Minggu, 22 April 2018

EMPAT CERITA RELIGI YANG TIDAK RELIGIUS -- Sebuah Cerpen


Sumber gambar: Pinterest.com



/1/

“Bu, bagaimana caranya membunuh Tuhan?” tiba-tiba anakku, yang berusia 8 tahun, bertanya sepulangnya ia dari sekolah.
            
Aku spontan mengernyit. “Pertanyaan macam apa itu?”
            
Anakku mengernyit pula. “Maksud Ibu?”
            
Aku berdeham. “Nak, coba kau duduk di sini,” ucapku seraya menepuk-nepuk paha, sebelum kumatikan televisi, bersamaan dengan duduknya ia di pangkuanku.
            
“Kenapa kau bertanya seperti itu?” ucapku lagi, sembari mengelus-elus kepalanya.
            
“Pertanyaan itu adalah PR dari guru agamaku, Bu.”
            
“PR dari guru agama?”
            
Anakku mengangguk. “Jawabannya mesti kutulis di selembar kertas, dan akan dinilai oleh guru agamaku besok.”
            
Aku menghela napas. “Kalau Ibu tidak tahu jawabannya, bagaimana?”
            
Aku akan menanyakannya pada Ayah.”
            
“Ah, maaf, bukan begitu maksud Ibu.”
            
“Lalu?” sahut anakku cepat.
            
“Maksud Ibu, bagaimana kalau kau tidak mengumpulkan tugas itu besok, melainkan ... dua hari lagi, seminggu lagi, atau kapan pun itu, sampai kau mendapatkan jawaban yang benar?”
            
“Kalau tugas ini tidak kukumpul besok, guru agamaku akan membakar rumah kita.”

***

Keesokan harinya, aku dan suamiku sepakat untuk tidak mengizinkan anak kami pergi ke sekolah—sebab, pertanyaan yang menjadi PR itu terlampau tidak wajar! Sebagai gantinya, aku akan pergi ke sekolah anakku untuk menemui guru agamanya.

***

Empat jam kemudian, akhirnya istriku tiba di rumah.
            
“Bagaimana hasilnya?” tanyaku setelah membukakan pintu untuknya.
            
“Bagaimana caranya membunuh Tuhan, Sayang?”


/2/

“Siapakah di sini yang diciptakan bukan oleh Tuhan?!” tanya si Pembajak Satu dengan galak.
            
Tak ada yang menjawab, tentu saja. Aku, dan siapa pun yang berada di pesawat ini—termasuk ketiga pembajak itu—pastilah diciptakan oleh Tuhan!
            
“Cepat jawab!” bentak si Pembajak Dua.
            
Beberapa detik kemudian—tak kunjung ada yang menjawab—tiba-tiba si Pembajak Tiga menembak kepala salah seorang penumpang. Penumpang-penumpang lain, termasuk aku, reflek menjerit ketakutan. Beberapa orang menyambung jeritannya dengan tangisan dan doa.
            
“Kami tanya sekali lagi,” kata si Pembajak Satu. “Siapakah di sini yang diciptakan bukan oleh Tuhan?!”
            
Sunyi .... Aku dan yang lainnya membungkuk di tempat duduk masing-masing sembari melindungi kepala dengan kedua tangan—dan itu jelas percuma.
            
“Cepat jawab!” bentak si Pembajak Dua.
            
Tak kunjung ada yang menjawab … dan tahu-tahu kali ini si Pembajak Tiga menembak-mati lima orang penumpang sekaligus!
            
“Siapakah di sini yang diciptakan bukan oleh Tuhan?!” lagi-lagi si Pembajak Satu bertanya dengan galak.
            
Aku mulai bisa membaca urutan kejadian berikutnya. Kalau tak kunjung ada yang menjawab, maka si Pembajak Dua bakal membentak-menyuruh kami untuk menjawab; kalau masih tak ada yang menjawab, maka si Pembajak Tiga bakal menembak-mati satu orang atau lebih dari kami.
            
“Cepat jawab!” bentak si Pembajak Dua.
            
Karena aku tak ingin ada yang mati lagi—lebih-lebih jika aku yang ditembak oleh si Pembajak Tiga nanti—aku pun memberanikan diri untuk mengacungkan tangan.
            
“Lihat! Ada yang mengangkat tangan!” seru si Pembajak Tiga dengan antusias.
            
“Kau,” panggil si Pembajak Satu dengan tatapan sinis, “berdirilah di depanku.”
            
Kuturutilah perintahnya itu. Dan, kakiku gemetaran hebat ketika kugunakan untuk melangkah dan berdiri di hadapannya.
            
“Kau bukan diciptakan oleh Tuhan?” tanya si Pembajak Satu.
            
“Bukan,” sahutku terbata-bata.
            
“Lantas, siapa yang menciptakanmu?”

***

Pesawat ini sudah terbang cukup tinggi. Tak ada lagi daratan yang tampak ketika aku menatap ke bawah melalui jendela. Sepucuk pistol ajaib di saku jaketku, yang dengan sendirinya bisa menipu metal detector, mulai terasa hangat.
            
Aku menatap kedua temanku secara bergantian—yang satu duduk di samping kiriku, satunya lagi di samping kanan. Masing-masing dari mereka mengangguk, sebuah isyarat bahwa ....
            
Kami bertiga bangkit dari tempat duduk dan mengeluarkan pistol masing-masing.
            
Orang-orang langsung terkejut-ketakutan.
            
“Siapakah di sini yang diciptakan oleh Tuhan?!” tanyaku dengan galak.
            
Mereka semua pun tampak ragu-ragu … tak kunjung ada yang menjawab pula ....


/3/

“Seandainya membunuh orang lain itu dilegalkan oleh hukum Tuhan maupun hukum negara, siapakah orang pertama yang akan kau bunuh?”
            
Aku pun terkejut bukan main. Bukankah pertanyaan itu tidak wajar jika dilontarkan oleh orang yang baru saja mengajak kita berkenalan? Terlebih, ia melontarkan pertanyaan itu setelah kusebutkan namaku—alih-alih balas menyebutkan namanya!
            
“Tidak ada waktu buat bengong barang sedetik pun, Bung!” ucapnya seraya menepuk-keras pundakku. “Ayo, jawab pertanyaanku!”
            
Aku menggaruk-garuk tengkukku. “Hmmm … sebentar … biarkan aku berpikir.”
            
Ia mendengus dan mengepalkan kedua tangannya. “Jangan pura-pura berpikir panjang untuk mengulur waktu!”

“Tapi, berpikir pendek pun aku belum sempat, Bung!” Suaraku sedikit bergetar.
            
“Kalau begitu, cepat berpikir!” balas orang aneh itu dengan volume suara yang amat tinggi, sehingga orang-orang lain di ruang tunggu ini pada menoleh ke arah kami. Mungkin pula orang yang berada di dalam ruang wawancara sana—si Terwawancara maupun si Pewawancara—juga mendengar suaranya.
            
Tiba-tiba aku teringat akan Jontor, salah seorang temanku yang kubunuh gara-gara ia berhasil mendapatkan pekerjaan di kantor ini. (Karena ia telah kubunuh, maka kantor ini kehilangan pekerja barunya, dan terpaksalah membuka lowongan lagi.) Tapi, kau tak bisa menyalahkan pembunuhan yang telah kulakukan itu. Pasalnya, Tuhan tidak melarangnya—setidaknya, Tuhan di agamaku. Di agamaku, ada sebuah ayat yang menyebutkan bahwa kita diperbolehkan untuk membunuh binatang jikalau, selain untuk korban dalam upacara suci, binatang itu merugikan kita. Dan, di dalam biologi, manusia adalah binatang. Sebab Jontor telah merugikanku—dengan memenangkan lowongan pekerjaan di kantor ini—bukankah berarti aku boleh membunuhnya?
            
Orang aneh itu sekonyong-konyong memukul ubun-ubunku. “Hei! Cepat jawab!”
            
“Kalau kau mau jawabanku, kau harus menjawab pertanyaanku dulu!” aku memberanikan diri untuk membentaknya—semakin banyak orang lain yang memerhatikan kami. “Untuk apa kau melontarkan pertanyaan tengik itu kepadaku, heh?!”
            
Seketika ekspresinya melunak. “Bung, aku hanya ingin mengetahui pola pikir calon rekan kerjaku. Kebetulan saja kau adalah orang pertama yang ingin kutanyai. Tapi, nanti, yang lainnya pasti akan kutanyai pertanyaan serupa pula.”
            
“Tadi kau bilang ‘calon rekan kerja’?” aku mengernyit. “Mana mungkin aku menjadi rekan kerjamu? Kantor ini hanya membuka lowongan kerja untuk satu orang. Satu orang, Bung! Kau tahu, kan, apa artinya?”
            
“Dan lagi,” lanjutku cepat, “bagaimana bisa kau mengetahui pola pikir orang lain dengan pertanyaan macam itu?!”
            
Tahu-tahu terdengar suara ledakan dahsyat yang berasal dari dalam ruang wawancara. Tahu-tahu pula penglihatanku berkunang-kunang, lantas orang aneh itu terlihat tersenyum begitu lebar. Senyum lebar yang mengingatkanku akan senyuman khas Jontor … serta hari kematiannya yang pahit.


/4/

“Maaf, apa kau tahu alamat ini, Tuan?” tanya pria itu, setelah menepuk pundakku dari belakang dan menyodorkan selembar kertas.
            
Aku pun mengambil selembar kertas itu dan membaca alamat yang tertulis di sana.
            
“Kenapa kau tampak terkejut, Tuan?” ia bertanya lagi.
            
Aku menghela napas sejenak. “Apa kau tahu siapa yang tinggal di alamat rumah ini?”
            
“Tentu saja aku tahu bahwa ini adalah alamat rumahnya Tuhan.”
            
“Lantas, buat apa kau mencari alamatnya?”
            
Ia mengernyit. “Ada yang salah dengan itu?”
            
“Tidak. Hanya saja, biasanya orang-orang datang ke pulau kecil ini buat berlibur, bukan buat mengunjungi rumah Tuhan.”
            
“Ah, Tuan, tak ada liburan bagiku di tengah penderitaan yang terus berdatangan!”
            
“Ah, tolong jangan tersinggung dengan kata-kataku.”
            
“Aku tidak tersinggung, kok.”
            
“Eh, tapi Tuan tahu, kan, di mana rumah Tuhan?” lanjut pria itu dengan cepat.
            
“Tentu saja aku tahu. Hampir semua penduduk asli sini mengetahui letak rumah Tuhan.”
            
Pria itu mengembuskan napas lega. “Baguslah kalau begitu. Jadi, bisa Tuan beri tahu aku sekarang?”
            
Aku pun memberitahukannya secara detail. Kemudian, aku bertanya, “Kalau aku boleh tahu, kenapa kau ingin pergi ke rumah Tuhan?”
            
“Aku ingin melamar Tuhan.”
            
“Maaf, apa aku tidak salah dengar?”
            
“Aku ingin melamar Tuhan, Tuan. Aku ingin mempunyai keturunan dari Tuhan. Aku ingin keturunanku kelak jauh lebih baik ketimbang aku.”

***

Beberapa minggu kemudian, tak ada satu doa pun yang dikabulkan oleh Tuhan. Orang-orang berpikir bahwa Tuhan sedang marah pada dunia. Padahal, tak ada yang tahu, Tuhan hanya sedang cuti hamil.




*) Cerita ini dimuat di Nyonthong.com pada 17 April 2018.

Jumat, 06 April 2018

ANOMALI KODOK -- Sebuah Cerpen

Anomali Kodok
Ilustrasi oleh: Komang Astiari




Kepada putri kecilnya, Elisa, Ibu menekankan bahwa kodok yang bisa berubah menjadi pangeran tampan—jika dicium bibirnya—itu hanya ada di dunia dongeng. Tapi Man Joko, pembantu rumah tangga sekaligus sopir pribadi keluarga Elisa, di lain waktu mengatakan padanya bahwa kodok yang bisa berubah menjadi pangeran tampan tersebut benar-benar ada.
            
“Kenapa kau yakin kalau ibuku salah?” tanya Elisa pada Man Joko yang duduk di sampingnya, tepatnya di balik kemudi mobil. (Saat itu ia dan Man Joko hanya berdua di dalam mobil, sebab tadi Ibu dan Ayah Elisa telah diturunkan di kantor masing-masing.) “Bukankah Ibu tidak mungkin salah karena dia sudah dewasa?”
            
Man Joko berdeham. “Tapi, Elisa, aku juga orang dewasa.”
            
“Lalu, siapa yang benar?”
            
“Kenapa tidak kau buktikan sendiri?”
            
“Ibu bilang, kodok itu jorok! Kalau aku mencium sesuatu yang jorok, aku bakal sakit!”
            
“Tapi aku tahu di mana kau bisa menemukan kodok yang tidak jorok, yang bisa kaucium tanpa perlu sakit kemudian. Dan, kodok itu akan berubah menjadi pangeran tampan jika kaucium bibirnya.”
            
Mata Elisa melebar. “Benarkah?”
            
“Akan kutunjukkan nanti, Elisa, sepulangnya kau dari sekolah.”
            
“Aku jadi tidak sabar!”
            
“Oh ya, jangan bilang pada siapa-siapa soal kodok itu, sebab ia sangat spesial dan rahasia.”
            
Elisa mengangguk mantap.

***

Man Joko dan istrinya, Men Sunya, berlari di tepi sungai dengan kayu pemukul dan karung di tangan, mengejar seekor kodok Mandalus—yang langka dan tinggi harganya. Kodok itu melompat-lompat cepat, sudah agak jauh di depan sana.
            
Tiba-tiba kodok Mandalus itu berhenti melompat sebab, dari sampingnya, ada seorang pria bule—dengan kamera di tangan—yang sekonyong-konyong menginjaknya hingga tewas. Menyadari ada sesuatu yang ia injak, tombol shutter pun batal ditekannya, sungai dan sekitarannya tak jadi ia tangkap.
            
“Eh! Maaf! Aku tidak sengaja menginjak buruan kalian!” kata pria itu dengan bahasa Indonesia yang fasih, dengan raut muka yang menunjukkan penyesalan, begitu Man Joko dan Men Sunya berhenti di sampingnya. Ia yakin kodok yang tak sengaja diinjaknya itu adalah incaran kedua orang tersebut, karena tongkat pemukul serta karung—yang dari dalamnya terdengar bunyi beberapa ekor kodok—di tangan mereka jelas menandakan bahwa keduanya tak lain pemburu kodok (profesi yang tak sulit ditemukan di Desa Dagingkeras, sebab yang paling khas dari desa itu adalah berbagai makanan olahan kodok).
            
“Justru kami sangat berterima kasih, Mister!” Men Sunya berseru senang. “Dari tadi kami mengejar kodok itu!”
            
“Tapi, bukankah kodok yang sudah mati tidak baik buat dimasak?” si Bule bertanya, masih merasa tidak enak hati.
            
“Sebelum kodok dimasak pun pasti akan dimatikan dulu,” sahut Man Joko. “Yang penting, kodok yang sudah mati mesti cepat-cepat dimasak atau dibekukan.”
            
“Di mana kalian akan memasak atau membekukan kodok-kodok tangkapan kalian?”
            
Man Joko berdeham. “Di rumah kami, Mister.”
            
“Kalau begitu, biar saya yang mengantarkan kalian pulang. Mobil saya terparkir tak jauh dari sini.”

***

“Omong-omong,” ucap Elisa, begitu ia keluar dari mobil yang Man Joko parkir di garasi, “di mana kita bisa menemukan kodok itu?”
            
“Kodok itu berada di dalam rumah ini, Elisa,” jawab Man Joko.
            
“Apa?! Serius?! Sejak kapan kau tahu itu?!”
            
“Sudah sejak lama.”
            
Elisa melompat-lompat di tempat. “Kenapa kau tidak pernah bilang padaku?! Kenapa aku, mungkin yang lainnya juga, tidak pernah melihat kodok itu?!”
            
“Kodok itu cuma muncul saat kau, Ayah, dan Ibu sedang pergi. Ia juga ingin agar aku merahasiakan keberadaannya dari siapa pun. Tapi, kemarin, aku memintanya agar mau bertemu denganmu, dan ia tidak menolak.”
            
Elisa pun kegirangan bukan main; kegirangan paling hebat yang pernah hinggap di dirinya.

***

Man Joko maupun Men Sunya tak pernah mengatakan bahwa kodok yang Stewart si Bule injak adalah kodok yang langka dan mahal—atas alasan yang bisa kauperkirakan sendiri. Tapi mereka tetap berterima kasih dengan mentraktir si Bule makanan khas desa itu—olahan kodok biasa—sekaligus menawarkannya untuk menginap gratis di rumah mereka. Tentu saja si Bule menerima semuanya dengan senang hati.
            
Kalaupun kami mengalami kerugian finansial gara-gara melayani si Bule, harga kodok Mandalus sudah pasti akan menutupinya.

***

Man Joko mengajak Elisa memasuki gudang. Lampu gudang tak dinyalakannya. Penerangan berasal dari sedikit cahaya yang masuk lewat ventilasi. Bagaimanapun, Elisa tetap tak bisa melihat apa-apa karena ada selembar kain hitam yang menutupi matanya.

“Aku baru ingat bahwa kodok itu meminta agar matamu ditutup saat kalian bertemu nanti,” jelas Man Joko sebelum mereka masuk ke gudang. “Sebetulnya, ia belum terlalu siap untuk dilihat oleh orang lain.”
            
“Di mana kodok itu?” tanya Elisa, memecah keheningan gudang. “Aku tidak ada mendengar suara kodok di sini.”
            
“Kodok itu sudah di depanmu, Elisa,” balas Man Joko. “Dan ia memang tidak berbunyi.”

***

Seperti biasa, Man Joko tak mendapati Men Sunya di sampingnya ketika ia terbangun pada pagi hari. Pasti itu karena, pada tengah malam, Men Sunya sempat terbangun gara-gara mendengar tangisan putri mereka, Anisa, kemudian berpindah kamar untuk menemani bocah berusia 2 tahun itu.
            
Sekeluarnya dari kamar tidur, seperti biasa pula, Man Joko langsung menengok ke dalam kamar Anisa. Namun kali itu yang didapatinya adalah sesuatu yang tak mungkin ia lupakan: Men Sunya yang berlumuran darah tergeletak di lantai; Anisa yang juga berlumuran darah tergolek di ranjang, tanpa celana, dengan kelamin hancur, ternodai cipratan cairan putih-kental. Leher mereka berdua robek.
            
Pagi itu, Stewart dan mobilnya sudah menghilang entah ke mana.

***

Man Joko menurunkan celananya. “Aku akan mengarahkan kepalamu untuk mencium kodok itu, Elisa,” ucapnya. “Jadi, persiapkan bibirmu.”
            
Elisa pun segera mengerti kenapa ibunya mengatakan bahwa kodok itu jorok; tapi ia tetap menciumnya.

***

Stewart tak meninggalkan jejak sama sekali. Man Joko juga tidak mengingat nomor plat mobil tersangka utama itu. Bagaimanapun, pihak kepolisian berjanji untuk tetap memburu Stewart.

***

Mulut Elisa dipenuhi oleh suatu cairan yang rasanya tak enak.

“Itu cairan kodok,” jelas Man Joko. “Wajib ditelan jika kau ingin kodok ini berubah menjadi seorang pangeran tampan.”

***

Dua tahun penuh, kesedihan Man Joko tak pernah surut, terlebih usaha para polisi belum menunjukkan hasil sama sekali.
            
Man Joko pun, dengan harapan dapat menghilangkan kesedihannya, memutuskan untuk pergi dari Desa Dagingkeras sekaligus mencari pekerjaan di kota. Dengan bantuan Badan Penyalur Tenaga Kerja Desa, Man Joko—yang dulu, sebelum menjadi pemburu kodok, sempat bekerja sebagai sopir truk—kemudian dipilih oleh sebuah keluarga untuk menjadi sopir pribadi merangkap pembantu rumah tangga.
            
Dari Terminal Kota, Man Joko dijemput oleh seorang wanita bernama Nurul, salah satu anggota keluarga yang mempekerjakannya, dengan sebuah mobil berwarna merah.
            
Sesampainya di rumah Nurul—Man Joko sudah mulai mengemudikan mobil merah itu dari Terminal Kota—ia bertemu dengan putri semata wayang Nurul, Elisa, dan suaminya … Stewart. Tapi Stewart tampak biasa-biasa saja ketika bertemu dengan Man Joko, sebab ia sudah melupakan wajah pria yang digigiti kesedihan itu.
            
Tapi, Man Joko tak akan pernah lupa ....

***

Man Joko ingin Stewart turut merasakan kesendirian yang menyedihkan. Maka, ia hanya menaburkan racun ke makanan di dalam kotak makan siang Nurul, sebelum berkata, “Tuan, Nyonya, Elisa, bekal kalian sudah siap.”

Khusus untuk Elisa, ia memang sudah menyiapkan “permainan” itu.

***

Man Joko belum selesai, sekalipun sudah sempat orgasme. “Kodok”-nya masih kuat untuk menerobos kemaluan Elisa.
            
Elisa menahan jeritan.
            
“Ini permintaan si Kodok, Elisa. Ia tidak ingin hanya dicium. Jadi, bersabarlah.”

Tak lama kemudian, ada rasa sakit luar biasa nan aneh yang, entah kenapa, menyengat “kodok”-nya. Man Joko pun langsung menariknya keluar dan menjerit teramat keras sambil memeganginya.
            
“Ada apa?!” tanya Elisa, kaget.
            
Man Joko terjatuh-telentang ....

            
Elisa lantas menarik kain yang menutupi matanya—saking penasarannya ia akan apa yang sedang terjadi pada Man Joko—dan melihat sesuatu yang sedari tadi ia tunggu: “kodok” itu membesar-dengan-cepat dan menjadi seorang pangeran tampan!




*) Cerpen ini dimuat di Tatkala.co pada 31 Maret 2018.