami.



[1] Masakan terkenal dari Wina, berupa daging sapi yang direbus dalam kaldu, lalu disajikan dengan saus apel dan lobak.






*) Cerpen ini dimuat di Tatkala.co pada 25 Januari 2020.

MERAYAKAN KEMATIAN dan Puisi-Puisi Lainnya


*Sumber gambar: Pinterest




Seorang Penyair, di Suatu Tempat

di rumah ini seekor ikan dipaksa berenang
di udara, ide puisi yang hendak ditulisnya
mencari air laut untuk larut dalam

lendir bening pelumas miliaran mesin.
di luar rumah ini lautan membungkus rapat,
namun pasukan kucing selincah kalimat-

kalimat penyair kelas dunia berjaga
di setiap pintu, ikan itu melihat kesempatan
membunuh para mesiah berkembang-biak

di terumbu karang dalam tengkorak
kawanan manusia akan berevolusi
menjadi gerombolan kucing.

(Denpasar, Januari 2019)




Waktu + Saya

waktu itu saya diperkosa waktu.
waktu menjebol dinding kamar
lalu menyeret diri saya hendak tidur
nyenyak, jauh menuju hutan asing

yang terbakar. di sana waktu
bermain-main dengan penis + vagina saya:
vagina-waktu menenggelamkan penis-saya;
penis-waktu menyelam ke vagina-saya. aduh,

betapa menderita: sakit selangkang + tubuh
perlahan dijilat api mengepung. mendadak,
dibingkai api, saya melihat sebentuk wajah
bercahaya di langit malam, terbentuk oleh

awan-gemawan + burung-burung berputar.
wajah itu menatap lekat mata saya nanar
lalu saya merasa memahami sesuatu
yang belum mampu dicerna bahasa

di otak bocah ini. saya pun, sejak detik itu
hingga sekarang, masih diperkosa waktu
di hutan yang sama, tanpa api mengepung,
dengan luka-luka bakar di tubuh

perlahan membaik berkat hujan
obat-cair ditumpahkan wajah itu.
wajah tersebut memberi hadiah kepada
saya yang menikmati jalangnya waktu.

(Denpasar, Februari 2019)




Kematian Kesedihan

sungguh aneh: tak seorang pun
bersedih ketika kesedihan mati
pada malam itu, mereka segera
membikin pesta di seputar

makam tersebut: memanggang
daging-perjuangan dengan saus bbq,
meledakkan petasan-penyesalan
hingga langit benderang, menuang

bir-kebahagiaan ke gelas masing-masing,
mabuk hingga pertanyaan-pertanyaan
termuntah seluruhnya dari perut,
dan memainkan musik-kepuasan

sekeras-kerasnya hingga ketakpuasan
berhamburan dari lubang telinga,
menyatu dengan bayangan pepohon
di bawah bulan-kecewa.

esoknya, makam-kesedihan dikelilingi
makam-makam lainnya.

(Jakarta, Februari 2019)




Percobaan yang Terus Gagal

saya mencoba memahami
waktu membunuh
hari kemarin menanam
monumen-luka melontarkan
nanah meng-“ada”-kan
hari ini hari depan meneror
saya mencoba memahami
waktu membunuh
hari kemarin …

(Jakarta, Februari 2019)




Merayakan Kematian

bintang-bintang yang menjadi lemakku
meluncur mendekati tangga itu
menjadi lampu-lampu sorot agar kau
tak tersandung menuju sebuah pintu

dari bawah sini
kupandangi kau di titik tinggi
sementara tubuhku ini
makin mengurus makin mengering

(Jakarta, Mei 2019)




Satu Kejutan

1/

sebatang jarum
dalam daging bibirmu
cahaya bulan
dari selanya

di kencan itu
kau tahu aku akan
mengunyah bibirmu
seperti steik

maka kau sedikit
melukai diri
demi sebuah
kejutan

2/

ketika jarum itu menancap
dalam daging lidahku
aku mencecap
kata-kata asinku
menyumbat aortamu

(Jakarta, Mei 2019)






Dalam Kepala yang Tua

di dalam kepala tuanya
tampak seorang anak berbaju emas
bercelana emas bertopi emas

bersepatu emas bertopeng emas
di pulau seberang; kepala tuanya
tak paham bahwa bukan sepasang

mata tua melihat, sebab di dalam
sana telah menggenang laut emas
menyembuhkan tubuh tua dari

kematian mengikis perlahan-lahan.

*
di luar kepala tuanya
tampak seorang anak tak berbaju
tak bercelana tak bertopi

tak bersepatu tak bertopeng
di pulau seberang; kepala tuanya
memasang bibir senyum

untuk yang tak ada.

(Jakarta, Mei 2019)




*) Puisi-puisi ini dimuat di Nyimpang.com pada 11 Januari 2020.

REPORTASE TENTANG SEBUAH PUISI dan Puisi-Puisi Lainnya


*Ilustasi oleh: Surya Gemilang




Reportase tentang Sebuah Puisi

yang terjadi di puisi ini adalah
museum-museum menyelam ke perut tanah
kereta api meluncur keluar dari jalur
            memerkosa rumah-rumah yang teratur
perpustakaan mengaktifkan sistem pencernaan
            melebur buku-buku di lambungnya
munculnya lautan baru
di mana kau bisa menjaring air
air hujan dipaksa kembali ke langit
            sehingga bebunga tak jadi mekar
            sehingga api di rambutku tak jadi padam

yang terjadi di puisi ini adalah
aku semakin kehilangan definisi
keberadaanmu
ketika hendak membuatnya menjadi patung

(Jakarta, Agustus 2018)




Kata “Cinta” di Dalam Kamus

kau lupa kapan terakhir kali ada mata
menjilat tubuhmu yang berdebu.
mereka hanya membentuk
definisi tubuhmu sesuai

kehendak arus sungai di dalam
tubuh masing-masing. mereka pikir
tubuhmu sudah mendaging di kepala
dari tahun ke tahun, sehingga

tubuhmu tak diraba saban kamus
dijamah. maka, di luar kamus, terlihat
mereka mengunyah tubuh para kekasih,
mengatasnamakan tubuh putihmu yang agung.

(Jakarta, Agustus 2018)




Kabar Seekor Burung

setelah menelan bebiji puisi
di ladang penyair,
belulang di sayapnya rontok
bagai geligi busuk
di hari tua.

burung itu menyangka dirinya akan murung.
namun ia salah: rupanya ia masih bisa
diterbangkan bahasa, kepedihan, dan kesadaran.
lalu, di langit, sekonyong-konyong kakinya lenyap

umpama masa-masa muda.
burung itu tahu bahwa ia tak perlu murung,
sebab daratan tempatnya mendarat

kini menjadi variasi langit
yang kelak menjadi tempatnya

terjatuh dalam petualangan lain.

(Jakarta, September 2018)







Situasi-Situasi Batas

mungkin aku akan tetap duduk
di sini, memandangi seribu kemungkinan
jeda puitik bermekaran umpama bunga racun
di tubuhmu, beberapa meter dari mejaku.

mungkin akulah lelaki yang akan menjadi
bunga layu di meja kafe ini, pula pena
yang bingung harus mencatat apa tentangmu
dalam sebuah puisi di kelopak tubuhku.

mungkin aku tak perlu menghabiskan kopi ini;
aku tak sengaja menjadikan tubuhmu
sebuah metafora: kopi masam yang perlahan
menggelapkan kantukku.

aku ingin tetap terlena
dalam
tidur
dan
mimpi
dalam jeda puitik yang agung di tubuhmu
dalam jeda puitik yang kusunting terus-menerus.

(Jakarta, Agustus 2018)




*) Puisi-puisi ini dimuat di Bacapetra.co pada 20 Januari 2020.