Sabtu, 30 Maret 2019

SAYAP


*Sumber Gambar: Pinterest



Sayap

nol besar di puncak menara itu
memperlihatkan siluet burung-burung pemakan
bangkai beterbangan, menitipkan bebulu rontok
di dasar menara, seorang ayah seorang anak

duduk terpuruk, dikepung kematian
di luar sana. lilin-lilin sedang menyala
menghangatkan mereka, ketika
sebuah ide tumbuh bagaikan jamur

di balik batok kepala sang ayah:
ia pun memungut bebulu berserakan,
saling merekatkan dengan cairan lilin,
membentuk sepasang sayap yang pas

berada di tubuh sang anak.
“terbanglah, anakku,
seperti burung-burung pemakan bangkai itu.
bermigrasilah ke pulau seberang, di mana

kematian masih serupa hewan liar berhibernasi.
tapi jangan terlalu dekat dengan matahari!”
sang anak mengepak sayap, perlahan terbang
melewati nol besar, lalu bangkai-bangkai manusia

di bawah sana, orang-orang berpedang
membunuh orang-orang tak berpedang.
tiba-tiba sepasang sayap merah tumbuh
di hatinya, tumbuh keajaiban yang hanya

mungkin ada di ketinggian seperti ini:
sang anak pun berteriak kegirangan,
terbang semakin tinggi, semakin jauh
dari kematian di bawah sana, tak menyadari

sepasang sayapnya berkeringat:
lilin dilelehkah panas mentari.

*
para pelaut berpedang menemukan
sang anak menjerit meminta tolong.
di atas laut itu, burung-burung pemakan
bangkai mulai mengepung.

(Denpasar, Februari 2019)



Sekumpulan Anak

kami telur, hanya menggigil
dalam lemari salju, ingatan
tentang bokong ayam yang hangat
perlahan membeku.

kami telur, tak akan menetas
di tanganmu, kami menanti
diri pecah di atas
panas permukaan bajan.

kami telur, mengharap sedikit
keajaiban: usai beberapa menit
kaugoreng, kami menjumpa
potongan ibu di perut itu.

tapi kami hanya telur membusuk,
dilontarkan tanganmu, menuju
sebuah wajah, sebagai kejutan
ulang tahun kawanmu.

(Denpasar, Februari 2019)



Kesaksian Sebuah Mobil

bukan kecepatan ini sungguh
membuatku takut, tak lain gumpalan
awan badai bermunculan dari
rambutnya seputih mata

mayat tersimpan pada bagasi,
dengan tubuh terkoyak gigi-geligi
piranha menyeruak dari nanar matanya.
tangannya, dipenuhi noda darah,

kini gemetar hebat mencengkeram
setir sewaktu-waktu bisa dibantingnya
ke sembarang arah, matanya mencari-cari
bayang-bayang pohon manakah

hendak menampung sebuah makam
tersembunyi. mendadak, melalui amuk api
yang terlihat dari lubang di dadanya,
kubaca kehendak untuk berbelok

ke arah laut, membangun makam-tak-rahasia
kami bertiga, makam yang cukup besar
buat mengamankan hati kecilnya dari
dosa-dosa ditumpahkan oleh angkasa.

(Jakarta, Februari 2019)



*) Puisi-puisi ini dimuat di Kompas pada Sabtu, 30 Maret 2019.

NOVEL DAN KEKASIH YANG MARAH -- Sebuah Cerpen


surreal book carvings by Guy Laramรƒ©e - mikeshouts

*Sumber Gambar: Pinterest



Saya langsung mengincar sofa panjang berwarna hijau itu begitu istri saya mengajak memasuki butik ini. Di sofa hijau yang sama, beberapa sentimeter di sebelah kiri saya, duduklah seorang lelaki remaja yang sedang sibuk dengan novel bacaannya. Sampul novel itu berwarna merah, dan tertulis Kerajaan Putih yang Terbakar sebagai judul, serta nama pena saya sebagai penulisnya—jika lelaki remaja itu menoleh ke arah saya, saya tak tahu apakah ia akan mengenali saya, sebab di halaman Tentang Penulis tak terdapat foto saya, lebih-lebih saya bukanlah penulis terkenal. Saya lihat lebih detail, rupanya ia telah mencapai bagian tengah novel itu, di mana sang ratu sedang sayang-sayangnya pada sang raja, karena suatu hal yang lebih baik kaubaca sendiri untuk mengetahuinya.
            
“Sayang, apa gaun ini cocok untukku?” tiba-tiba seorang remaja perempuan, di samping salah satu rak gantung, berkata sembari menempelkan gaun pilihan di tubuhnya, pastilah kepada lelaki remaja yang sedang membaca novel saya, karena perempuan itu sedang menoleh ke arahnya. Namun karena kekasihnya (begitulah saya tebak, karena mereka tampak terlalu muda untuk ukuran pasangan-menikah) tak menyahut dan tetap sibuk dengan novel di tangannya, perempuan itu pun berteriak dengan marah, “Lihat aku!”
            
Tak ada yang tak terkejut saya rasa, termasuk diri saya dan istri saya sendiri. Remaja lelaki itu sampai-sampai terlompat dari sofa dan menjatuhkan novel di tangannya—sungguh seperti adegan di banyak film komedi. Ia langsung menoleh ke arah kekasihnya dan berkata, “Sangat cocok, Khesya!” jelas tanpa menimbang-nimbang gaun pilihan itu terlebih dahulu.
            
Oh, raja dan ratu yang berbahagia ....

***

Saya dan istri saya berpisah seusai urusan di butik; ia pergi ke tempat lain karena sudah membuat janji dengan beberapa rekan bisnisnya, sedangkan saya, yang kebetulan sedang bebas, memutuskan untuk tetap berada di mall ini, dan iseng memasuki toko buku. Di toko buku, saya langsung mencari novel saya, sekadar mencari tahu berapakah sisa stok novel saya di sini.
            
Beberapa langkah dari rak yang menampung novel saya, langkah saya pun terhenti. Pasalnya, saya melihat seorang perempuan yang tak asing, yang tadi memarahi kekasihnya di butik, yang berdiri persis di depan barisan novel saya. Kalau saya tidak salah dengar, nama perempuan itu Khesya. (Eh, di manakah kekasihnya?) Jelas sekali tatapan Khesya terarah ke barisan novel saya; tatapannya menyiratkan kebencian. Apa ia membenci novel saya karena novel itulah yang sempat membuat sang kekasih tak menaruh perhatian padanya—di butik tadi?
            
Satu menit. Tiga menit. Lima menit. Khesya masih tetap menatap benci novel saya. Selama lima menit itu pula saya berhenti di titik ini, tak berani mendekatinya—entah kenapa—dan mencoba menghitung jumlah novel saya yang tersisa di sana—yah, tidak banyak dan tidak sedikit.
            
Akhirnya saya bergerak menuju rak lain, melihat-lihat sembarang buku, dan tertariklah perhatian saya pada sebuah buku nonfiksi berjudul Cara Memperlakukan Wanita dengan Luar Biasa. Saya pribadi merasa yakin bahwa saya sudah cukup luar biasa (romantis dan sebagainya) terhadap istri saya, tapi saya tetap penasaran dengan isi buku itu, sehingga kemudian saya mengambil dan membawanya ke kasir. Saat berjalan ke kasir, saya mencuri pandang ke rak di mana stok novel saya dipajang; Khesya rupanya masih berdiri di sana, masih dengan tatapan bencinya yang sama kepada novel saya.

***

Sehabis dari toko buku, saya pergi ke food court. Saya memilih sembarang meja, yang ternyata terletak bersebelahan dengan meja di mana Khesya dan kekasihnya duduk. (Wah, saya tak menyadari pergerakan Khesya dari toko buku.) Kekasih Khesya sibuk membaca novel saya, mengabaikan Khesya yang menatap benci entah ke arah novel itu atau wajah sang kekasih.
            
Makanan yang saya pesan tiba bersamaan dengan makanan pesanan Khesya dan kekasihnya. Tapi tampaknya makanan di meja mereka tak akan tersentuh dalam waktu yang relatif lama; kekasih Khesya masih sibuk dengan novel saya, sementara Khesya masih sibuk melemparkan tatapan bencinya.
            
Saya memutuskan untuk berhenti memerhatikan mereka dan mulai menikmati makanan saya. Saat makanan saya sudah tinggal kira-kira seperempat piring, tiba-tiba terdengar Khesya berteriak marah, amat kencang! Saya, kekasih Khesya, serta orang-orang lainnya jelas saja terkejut dan langsung menoleh ke sumber suara. Rasanya belum ada sang kekasih melemparkan tatapan bertanya-tanya selama satu setengah detik, Khesya telah merenggut novel dari tangannya, melemparkannya jauh-jauh, lantas menampar keras-keras lelaki itu sebelum menutup wajah sendiri dengan kedua tangan dan menangis tersedu-sedu!
            
Selama beberapa jenak kekasih Khesya hanya diam menganga. Barulah kemudian ia melontarkan kalimat-kalimat penyesalan dan permintaan maaf, yang malah membuat Khesya semakin murka: perempuan itu meraih sebilah pisau dari tempat sendok di mejanya dan menodongkannya pada sang lelaki! “Pergi!” teriaknya, dan langsunglah kekasihnya itu berlari terbirit-birit, entah ke mana.
            
Begitu lelaki itu menghilang dari jarak pandang saya—mungkin juga dari jarak pandang Khesya—Khesya segera meletakkan pisau itu pada tempatnya semula dan kembali menangis sembari menutup wajah dengan kedua tangan. Saya dan orang-orang lain yang memerhatikan adegan itu pun berusaha untuk kembali bersikap normal, kembali fokus pada kegiatan masing-masing, kecuali seorang wanita paruh baya, yang memungut novel saya dan meletakkannya di meja Khesya, tapi toh setelah itu ia kembali menjalankan kesibukannya di meja makan sendiri.
            
Beberapa saat kemudian, sesudah makanan saya habis, Khesya masih saja menangis seperti itu. Saya pun, atas inisiatif yang entah berasal dari mana, memutuskan untuk berpindah ke hadapan Khesya. Saat saya mendaratkan bokong di hadapannya, ia tetap menangis, seolah tak menyadari keberadaan bokong saya yang mendarat di kursi di mana kekasihnya duduk beberapa saat lalu. Saya lantas berdeham ....

***

Saya memesankan sebuah taksi online untuk mengantar Khesya pulang ke apartemennya. Tepatnya, ke apartemen tempat ia dan kekasihnya tinggal. Sopir taksi itu tak sendirian mengantarkan Khesya; ada saya, yang duduk bersama gadis itu di jok belakang. Saya merasa mesti ikut sebab Khesya masih saja menangis, dan saya berfirasat, ketika taksi ini melaju cepat, ia mungkin melompat ke tengah jalan raya jika tak ada yang mengawasi. (Sopir taksi sendiri pastilah terlalu sibuk mengawasi jalanan di depan-samping-belakang mobilnya, sehingga tak sempat mengawasi Khesya.)
            
Apartemen Khesya terletak tak jauh dari rumah saya. Ketika kami turun dari taksi di halaman parkir apartemen—sudah pukul 9 malam, padahal kami memulai perjalanan dari mall sekitar pukul 6 sore—Khesya berkata pada saya dengan sisa tangisnya, “Ikut saya masuk.”
            
Hening beberapa jenak, saya bingung mesti menjawab apa. Pertama, karena saya baru saja berniat mengatakan, “Dari sini, saya akan berjalan kaki ke rumah saya.” Kedua, saya sudah lelah mendengarkan sedu-sedannya—yang berusaha menyaingi bising kemacetan—di dalam taksi selama kurang lebih 3 jam. Sayangnya, saya tak tega meninggalkannya.
            
“Saya takut ia memukul saya,” lanjut Khesya. “Maksudnya, kekasih saya. Ia hanya pura-pura tak berdaya setiap kami bertengkar di tempat umum.”
            
Tapi, ketika saya sudah masuk ke apartemennya, ternyata kekasih Khesya belum pulang. (Apa istri saya sudah pulang?) Dan tiba-tiba Khesya mengunci pintu di belakang saya, mencium bibir saya dengan liar, memeluk tubuh saya dengan ganas, menggiring saya ke tempat tidur dengan beringas, lalu ....
            
Saya tiba-tiba teringat bahwa kami belum berkenalan—tentu Khesya tak tahu nama saya dan lain-lainnya, termasuk ia tak tahu bahwa sayalah penulis novel yang, secara tak langsung, membuat hubungan antara ia dan kekasihnya “retak”, bahkan sebentar lagi saya akan menjadi penyebab langsung bagi “keretakan” tersebut. Namun, apakah persetubuhan yang hebat hanya bisa terjadi di antara dua orang yang saling mengenal?

***

Setelah saya mengatakan bahwa saya akan orgasme, Khesya langsung melepaskan diri dari saya, meraih tasnya yang tergeletak di lantai—bersama pakaian kami—dan mengeluarkan novel saya yang beberapa jam lalu adalah bacaan kekasihnya. Ia lalu meraih pistol saya, menodongkannya ke novel saya sendiri, dan tangannya melakukan gerakan lincah yang menyenangkan, disertai senyum kejam yang menggoda.
            
Apakah menodai anak rohani sendiri bisa disebut inses? tiba-tiba saya berpikir demikian.



*) Cerpen ini dimuat di Semay Media, pada Maret 2019.