Kamis, 08 November 2018

PELUKIS DAN BAYI-BAYI -- Sebuah Cerpen


Francisco de Goya y Lucientes El entierro de la sardina (detail) 1812-1819
*Sumber Gambar: Pinterest



1/

Menurut orang-orang Desa Hitam, ada yang lebih menakutkan ketimbang Tuan X, seorang pejabat dari kota: lukisan. Saking menakutkannya lukisan bagi mereka, sampai-sampai mereka membakar tiap lukisan yang ada di desa itu.

Kapankah Tuan X menjadi demikian menakutkan, sehingga orang-orang desa memutuskan untuk membakarnya? pikirku secara iseng. Dan pikiran isengku itu mendapat jawaban sehari kemudian.

2/

Pelukis itu, yang tidak pernah memperkenalkan diri sehingga orang-orang menyebutnya Tuan Pelukis, datang ke Desa Hitam dan menempati sebuah rumah kosong yang terletak di samping rumahku, sebuah rumah yang pemiliknya, menurut desas-desus, dibunuh oleh orang-orang suruhan Tuan X sekitar satu tahun lalu. Kedatangan Tuan Pelukis ke Desa Hitam adalah tepat satu hari setelah pejabat dari kota itu, entah untuk keberapa kalinya, datang dengan membawa sebuah pengumuman yang menakutkan. Dan, Tuan Pelukis umpama sumber penawar rasa takut yang diakibatkan oleh pengumuman Tuan X.
            
Sesudah Tuan Pelukis memasukkan barang-barangnya ke dalam rumah, ia langsung duduk di depan rumahnya, menghadap kanvas yang disangga oleh standar lukis yang membelakangi Gunung Hitam di kejauhan. Gerakan tangannya amat cepat saat ia melukis—tentu yang ia lukis adalah Gunung Hitam. Dan, hasil akhir dari lukisan naturalismenya itu langsung saja ia tunjukkan, hari itu juga, kepada orang-orang desa yang entah sejak kapan telah mengerumuninya karena rasa penasaran. Tak ada yang tak terkagum-kagum melihat keindahan lukisan itu, termasuk “aku” di satu paragraf sebelumnya, sampai-sampai mereka melupakan ketakutan yang ditimbulkan oleh pengumuman Tuan X kemarin.
            
Keesokan harinya, orang-orang mendapati Tuan Pelukis duduk menghadap Sungai Hitam, melukis sungai itu di kanvasnya. Dan besoknya ia melukis Hutan Hitam. Lalu besoknya Danau Hitam. Lalu besoknya Padang Hitam. Lalu besoknya Sawah Hitam. Lalu besoknya Peternakan Hitam. Lalu besoknya ....
            
Karena seluruh orang Desa Hitam menyukai lukisan-lukisan indah yang dibuatnya, Tuan Pelukis pun memutuskan untuk memajang seluruh lukisan pemandangan Desa Hitam di ruang tamunya, dan ia selalu membiarkan ruang itu tak terkunci setiap waktu, dari pagi hingga pagi lagi, sehingga siapa pun bebas menghibur diri dengan memandangi lukisan-lukisan tersebut—yang tak boleh disentuh apalagi dibawa keluar.
            
Di lain sisi, mata-mata Tuan X yang bermukim di Desa Hitam melaporkan, kepada tuannya, soal keberadaan lukisan-lukisan naturalisme karya Tuan Pelukis yang mampu menghilangkan rasa takut akibat pengumuman yang mengerikan itu. Tentu Tuan X jadi murka karenanya, karena ketakutan orang-orang Desa Hitam adalah, secara tak langsung, sumber uang yang semestinya bisa ia keruk seumur hidup.

3/

Orang-orang sedang menikmati lukisan-lukisan Tuan Pelukis pada suatu pagi, yang secerah pagi-pagi di pembuka dongeng anak-anak, ketika Tuan X, secara mengejutkan, tahu-tahu memasuki ruang tamu itu. “Aku ingin bertemu dengan Tuan Pelukis,” ucapnya dengan tegas.

Langsung saja sebuah pintu, yang menghubungkan ruang tamu dengan ruang tengah, terbuka, menampakkan diri Tuan Pelukis. Dari gaya berpakaiannya yang elit, Tuan Pelukis langsung mengetahui bahwa itu adalah Tuan X, seorang pejabat dari kota yang citra buruknya sudah ia dengar dari sejumlah orang Desa Hitam.

“Jadi, kaulah Tuan Pelukis yang terkenal itu?” kata Tuan X, dengan keramahan yang tiba-tiba. “Aku perlu membicarakan sesuatu denganmu. Berdua saja.”

Tuan Pelukis, yang semula ragu-ragu, akhirnya mengangguk.

Orang-orang yang ada di ruang tamu pun berusaha mendengarkan apa yang dibicarakan Tuan X kepada Tuan Pelukis di ruang tengah yang terkunci, namun tak ada sesuatu pun yang dapat mereka dengar; yang jelas, barang setengah jam kemudian, Tuan X keluar dari ruang tengah itu dengan mulut terus menghamburkan sumpah-serapah.

4/

Tuan Pelukis duduk menghadap kanvas yang membelakangi Kebun Hitam pada pagi keesokan harinya, tepatnya ia duduk di balik pagar rendah kebun yang masih “setengah dewasa”—maksudnya, kebun yang belum ada satu pun pohonnya yang sudah menghasilkan buah—tersebut, sehingga lukisan Tuan Pelukis hanya diisi oleh empat warna: hijau dari dedaunan dan rumput, cokelat dari batang-batang pohon, putih dari awan-gemawan, dan biru dari langit yang melatari awan-gemawan itu. Padahal, menurutku, lukisan Tuan Pelukis akan lebih bagus andaikan ada warna merah di sana, warna yang berasal dari buah-buah yang sudah tumbuh dan matang—ah, kenapa ia tak memilih melukis kebun yang “lebih dewasa”?
            
Tiba-tiba, tepat dari arah Kebun Hitam, meluncurlah dua anak panah yang kemudian menancap tepat di kedua mata Tuan Pelukis! Kedua anak panah menancap tak terlalu dalam, setidaknya tak sampai menembus otak Tuan Pelukis, sehingga ia masih hidup dan bisa menjerit-jerit kesakitan. Palet dan kuas terjatuh dari tangan Tuan Pelukis kala kedua tangannya itu berusaha mencabut anak-anak panah di matanya. Sejauh ini, orang-orang Desa Hitam di sekeliling—yang tentu saja menunggu hasil akhir lukisannya—tak ada yang menjerit; mereka tampak terlalu terpana. Mereka baru mulai menjerit-jerit, lebih keras dari jerit kesakitan Tuan Pelukis, saat kedua tangan Tuan Pelukis berhasil mencabut kedua anak panah itu. Kedua mata Tuan Pelukis rupanya turut tercabut karena tersangkut pada mata anak-anak panah, sehingga kedua rongga mata itu kosong, dan darah dari sana langsung memuncrati lukisannya yang, semestinya, hanya diisi oleh warna hijau, cokelat, putih, dan biru, yang menurut “aku” di satu paragraf sebelumnya akan lebih bagus andaikan berisi warna merah dari buah-buah yang sudah tumbuh dan matang.

5/

“Tuan Pelukis sudah tidak mungkin bisa melihat kembali,” begitulah pernyataan sang tabib, pernyataan yang sudah diketahui orang-orang Desa Hitam bahkan sebelum dinyatakan.

Sebelum sang tabib mengeluarkan penyataannya, orang-orang Desa Hitam sudah membuat pembagian jadwal untuk merawat lukisan-lukisan naturalisme Tuan Pelukis, setiap harinya dilakukan oleh beberapa orang yang berbeda—mereka yakin, selain tak bisa melukis lagi, Tuan Pelukis tak akan bisa merawat lukisan-lukisannya yang indah dan begitu penting itu.
            
Perihal pelaku kejahatan terhadap Tuan Pelukis, tak ada seorang penduduk Desa Hitam pun yang tahu, termasuk mata-mata Tuan X yang tinggal di sana. Dan, mudah ditebak, pejabat dari kota itulah yang dijadikan tersangka utama.

6/

Setelah sekian lama, Tuan Pelukis dipulangkan dari kediaman sang tabib; Tuan Pelukis dianggap sudah cukup layak untuk kembali menjalani hidupnya secara mandiri, setelah ia diajarkan untuk beraktivitas normal tanpa mata oleh seorang pelatih yang dianggap amat mumpuni dalam hal beraktivitas tanpa melihat—ia adalah bekas pemain akrobat.
            
Tuan Pelukis bahkan sudah bisa merawat lukisan-lukisannya sendiri, sehingga pembagian jadwal perawatan yang dibuat orang-orang Desa Hitam tak perlu lagi diterapkan. Namun, untuk melukis, ia tak bisa semandiri dulu lagi; ia memerlukan aku untuk mendeskripsikan apa yang ada di hadapannya sedetail mungkin. Jadi, ia melukiskan apa yang ada di hadapannya sesuai interpretasinya terhadap kata-kataku. Meski kemiripan antara hasil akhir lukisannya dan apa yang dihadapinya terbilang agak jauh, tetap saja kami semua berhasil dibuat terkagum-kagum.
            
Perihal kenapa Tuan Pelukis memercayai aku untuk mendeskripsikan apa yang ada di hadapannya secara detail, itu lain cerita—tak penting untuk kuceritakan di sini. Yang penting untuk kuceritakan adalah kisah tentang seorang pelacur yang pada suatu malam tahu-tahu saja datang ke gubuk tempatku tinggal, dan berjanji memberikanku pelayanannya yang paling prima secara … “Kau tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun,” kata pelacur itu, yang kuterjemahkan sebagai “gratis”—tapi aku salah besar, sebesar sepasang payudaranya!
            
Si Pelacur datang ke gubukku beberapa jam setelah aku membantu Tuan Pelukis untuk menyelesaikan lukisan senjanya—lukisan itu adalah lukisan keempat yang ia selesaikan setelah buta, dan keempat lukisan tersebut cukuplah untuk membuatku diakui orang-orang sebagai orang yang berjasa besar di balik keindahan lukisan-lukisan terbaru Tuan Pelukis. Si Pelacur mengaku terpaksa mengungsi ke gubukku karena tempat prostitusi di mana ia bekerja sekaligus tinggal—yang berjarak jauh dari sini—barusan diserbu-dibakar oleh sepasukan manusia agamis. Waktu itu aku tak terpikir untuk menanyakan alasannya memilih gubukku ketimbang tempat-tempat tinggal lainnya yang lebih bagus di desa ini; aku langsung menerimanya dengan senang hati, dengan harapan mendapatkan tubuhnya.
            
“Kau serius? Aku tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun?” tanyaku, meyakinkan apa yang kudengar darinya barusan.
            
“Aku serius. Tapi … hmm … kau tahu BDSM?”
            
Karena aku tidak tahu, maka ia menjelaskannya dengan detail, sampai aku paham betul dan tertarik betul, dan mulailah ia mengikat sekujur tubuhku dan menutup mataku.

Setelahnya, tak ada persetubuhan sama sekali; si Pelacur malah memotong lidah Lelaki Penghuni Gubuk menggunakan parang yang ditemukannya di sudut gubuk itu!

(Setelahnya, si Pelacur menghilang tanpa jejak dari Desa Hitam.)

7/

Sepotong lidah ditemukan terpaku di pintu ruang tamu rumah Tuan Pelukis.
            
Orang-orang Desa Hitam merasa tertipu; mereka pikir, dengan menjaga ketat Tuan Pelukis saban melukis, tak akan ada serangan berupa apa pun lagi yang dapat mengganggu kreativitasnya. Mereka pikir, gangguan selanjutnya—setelah dua anak panah yang ditembakkan ke sepasang mata Tuan Pelukis—adalah dua anak panah yang ditembakkan dari dua arah, mengincar kedua telinga Tuan Pelukis.

8/

Dua bulan lamanya Tuan Pelukis tak melukis lagi—untungnya, selama masa itu Tuan X tidak ada berkunjung ke desa kami—hingga akhirnya ia mendapatkan orang lain yang bisa dipercayainya sebagai pendamping saat melukis. Pendamping baru Tuan Pelukis adalah seorang wanita yang cukup dikenal di desa kami, sebab ia adalah seorang guru bahasa di Sekolah Desa. Kami berasumsi, hasil akhir lukisan Tuan Pelukis akan jadi jauh lebih mirip dengan pemandangan-yang-sesungguhnya, tentu karena keakuratan deskripsi si Guru Bahasa semestinya jauh lebih baik ketimbang Lelaki Penghuni Gubuk, yang setahu kami tak pernah mendapatkan pendidikan bahasa, bahkan tak pernah bersekolah.
            
Tak ada yang diberi tahu bagaimana bisa si Guru Bahasa dipilih oleh Tuan Pelukis sebagai pendamping, tapi kami mereka-reka hal itu ada hubungannya dengan kejadian sebulan lalu, yaitu saat si Guru Bahasa, mewakili sekolah tempatnya mengajar, mendatangi kediaman Tuan Pelukis khusus untuk menggaetnya sebagai guru lukis di Sekolah Desa—tapi Tuan Pelukis menolak karena merasa kemampuannya dalam melukis masih terlalu lemah.
            
Besok adalah hari di mana si Guru Bahasa, untuk pertama kalinya, akan membantu Tuan Pelukis dengan mendeskripsikan Jurang Hitam yang akan dilukisnya.

9/

“Sebaiknya kalian pergi,” kata si Guru Bahasa kepada orang-orang yang hendak mengerumuni Tuan Pelukis di tepi Jurang Hitam. “Toh, kalian akan bisa melihat hasil akhirnya nanti di ruang tamu Tuan Pelukis.”
            
Mereka yang diusir tentu keberatan, begitu pula Tuan Pelukis, yang meminta si Guru Bahasa untuk membiarkan orang-orang itu mengerumuninya. Lalu si Guru Bahasa, dengan kesal, membalas, “Kalau ramai seperti ini, saya tidak bisa berkonsentrasi untuk mendeskripsikan-secara-detail pemandangan yang saya lihat.”
            
Dan orang-orang itu pun langsung setuju untuk pergi.

10/

Selagi si Guru Bahasa dan Tuan Pelukis sibuk di tepi Jurang Hitam, orang-orang menunggu dengan tak sabar di ruang tamu Tuan Pelukis selama berjam-jam, dari pagi hingga pukul 11 malam, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk pulang dan beristirahat, tanpa melihat hasil akhir dari lukisan Jurang Hitam hari itu, sebab si Guru Bahasa dan Tuan Pelukis belum juga kembali.
            
Beberapa jam kemudian, ketika pagi masih gelap, orang-orang yang tak sabaran itu sudah berbodong-bondong menuju ruang tamu Tuan Pelukis; mereka yakin, lukisan Jurang Hitam sudah selesai dan dipajang di ruang tamu itu setidaknya beberapa menit sebelum mereka mulai datang berbondong-bondong, sebab Tuan Pelukis tak pernah belum menyelesaikan lukisannya lebih dari 24 jam.

Begitu mereka tiba di ruang tamu Tuan Pelukis, mereka tak menemukan lukisan Jurang Hitam yang dipajang di antara relatif banyak lukisan naturalisme lainnya. Namun mereka melihat sebuah lukisan yang kemarin tak ada di sana; bukan lukisan naturalisme, melainkan lukisan surealisme.

Lukisan surealisme itu membuat mereka bergidik ngeri ....

11/

Seorang wanita yang telanjang. Tampak berusia 30 tahun. Sekujur kulitnya berwarna abu-abu. Ia sedang hamil besar. Di perutnya itu tampaklah mulut, hidung, sepasang mata dan alis, dengan tata letak yang persis komposisi wajah manusia normal. Dan di tempat di mana semestinya wajah terletak, kita tak melihat apa-apa selain pusar tepat di titik tengahnya. Yang paling mengerikan: selama memandangi lukisan itu, di dalam kepala kita masing-masing akan terdengar jeritan pilu, dan entah kenapa kita tahu bahwa jeritan tersebut adalah jeritan sang wanita dalam lukisan surealisme Tuan Pelukis.

12/

Si Guru Bahasa tak pernah lagi terlihat di Sekolah Desa maupun sekujur Desa Hitam.

13/

Tuan Pelukis tak pernah lagi melukis setelah itu. Atau, ia hanya tak pernah menunjukkan diri di ruang tamu maupun dunia luar, tapi tetap melukis di dalam sana—entah di ruang tengah, atau di kamar tidur, atau di ruang lainnya.

14/

Orang-orang yang pernah melihat lukisan surealisme itu jadi kerap diserang mimpi-mimpi buruk saban tidur. Saking buruknya mimpi-mimpi itu, sampai-sampai beberapa dari mereka memutuskan untuk tidak tidur, meski sempat saja ketiduran karena tak kuat menahan kantuk.
            
Beruntunglah orang-orang yang belum sempat melihat lukisan surealisme itu. Dan mereka yang belum sempat melihatnya berkali-kali disarankan untuk tidak usah melihatnya, tapi siapakah yang tak penasaran dengan karya lukis Tuan Pelukis?

15/

Kau tidak tahu mimpi buruk macam apa yang menyerang istrimu semalam. Yang jelas, kau yakin bahwa mimpi buruk itulah yang menyebabkannya tiba-tiba terbangun sambil menjerit, berlari ke dapur, meraih sebilah pisau, dan merobek lehernya sendiri.
            
Dan beberapa hari kemudian, beberapa orang tetanggamu bunuh diri pula setelah terbangun sambil menjerit. Ada yang mati dengan merobek leher sendiri menggunakan pisau pula—ah, ia adalah mantan kekasihmu—ada yang mati dengan menelan peniti sebanyak-banyaknya, ada yang mati dengan membuat diri ditendang kuda pelihara sendiri berkali-kali, ada yang mati dengan menguliti beberapa bagian tubuh sendiri sebelum menyerahkan diri pada anjing-anjing hutan, bahkan ada yang mati dengan memasukkan peledak ke anus sendiri.
            
Sebelum semakin banyak orang yang bunuh diri, kau pun mengajak orang-orang lain untuk mendatangi ruang tamu Tuan Pelukis dan meminta pelukis itu untuk mempertanggungjawabkan lukisan surealismenya yang mengerikan. “Kalau Tuan Pelukis tidak bisa kita temui, kita ambil lukisan itu dan bakar!” teriakmu.
            
Tuan Pelukis tidak terlihat di ruang tamu. Maka kau menggedor pintu ruang tengahnya. Sebab Tuan Pelukis tak juga muncul, kau pun hendak berteriak, “Kita bakar saja lukisan itu!” Tapi sebelum kau sempat berteriak demikian, salah seorang di kerumunanmu telah lebih dulu mengatakan, “Apa hanya aku yang baru menyadari ini?” dengan suara bergetar.
            
“Apa? Menyadari apa?” tanyamu.
            
“Lukisan menyeramkan itu ....” sahutnya terbata-bata, kemudian menunjuk ke arah lukisan yang dimaksud.
            
Dan kau dan yang lainnya pun segera menyadari bahwa perut wanita di lukisan surealisme itu terlihat rata. Ke mana kandungannya? Dan kau dan yang lainnya pun segera memutuskan untuk tak memikirkan keanehan itu lebih lama lagi. Dan kau dan yang lainnya pun segera melepas lukisan menyeramkan itu dari dinding, membawanya ke area pemakaman, lantas membakarnya di sana. (Kau dan yang lainnya pun kurang mengerti, kenapa kalian reflek memilih area pemakaman sebagai tempat pembakaran lukisan tersebut.)

16/

Tak ada siapa-siapa di ruang tamu Tuan Pelukis. Namun kau, yang tak berada di sana sebab hanya seorang pembaca, sayup-sayup mulai mendengar tangisan beberapa orang bayi, tanpa bisa melihat sumber tangisan itu.

17/

Tuan X datang ke Desa Hitam sehari sesudah lukisan surealisme itu dibakar di area pemakaman. (Entah kapan terakhir kali pejabat dari kota itu datang, tak ada yang ingat pasti, yang jelas sudah agak lama.) Ia datang, seperti biasa, untuk menyampaikan pengumuman menakutkan seputar sejumlah kebijakan baru dari pemerintah—pengumuman kali ini benar-benar menakutkan.
            
Semua orang Desa Hitam yang mendengar pengumuman menakutkan itu segeralah berbondong menuju ruang tamu Tuan Pelukis, tentu untuk membahagiakan diri dengan memandangi keindahan lukisan-lukisan naturalisme di sana. Padahal, sebelumnya, tak sedikit orang Desa Hitam yang memutuskan untuk tak akan berkunjung lagi ke ruang tamu itu, meskipun tak ada lagi lukisan surealisme yang menyeramkan, sebab berfirasat—tanpa latar belakang yang terlalu jelas—bahwa aura buruk akan tetap berada di sana.

Perihal firasat itu, mereka membicarakannya di tempat-tempat tongkrongan, dan mata-mata Tuan X mendengarnya, lalu melaporkannya pada Tuan X, dan mulailah pejabat dari kota itu memikirkan cara agar orang-orang Desa Hitam tetap rutin mendatangi ruang tamu Tuan Pelukis.

18/

Orang-orang terkunci di ruang tamu Tuan Pelukis. Orang-orang mendengar tangisan para bayi di ruang tamu Tuan Pelukis. Orang-orang menyaksikan bayi-bayi muncul dari balik pohon di lukisan Hutan Hitam. Orang-orang menyaksikan bayi-bayi muncul ke permukaan danau di lukisan Danau Hitam. Orang-orang menyaksikan bayi-bayi menampakkan diri dari balik rumput di lukisan Padang Hitam, Sawah Hitam, dan Peternakan Hitam. Orang-orang menyaksikan ....

19/

Tuan X. “Halo, Bos, sebentar lagi misi kita di Desa Hitam akan selesai.”
            
Majikan Tuan X. “Apa orang-orang Desa Hitam sudah menandatangani dokumen itu?”
            
Tuan X. “Belum. Tapi sebentar lagi, saking takutnya mereka dengan apa yang mereka hadapi, dokumen itu pasti akan mereka tanda tangani.”
            
Majikan Tuan X. “Bagus. Aku tahu kau memang tidak akan mengecewakanku.”
            
Tuan X. “Tentu saja.”
            
Majikan Tuan X pun menutup telepon.
            
Majikan Tuan X, kepada sekretaris di kantornya. “Kita sudah tidak memerlukan dia lagi.”
            
Sekretaris Majikan Tuan X. “Dia siapa?”
            
Majikan Tuan X. “Dia yang aku tugaskan di Desa Hitam.”
            
Sekretaris Majikan Tuan X. “Jadi, saya mesti melakukan hal yang biasanya kepada dia?”
            
Majikan Tuan X. “Tentu saja. Semoga dia baik-baik saja di Desa Hitam.”

20/

Malam. Hujan. Badai.
            
Tuan Pelukis berjalan melintasi Hutan Hitam. Bayi-bayi muncul dari balik pohon dan merangkak mengikutinya.
            
Tuan Pelukis berjalan melintasi Danau Hitam. Bayi-bayi muncul ke permukaan danau dan merangkak mengikutinya.
            
Tuan Pelukis berjalan melintasi Padang Hitam, Sawah Hitam, Peternakan Hitam, dan .... Bayi-bayi muncul dari persembunyian masing-masing dan merangkak mengikutinya.
            
Tuan Pelukis melangkah meninggalkan Desa Hitam bersama bayi-bayi itu saat, dari kejauhan, terdengar jerit kesakitan Tuan X.



*) Cerpen ini dimuat di Semay Media pada November 2018.

Selasa, 30 Oktober 2018

O, JOSEF -- Sebuah Cerpen


Portrait double exposure fireworks  proposal
*Sumber Gambar: Pinterest



Salah satu mercon berbentuk roket meluncur terlalu tinggi hingga mengenai bulan. Bulan pun bergetar begitu mercon itu meledak, dan kami yang berada di taman ini sontak waswas. Bulan bergetar semakin hebat, semakin hebat, dan semakin hebat. Langit mendadak sepi dari ledakan-ledakan mercon dan terompet-terompet berhenti ditiup, mungkin sebab setiap orang di bagian lain pulau ini, yang juga merayakan malam tahun baru, turut waswas mengamati bulan. Untungnya, perlahan getaran bulan berkurang hingga berhenti sama sekali; tidak terjadi hal yang lebih aneh lagi di perayaan ini.

            
“Maaf,” ucap orang yang tadi meluncurkan mercon berbentuk roket yang mengenai bulan, dengan wajah tertunduk. Ia lantas pergi meninggalkan taman ini, entah karena merasa tidak enak hati atau apa, yang jelas tak ada yang mengusirnya pun menyalahkannya atas insiden barusan.
            
Suasana kembali ramai setelahnya. Orang-orang kembali bersorak-sorai, sebagaimana mercon-mercon di atas sana. Terompet-terompet pun mulai menjerit keras sekali, seolah meneriakkan ucapan terima kasih pada langit yang telah menjaga bulan.
            
Aku merasa ada trauma yang membekas di dada Josef berkat insiden barusan; lelaki itu jadi berhenti meluncurkan mercon-merconnya yang berbentuk roket—padahal masih tersisa banyak di dalam tasnya—dan hanya meniup terompet untuk menyumbangkan kesan meriah, sementara para peledak mercon berbentuk roket lainnya kembali meluncurkan mercon masing-masing.
            
“Lawan, Josef,” kataku, “lawanlah!”
            
“Lawan?” Josef mengernyit. “Apa yang mesti kulawan?”
            
“Rasa takutmu.”

***

Josef berhenti belajar mengemudikan mobil. Josef tak mau lagi menggendong adik kandungnya yang masih bayi. Josef keluar dari sekolah kedokteran dan menutup cita-citanya untuk menjadi dokter. Josef berhenti mempelajari agama. Lebih aneh (untuk tak menyebut “bodoh”) lagi, ia jadi tak kunjung memiliki keberanian untuk menikahiku. Semua hanya karena masalah milik orang lain yang tak ada hubungannya dengan ia.
            
Kurang lebih pada latihan mengemudinya yang keempat, Josef menyaksikan kecelakaan mobil beberapa ratus meter di depannya. Kata Josef, kejadian yang disaksikannya itulah yang membuatnya takut untuk mengemudi lagi. “Aku tidak mau menewaskan pengemudi lain, seperti yang dilakukan oleh pengemudi mobil yang sembrono itu,” aku Josef. Dalam kasus ini, aku masih bisa memaklumi ketakutannya.
            
Seminggu setelah kecelakaan mobil itu, Ibu Josef melahirkan. Kata Ibu Josef kepadaku, “Josef benar-benar menyukai bayi itu. Bahkan, rasanya, ia lebih sering menggendong bayi itu ketimbang aku maupun suamiku.” Saat Adik Josef berusia tiga bulan, ada salah satu tetanggaku yang dilanda kesedihan hebat. Kesedihan itu disebabkan oleh meninggalnya bayi mereka yang baru berusia lima bulan. Penyebabnya, saat si Ayah menggendong sang bayi, ia tak sengaja menjatuhkan makhluk mungil itu dari gendongannya. Sehari setelah mendengar kabar itu, saat aku sedang berada di sebuah restoran bersama Josef, aku menceritakan kabar tersebut padanya, benar-benar sesuai dengan apa yang aku dengar. Lalu, beberapa hari kemudian, saat aku berkunjung ke rumah Josef untuk merayakan ulang tahunnya, Ibu Josef—yang sedang menggendong sang bayi—berkata, “Entah kenapa ia tidak pernah lagi menggendong adiknya. Kalau aku tidak salah mengamati, itu dimulai sepulangnya ia dari kencan terakhirnya denganmu. Biasanya, begitu pulang, ia langsung mencari bayi ini dan menggendongnya. Tapi, waktu itu ia tak melakukannya sama sekali. Malah malam harinya ia menolak-dengan-panik saat kumintai tolong untuk menggendong bayi ini sebentar saja.” Aku memaklumi Josef untuk kedua kalinya. Walaupun tidak semudah yang pertama.
            
Kurang lebih dua minggu kemudian, Josef memutuskan untuk keluar dari sekolah kedokteran. Aku maupun ayah dan ibunya tentu terkejut. Setelah diselidiki, Josef sama sekali tak mempunyai masalah dengan warga kampus. Tidak juga ada masalah dengan nilai mata kuliah maupun kelakuan buruk. “Dua hari lalu, aku membaca sebuah berita mengerikan di koran,” jelas Josef akhirnya. “Seorang dokter gagal menyelamatkan nyawa pasiennya!” Kami—aku dan kedua orang tua Josef—yang mendengarkannya tetap diam, lantas Josef melanjutkan, “Dan aku tidak mau melakukan hal yang sama dengan dokter gagal itu! Maka aku tidak mau menjadi dokter, dan akan percuma saja kalau aku melanjutkan kuliahku!” Dan alasan itu, bagi kami, sama sekali tak bisa dimaklumi! Kami pun mati-matian berusaha membujuknya agar menghapus pemikiran konyol itu, tapi masih gagal hingga sekarang. Yang paling membuat kami bingung—dan tak kunjung dijawab oleh Josef—adalah, kenapa baru kali ini Josef begitu ketakutan dengan berita kegagalan-dokter-menyelamatkan-nyawa-pasien, sementara berita-berita semaca itu sudah sejak lama bertebaran?
            
Sekitar lima hari kemudian, Ibu Josef mendapati Josef membakar seluruh buku agama yang ada di rumahnya. Katanya, “Aku tidak mau kita menjadi seorang teroris! Kita mesti berhenti mempelajari agama!” Rupanya keputusan tolol itu diambilnya setelah semalam, di televisi, ia menonton berita tentang pengeboman yang dilakukan di pusat kota oleh seorang tokoh agama yang selama ini terkenal amat baik. Ibu Josef menceritakan kejadian itu padaku setelah aku bertanya kepadanya melalui telepon. Aku sendiri bertanya pada Ibu Josef karena, beberapa jam lalu, Josef tiba-tiba datang ke rumahku dan langsung meluncur ke rak buku untuk mengambil buku-buku agama, lantas membakarnya di halaman belakang. (Jika waktu itu ayah atau ibuku ada di rumah, sudah pasti Josef akan dilaporkan ke polisi.) Saat kutanyai Josef perihal alasannya, ia mengatakan hal serupa dengan yang dikatakannya pada Ibu Josef. Begitu Josef pergi, aku cepat-cepat membersihkan abu dari buku-buku agama itu dan meluncur ke toko buku secepat mungkin untuk membeli buku-buku agama yang sama dengan yang Josef bakar. Bukan karena aku religius atau benar-benar memerlukannya, tapi demi menyelesaikan “masalah tambahan” yang mungkin terjadi andai kedua orang tuaku menyadari lenyapnya buku-buku agama itu.
            
Keesokan harinya, Josef mulai memasuki rumah teman-temannya untuk membakar buku-buku agama mereka. Maka tak heran jika akhirnya Josef kehilangan sangat banyak teman dan digebuki di lebih dari satu rumah.

Dua hari kemudian, kedua orang tua Josef memutuskan untuk mengawasi anak mereka secara “penuh” dan membawanya ke psikolog—sebuah keputusan yang sangat kusetujui. Di kemudian hari agenda itu menjadi rutin, dan rutin pula Josef memprotes karena merasa tak ada kesalahan sedikit pun pada jiwanya. Setelah agenda rutin itu berjalan selama kurang lebih dua bulan, sang psikolog langganan meninggal karena alasan yang tak jelas. Untungnya saat itu Josef sudah tidak berniat membakar buku-buku agama milik orang lain lagi, meski kejiwaannya belum sembuh benar—terbukti dari belum bersedianya ia untuk kembali mengemudikan mobil, menggendong adiknya yang masih bayi, bercita-cita menjadi dokter, dan mempelajari agama. Bagaimanapun, kedua orang tua Josef sudah tak perlu khawatir untuk meninggalkannya sendirian di rumah saat mereka pergi buat mencari psikolog lain.

Aku memutuskan untuk menemani Josef saat ia sedang sendirian di rumah. Aku membelikannya sebuah novel agar ia tak terlalu bosan lagi nantinya—saat benar-benar sendirian. Ternyata, di sanalah timbul masalah lagi. Maksudku, berkat novel itu ....

“Kupikir aku tidak akan pernah menikahimu, Sayang,” ucap Josef melalui telepon, beberapa hari kemudian, setelah usai membaca novel yang kuberikan itu. “Aku takut upacara pernikahan kita akan berlangsung secara tragis, seperti yang dialami oleh si Protagonis dalam novel pemberianmu itu!” Dalam kasus ini, aku tidak tahu bagaimana cara merespon kalimat Josef, selain dengan basa-basi penenang yang “kosong”. (Setidaknya, Josef tidak sampai mencegah orang-orang lain untuk melamar kekasih masing-masing.)

***

Ledakan salah satu mercon yang sangat keras menyadarkanku bahwa sempat terjadi keheningan selama beberapa menit di antara aku dan Josef.
            
“Apa kau sadar bahwa insiden mercon-mengenai-bulan barusan bukanlah salahmu?” aku kembali membuka percakapan.
            
Josef menatap mataku lekat-lekat sejenak, sebelum berkata, “Tentu aku sadar.”
            
Aku menarik napas panjang. “Dan kecelakaan mobil yang kau saksikan, dan bayi yang tewas karena terjatuh dari gendongan ayahnya, dan dokter yang gagal menyelamatkan nyawa pasiennya, dan tokoh agama yang meledakkan bom, dan upacara pernikahan si Protagonis yang berlangsung secara tragis .... Semua itu bukan salahmu, Josef!”
            
Lagi, Josef menatap mataku lekat-lekat sejenak, sebelum berkata, “Itu aku juga sadar.”
            
Kami saling diam lagi. Jika tidak ada ledakan mercon-mercon dan bunyi terompet-terompet, mungkin sudah akan tercipta keheningan yang ganjil di antara kami berdua.

Lantas aku mencium bibirnya. Sepuluh detik. Dua puluh detik. Tiga puluh detik.

Orang-orang menghitung mundur dari sepuluh, sebelum terdengar teriakan, “Selamat tahun baru!!!”

Ciuman Josef turun ke leherku. Dan di telinganya aku berkata lirih, “Nyalakan merconmu, Josef. Nyalakan merconmu.”

***

Pesawat alien itu meluncur menuju Bumi dengan kecepatan tinggi. Tiba-tiba ia menghentikan laju pesawatnya sebab dilihatnya bulan terjatuh ke Bumi, setelah sebelumnya bergetar semakin kencang, semakin kencang, dan semakin kencang. Dan, insiden itu sangatlah traumatis bagi sang alien. Alien itu pun tak pernah lagi mengunjungi planet-planet lain yang bersatelit!



*) Cerpen ini dimuat di Semay Media pada Oktober 2018.

Rabu, 17 Oktober 2018

PENEMUAN BANDAR -- Sebuah Cerpen


*Sumber Gambar: archive.thedali.org



Bandar melahirkan sebuah penemuan baru: dunia tanpa Tuhan. Kita tak pernah tahu bagaimana bisa bujangan itu menciptakan dunia tersebut, tapi kita tahu bahwa dunia tanpa Tuhan berada di balik salah satu pintu di dalam rumahnya.
            
Penemuan itu Bandar umumkan melalui Koran Negara edisi 21 Mei 20xx. Salah satu paragraf di kolom pengumuman itu berbunyi, “Kau bisa membangun dunia itu sesuka hati, tanpa ada peraturan yang menghalangi. Sederhananya: kau bisa menjadi Tuhan bagi dunia tersebut.” Paragraf yang lain menyebutkan bahwa dunia itu akan ia sewakan seharga 1000 Finto per lima belas menit untuk satu orang saja—harga yang sangat mahal bagi ukuran negara kita.
            
Beberapa jam setelah Koran Negara edisi 21 Mei 20xx terbit, ribuan orang telah berkumpul di sekeliling rumah Bandar. Mereka semua ingin menyewa dunia tanpa Tuhan, tetapi hanya dua puluh satu orang yang mampu dan akan menyewanya. Sisanya hanya akan menyaksikan bagaimana reaksi dari para penyewa setelah keluar dari dunia itu.
            
Bandar membuat undian-nomor-antrian bagi para calon penyewa penemuannya. Dan, Vixien-lah yang mendapatkan nomor urut pertama.

“Untuk pertama kali, aku akan menyewanya selama lima belas menit saja,” kata Vixien. Setelah ia membayar 1000 Finto—tunai—pada Bandar, Bandar langsung mengantarnya masuk ke ruang dalam rumahnya, lantas membiarkannya melangkah sendiri ke balik pintu itu, pintu yang menutupi dunia tanpa Tuhan.

Bandar mempunyai usaha berupa warung makan sederhana yang terletak di halaman depan rumahnya. Bangku-bangku di warung itu kebetulan bisa menampung dua puluh orang. Di warung itulah, para penyewa lainnya duduk menunggu. Sesekali mereka memesan makanan atau minuman—yang disuguhkan oleh Kontan, pemuda yang dua tahun lalu mengemis pekerjaan di warung itu pada Bandar. Sebenarnya, mereka merasa jijik dengan makanan-minuman yang disajikan—karena mereka terbiasa makan di restoran-restoran mewah—tapi mereka tak mau pergi ke tempat lain saking tak sabarnya menyaksikan reaksi Vixien saat keluar dari dunia tanpa Tuhan—seakan waktu lima belas menit itu bisa habis kapan saja.

Sementara itu, para wartawan, termasuk dari Koran Negara, sibuk mewawancarai orang-orang yang berada di sekitaran rumah Bandar—soal tanggapan mereka begitu mendengar kabar tentang dunia tanpa Tuhan—baik yang akan menyewa penemuan itu maupun tidak. Tapi tak ada satu pun yang berhasil mewawancarai Bandar saat itu, karena Bandar selalu menolak buat diwawancarai—ia sekadar ingin “mendramatisasi”.

***

Akhirnya giliran Vixien habis.

Para wartawan menyiagakan kamera.

Para calon penyewa menyiapkan diri untuk takjub atau kecewa.

Bandar menggiring Vixien ke halaman depan rumah untuk memberikan komentar atas dunia tanpa Tuhan, dan ....

***

Awalnya, Bandar tidak ingin menyewakan dunia tanpa Tuhan demi mengeruk keuntungan dari orang lain. Bandar memutuskan untuk menyewakan penemuannya itu sejak, pada suatu malam, ia masuk ke dunia tanpa Tuhan dan menciptakan harta yang tak terhingga—mudah saja dilakukannya karena ia adalah “Tuhan”—tapi begitu ia membawa harta tersebut keluar dari sana, tiba-tiba saja kesemuanya menghilang tanpa jejak, seolah tanpa suatu cara pun.
          
Barangkali Tuhan tidak ingin ada sesuatu pun di dunia ini yang diciptakan bukan atas kehendaknya, pikir Bandar pada mulanya. Tapi Bandar lantas menghapus pikiran itu karena ia yakin Tuhan tidak seegois apa yang dipikirkannya. Jadi, ia membiarkan kejadian itu tetap misteri.
            
Semisal Tuhan seegois itu, ia pasti sudah menghilangkan dunia tanpa Tuhan yang kuciptakan, pikir Bandar lagi.

***

Berkat reaksi positif Vixien, Bandar mendapatkan jauh lebih banyak pelanggan pada hari berikutnya, bahkan ada banyak yang berasal dari luar negeri. Saking banyaknya pelanggan, Bandar yakin bahwa antrian tak mungkin habis selama satu hari, sedangkan ia akan menutup tempat usahanya itu pada tengah malam—agar dirinya bisa beristirahat, tentu saja—dan membukanya kembali pada pukul delapan pagi.

Agar para calon penyewa yang belum kebagian kesempatan pada hari itu tak perlu menunggu terlampau lama di sekitaran rumah Bandar, ia pun merancang “estimasi waktu giliran tiba” yang dibuatnya berdasarkan nomor antrian. Jadi, jika nomor antrian masih jauh, para calon penyewa bisa pulang atau pergi ke tempat lain, dan Bandar akan menghubungi mereka—melalui Juru Panggil yang ia bayar sejak hari kedua—kurang lebih satu jam sebelum giliran masing-masing tiba.

Mulai dari hari keempat setelah penemuannya diumumkan lewat Koran Negara, Bandar telah membayar puluhan orang penjaga bersenjata lengkap untuk berjaga di dalam dan sekitaran rumahnya, sebab di hari ketiga ada segerombolan “orang jahat”—mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh pada prinsip “hanya ada satu Tuhan”—yang menerobos ke dalam rumah Bandar untuk menghancurkan dunia tanpa Tuhan, tetapi untungnya para calon penyewa beramai-ramai menghadang-mengusir gerombolan tersebut.

Setelah itu, para calon penyewa meminta pengurangan harga sewa—sebanyak lima puluh persen—karena merasa telah amat berjasa bagi dunia tanpa Tuhan. Dan, Bandar tak mempunyai alasan untuk menolak permintaan mereka. Lalu, setelah Bandar hitung-hitung secara matang, uang yang dikorbankan untuk membayar puluhan orang penjaga bersenjata lengkap jauh lebih sedikit ketimbang memberikan pengurangan harga sebanyak lima puluh persen kepada para calon penyewa.

***

Prokhova keluar dari dunia tanpa Tuhan. Ia membawa kebahagiaan yang bukan main, sekaligus kebingungan karena tak bisa membawa sumber kebahagiaan yang bukan main itu ke “dunia yang sesungguhnya”. Bagaimanapun, ia tak repot-repot memprotes keadaan karena ia sudah sempat terlampau bahagia di dalam sana, sampai-sampai ia takut seandainya kebahagiaan macam apa pun bakal jadi terasa membosankan.

Ketakutan seperti itu juga yang dirasakan oleh Mendevka dan Parwiro dan Husein dan Michael dan Tophany dan yang lainnya, sehingga mereka mengeluarkan diri dari dunia tanpa Tuhan dalam waktu kurang lebih lima jam, padahal mereka sudah membayar mahal untuk menyewa dunia itu selama lebih dari dua puluh empat jam—maka kacaulah “estimasi waktu giliran tiba”, tapi hal itu bukan masalah besar. (Mereka memang dirugikan secara finansial, tetapi mereka tak meminta-kembali kelebihan pembayaran masing-masing sebab, seperti Prokhova, semuanya sudah sempat terlampau bahagia di dalam sana.)

Ketakutan serupa pulalah yang membuat Bandar sejak awal memutuskan untuk tak tinggal selamanya di dalam dunia ciptaannya sendiri, meskipun ia bisa dan berhak untuk itu.

***

Bertahun-tahun kemudian, tak ada seorang pun yang mengantri untuk menyewa dunia tanpa Tuhan. Tapi Bandar tak ambil pusing; kekayaan yang dimilikinya sudah terlampau banyak. Hal itu membuat Bandar terlampau bahagia—sampai-sampai ia merasa tak membutuhkan istri seorang pun—sebagaimana para bekas pelanggan setia dunia tanpa Tuhan yang sudah bosan dengan dunia tersebut.
           
Tentu saja masih ada sangat banyak orang yang berminat dengan dunia tanpa Tuhan; mereka adalah orang-orang “miskin” yang tak kunjung mempunyai cukup uang buat menyewa dunia itu.
            
Suatu hari, Bandar ditemukan tewas di kamarnya karena ia sudah terlalu tua. Kekayaannya tak diwariskan ke siapa pun. Tak ada lagi yang membayar Kontan, para penjaga bersenjata lengkap, maupun Juru Panggil, dan dengan sendirinya mereka tak lagi bisa dikatakan bekerja di bawah naungan Bandar.

Bagaimanapun, dunia tanpa Tuhan tetap ada, dan tak ada yang “menjaga”-nya. Maka, orang-orang yang belum sempat mengunjungi dunia tanpa Tuhan pun berbondong-bondong masuk ke sana dan saling bertarung untuk menjadi Tuhan-nomor-satu.

***

Dari sana, Tuhan menatap ke bawah sembari tertawa terbahak-bahak. Tak jauh dari-Nya, berdirilah Bandar yang hanya bisa tertunduk malu.



*) Cerpen ini dimuat di Janang.id pada 30 Juni 2018, kemudian dimuat pula di Balairung Press pada 9 februari 2019.