Minggu, 27 November 2022

AYAH MENJADI POHON -- Sebuah Cerpen

*Sumber Gambar: Pinterest



Menonton berita pembakaran hutan itu, aku kembali terkenang pada Ayah yang secara menyakitkan berubah menjadi pohon.

Sebenarnya bukan sekali ini saja aku terkenang padanya. Kenangan itu selalu serupa ranting pohon berduri yang membelit kepala, setiap aku melintas di suatu tempat berpohon, atau tanpa sengaja melihat gambar pohon di koran atau majalah atau apa pun. Kenangan itu membuatku membenci pohon, membuatku memilih tinggal di tengah kota yang minim pohon dan terkepung pabrik-pabrik serta asapnya—dan terutama sekali membuatku ingin menebang setiap pohon yang kujumpai, tapi aku tak ingin bernasib serupa Ayah. Maka aku membiarkan diriku tersalib oleh kenangan buruk, dan aku tak kunjung terbiasa oleh kenangan buruk.

Dan berita pembakaran hutan itu membuat kenangan menyerang secara lebih menyakitkan: aku langsung muntah di depan televisi, sebelum kulempar benda itu keluar jendela apartemenku.


***


Pada Minggu pagi kedua di bulan April, waktu aku masih dua belas tahun, di sela jeritan ayam hutan aku mendengar Ayah terbatuk-batuk keras di kamar, seakan di kerongkongannya menyangkut sebilah silet. Aku, dengan ubun-ubun masih berdenyut nyeri akibat hantaman rotan semalam, buru-buru mengambil segelas air dari dapur dan berlari ke kamar Ayah; aku tak ingin ubun-ubunku dihantam sekali lagi, karena kurangnya inisiatifku sebagai anak untuk membantu orang tua. Menghadap cermin, Ayah menganga selebar-lebarnya. Ia terus terbatuk, atau tepatnya membatukkan diri sekeras-kerasnya, sampai ludah terciprat ke permukaan cermin. Ia pun menoleh padaku, dan menunjuk ke dalam mulutnya yang menyimpan deretan gigi kuning kecokelatan dan gusi menghitam. Perlahan aku mendekat, sampai tercium busuk mi kuah santapan semalam: dari kerongkongannya, mencuat tunas tumbuhan entah apa, dengan dua lembar daun selebar kuku telunjukku pada pucuknya.

“Ayah menelan biji?” tanyaku.

Ayah menampar pelipisku, sebelum menyambar gelas air dari tanganku dan menenggaknya. Tapi ia langsung terbatuk—air minum menciprati wajahku. Aku bertanya apa Ayah baik-baik saja, dan ia langsung mengambil pulpen, membuka telapak tanganku, lalu menulis sesuatu di sana: Panggilkan mantri!

Tanpa mengelap wajah, aku berlari keluar rumah, melewati setapak di antara barisan pohon yang cecabang dan daun-daunnya menggelapkan jalurku, lalu pematang sawah yang membelah barisan padi kering di tanah penuh retakan; keringat dari ubun-ubun membasahi wajah dan memerihkan mataku; hingga akhirnya aku menerobos antrean di depan tempat praktik Pak Mantri, antrean orang-orang yang menenteng bebuahan dan sayuran, lantas kepada Pak Mantri, yang sedang menempelkan stetoskop ke dada seorang pria tua, aku menceritakan apa yang terjadi.

Pak Mantri melepas stetoskop dari kupingnya, membisikkan sesuatu pada sang asisten, dan sembari memasukkan sejumlah peralatan ke tas ia berkata padaku, “Kulihat kemarin ayahmu membawa kapak ke hutan.”

Aku mengangguk.

Pak Mantri menutup risleting tas, mata berkantungnya mengarah ke kalender di dinding. “Kemarin bukan hari baik untuk menebang.”


***


Ayah duduk bersandar ke punggung kasur, menganga selebar-lebarnya, dan kepalanya  seperti tengkorak dengan rahang yang patah, sedang Pak Mantri menyorotkan senter ke kerongkongannya. Batuk Ayah sudah mereda: mungkin ia mulai terbiasa dengan sensasi mengganjal di kerongkongannya; mungkin ia mulai sadar membatukkan diri tak akan melontarkan tunas itu keluar.

Aku mengamati mereka dari tempat dudukku di depan cermin; cipratan ludah Ayah telah mengering di permukaan cermin, dikeringkan sorotan sinar matahari dari jendela bergorden rombeng. Jejak ludah yang mengering itu menguarkan bau bangkai kucing membusuk di got. Ya, aku yakin bau itu berasal dari jejak ludah; aku mendekatkan hidung ke permukaan cermin, dan muntahan menjotos pangkal lidahku, dan aku cepat-cepat membuang muka ke arah kasur.

Pak Mantri mengambil pinset dari tasnya dengan satu tangan, sementara tangan satu lagi tetap menyorotkan senter ke kerongkongan Ayah. Lalu, ketika Pak Mantri memasukkan pinset ke mulut Ayah, aku mendekat dan berdiri di sampingnya. Mata pinset menjepit ujung tunas. Ayah menarik napas panjang, Pak Mantri menarik napas panjang, dan aku pun sama—dan Pak Mantri mulai menarik tunas itu. Awalnya Pak Mantri menarik dengan kekuatan untuk mencabut rumput mungil di tanah, dan Ayah mengeluarkan suara kkkhhh! Kemudian Pak Mantri menggunakan kekuatan setara untuk mencabut gigi, dan Ayah terbatuk sekeras-kerasnya; Pak Mantri refleks melepas pinset, darah dan ludah terciprat ke kemeja putihnya.

Dan, yang tak kalah mengejutkan: Ayah langsung meninju leher Pak Mantri hingga ia tumbang. Dan seperti Ibu setelah dulu ditinju Ayah, Pak Mantri pun berlari keluar dari rumah.

Tunas itu tidak tercabut sama sekali.


***


Di lenganku, Ayah menuliskan: Bubur. Aku memasak untuknya; dari depan kompor aku dapat melihat Ayah duduk di ruang makan, ia menuangkan air dari teko ke gelas dengan tangan gemetar, dan minum perlahan-lahan. Percobaan pertama: ia terbatuk dan air terciprat. Ia menyeka meja dengan lengannya, sebelum melakukan percobaan kedua: ia minum lebih perlahan-lahan, dan kali ini berhasil. Aku menarik napas lega.

Untuk sesaat, aku bisa fokus ke wajan, mengaduk-aduk nasi yang semakin mengencer, dengan uap menghangatkan wajah. Sampai tiba-tiba, Ayah menjerit keras, ia terjungkal dari kursi, dan memegangi leher sendiri—batuknya semakin menjadi-jadi! Aku mematikan kompor. Mata Ayah membelalak padaku, seperti mayat hidup yang mengancam. Ia memekikkan maikhhh! beberapa kali, sampai aku tersadar maksudnya mantri, dan aku kembali berlari keluar.

Aku kembali menerobos antrean di depan tempat praktik Pak Mantri; mantri itu sedang menyuntik paha seorang wanita yang berbaring menyamping di ranjang, yang ujung dasternya terangkat sampai ke pinggang. Aku pun menjelaskan dengan kalimat terputus-putus apa yang tadi terjadi, dan Pak Mantri, setelah menurunkan ujung daster sang pasien, membalas, “Itu pekerjaan dukun, Nak.”


***


Ayah tak pernah percaya dukun sejak Ibu keguguran saat mengandung adikku—dan Ayah sempat meninju leher sang dukun. Maka aku langsung pulang dengan kaki selemas lidi; ubun-ubun dan pundakku basah: hujan sebenarnya cukup deras, tapi hanya terasa bagai gerimis, sebab terlalu banyak rintiknya tertahan oleh cecabang dan daun-daun lebat di atasku.

Ketika aku sampai di rumah, Ayah telah duduk dengan lebih tenang di meja makan. Ia mengisyaratkanku untuk melihat ke dalam mulutnya. Sial: tunas itu sudah bertumbuh. Kini tunas lebih panjang dan lebih lebar seujung kuku, daunnya berjumlah empat lembar. Apa tunas itu bertumbuh karena Ayah barusan minum? Entahlah. Lebih buruk lagi: mulut Ayah berbau bangkai kucing membusuk di got. Lebih buruk dari bau mulut Ayah beberapa jam lalu; bahkan bau bangkai ini lebih terkutuk ketimbang bau jejak ludahnya di cermin. Dan, karena tak ingin Ayah mengamuk, aku berkata, “Tampak baik-baik saja, Yah,” dan lanjut memasak bubur. Ketukan hujan di atap asbes jauh mereda.


***


Horor sebenarnya terjadi setelah bubur hampir matang. Air di bak mandi habis. Aku hendak ke sumur di belakang rumah sembari menunggu bubur matang, tapi Ayah memberi isyarat agar aku tetap fokus memasak, dan ia keluar. Tersisa gerimis di luar, dan gerimis membuatku cukup takut; aku membayangkan tiba-tiba tunas itu bertumbuh semakin besar di tubuh Ayah. Aku mematikan kompor dan diam-diam mengikuti Ayah ke sumur, dengan langkah-langkah pelan karena tanah yang licin.

Tampaknya Ayah baik-baik saja: ia menurunkan ember ke sumur, katrol berkarat itu berdecit-decit, dan tak ada tanda-tanda Ayah akan mendadak menjerit.

Aku hanya terlalu cemas. Sebelumnya, tunas itu bertumbuh karena Ayah minum—mungkin. Ayah tidak meminum gerimis, dan harusnya rasa cemas kusimpan untuk sarapan nanti, saat ia menelan bubur dan air. Aku pun kembali ke dapur, menyalakan kompor, dan mematangkan bubur.

Dan, di antara kuak kawanan kodok, terdengar sesuatu yang berat tercebur ke sumur!

Aku berlari ke halaman belakang, terpeleset jatuh hingga kerikil-kerikil tajam merobek telapak tangan serta lututku. Ayah tak tampak di mana pun. Katrol telah menghilang dari atas sumur. Dan ada yang ber-glubug. Aku berlari ke tepi sumur. Ember mengambang di bawah sana. Wajah Ayah muncul dari permukaan air. Matanya nyalang. Ia berusaha memanjat dengan merentangkan kedua tangan ke dinding sumur berlumut, di mana kawanan kecoak berlarian. Dan, ia menganga, daun-daun telah memenuhi mulutnya.

“Ayah!” pekikku.

Ayah terus memanjat, dan tangannya terpelest—ia tercebur, tenggelam, permukaan air ber-glubug. Entah berapa banyak air yang ia telan.

Ketika wajah Ayah muncul lagi ke permukaan, daun-daun dari mulutnya melebat, bahkan telah keluar dari mulutnya. Mulut Ayah menganga lebih lebar dari sebelumnya, tunas telah menjadi batang setebal pergelangan tanganku, rahang Ayah akan segera patah.

Hujan menderas.

Ayah kembali memanjat. Dan, perlahan-lahan, dari balik kulit leher dan lengannya, mencuat sesuatu yang cokelat dan selebar kelingking dan runcing. Akar. Akar terus mencuat memanjang dan merobek kulitnya semakin lebar dan kucur darah memerahkan air sumur. Ayah memekik. Darah mengucur dari kulit pipinya yang robek karena bukaan rahang melebar, dari lubang hidungnya yang melebar, dari matanya yang membelalak semakin lebar dan memerah dan seolah akan pecah—sebelum daun-daun berlapis darah keluar dari setiap lubang di wajah, termasuk dari sela kelopak mata. Terakhir, ujung-ujung akar selebar leher merobek perutnya dari dalam, membuat ususnya menjuntai—dan tangan Ayah terpeleset, byur!

Dan aku pingsan ....


***


Ketika aku siuman, langit merah dan matahari sudah di barat. Aku tergeletak telungkup dan kulepehkan tanah basah dari mulutku. Sekujur tubuhku basah. Aku menggigil. Dan, dari mulut sumur itu, telah menjulang sebatang pohon lebat, setinggi dua kali rumahku. Burung-burung gagak bertengger di cabangnya. 



*) Cerpen ini merupakan juara II di Sayembara Cerpen Media Indonesia 2022, dan dimuat di Media Indonesia pada Minggu, 27 November 2022.