Jumat, 27 Oktober 2023

BOCAH-BOCAH ITU MEMBUAT VIDEO ANEH -- Sebuah Cerpen

*Ilustrasi: istockphoto.com


“Ini baru bagian awal—perhatikan baik-baik,” kata Adam, menggeser posisi duduknya mendekati Hawa, dan kasur berderit. “Pertama, mereka akan telanjang. Lalu, lebih aneh dari itu!” Tangan Adam yang memegangi ponsel bergoyang, dan Hawa memegang punggung tangan bocah lelaki itu sebagai penyangga.

“Oh ya,” lanjut Adam, “mereka berdua bicara dalam bahasa Inggris, bukan?”

“Bahasa Inggris. Tapi aku tak paham apa pun,” balas Hawa, mendekatkan tangan Adam yang memegang ponsel ke wajahnya, sebab cahaya dari jendela kamar membuat layar silau. “Bahasa Inggris di tempat kursusku tidak sesulit ini. Mereka berdua bicara terlalu cepat.”

Raung mobil-mobil terdengar dari jalan di depan rumah. Adam mengambil earphone dari samping bantal, lalu mencolokkannya ke ponsel, dan memasangkan earphone kiri ke telinga kanannya sendiri, dan memasangkan earphone kanan ke telinga kiri Hawa, sebelum bocah lelaki itu menaikkan volume video hingga lima puluh persen. Kemudian ia menjulurkan kaki, untuk menekan tombol off pada kipas angin di samping kasur dengan jempol kakinya. Sempurna: kini percakapan dua orang dewasa itu semakin jelas.

“Ada kata-kata yang kau pahami?” tanya Adam.

“Tidak. Mungkin waktu SMA nanti aku akan—Hei! Mereka benar-benar membuka pakaian!”

“Lihatlah terus. Nanti akan lebih aneh lagi.”

Hawa terus memerhatikan video. Ia mendekatkan wajah ke layar ponsel. Semakin lama kerutan pada dahinya semakin dalam.

 

***

 

Adam dan kakak lelakinya duduk di meja makan. Aroma opor ayam dan desis kompor dan samar-samar nyanyian Mama datang dari dapur. Adam memainkan jari telunjuk dan tengahnya di meja, menggerakkannya sedemikian rupa seperti seseorang yang menari, mengikuti nyanyian Mama yang samar. Tahu-tahu Kakak bergeser ke sampingnya, dan ia tersenyum jahil, menampakkan taring kanannya yang ompong; ia pun menunjukkan video aneh itu lewat ponselnya.

“Ini baru bagian awal—perhatikan baik-baik,” kata Kakak, seraya memasangkan earphone kanan ke telinga kanan Adam. Lalu ia menjeda video. “Nanti akan ada bagian yang aneh. Dan, ini cuma di antara kita berdua. Oke?”

Adam mengangguk, dan video diputar kembali. Semakin lama kerutan pada dahi Adam semakin dalam.

“Kata Mama, orang dewasa akan malu jika telanjang,” bisik Adam.

“Mama pembohong.”

“Mama pembohong ...?” Adam membeo.

“Ini cuma di antara kita berdua.”

“Boleh kutunjukkan video ini besok Minggu pada Hawa?”

“Hmm … biar kupikirkan dulu. Tapi, sampai aku berkata oke, ini tetap di antara kita berdua. Jika ada orang ketiga, kucubit pahamu sampai memar.”

 

***

 

“Ah, aku tahu artinya!” Hawa mendadak berseru. “Wanita itu bilang, Oh Tuhan-ku, Oh Tuhan-ku! Tapi kenapa ia dan teman prianya telanjang? Mereka sedang berdoa? Tapi kenapa tak di gereja?”

“Sekarang wanita itu bilang, Oh ya, oh tidak,” sambung Hawa cepat. “Aneh sekali.”

“Aneh sekali ....” Adam menaikkan volume video hingga enam puluh persen. “Apa agama mereka?”

“Entahlah .... Orang luar negeri punya cara berdoa yang aneh. Kadang memejam, kadang membelalak lebar.” Hawa menyeka hidungnya yang sedikit mengeluarkan ingus dengan lengan baju. “Sepulang dari sini, aku akan bertanya pada Mama dan Papa.”

 

***

 

Mama memanggil Adam dan Hawa dan Kakak dari dapur, makan siang sudah siap. Mama menuangkan jus jeruk ke empat gelas dan duduk bersama ketiga bocah itu.

“Ponselku hilang,” kata Kakak tiba-tiba. “Adam pasti mencurinya.”

“Hanya meminjam,” balas Mama cepat. “Adam akan mengembalikan ponselmu nanti, setelah PR-mu untuk besok Senin selesai. Bukan begitu, Adam?”

Adam mengangguk, dan Hawa ikut mengangguk.

“Kau ikut memakai ponselku, Hawa?” tanya Kakak.

Sekali lagi Hawa mengangguk. Kakak tersenyum. Setelah itu Kakak tak bicara apa pun; ia mengunyah paha ayam panggang, dan tetap tersenyum ke Hawa. Mata Adam bergiliran mengarah ke Hawa yang fokus pada sayap ayamnya, ke Kakak yang fokus pada Hawa, dan kembali ke Hawa. Adam menenggak jus jeruk: terlalu asam: air liur seketika berkumpul di mulutnya, ia mengernyit.

 

***

 

“Kakak tak pernah tersenyum padaku,” kata Adam, memerosotkan punggungnya, sehingga sol sandalnya dapat menyentuh langit-langit terowongan. Hujan semakin deras di luar terowongan di bawah perosotan itu. Hawa menjulurkan telapak tangan keluar terowongan, lalu meraupkan air hujan ke wajah. “Tetapi, Hawa, ia kerap tersenyum padamu—kau sadar?”

“Aku tidak sadar.” Sejenak Hawa melipat bibir bawahnya, dan mengerutkan keningnya, dan isapan pada bibir bawahnya menghasilkan suara seperti saluran TV yang rusak. “Tapi aku sadar, bau tubuh kakakmu aneh sekali. Persis daging busuk yang dipanggang di permukaan knalpot. Untung saja ia mempunyai globe salju yang bagus. Hanya itu yang kusuka darinya.”

 

***

 

Dan makanan mereka habis. Kakak menarik selembar tisu dan menyeka saus tomat di sudut bibir Hawa. Gadis itu hanya diam, menatap balik padanya. Adam langsung menendang pelan kaki Hawa.

“Mama akan pergi sebentar,” ucapnya, menumpuk piring-piring kotor di hadapannya. “Adam, jangan lupa tidur siang. Hawa, ingat, mama dan papamu bilang kau harus pulang pukul dua belas siang.” Mama memasukkan semua sendok-garpu kotor ke gelasnya, lalu menatap tajam Kakak. “Dan kau … Mama ingin melihat PR-mu sudah selesai begitu tiba di rumah nanti.”

 

***

 

Dari jendela kamar Adam, terlihat mobil Mama meninggalkan rumah, dan Kakak menutup gerbang. Adam dan Hawa kembali mengenakan earphone, dan memainkan video aneh itu, dan mengernyit kebingungan.

“Aku baru sadar hal ini,” kata Hawa. “Perempuan dewasa tak mengulum jari sendiri. Mereka mengulum ular!”

Adam menarik karet pinggang celananya dan memerhatikan seekor ular yang tidur.

“Kenapa …?”

“Entahlah—Hei! Tutup celanamu. Ayo kita tonton lagi video ini.”

Tiba-tiba Kakak membuka pintu. Adam cepat-cepat menutup video aneh itu.

“Apa yang kau tunjukkan ke Hawa?”

“Tidak ada ....” Adam menunjukkan wallpaper ponsel. “Lihat, tidak ada.”

“Lantas, untuk apa kalian memasang earphone?”

Adam dan Hawa bertukar tatapan.

“Hawa … Adam tak menunjukkan apa pun padamu?”

Ragu-ragu, Hawa menggeleng.

Kakak menutup pintu. Lalu ia mendekat pada Adam dan Hawa, berdiri di tepi kasur, bayangannya menimpa kedua bocah yang menunduk itu.

“Kalian akan habis,” kata Kakak. “Mama akan memukul kepala kalian dengan kemoceng. Kau ingat rasa sakitnya, Adam?”

Adam mulai terisak-isak. Hawa memegang tangan kawannya, dan meremasnya pelan, dan dengan jempol ia mengelus punggung tangan lelaki itu. “Maaf ....” Hanya itu yang Hawa ucapkan. Dan, Adam membeo.

“Kalian akan selamat kalau paham tentang video itu. Tentang rahasia itu,” kata Kakak. “Tapi kalian masih kecil. Kalian tak paham maksudnya.” Kakak duduk di samping Hawa. “Tapi, Hawa, kau lebih pintar dari Adam. Kau akan lebih cepat paham, dan kau akan selamat.”

Hawa mendongak menatap Kakak. “Tapi aku tidak paham. Mereka berbicara bahasa Inggris terlalu cepat.”

“Aku paham. Aku akan memberi tahu kalian sekarang.”

Berhentilah isakan Adam. Kakak tersenyum, dan mengelus-elus kepala Hawa.

“Sekarang, Adam, kau harus merekam. Dan Hawa …” Kakak melepas earphone dari ponsel dan telinga Adam dan telinga Hawa, “ini adalah rahasia di antara kita berdua. Tidak—kita bertiga, maksudku. Siapa pun yang membocorkannya, akan kucubit pahanya hingga memar. Apa kalian bersumpah akan menjaga rahasia ini?”

Adam dan Hawa mengangguk.

“Bagus. Untuk Adam, nanti kau akan kutunjukkan lebih banyak video aneh. Untuk Hawa, aku akan memberimu globe saljuku.”

Kakak berdiri. Bayangannya kembali menimpa Adam dan Hawa. Ia tersenyum jahil, menampakkan taring kanannya yang ompong. Lalu ia menurunkan celana. Seekor ular meliuk, mendesis, sisiknya lembap dan merah. Ular itu mengedipkan sebelah mata ke Hawa.

 

***

 

Adam mampir ke rumah Hawa. Mama dan papanya bilang gadis itu sakit dan sudah hampir seminggu tak keluar dari kamar. Adam pun naik ke lantai dua sendiri, membuka pintu kamar Hawa yang penuh stiker tokoh-tokoh kartun, dan … gadis itu tak ada di sana.

Jendela masih tertutup gorden hijau; cahaya terik menembus gorden itu dan memenuhi kamar dengan warna hijau yang tipis. Suhu pendingin ruangan membuat keringat Adam cepat mengering. Dan, sayup-sayup terdengar tangis seorang gadis. Adam mendekati nakas di samping kasur. Di atasnya, di samping pigura—yang berisi foto mereka berdua di terowongan bawah perosotan—adalah globe salju. Globe itu sekepalan tangan Kakak. Di dalamnya, berdiri di permukaan salju, adalah sebatang pohon tak berdaun, ranting-rantingnya seperti deduri penuh lekukan. Dan, di bawah pohon tersebut, Hawa meringkuk dan menangis. Seekor ular merah membelit tubuhnya.



*) Cerpen ini dimuat di Kurungbuka.co pada Agustus 2023.

Sabtu, 24 Juni 2023

MAYAT, HUJAN, DAN JILAT-MENJILAT -- Sebuah Cerpen

*Sumber Gambar: Bacapetra.co




Aku teringat kisah mayat yang bangkit kembali, setelah aku tanpa sengaja membuat Anna tak lagi bergerak. Kakak yang memberitahuku cerita seram itu di ruang makan, pada Jumat sore ketika Mama terlambat pulang.

“Sebenarnya aku tak mau menceritakan ini,” kata Kakak, membuka jendela yang menghadap halaman belakang, lalu mengeluarkan kotak rokok yang selalu ia sembunyikan dari Mama. “Aku sudah berjanji pada Mama untuk tidak membuatmu takut.” Kakak menyulut rokoknya. Asap yang ia tiupkan ke luar jendela ditiup balik oleh angin sehingga kembali ke ruang makan: asap menyusup di antara barisan piring di rak dan tulip-tulip yang dipajang di meja makan, seperti sepasukan tentara hantu yang hendak meringkusku. “Tapi, cerita kali ini benar-benar penting. Jika kau ingin mendengarnya, berjanjilah, kau harus tidur sendiri malam ini.”

Ragu-ragu, aku mengangguk. Dan aku tak menyesal karena telah mengangguk, telah menghadapi malam panjang dan mimpi buruk: kini cerita itu mestinya berguna buatku, untuk mencegah Anna-yang-hidup-lagi memakan lidahku.

 

***

 

Aku menganggap Anna sebagai sahabat, sampai ia mulai menjilati lidahku.

Suatu hari di tengah jam pelajaran, aku ingin kencing dan meminta izin pada Bu Guru untuk ke toilet di halaman belakang sekolah. Begitu aku sampai di ujung koridor tempat pintu-pintu toilet berbaris dan menguarkan bau pesing, aku memergoki dua orang kakak kelas sedang menjilati lidah satu sama lain. Dari tinggi badan, kutebak mereka kelas lima atau enam. Lelaki pertama, yang dihimpit ke dinding, beramput cepak; lelaki kedua, yang menghimpit lelaki pertama, beramput keriting—mereka sontak menoleh padaku. Aku refleks berbalik dan hendak kabur, namun tersandung kaki sendiri dan daguku menghajar lantai. Tahu-tahu kakiku diseret hingga aku semakin dalam memasuki koridor—di permukaan lantai ada sesuatu yang kasar dan menggores daguku—dan mereka menendangiku sampai aku tak bisa menjerit atau menangis atau berbuat apa pun. Kemudian terlihat kaki orang ketiga datang dan terdengarlah pukulan: lelaki pertama terjatuh, wajahnya yang kabur tepat menghadap wajahku di lantai. Dan menyusul suara pukulan kedua: lelaki kedua terjatuh, kepalanya menimpa bokongku. Aku sudah bersiap mendengar suara pukulan ketiga, pukulan pada wajahku. Namun tak ada pukulan ketiga; kedua kakak kelas itu bangkit dan kabur. Seseorang yang baru datang itu berjongkok di hadapanku. Ia membawa sepotong kayu; mungkin ia mengambilnya dari bagian sekolah yang direnovasi. Ujung roknya terayun perlahan.

“Aku Anna,” kata gadis itu—entah kenapa ia datang ke koridor toilet lelaki. Ia teman sekelasku; beberapa hari lalu ia memperkenalkan diri di depan kelas, sembari memelintir kedua ujung rambutnya yang dikuncir. “Mau es krim?”

Aku tak tahu harus menjawab apa. Perut dan dada dan lenganku berdenyut-denyut akibat ditendang. Lantai mulai membuatku kedinginan dan meruapkan samar-samar bau lumpur kering. Dan Anna membantuku berdiri; dari tubuhnya samar-samar aku mengendus parfum khas pria dewasa—mungkin parfum ayahnya.

“Kupikir kau lucu,” lanjut Anna. “Itu kenapa aku mengikutimu ke sini.”

Di jam istirahat, Anna menghampiriku di kantin dan memberiku semangkuk es krim, dan aku membayarnya dengan bekal makan siangku. Kami makan berhadap-hadapan; ia begitu lahap seolah lupa bahwa ada aku dan murid-murid lain di dekatnya. Sementara itu aku, sembari menyuap es krim secara lambat, memerhatikan setiap murid yang melintas di dekat meja kami, memastikan kedua kakak kelas tadi tak datang kembali. Sejak hari itu, kami jadi sering bertukar bekal makan siang, bertukar lelucon, dan berkunjung ke rumah satu sama lain setiap Sabtu atau Minggu—lalu aku tanpa sengaja membunuhnya pada Sabtu sore, dan hujan datang tiba-tiba.

 

***

 

“Ketika seseorang baru mati,” kata Kakak, duduk di birai jendela, “hujan akan membuatnya hidup kembali. Aku serius.”

Aku bertanya apa hubungan antara hujan dengan mayat yang hidup kembali. Kakak meniupkan asap rokok lurus ke arah meja makan, ke arah tempat dudukku yang terletak dua belas langkah darinya, dan membalas, “Karena … arwah-arwah yang terbang ke langit jadi jatuh ke bumi gara-gara hujan.” Kakak menjentikkan abu rokok keluar jendela. “Dan jika arwah jatuh ke mayat, maka terjadilah ....”

 

***

 

“Boleh aku menjilat lidahmu?” tanya Anna, saat kami bermain monopoli di kasur, terlalu banyak rumah dan hotel di kota-kota miliknya. “Papa sering menjilati lidahku—dan ia bilang ini rahasia. Tapi kau orang baik, aku ingin berbagi rahasia denganmu.”

Aku mendadak teringat Kakak yang berbicara dalam jarak dekat denganku, dan aroma mie kuah dari mulutnya membuat muntahan menyodok pangkal lidahku. Pasti lebih memualkan lagi jika lidahku dijilat.

“Sebenarnya, aku tidak paham apa yang menyenangkan dari menjilat lidah,” sambung Anna. “Tapi kedua kakak kelas yang menghajarmu waktu itu sering saling menjilati lidah satu sama lain. Kau tahu, aku sudah lebih dari sekali melihat mereka begitu. Dan aku bohong waktu bilang aku sengaja mengikutimu ke toilet karena kau lucu. Aku hanya ingin melihat kedua kakak kelas itu saling menjilati lidah lagi—tapi aku tidak bohong bahwa kau memang lucu.”

Aku tidak ingin lidahku dijilat. Tapi aku mengizinkannya, sekali saja, dan aku mulai menjulurkan lidah. Anna pun ikut menjulurkan lidah.

 

***

 

Apa yang terjadi setelah mayat hidup kembali?

“Pertanyaan bagus.” Kakak menjejalkan bara rokok ke bak cuci piring, dan melempar puntungnya keluar jendela. “Mereka akan memakan lidahmu. Sesederhana itu.”

“Kau bohong.” Aku tak bisa menyembunyikan getaran dalam suaraku.

“Waktu Momo mati,” Kakak menarik kursi di sampingku, gesekan kaki-kaki kursi dengan lantai menusuk telingaku, “malamnya aku harus memukul ia memakai sekop. Mungkin kau sudah tidur dalam pelukan Mama—jadi kau tak tahu bahwa malam itu hujan, dan kucing kita bangkit dari kuburnya.” Kakak duduk di kursi itu, satu kaki ia naikkan. “Kau harus berterima kasih padaku. Tidak ada lidah siapa pun yang dimakan.”

“Momo kucing baik ....” balasku, sembari mengingat bagaimana Momo sering menjilati jari-jari kakiku sampai aku memekik geli.

“Momo bukan kucing baik setelah ia bangkit dari kuburnya.”

 

***

 

Anna menjilat permukaan lidahku, dan aku refleks menarik diri darinya. Muntahan tertahan di pangkal lidahku. Lidahnya rasa mentega dan saus tomat yang tercampur air kloset.

“Rasanya aneh, bukan …?” kata Anna. “Tapi lama-kelamaan tidak akan aneh. Ayo coba lagi.”

Aku menelan muntahan dan menggeleng. Anna merangkak mendekat, ranjang berderit, dan ia menjilat bibirku yang tertutup rapat. Muntahan pun terlontar lagi, sampai menyentuh gigi depanku. Mulutku pahit. Dan kepalaku tak bisa mundur: tangan Anna menahan belakang kepalaku, dan ia menyedot bibirku—muntahanku tersedot ke mulutnya—aku mendorongnya keras hingga belakang kepalanya menghantam bantal, dan muntahanku jatuh ke perutnya.

Anna tersenyum gemas. “Hei, tenang!”

Aku merapatkan bibir, mencegah lebih banyak muntahan terjatuh.

Anna bangkit dan kembali menyedot bibirku. Aku menekan kedua sisi pipinya dengan telapak tangan dan mendorong wajahnya menjauh, tapi ia terus bertahan, dan aku terus mendorong sampai kulit wajahnya tertarik dan matanya menyipit, hingga akhirnya wajah Anna mundur sejengkal dari wajahku. Dan perempuan itu tetap gigih: ia menjulurkan lidah untuk menggapai bibirku. Wajahnya jadi tengik sekali. Dan liur menetes dari ujung lidahnya, jatuh ke lututku—semakin banyak muntahan terlontar ke mulutku, dan aku mengayunkan kepala Anna ke samping: ia terjatuh dari kasur, kepalanya membentur nakas, dan … ia tak lagi bergerak.

Turunlah hujan deras ....

 

***

 

Aku menuruni anak-anak tangga dengan tungkai selemas lidah. Telapak tanganku jadi dingin dan berdebu karena menyentuh pembatas tangga. Mama meletakkan mangkuk besar beruap di tengah meja makan, dan Kakak meletakkan nasi ke empat piring. Aroma masakan Mama membuatku mual—tapi aku sadar, dalam situasi biasa, harusnya aroma ini membuatku lapar.

“Ajaklah Anna makan siang,” kata Mama.

Aku tak menjawab. Aku bergabung bersama Kakak dan Mama di meja makan, membantu meletakkan sendok-garpu di samping piring, lalu menyeka sendok-garpu dengan tisu, lalu merapikan letak sendok-garpu yang seharusnya sudah cukup rapi. Masakan Mama, lidah sapi lada hitam, membuatku refleks berpaling ke jendela; bunyi ketukan air hujan pada jendela seperti ratusan anak berlari serempak menuruni tangga.

“Kau akan lebih membantu,” kata Kakak, “dengan memanggil Anna kemari.”

Apa yang terjadi pada Anna di kamarku? Apa kini ia hidup kembali, dan akan turun, dan akan memakan lidah kami? Aku harus membisikkan hal ini pada Kakak. Mungkin ia akan menghajar Anna dengan sekop. Atau entahlah ....

Aku harus membisikkan hal ini.

“Anna!” Panggil Mama. “Ayo, makan siang sudah siap!”

“Anna sedang tidak lapar ....” balasku, parau.

Mama tak peduli; ia melempar isyarat pada Kakak agar menjemput Anna ke kamarku, dan dengan malas Kakak menurut. Semakin jauh Kakak menaiki anak-anak tangga, kepalanya seolah tertelan ke lantai dua, dan begitupun lehernya, dan dadanya, hingga ujung kakinya—tubuh Kakak tertelan sepenuhnya, dan Mama hanya sibuk membagikan potongan-potongan lidah sapi ke keempat piring.

Tak lama, terdengar Kakak menjerit.

Aku dan Mama langsung berlari ke atas.

Kami sampai di depan kamarku bersamaan dengan Kakak yang baru keluar. Tatapannya nyalang. Kedua tangannya menutup mulut sendiri. Dari sela-sela jarinya meneteslah darah.



*) Catatan: Cerpen ini dimuat di Bacapetra.co pada 7 Mei 2023.

Senin, 29 Mei 2023

SEKOLAH PASCAKEMATIAN -- Sebuah Cerpen

*Sumber Gambar: istockphoto.com




Kami membuat Pak Subadi bunuh diri di depan kelas, dan itu bukan kejadian tak menyenangkan terakhir di kelas IPA XIIA. Jumat siang itu kami tak bermaksud membuat Pak Subadi bunuh diri. Tak ada alasan bagi kami untuk membuat ia bunuh diri: ia hanya seorang pria lima puluhan, dengan tubuh seperti gagang sapu yang lapuk dan bengkok, yang tiga kali seminggu hanya menggambar angka-angka dan huruf-huruf dan garis-garis di papan, sambil mengoceh antusias seakan kami fokus mendengarkan pelajarannya. Poin terakhir itu yang terutama sekali membuat kami tak punya alasan untuk membuatnya bunuh diri: ia guru terbaik di SMA kami: saban kelas ia tak berusaha mengganggu kesibukan kami—yang tak berhubungan dengan pelajaran—dan ia tampak baik-baik saja dengan begitu.

Dan kami pikir Pak Subadi akan selamanya baik-baik saja dengan hal itu—dan seharusnya tak ada yang salah: ia tetap mendapat gaji meski kami tak mendapat ilmu.

Aku dan teman sebangkuku sedang membaca sebuah roman picisan, dan dua orang di belakangku sedang membicarakan pacar barunya, dan dua orang di depanku sedang membicarakan istri baru ayah tirinya, ketika mendadak aku tersadar: tak terdengar lagi ocehan antusias Pak Subadi di depan kelas. Ketika itulah aku menoleh ke papan dan aku menjerit sehingga seisi kelas turut menyadarinya: Pak Subadi telah tergeletak di lantai, cipratan darah menutupi angka-angka dan huruf-huruf dan garis-garis di papan. Pria itu tergeletak di lantai dan kulit lehernya menganga, ia berkelejotan seperti ikan yang terpeleset ke wajan berminyak mendidih, di tangannya yang penuh urat ia memegang cutter dengan bilah mencuat.

Tak lama murid-murid dan para guru dari kelas sebelah berkerumun di balik jendela kelas kami, dan para murid dibubarkan semenit kemudian melalui mikrofon di sudut setiap kelas. Mereka tampak baik-baik saja, murid-murid itu; mereka dengan antusias memenuhi lapangan parkir dan memacu kendaraan menjauhi sekolah. Dari lapangan parkir, aku menoleh beberapa jenak ke arah kelasku: para guru berkerumun di sana, mereka merapalkan doa bersama-sama, doa tersebut masih terdengar menggema ketika motor kupacu melewati gerbang, bahkan hingga sekitar seratus meter kemudian.

Esoknya adalah Sabtu, dan sepanjang Sabtu-Minggu grup Line kelas kami dipenuhi perbincangan menyangkut kematian Pak Subadi—yang kami duga kuat disebabkan ketidakmampuannya menghadapi kami—plus argumen-argumen tak penting: “Aku sedang tidak ribut waktu itu,” “Aku sedang mencatat waktu itu,” “Kau yang biasanya paling ribut di kelas,” dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya.

Dan pada Senin siang kami tak lagi berani ribut di kelas matematika. Bukan sebab kami tak ingin guru pengganti Pak Subadi ikut bunuh diri. Tak ada guru pengganti matematika di kelas kami. Pak Subadi memasuki kelas seperti biasa seolah ia tak pernah mati—bahkan di lehernya aku tak melihat bekas sayatan sama sekali. Pantas saja tak ada pengumuman apa pun selama upacara tadi pagi; biasanya akan ada sesi pengumuman khusus sebagai penutup upacara apabila ada berita besar.

Pak Subadi mulai mengoceh antusias seraya menggambar angka-angka dan huruf-huruf dan garis-garis di papan. Bunyi kapur yang menggesek papan membuatku ingin menutup telinga, tetapi aku tak berani. Udara dingin menyusup dari jendela-jendela yang terbuka, tetapi tak ada yang berani menutupnya pun mematikan kipas angin yang berputar kencang dengan poros berdecit-decit. Dengan tangan separuh membeku dan memucat dan gemetar, seperti refleks aku mulai mencatat angka-angka dan huruf-huruf dan garis-garis dari papan, teman sebangkuku dan setiap murid lain di kelas pun melakukan hal serupa. Jangan tanya berapa banyak di antara kami yang menahan diri untuk tak bertanya pada Pak Subadi soal kematiannya di kelas Jumat kemarin.

“Ada yang mau bertanya?” kata Pak Subadi. “Yang paling rumit, atau yang paling remeh—saya ingin mendengarnya. Atau, ada yang tak kalian pahami tentang apa pun itu di kelas Jumat kemarin?”

Teman sebangkuku mengangkat tangan. Telunjuknya tak mengacung lurus. Sikunya masih seperempat tertekuk. Dan kami serempak menoleh ke arahnya. Dan kipas angin mulai bergoyang-goyang tak stabil pada porosnya. Suara dari kelas-kelas lainnya sontak menghilang, seakan seisi sekolah ingin mendengar pertanyaan temanku. Pak Subadi mulai tersenyum sebab—seingatku—inilah saat pertama kali ada murid yang bertanya dalam kelasnya.

“Di pembagian yang itu, Pak,” Temanku menunjuk satu titik di papan dengan telunjuk tertekuk, “seharusnya hasilnya nol. Seharusnya sudah selesai di situ ....”

“Yang mana maksudmu?” Pak Subadi mengernyit sembari mempertahankan senyumnya. “Bisa kau maju dan tolong tunjukkan?”

Jeda beberapa detik, sebelum temanku berdiri, dan dengan langkah seseorang di atas seutas spageti ia berjalan ke samping Pak Subadi, dan menunjuk pembagian yang ia maksud.

“Kalau begitu, bisa tolong kauperbaiki?”

Temanku mengangguk dan mengambil penghapus, jari-jari pucatnya pasti semakin putih karena serbuk kapur. Ia mulai menulis ulang hasil pembagian dengan kapur yang pendek, tampak ia kesulitan karena kuku telunjuknya yang berkuteks merah muda itu lumayan panjang. Dan, terdengar bunyik tak! ketika ia menyambung garis untuk membentuk nol: kuku telunjuknya patah, dan tergeletak di lantai, dan tak sengaja ia injak saat berbalik dari papan untuk kembali ke bangkunya.

Saat bel pertanda pulang sekolah berbunyi, kami pulang dalam keadaan hening. Aku berharap grup Line kami akan penuh perbincangan soal Pak Subadi, tetapi seisi grup rupanya hening. Hingga malam larut aku menahan diri untuk tak menelepon teman sebangkuku, untuk bertanya apa yang ia rasakan saat berdiri di samping Pak Subadi; saat esok paginya kami berjumpa di kelas pun aku masih menahan diri untuk tak bertanya—entah karena apa.

Di gudang aula olah raga, di pagi yang sama setelah jam penjaskes, sesudah aku melakukan ritual rahasia setiap minggu bersama Pak Johan, padanya aku bertanya soal Pak Subadi yang hidup kembali. Guru yang setahun lalu baru lulus kuliah dan mengajar di SMA ini pun menjilat bibirnya yang penuh liur, sebelum ia menjawab, “Itu hanya hal besar yang terlalu kecil kepentingannya untuk dipusingkan. Bukan begitu, Cantik?” Ketika aku bertanya kenapa, ia lanjut menjawab, “Sebab kita dikutuk untuk belajar selamanya—sebusuk apa pun prosesnya.” Dan ia kembali membawaku ke jeratan sepasang lengan yang sekeras daging babi beku.

Pada Rabu siang Pak Subadi memasuki kelas dengan tas hitam yang panjang, sepertinya itu tas stik golf, dan ia mengatakan akan mengadakan ulangan mendadak, dan kuyakin hanya teman sebangkuku yang bisa menjawab ulangan—sebab secara ajaib ia pintar tanpa sering belajar. Dan, kupikir mendapat nilai buruk di kelas seorang guru yang pernah mati taklah elok sama sekali. Maka sesudah lembaran soal dibagikan dan Pak Subadi keluar ke toilet, aku mencontek jawaban teman sebangkuku, murid-murid lainnya pun mulai mengerumuninya—kami mencontek secara cepat berhubung jumlah soal hanya dua butir.  Kira-kira tiga puluh menit kemudian, Pak Subadi kembali; ia meminta kami mengumpulkan lembar jawaban di mejanya. Namun tak ada yang mau mengumpulkan lembar jawaban di meja seorang guru yang pernah bunuh diri. Refleks aku meletakkan lembar jawabanku di atas lembar jawaban teman sebangkuku, murid-murid di depan dan belakang kami lalu melakukan hal serupa, sebelum pelan-pelan para murid lainnya melakukan hal yang sama, dan teman sebangkuku sekali lagi berjalan di atas seutas spageti mendekati Pak Subadi.

Dan inilah awal mula aku merasakan pertanda kejadian tak menyenangkan kedua di kelas kami di bulan itu: “Harap tenang sebentar, saya akan memeriksa jawaban kalian satu per satu secara cepat.”

Kami menunduk. Kami yakin jawaban kami sama semua. Kami tak mau melihat dahi Pak Subadi yang mengerut. Aku bahkan menutup telinga, berjaga-jaga agar tak mendengar napasnya, jika ia mulai menarik-embuskan napas cepat-cepat karena menahan marah. Suara dari kelas-kelas lainnya juga menghilang, seakan seisi sekolah sedang duduk sambil menunduk. Decit poros kipas angin mulai menembus tanganku yang menutup telinga, seakan kipas itu berputar lebih cepat dengan sendirinya. Dan terdengarlah bunyi klik! yang dengan cepat disambung klak!

Aku menoleh ke depan kelas.

Kami menoleh ke depan kelas.

Pak Subadi telah berdiri dengan senapan mesin ringan siaga. Tatapannya nyalang. Ia mulai menembaki kami ....

Dan keesokannya kami bersekolah seperti biasa. Masih ada kejadian-kejadian tak menyenangkan lainnya yang menunggu kami. Baik itu di bulan yang sama, maupun di bulan-bulan berikutnya—dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya. Kami merasa aneh—dan jangan kauminta kami menjelaskan perasaan aneh yang seperti apakah itu. Tetapi, kami berusaha bertingkah seolah tak ada yang aneh pada esok harinya—begitupun seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya.



*) Catatan: Cerpen ini dimuat di kurungbuka.com pada 16 April 2023.

Jumat, 03 Februari 2023

PETUALANGAN SI PENGHAPUS PUTIH -- Sebuah Dongeng


*Sumber Gambar: illustAC



Dalam himpitan pensil-pensil, Penghapus Putih berciuman dengan Penghapus Merah Muda, ketika tiba-tiba saja tutup kotak pensil terbuka: percakapan-percakapan serta cahaya lampu dari kelas 2B memasuki kotak tersebut, dan aroma stroberi Penghapus Merah Muda perlahan mengabur. Lalu, di atas mereka, Kiki si Pipi Berbintik-bintik menundukkan wajah. Kiki menggenggam kedua penghapus, telapak tangannya dingin dan berkeringat; sesaat kemudian telapak itu membuka, tepat di hadapan wajah seorang murid lelaki yang menggigit-gigit ujung tumpul sebatang pensil.

Ambillah salah satu, Ardo,” kata Kiki terbata-bata, wajahnya memerah. “Aku menyukaimu.”

Dengan senyum mencemooh, tanpa ucapan terima kasih atau apa pun, Ardo mengambil Penghapus Merah Muda. Penghapus Putih menjerit—jeritannya tak terdengar oleh manusia—dan murid lelaki itu melangkah dengan dada membusung menuju mejanya di sudut belakang kelas.

Bel sekolah berdering ....

 

***

 

Bu Guru berbicara di depan kelas seraya menulis angka-angka di papan dengan spidol berdecit tajam. Di meja, di dekat buku catatan Kiki yang masih kosong, Penghapus Putih menangis tersedu-sedu—tangisannya juga tak terdengar oleh manusia. Sementara itu, Kiki tersenyum-senyum ke arah Ardo yang menguap dan terhalang murid-murid lainnya—meja mereka terlalu jauh: meja terbelakang dan meja terdepan: benda tanpa tangan maupun kaki seperti penghapus tak akan bisa pergi ke meja paling belakang.

Tiba-tiba terdengar jeritan Penghapus Merah Muda, jauh dan nyaring. Dari sela-sela tubuh para murid, yang berjajar di antara meja terdepan-terbelakang, terlihat Ardo menusuk-nusuk Penghapus Merah Muda dengan ujung runcing pensilnyaPenghapus Putih pun berteriak, “Sayang!!!”—lalu murid lelaki itu terhalang tubuh para murid lain ....

Kiki masih tersenyum-senyum ke arah Ardo, sementara para murid mendadak menulisi buku catatan dengan cepat, bunyi garukan mata pensil ke kertas memenuhi ruangan. Sekali lagi, terdengar jeritan Penghapus Merah Muda. Dan, saat Ardo kembali terlihat, ia sedang menggesek-gesekkan penggaris besi ke Penghapus Merah Muda!

“Kiki, kau tidak mencatat?” kata Bu Guru mendadak.

Kiki refleks menggeser tangan untuk menulis di buku catatan; sikunya mengayun dan menghantam Penghapus Putih hingga terjatuh ke lantai.

 

***

 

Penghapus Putih meluncur tepat ke samping kaki meja, dan terpental ke bawah meja, ke hadapan sepatu Kiki yang beraroma lembap. Dan, di ujung sepatu gadis itu, berdirilah seorang gadis lain yang seukuran Penghapus Putih, ujung kupingnya lancip, gaun serta rambutnya merah muda, dan membawa pensil yang pas di genggamannya.

“Selamat berpetualang, Pahlawan,” kata Gadis Merah Muda, mengayunkan pensil dan bola cahaya merah muda menyala di ujung runcingnya.

Bola cahaya itu melesat ke Penghapus Putih dan meledak, semuanya seketika begitu menyilaukan dan panas dan dingin dan panas dan dingin lagi dan, ketika cahaya menyilaukan mereda, sepasang tangan dan kaki telah tumbuh di tubuh Penghapus Putih. Penghapus itu terperangah. Sepasang tangan dan kaki tersebut berwarna serupa tubuhnya; ia pun berdiri dan melompat-lompat di tempat dan berlari berputar-putar—semua terasa normal, seakan sedari dulu ia telah memiliki sepasang tangan dan kaki.

Penghapus Putih memandang ke sudut belakang kelas, melewati kaki-kaki meja dan kaki-kaki para murid: kaki Ardo sedang tak bergerak sama sekali. Bu Guru menyuruh para murid membuka halaman selanjutnya, dan dari atas sana terdengar puluhan lembar kertas dibalik bersama-sama, dan jeritan Penghapus Merah Muda tak lagi berlanjut. Mungkin Ardo sedang diam. Mungkin Ardo sedang tertidur di tengah jam pelajaran. Mungkin sekaranglah kesempatan emas untuk menolong Penghapus Merah Muda!

Tapi, mungkin juga Penghapus Merah Muda sudah ....

Penghapus Putih berlari, berlari, berlari, melewati kaki-kaki yang tenang yang mengetuk-ngetuk lantai yang berayun-ayun hampir mementalkannya—dan tibalah ia di hadapan kaki meja Ardo. Murid lelaki itu mendengkur lemah. Penghapus Putih mengatur napas dan mendongak: meja itu tinggi, tinggi sekali—dan seperti dalam dongeng-dongeng yang Bu Guru ceritakan di kelas sewaktu Kiki masih kelas 1: para pangeran harus menggapai puncak menara atau tempat tinggi apa pun untuk menyelamatkan sang putri.

Para murid lain kembali mencatat dengan cepat. Penghapus Putih mengeretakkan jari-jarinya, memeluk kaki meja Ardo—rentangan tangannya hanya meliputi setengah dari lebar kaki meja—dan memanjatinya.

 

***

 

Penghapus Putih tiba di atas meja. Tak terlihat Penghapus Merah Muda, kecuali remah-remah tubuhnya. Selain itu hanya ada Ardo, yang meletakkan wajah di halaman buku catatan bergambar gedung-gedung tinggi, liurnya membasahi puncak salah satu gedung. Di samping buku catatan, terdapat kotak pensil besi berbentuk mobil; dari dalamnya terdengarlah samar-samar tangisan.

Penghapus Putih melangkah tanpa suara menuju kotak pensil. Tubuh kotak pensil membelah secara horizontal di bagian tengah, membelah pintu mobil menjadi dua bagian sama rata, dan ke celah belahan itu Penghapus Putih menyelipkan jari-jarinya. Ia mengerahkan seluruh tenaga untuk membuka tutup kotak pensil. Jari-jari dan pergelangan tangannya memanas. Tutup kotak sedikit terangkat. Ia mengambil jeda sesaat, menarik napas panjang, dan mengerahkan seluruh tenaga lagi—dan tahu-tahu ia melayang: Ardo mengangkatnya dengan jepitan jempol dan telunjuk, lalu mengarahkannya ke hadapan wajahnya.

Mulut itu mengeluarkan aroma serupa orang berserdawa, meski Ardo sedang tak berserdawa. Dengan tangan yang bebas, lelaki itu mengucek-ngucek mata; tatapannya penuh tanda tanya. Dengan ujung telunjuk, ia menyentuh-nyentuh sepasang tangan dan kaki Penghapus Putih, sehati-hati menyentuh sesuatu yang menyengat. Situasi aman—sejauh ini.

Dan mendadak Ardo mengentakkan tangan kanan Penghapus Putih. Tangan itu sontak memanjang. Kulit lengan dan apa pun di baliknya memanas. Tangannya akan terputus. Ia menjerit.

“Ardo,” kata Bu Guru. “Jawab soal nomor tiga di papan. Itu lebih baik untuk menghilangkan kantukmu ketimbang mencuci muka.”

Para murid lain tertawa. Ardo membuka kotak pensil, memasukkan Penghapus Putih ke sana, dan menutupnya segera. Gelap. Langkah-langkah Ardo terdengar menjauh.

 

***

 

“Sayang … kaukah di sana …?”

Suara itu begitu dekat. Tapi tak terlihat siapa yang berbicara. Tak terlihat apa pun. Penghapus Putih melangkah cepat di atas pensil-pensil berdempet. Aroma stroberi itu semakin dekat, begitu dekat. Dan, ia melompat memeluk penghapus Penghapus Merah Muda! Ia pun menarik napas sedalam-dalamnya, menghirup aroma stroberi sedalam-dalamnya, dan menciuminya.

Tapi, ada sesuatu yang tak lagi sama. Penghapus Putih meraba tubuh Penghapus Merah Muda: berlubang-lubang. Lalu ia mengelus bagian atasnya: terpotong penggaris besi di bagian sudut.

“Aku akan mengeluarkanmu dari sini, Sayang.”

Penghapus Putih menyelipkan jari-jarinya ke celah belahan tutup kotak pensil, mengangkatnya sekuat-kuatnya, tutup kotak berdecit, dan perlahan-lahan cahaya lampu serta kalimat Bu Guru menyusup masuk. Satu ayunan lengan kuat: akhirnya tutup kotak pensil terbuka sempurna.

Ia akan membopong Penghapus Merah Muda, dan melompat ke lantai, dan berlari melewati kaki demi kaki para murid—entah untuk kembali ke kotak pensil Kiki ataukah tidak. Tentu ia akan memungut penjepit kertas di dekat kakinya kini, barangkali ada sesuatu yang harus dilawan. Ia akan menjadi pahlawan bagi Penghapus Merah Muda, bagi sang putri.

Pikirannya buyar: Ardo kembali duduk ke kursinya. Murid lelaki itu menyipit menatap kotak pensilnya yang terbuka. Penghapus Putih menggendong Penghapus Merah Muda dengan tangan kiri dan memungut penjepit kertas dengan tangan kanan. Mata Ardo melebar, tak percaya akan apa yang ia lihat. Sesaat ia menoleh ke depan kelas, memastikan Bu Guru masih fokus mengajar; diam-diam tangannya mengangkat penggaris besi, kedua penghapus terpantul di sana.

Penghapus Putih mengeratkan pegangan pada Penghapus Merah Muda dan penjepit kertas. Jika dalam kondisi sekarang ia melompat keluar membawa Penghapus Merah Muda, lalu Ardo mengayunkan penggaris besi, kemungkinannya untuk menghindar sangatlah kecil. Kemungkinan Penghapus Merah Muda terluka lagi sangatlah besar.

Ia harus menghadapinya sendiri.

Penghapus Putih pun meletakkan Penghapus Merah Muda kembali, dan hanya dengan penjepit kertas ia melompat keluar dari kotak pensil dan berlari ke titik tengah meja. Ardo mengayunkan penggaris besi secara menyamping—swushhh!—Penghapus Putih berguling menghindar. Napas Ardo tertahan. Dan, seperti hendak membelah meja menjadi dua, Ardo mengangkat penggaris besinya tinggi-tinggi. Penghapus Putih mengeratkan genggaman pada penjepit kertas.

“Lari, Sayang!” pekik Penghapus Merah Muda dari kotak pensil.

Dan Ardo mengayunkan penggaris—stakkk!—Penghapus Putih menangkisnya. Mata penggaris tersangkut di celah penjepit kertas.

Mata Ardo nyalang. Dahinya mulai berkeringat. Urat-urat bertonjolan di tangannya yang gemetar. Ia mengangkat penggarisnya, dan Penghapus Putih terangkat bersama penjepit kertas yang masih menggigit mata penggaris. Kini penghapus itu bergelantungan tepat di depan mata Ardo; mulut sang murid menganga, bau busuknya menjerat.

Sekaranglah waktunya!

Penghapus Putih mengayun-ayunkan tubuh, melontarkan diri ke mulut Ardo—membuat murid itu tersedak.

Ardo terbatuk-batuk keras. Seisi kelas menoleh padanya. Ia ingin muntah, tetapi muntahan tak kunjung keluar, pasti terhalang penghapus itu.

“Ardo …” ucap Bu Guru, “kau butuh ke toilet …?”

Ardo menarik napas sekuat tenaga: tak bisa. Ia pun berlari keluar kelas. Air mata mengaburkan pandangannya. Dan, di tangga, kakinya tergelincir. Tubuhnya terguling. Kepalanya menghantam-hantam anak-anak tangga. Begitu mendarat, Ardo terbatuk keras, lebih keras dari sebelumnya, hingga muntahan dan Penghapus Putih terlontar ke permukaan beton pelapis tanah. Murid itu pun pingsan; muntahan meresap ke celah-celah beton.

Penghapus Putih bersorak penuh kemenangan.

 

***

 

Muncullah si Gadis Merah Muda di atas hidung Ardo. Ia mencengkeram ujung hidung lelaki itu, menariknya sambil mengerang, dan berhasil mencabut bola cahaya merah tua. Kemudian, dengan bola cahaya tersebut, Gadis Merah Muda menghilang begitu saja.

Para guru dan murid berkerumun, menunduk di atas tubuh Ardo. Di antara mereka adalah Kiki si Pipi Berbintik-bintik, matanya merah dan basah. Ia pun memungut Penghapus Putih, telapak tangannya dingin dan berkeringat.



*) Catatan: Dongeng ini dimuat di Magrib.id pada Desember 2022.