Jumat, 23 Juli 2021

YANG JATUH CINTA, YANG MATI DUA KALI -- Sebuah Cerpen

*Ilustrasi oleh: Gigin Hilal Ahmadi


Setiap orang yang jatuh cinta menempuh jalan tololnya masing-masing, dan tak jarang jalan tolol itu begitu intim dengan jalan maut seperti sepasang kekasih, yang sehari lalu baru melaksanakan persetubuhan pertama mereka di hotel bintang lima setengah, dan jalan tolol semacam itulah ditempuh oleh kawanku Surya—di kebanyakan waktu rautnya seperti orang yang beberapa detik lalu menelan sianida. Di draf pertama cerita ini ia hanya kutulis S, tetapi ingatanku atas segala ketololannya, yang membuatku gemas untuk membelah tengkoraknya, membuatku tak mau repot-repot menggunakan inisial; aku tak mau menjaga kehormatannya terlalu tinggi. Jalan tolol yang ia tempuh adalah mati dua kali.

Serius. Surya mati dua kali, secara harfiah. Yang pertama, ia mendonorkan jantung kepada wanita yang dicintainya—tapi tak kunjung mencintainya balik; yang kedua, ia menggantung diri di kamar indekosnya setelah gagal memenggal kepala di rel kereta, karena sang masinis lumayan gesit dalam mengerem, atau lumayan jahat karena enggan membantainya. 

Sejak merantau ke kota ini, aku tinggal di sebuah rumah indekos dengan kamar yang kebetulan bersebelahan dengannya, dan kebetulan pula kami berkuliah di kampus dan jurusan yang sama; hal-hal ini tentu membuat kami cepat sekali dekat, atau setidaknya begitu yang kurasa. Sebagai orang yang dekat dengannya, aku tak pernah menemukan hal-hal ganjil padanya; semua hal di hidupnya tampak normal-normal saja, tidak di atas pun di bawah, dari segi finansial, kondisi fisik, kemampuan belajar di kampus, kemampuan menenggak bir dalam semalam, apa pun lainnya, sampai pada suatu hari yang biasa-biasa saja ia berkata padaku, “Kau pernah jatuh cinta?” dengan raut muka begitu tolol, seakan ia mendapati kenyataan bahwa selama ini jawaban yang benar dari satu ditambah satu adalah seribu. Dan, dengan sedikit ketajaman dalam membaca raut muka, aku langsung melempar kesimpulan, “Kau sedang jatuh cinta,” dan Surya mengangguk dengan raut semakin tolol.

Selanjutnya jelas aku bertanya pada siapakah ia jatuh cinta, di hadapan jempol kaki siapakah otaknya mengerut sebesar kacang, dan ia membalas, “Sebuah pulau rahasia akan tetap cantik jika tak dihuni seorang pun, atau maksimal satu orang—sejarah membuktikan begitu.” Penggunaan metafora—yang tak tepat-tepat amat—demikian sama sekali bukan gaya bicara Surya; jelas ia telah berubah dari makanan menjadi tahi, dan di titik inilah aku yakin seribu empat puluh enam persen: ia tak main-main dalam jatuh cinta. Aku lalu mengatakan bahwa aku tak akan jatuh cinta pada perempuan itu jika mengenalnya, toh selera kami soal perempuan bisa jadi tak ada samanya, dan kalaupun turut jatuh cinta aku tak akan berusaha melangkahi Surya sebagai teman—meski ia mendadak tolol. “Malah,” sambungku, “barangkali aku bisa menyatukan kalian, serekat tikus dan Lem Cap Gajah.” Sayangnya, Surya menggeleng.

Keengganan Surya untuk tak memberitahuku soal perempuan tersebut pun membuatku enggan bersenggolan dengan kisah percintaannya; hal ini kusampaikan padanya secara lisan dan jelas—tanpa metafora apa pun, sungguh—dan ia mengangguk, dan kupikir itu tandanya ia mengerti betul maksudku. Tetapi sehari kemudian, sekitar pukul sepuluh malam, saat gerimis menggaruk-garuk kaca jendela kamar, ia menggedor-gedor pintu kamarku; ia panik betul umpama dikejar iblis yang gigih mengajaknya berlibur ke neraka, dan aku yang tadinya ingin segera tidur karena demam langsung saja menyambutnya, dengan ekspresi yang menunjukkan betapa ingin aku melubangi perutnya, sebelum mengencingi lambungnya.

“Besok ia ulang tahun!” Surya berseru, dengan nada bicara yang cocok dipakai untuk membawakan kalimat, “Dokter memvonisku mati besok!”

“Dan kau bingung ingin memberinya hadiah apa, bukan?” balasku. Sebelum ia mengangguk—ia pasti hendak mengangguk—aku menyambung, “Kirimkan foto kemaluanmu ke WhatsApp-nya. Semua perempuan suka itu.” Dan aku membanting pintu di depannya, dan aku lanjut berusaha untuk tidur.

Kira-kira sejam kemudian, aku tercerabut dari mimpi yang ganjil—aku lupa apa isi mimpiku—berkat terdengarnya tangisan dari kamar sebelah; kuharap Surya tak memercayai ucapanku mentah-mentah, seharusnya tak ada manusia yang bisa setolol itu. Semoga saja ia menangis hanya sebab masalah remeh, seperti tak tahu bagaimana cara memasak udang goreng tepung tanpa tepung apa pun; tetapi segeralah terjawab bahwa ia menangis bukan sebab hal remeh, terbukti dari suara tangisnya yang terdengar mendekat, sebelum pintu kamarku digedor-gedor lebih keras ketimbang sebelumnya. Kupikir ia akan merebut nyawaku, jadi aku tak membukakannya pintu, sambil menunggunya menyerah dan kembali ke kamar, atau menunggu para penghuni indekos lainnya terbangun dan menghajarnya beramai-ramai. Namun, bukannya para penghuni lain membuatnya tumbang, ia berhasil menumbangkan pintu kamarku dengan satu tendangan, tendangan yang tak kutahu ia miliki, lebih-lebih ia berbadan sekurus mata obeng terkikis asam, dan aku langsung meringkuk, dengan punggung menempel ke dinding yang dingin. Dengan cepat ia menjambakku, dan ia melemparku ke dinding seringan melempar segenggam kacang pilus, dan ia menginjak-injak perutku ketika aku tergeletak di lantai, dan aku memuntahkan seluruh makan malamku. Rasanya aku hendak memuntahkan usus dan lambungku juga, untung saja Surya mendadak berhenti dan pergi, untung saja terjadi satu pergeseran emosi yang signifikan padanya. Dan, tak ada juga seorang penghuni indekos pun yang datang menolong. Aku akhirnya ketiduran di lantai, di titik itu juga, karena tak sanggup untuk sekadar menyeret tubuh ke kasur.

Keesokan paginya, aku dibangunkan suara ketukan palu dan mendapati Surya sedang memasang kembali pintu kamarku, tanpa sekali pun melirik atau bicara padaku—aku pun tak berusaha bicara padanya—dan seusai urusan itu ia langsung kembali ke kamarnya. Setelahnya barulah aku berani bangkit. Entah kenapa, aku merasa Surya akan menghajarku lagi semisal aku berani bangkit di hadapannya.

Aku meliburkan diri hari itu karena tubuhku luar biasa sakit, akar kacang-kacangan menembus kulitku, terutama pada bagian perut, bahkan untuk menelan makanan padat saat sarapan pun aku tak mampu, seakan yang kutelan adalah kulit durian. Bocah tolol, aku tak akan membiarkan ia membuatku bersenggolan sedikit pun dengan kisah percintaannya lagi.

Dan memang Surya tak berusaha melakukan hal itu lagi padaku; pasalnya ia tak keluar dari kamarnya hingga sekitar seminggu kemudian, atau hampir tak pernah keluar selama itu, terbukti dari terus adanya sepatu dan sandalnya di rak di depan pintu kamarnya. Tentu teman-teman sekampus menanyaiku soal kabarnya, yang selalu kubalas dengan mengaku tak tahu, agar aku tak diberi tugas untuk menjenguknya di kamar pun sekadar mengetuk pintunya, sebab memori tentang serangan-serangan mematikannya menggilas nyaliku. Di masa itulah aku iseng mencari tahu—tak lebih—soal sang perempuan misterius, yang Surya cintai tiga per empat mampus, dengan bertanya ke teman-teman sekampus, tetapi rupanya sama sekali tak ada yang tahu.

Meski tak mengalami kerugian apa-apa, tanpa kemunculan Surya minggu itu aku merasakan perasaan ganjil: bukan kesepian, rindu, atau apa pun, melainkan entah apa. Dan, ini memang aneh, sepanjang minggi itu, tiap malam, tiap lampu kamar kupadamkan—sehingga sumber cahaya satu-satunya hanyalah lampu-lampu jalan di balik jendela—aku jadi sering membayangkan sesosok hantu menyembulkan wajah dari dinding kamarku, dinding yang memisahkan kamarku dan Surya, sesosok hantu yang mirip dengan temanku itu. Saban aku membayangkan sang hantu, aku selalu merasa kamarku menggelap, lampu-lampu jalan di luar meredup, dan udara dari pendingin ruangan semakin menjadi dinginnya, udara dingin memarut-marut kulitku secara keji.

 

***

 

Pada Senin pagi yang agak cerah, kudapati selembar surat di lantai dekat pintu kamarku; seseorang pasti memasukkannya lewat celah bawah pintu ketika aku masih tertidur. Rupanya itu adalah surat dari Surya, ia menuliskan permintaan maaf dan mengabarkan bahwa subuh tadi ia berangkat ke rumah sakit, yang tak disebutkan nama pun alamatnya, karena perempuan yang dicintainya menderita suatu penyakit langka mematikan, yang tak juga disebutkan nama pun detail lainnya, dan Surya akan mendonorkan jantung untuknya. Itulah kematian pertama si Otak Kacang, membuatku terduduk di lantai dan menangis sesenggukan, lantas aku buru-buru berangkat ke kampus, menunjukkan surat tersebut kepada teman-temanku, lalu mereka menyampaikan kabar duka itu ke teman-teman yang lain, sehingga sore di hari yang sama, di lapangan kampus yang mendadak dihampiri gerimis dan angin kencang, kami melakukan upacara kematian kecil-kecilan, masing-masing membawa sebatang lilin yang terus-menerus gagal kami nyalakan.

Malamnya, untuk kesekian kali aku membayangkan hantu itu menyembulkan wajah dari dinding, untung saja sebagai hantu ia tak seram sama sekali; bagaimanapun aku malah jadi bertanya-tanya sendiri, mungkinkah hantu itu bukan sekadar bayangan di kepalaku lagi?

 

***

 

Soal bagaimana bisa Surya hidup kembali, jangan tanya padaku. Pokoknya, dua hari setelah upacara kematian kecil-kecilan untuknya, ketika aku baru saja akan berangkat ke kampus, tiba-tiba Surya mengetuk pintu kamarku. Sejenak kami bertukar pandang dengan pandangan khas orang tolol, sebelum ia buru-buru menunduk. Ketika itulah aku menyadari masing-masing tangannya memegang sebotol bir, salah satunya langsung ia sodorkan padaku; di tubuh botol tersebut, menutupi mereknya, tertempel selembar sticky note biru cerah dengan tulisan Maaf.

“Kamarmu belum dianggap kosong,” ucapku, sembari menerima sebotol bir darinya. “Aku belum memberi tahu si Pemilik Indekos apa pun. Yang ia tahu hanyalah kau masih sesegar kecambah—ia tak tahu kecambah itu telah dicabut seorang wanita.”

Aku duduk di tepi kasur, membuka tutup botol bir dengan gigi, dan melemparkan isyarat berbunyi masuklah, Bajingan kepada Surya, dan ia pun masuk, menutup pintu, duduk di lantai dekat pintu, sebelum membuka tutup botol bir dengan cara yang sama. Ketika aku menenggak bir, aku terkejut oleh rasa bir yang begitu nyata, sehingga aku sadar bahwa aku sedang tak bermimpi, dan aku terbatuk-batuk memuncratkan bir, dan melemparkan botolnya ke arah Surya, dan lelaki itu cepat menghindar, botol pun hancur menabrak dinding.

“Goblok! Kau pikir leluconmu lucu?!”

“Apa?” sahutnya gemetar, seraya berdiri perlahan, dan sesaat ia mematung, mencerna kalimatku yang tak rumit-rumit amat. Kemudian ia mendekat, meraih tanganku dengan satu gerakan cepat, dan meletakkannya di dada kirinya, sedetik, dua detik, tiga detik, lima detik, sepuluh detik .... Tak ada yang berdetak di sana ....

“Kau tak akan mau melihat bekas jahitannya. Mungkin kau juga menyesal karena telah meraba bekasnya.

“Jadi … kau ini apa?” tanyaku, terbata-bata.

“Aku masih manusia biasa. Hanya saja, berdasarkan organ dalam, aku agak tak biasa.”

 

***

 

Singkat cerita, kehidupan kedua Surya begitu singkat, satu setengah hari pun tak sampai, sebab akhirnya ia menyadari: bangkit dari kematian adalah jalan tertotol dari variasi jalan tolol yang ditempuh orang jatuh cinta.

Kata Surya, perempuan itu akhirnya menikah dengan lelaki lain. Di kamar rumah sakit tempat ia dirawat, upacara pernikahan kecil-kecilan—dengan pria berusia empat puluhan sebagai pasangannya—sedang diselenggarakan ketika Surya datang ke sana, dalam rangka menagih balasan cinta untuk jantungnya, dan kawanku itu langsung pergi menghampiri rel kereta terdekat, dan ia melakukan percobaan bunuh diri yang gagal. “Sekarang, aku tak berselera mendonorkan apa pun padanya. Upil pun tidak.”

“Ia pun tak berselera untuk menerima.” Ingin sekali kubalas begitu, untung saja aku tak jahat-jahat amat. Sebagai gantinya, aku mengajaknya bercakap-cakap soal cinta dari sisi yang agak filosofis, dengan tambahan sedikit kutipan inspiratif yang kucomot dari sebuah novel porno.

Percakapan kami hari itu diakhiri dengan Surya yang mendadak menjambakku, dan melemparku ke dinding, dan menginjak-injak perutku, entah atas motivasi apa, sampai sekarang pun tak terjawab; kuduga ia sekadar butuh pelampiasan atas kemalangan kehidupan keduanya.

Keesokan paginya, saat hendak pergi ke kampus, saat melewati pintu kamarnya yang terbuka lebar, kulihat ia telah mati gantung diri di dalam sana, di dahinya tertempel sticky note biru cerah dengan sebuah tulisan, yang untuk membacanya aku mesti mendekati mayatnya. Kirimkan foto mayatku ke pemilik jantungku—ini nomor ponselnya: 08xxxxxxxxxx. Semua perempuan suka itu. Sialan, sebelum mati untuk kedua kali pun ia masih sempat memamerkan ketololannya. Semoga ia tak jatuh cinta pada siapa pun di akhirat.


*) Cerpen ini dimuat di Nongkrong.co pada 5 Juli 2021.