Sabtu, 18 Maret 2017

PUISI MERANTAU KE AKU



Puisi Merantau ke Aku
kamar kelabu berdebu. beberapa kaleng jus jeruk
yang pahit (anyir di mulutmu jikalau meminum
seraya mencari alasan kepergian). derit ranjang
ingin menjadi retih, seperti “apa” yang di dalam
api. berita buram muncul di layar televisi (ledakan
inovasi andai kau menggantung lehermu di
antenanya). satire terjebak di dalam buku cerita
anak-anak: catatan-catatanku dibakar oleh
aparat keamanan, oleh sebab itu kemarin
aku menyuruh kau menelan pintu kamar
kelabuku—tapi kau menolak secara manis.
(Denpasar, 2016)

Nama di Hadapan Ketelanjangan
telanjang yang aku adalah sebatang
sigaret di pucuk balkon.
di hadapan ketelanjangan
bara, kata-kata dari sudut bibir
kota membangun
sebuah apartemen. sebuah apartemen
menghablurkan kata-kata sifat
di sepanjang
jalan cikini raya.
taksi-taksi dan bajaj-bajaj mengantarkan
para penumpang ke benak
para pengemis.
orang-orang dan pikiran-pikiran
berlalu-lalang membelah
persimpangan
puisi.
di hadapan cermin, namaku menyesap
keriuhan jakarta pusat, lalu mengolahnya
jadi sebotol arak,
selinting kenikmatan.
dan, tiga hari kemudian:
telanjang yang aku adalah sepucuk pistol
di hadapan pelipis kata-kata
manis.
(Denpasar, 2016)

Kau-Ku
kau raung di igaku
kau ruang pada igauku
kau karat di benakku
kau kerat pada leherku
kau pisau di lambungku
kau risau pada mataku
kau sulang di pestaku
kau silang pada pilihku
kau tulang di berdiriku
kau tualang pada sajak-sajakku
(Denpasar, 2016)


*) Puisi-puisi ini dimuat di Nusantaranews.co pada tanggal 12 Maret 2017.

Kamis, 09 Maret 2017

SEEKOR BURUNG YANG INGIN MENJADI TUHAN -- Sebuah Cerpen





Tentu kau tak pernah tahu bahwa burung peliharaanmu yang bernama Petto itu ingin menjadi Tuhan. Keinginan tersebut muncul setelah sebelumnya ia ingin menjadi manusia.
            
“Menjadi manusia itu sangat menjijikkan!” kata seekor burung liar yang adalah teman baik burung peliharaanmu. “Lebih baik kau menjadi burung liar saja seperti aku! Toh, aku bisa membukakan pintu sangkarmu dari luar sini, seperti sebelum-sebelumnya ketika kauminta, kemudian kau akan bebas dan berhak menjadi liar!”
            
“Ini bukan perihal ‘bebas dan liar’,” sahut Petto. “Ini perihal ‘menjadi manusia seutuhnya’.”
            
“Berarti kau ingin menjadi makhluk yang menjijikkan seutuhnya!”
            
“Tidak masalah. Walaupun manusia menjijikkan, tapi manusialah penguasa dunia ini. Dan, aku juga ingin berkuasa, sehingga aku harus menjadi manusia.”
            
“Memangnya kau tahu bagaimana cara menjadi manusia?”
            
“Tentu saja dengan memakan manusia. Tapi, manusia yang akan kumakan bukanlah majikanku. Dia terlalu baik. Aku akan memakan manusia yang lain saja. Sayangnya, di sekitaran sini aku tak pernah melihat ada manusia yang lain.”
            
Hening sejenak. Bahkan angin malam pun turut bungkam.
            
“Tunggu … tunggu …” ujar si Burung Liar, mengoyak keheningan. 

“Kalau aku tak salah dengar, tadi kaubilang bahwa kau ingin menjadi manusia karena ingin berkuasa, bukan?”
            
Petto mengangguk mantap.
            
“Kenapa kau tidak sekalian saja menjadi Tuhan?”

***

Keesokan malamnya, sebagaimana malam-malam selanjutnya, si Burung Liar membukakan pintu sangkar Petto dari luar, dengan maksud membantu sang teman dekat—dan berharap Petto gagal menjadi Tuhan, lalu sudilah ia menjadi burung liar saja. Setelah keluar dari sangkarnya yang tergantung di langit-langit beranda, bertenggerlah Petto pada bibir lubang udara kamarmu. Di dalam kamar, dengan pencahayaan remang-remang dari lampu tidur, ia dapat melihat kau bersila di kasur sembari mencakupkan tangan di dada.
            
Muncullah, Tuhan! Muncullah! Petto berkata dalam hati sembari memandangi kau yang sibuk berdoa. Ia yakin Tuhan akan muncul sebab begitulah yang tak sengaja dilihatnya beberapa bulan lalu—sebelum ia ingin menjadi manusia—dari bibir lubang udara itu juga, dalam rangka sekadar iseng. Pada malam beberapa bulan yang lalu itu, dilihatnya Tuhan masuk melalui pintu kamarmu tanpa perlu membuka apalagi mengetuknya, sebab Tuhan bisa menembus apa saja. Dan, sebelum kau lepas dari doa, Tuhan meletakkan segepok uang—yang kauminta dalam doa—di sampingmu.
            
Berdoalah yang ikhlas, oh majikanku, supaya Tuhan sudi datang!
            
Tak lama kemudian ada yang menembus pintu kamarmu sebagaimana malam beberapa bulan yang lalu itu. Tentu saja itu Tuhan, dan kau tak akan melihatnya sebab kau masih terlarut dalam doa. Saat itulah Petto beraksi; ia menukik tajam ke arah Tuhan, membuka paruhnya lebar-lebar, tetapi sebelum Tuhan berhasil disentuh apalagi ditelannya, sekonyong-konyong tubuh Tuhan memancarkan kalor yang membuat Petto kepanasan hebat. Petto pun cepat-cepat menjauhi Tuhan dan keluar dari kamarmu melalui lubang udara.
            
Anehnya, tubuhmu yang didekap doa itu taklah merasakan panasnya Tuhan sedikit pun.

***

“Sudah kubilang, mending kau menjadi burung liar saja seperti aku!” si Burung Liar berkata, kemudian tertawa terbahak-bahak.
            
“Awas saja kalau aku sampai berhasil memakan Tuhan,” balas Petto dengan penuh kekesalan.

***

Hingga enam malam berikutnya, usaha Petto untuk memakan Tuhan masihlah gagal. Gagal dengan cara yang sama. Si Burung Liar pun semakin sering mengejek Petto dan terus-menerus membujuknya agar mau menjadi burung liar saja.
            
“Tetapi burung liar tidak akan seberkuasa manusia apalagi Tuhan, Kawan!” kata Petto.
            
“Tak masalah apakah kau penguasa atau kau yang dikuasai,” sahut si Burung Liar, “yang penting kau berbahagia dan tak perlu menelan kekecewaan karena selalu gagal memakan Tuhan!”
            
Pada malam selanjutnya, Petto tak lagi mengamati kau—yang berdoa—dan Tuhan—yang datang—dari bibir lubang udara kamarmu, sebab di sangkarnya ia sedang sibuk memikirkan “rencana baru”.

***

“Apa? Burung betina? Sebanyak-banyaknya?” si Burung Liar terbelalak. “Buat kaukawini?”
            
Dari dalam sangkarnya, burung peliharaanmu menjawab, “Ya.”
            
“Setelah berusaha untuk memakan Tuhan berkali-kali dan gagal, apa yang membuatmu berpikir untuk kawin berkali-kali, Petto?”
            
“Kau akan tahu nanti. Tak perlulah bertanya sekarang. Yang perlu kaulakukan hanyalah membantuku mencari burung betina sebanyak-banyaknya.”
            
Tanpa perlu berpikir panjang, si Burung Liar menjawab, “Tidak perlu kucarikan pun kau pasti dapat. Hutan di mana rumah majikanmu ini berdiri menyimpan banyak burung betina liar yang liar!”

***

Tentu kau tak pernah tahu bahwa burung peliharaanmu itu dapat mengawini setidaknya sepuluh ekor burung betina liar tiap malam, saban kau terlelap.
            
Petto memang sudah tidak pernah lagi memerhatikan kau yang berdoa sebelum tidur dan Tuhan yang mendatangimu, tapi bukan berarti keinginannya untuk memakan-menjadi Tuhan telah lenyap. Justru ia sengaja mengawini burung betina liar sebanyak-banyaknya karena itu adalah langkah awal dari “rencana baru”-nya.
            
Selain burung betina liar yang masih sendiri, burung betina liar yang sudah punya pejantan pun dikawininya. Jika ada pejantan yang marah, maka Petto akan membunuh pejantan itu dengan caranya sendiri.

***

Berbulan-bulan kemudian, Petto sudah memiliki ribuan ekor anak dari betina-betina yang dikawininya. Setiap ada kesempatan, Petto selalu mendidik anak-anaknya untuk menyukseskan “rencana baru” itu.
            
“Atas tujuan apa kau mendidik anak-anak kita seperti itu?” suatu ketika salah seekor betinanya bertanya.
            
Petto menjawab, “Supaya anak-anak kita pintar seperti burung peliharaan manusia. Tepatnya, pintar seperti aku.”
            
Berminggu-minggu berikutnya, ketika Petto merasa bahwa semua anaknya sudah cukup pintar, ia pun melaksanakan “rencana baru”-nya.

***

Dari bibir lubang udara itu, Petto berkicau nyaring sehingga kau terenggut dari tidurmu. Kau pun terkejut mendapati Petto yang telah lepas dari sangkarnya. Burung peliharaanmu itu lantas terbang menuju bagian hutan yang paling mencekam dan pepohonannya begitu rapat. Kau segera berlari mengejarnya—tidak mungkin mengendarai mobil pun motor karena kerapatan pepohonan itu—sebab tak ingin kehilangan Petto.
            
Sekitar sepuluh menit kemudian, kau benar-benar kehilangan Petto. Kau pun menyadari bahwa dirimu sudah tersesat.
            
Petto tahu betul kalau kau adalah tipe orang yang “selalu mencari aman”; berarti ia sudah tahu kalau kau akan lebih memilih untuk diam di tempat hingga pagi tiba ketimbang mencoba mencari jalan pulang di tengah rimba ketidaktahuan. Kau lalu mendudukkan diri di tanah dan mencakupkan tangan di dada. Berdoa. Memohon keselamatan pada Tuhan.
            
Momen inilah yang Petto tunggu-tunggu: Tuhan hadir ke hadapan kau yang terlarut dalam doa, hendak memberikanmu keselamatan. Tiba-tiba, dari balik lebatnya dedaunan, ribuan anak Petto menukik ke arah Tuhan, sementara Petto masih mengumpet di tempat yang aman. Rupanya, anak-anak Petto itu (awalnya) hanya bertengger-ramah di tubuh Tuhan, sehingga Tuhan tak mempermasalahkan kehadiran mereka.
            
Petto tersenyum licik di tempat persembunyiannya—dan kau tak perlu tahu di mana ia bersembunyi.
            
Sesudah Tuhan meletakkan keselamatan di sampingmu, serempak ribuan anak Petto mematuk-matuki tubuh Tuhan. Tuhan pun kesakitan luar biasa, menjerit teramat nyaring—tetapi kau tak mendengar jeritan itu sebab kupingmu tertutupi doa—dan tubuhnya langsung memancarkan kalor. Sesuai didikan Petto, ribuan burung kecil itu tetap mematuk-matuki tubuh Tuhan meskipun puluhan demi puluhan dari mereka terus berjatuhan-tewas akibat kepanasan.
            
Bagaimanapun, kesakitan itu akhirnya membuat Tuhan melemah. Otomatis, suhu kalor yang memancar dari tubuhnya menurun drastis. Saat itulah Petto menukik tajam dari tempat persembunyiannya ke arah Tuhan dengan paruh terbuka lebar.

***


Begitu selesai berdoa, kau terkejut sebab mendapati diri sudah berada di dalam kamar tidurmu. Lantas kau cepat-cepat melangkah ke beranda rumahmu untuk memastikan apakah Petto telah kembali ke sangkarnya atau belum. Dan, betapa terkejutnya kau sebab “Aku”-lah yang kautemukan terkurung di dalam sangkar itu!



*) Cerpen ini dimuat di Bali Post pada tanggal 5 Maret 2017.