Kamis, 20 Juli 2017

SEPOTONG KUE DAN SEORANG PEMBUNUH -- Sebuah Cerpen





Kedua manusia itu sungguh lucu. Maksudku, si Ibu dan si Anak. Di meja makan, terdapat sepotong kue. Dan, mereka saling mengalah untuk tidak memakannya.
            
Kelucuan itu bermula dari dirayakannya ulang tahun si Bapak—tiga hari yang lalu—dengan sebuah kue yang dipotong menjadi enam bagian sama besar—jadi, si Ibu, si Anak, dan si Bapak masing-masing mendapat jatah dua potong kue.
            
Sebelum berangkat ke kantor, si Bapak telah menghabiskan seluruh kue jatahnya. Si Anak pun demikian sebelum berangkat ke sekolah. Tetapi, si Ibu hanya memakan satu potong untuk sarapan, sementara sisanya, rencananya, akan ia makan nanti malam—agar ia tak perlu makan nasi; agar program dietnya berhasil.
            
Sepulangnya si Anak dari sekolah, ia mendapati sisa kue jatah si Ibu ketika membuka lemari es. Si Ibu, di saat yang sama, mendapati si Anak sedang menatapi kue jatahnya di lemari es, dengan raut wajah yang menunjukkan bahwa ia sangat ingin memakannya. Kemudian si Anak menutup lemari es dan berusaha untuk melupakan kue itu; bila ia memakannya, ia berpikir bahwa dirinya begitu jahat kepada si Ibu. Sementara itu, si Ibu berpikir bahwa dirinya begitu berdosa jika tak menyerahkan sepotong kue jatahnya kepada si Anak yang tampak begitu menginginkannya.

***

Usai makan malam tanpa si Bapak—yang rupanya lembur hari itu—si Ibu mengeluarkanku dari lemari es. “Makanlah,” ucapnya seraya meletakkanku di hadapan si Anak. “Tinggal satu potong lagi. Nanggung.
            
“Tapi ini bukan jatahku,” balas si Anak, pura-pura kurang senang. “Bukankah Ibu baru makan sepotong?”
            
“Tapi potongan terakhir ini untukmu.”
            
“Tidak. Ini buat Ibu saja.” Si Anak merasa tergelitik oleh kebohongan dirinya sendiri.
            
Si Ibu terdiam sejenak. Ia enggan merasa berdosa; karena itu, ia akhirnya berkata, “Kalau begitu, biar Bapak yang memakan ini. Bukankah orang yang berulang tahun berhak mendapat jatah lebih?”
            
Bapak tidak mungkin menolak jika ditawari potongan terakhir ini, batin si Anak. Otaknya lalu berputar cepat.
            
“Berarti, kue ini harus menunggu lama, kan, Bu? Apa kue ini tidak keburu rusak?”
            
“Seharusnya, sih, tidak jika disimpan di lemari es.”
            
Otak si Anak berputar cepat lagi.
            
“Bu, bagaimana kalau kue ini kita bagi jadi dua, lalu kita habiskan bersama?” Walaupun sedikit jahat, setidaknya aku tidak jahat-jahat amat terhadap Ibu.
            
“Tidak ada bagian untuk Bapak?”
            
“Kalau dibagi tiga, Bu, pasti jadinya akan sangat kecil. Bukankah kita jadi tidak enak terhadap Bapak jika cuma memberinya bagian yang sangat kecil, sehingga terkesan kita membagikan ampas saja?”
            
Tapi aku akan tetap merasa berdosa kalau mengambil setengah dari keinginan anakku. “Kalau begitu, kau bagi sepotong kue ini dengan Bapak saja.”

***

Pada pagi sepulangnya aku dari kantor—setelah semalam lembur—kudapati istri dan anakku duduk berhadap-hadapan di meja makan, dengan sepotong kue—kue ulang tahunku!—di antara mereka.
            
I’m home!” ucapku sambil duduk di meja makan.
            
Mereka diam. Mereka diam. Seperti tak menyadari kehadiranku di sini.
            
“Kalian sudah selesai sarapan?” ucapku lagi.
            
Mereka diam. Mereka diam. Seperti tak menyadari bahwa ada suara yang memasuki lubang telinga mereka.
            
“Hei! Kenapa kalian seperti patung?”
            
Mereka diam. Mereka diam.
            
Baru kusadari, cream di sepotong kue itu sudah lumer—menjadi seperti kuah di piring—layaknya sudah berjam-jam dibiarkan tidak di dalam lemari es.
            
“Kalau kalian tidak berminat dengan sepotong kue itu, boleh aku memakannya?”
            
Mereka diam. Mereka diam.
            
Ah! Kenapa baru kusadari sekarang?! Mereka pasti seperti itu karena ingin memberikanku kejutan lagi!
            
“Baiklah,” kataku, pura-pura kesal. “Kalau kalian tidak mau bicara padaku, aku akan diam di kamar dan tidur saja.”

***

Sebangunnya aku pada pukul 3 sore, kudapati istri dan anakku masih duduk di meja makan, berhadap-hadapan, saling diam. Kejutan macam apa yang akan mereka persembahkan untukku? pikirku.

Ah, tidak mungkin mereka bertahan dengan posisi seperti itu lebih dari satu jam! Sebelumnya, pasti mereka dapat bergerak, hanya saja kembali ke posisi itu ketika mendengar suara aku yang terbangun. Tapi, kuakui niat mereka yang besar. (Pakaian yang melekat di tubuh mereka pun masih sama seperti yang mereka kenakan ketika aku baru pulang dari kantor.)
            
Sepotong kue itu masih berada di meja makan, di antara mereka.
            
“Aku mandi dulu,” ucapku, pura-pura tak memedulikan apa yang mereka berdua perbuat.

***

Istri dan anakku sudah tak berada di meja makan lagi sekeluarnya aku dari kamar mandi. Mereka menghilang entah ke mana—kemungkinan besar mereka nanti akan muncul dari titik yang tidak terduga untuk mengejutkanku, mungkin sambil meneriakkan, “Kejutan kedua!!!”
            
Dan, sepotong kue itu masih berada di sana. Seperti tadi. Hanya saja cream-nya tidak lagi menjadi kuah di piring. Cream-nya telah kembali melapisi tubuh kue itu, seakan kue tersebut baru beberapa detik berada di luar lemari es.
            
Setelah meletakkan handuk di jemuran, aku duduk di meja makan, menghadap sepotong kue itu.
            
“Aku makan kuenya, ya!” ucapku dengan lantang.
            
Tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku pun melangkah ke kamarku, meraih ponselku yang berbunyi, menatap layarnya selama beberapa detik—Ah! Kekasihku menelepon! Ia pasti mengajakku bertengkar lagi!—memutuskan panggilan, mematikan ponsel, dan kembali ke hadapan sepotong kue itu.
            
Aku pun memakan kue itu. Aku pun memakan kue itu.
            
Aku pun muntah di tempat. Aku pun muntah di tempat.
            
“Hei! Apa yang telah kalian campurkan ke kue ini?!” teriakku pada anak dan istriku yang entah di mana. “Ini tidak lucu, tahu!”

Sekonyong-konyong ingatlah aku akan rasa menjijikkan macam apa yang bersemayam di sepotong kue itu.
            
“Jangan kalian mengerjaiku seperti ini!” aku berteriak lagi kepada anak dan istriku—aku begitu marah. “Sudah bagus aku mengizinkan kalian untuk bergentayangan di sini! Sudah bagus pula aku masih menganggap kalian berdua sebagai bagian dari keluargaku!”
            
Tak ada jawaban dari siapa pun. Tak ada jawaban dari siapa pun.

            
Mudah-mudahan, pacarku yang sekarang tak perlu bernasib seperti anak dan istriku hanya gara-gara kami bertengkar. (Mudah-mudahan pula aku sanggup mengendalikan diri kali ini.) Sebab, aku tak ingin merasakan busuk darahnya di kue ulang tahunku tahun depan!



*) Cerpen ini dimuat di Bali Post edisi 16 Juli 2017.

Kamis, 13 Juli 2017

KISAH-KISAH DARI NEGERI MURAM -- Sebuah Cerpen


*Ilustrasi: IB Pandit Parastu


/1/ Oh, Jaden
Seorang pria bernama Jaden terjun dari atap sebuah gedung tujuh lantai. Selama di udara, wajahnya menghadap ke bawah, ke arah orang-orang yang menyaksikan dirinya melompat dari atap gedung itu.
“Jangan bunuh diri, Tuan!” teriak seseorang di bawah sana.
“Masih ada banyak wanita lain di dunia ini!” teriak yang lain—ia menyangka bahwa Jaden berbuat senekat itu karena patah hati.
Orang yang menduga bahwa Jaden berlaku demikian karena masalah utang pun berteriak, “Aku akan memberikan kau uang, berapa pun, untuk melunasi seluruh utangmu!”
Ketiga teriakan itu tentu saja percuma karena baru muncul ketika Jaden sudah terjun, alih-alih sebelumnya.
Sementara seorang wanita sintal sedang merekam peristiwa itu dengan kamera telepon genggamnya, seorang pria tambun memosisikan dirinya tepat di bawah Jaden—berpatok pada letak bayangan—hendak menangkapnya, atau setidaknya lemak di badan tambunnya itu bisa menjadi semitrampolin.
Orang-orang yang lain hanya menjerit-jerit di tempat. Jangankan bergerak, berkalimat pun mereka tak mampu karena saking terkejutnya melihat Jaden terjun dari atap gedung itu.
Menurut perhitungan Jaden, satu setengah detik lagi tubuhnya bakal menghantam bumi. Ah, bukan! Yang benar adalah menghantam pria bertubuh tambun itu! Tapi, menghantam apa pun tubuhnya, bukanlah masalah buat Jaden sebab apa yang dilakukannya itu—melompat dari atap gedung tujuh lantai—hanyalah khayalan. Namun, reaksi orang-orang di bawah sana adalah sesuatu yang nyata ….
/2/ Sebutir Bom
Wanita itu berpikir bahwa saya telah menanam “bibit” di rahimnya. Padahal, saya menanam sebutir bom. Meski daya ledaknya tidaklah seberapa, setidaknya ledakan itu pasti dapat membunuh si Pemilik Rahim.
Mungkin Anda bertanya-tanya bagaimana bisa saya menanam sebutir bom di rahimnya. Jikalau benar demikian, maka akan saya jawab secara singkat: Segalanya bermodalkan sebuah puisi cinta, suasana kamar hotel yang mendukung, dan kasih sayang—palsu saja—yang terpancar dari kedua bola mata saya.
Sekitar satu menit lagi, bom itu akan meledak ….
***
Pria itu berpikir bahwa dirinya telah berhasil menanam sebutir bom di rahim saya. Tapi, ia salah besar. Saya tidak mempunyai rahim. Bahkan saya tidak mempunyai vagina. Tapi saya mempunyai otak dan jiwa untuk menikmati puisi cinta yang dibacakannya, suasana kamar hotel yang dipesannya untuk kami, dan kasih sayang—entah asli atau palsu—yang terpancar dari kedua bola matanya.
Sebutir bom itu sesungguhnya hanya ada di dalam pikirannya. Dan, sekitar satu menit lagi, bom tersebut akan meledak ….
/3/ Wanita yang Menari di Bulan
Malam itu, orang-orang di Negeri Muram—mungkin juga di seluruh belahan Bumi—dikejutkan oleh keberadaan seorang wanita yang menari di bulan. Terlihat jelas wanita itu mengenakan gaun merah yang mewah, bertelanjang kaki, berambut panjang, berkulit putih, dan … begitu cantik.
“Astaga! Kalau ia turun kemari, aku akan langsung melamarnya!” seru seorang pria sembari memotret wanita itu dengan kamera DSLR-nya yang berlensa tele.
“Kalau aku, sih, tidak akan melamarnya,” sahut pria yang lain, “meskipun dia cantik sekali.”
“Ah, berarti kau bodoh sekali!”
“Bukan begitu, Kawan! Apa kau yakin bahwa kau mau menikah dengan wanita yang bertubuh sebesar itu?”
“Bertubuh sebesar itu?”
“Ya! Dari Bumi saja ia sudah terlihat sedemikian jelas. Bukankah itu berarti ukuran tubuhnya luar biasa besar?”
“Hmmm … benar juga.”
Bukan hanya kedua pria itu, seluruh pria di Negeri Muram—mungkin juga di seluruh belahan Bumi—pun dihinggapi oleh rasa kagum yang serupa karena kecantikan paras dan tarian wanita itu. Maka, para kekasih dan para istri pun cemburu, walaupun mereka juga terkagum-kagum pada wanita yang sama.
Karena saking cemburunya, ada seorang wanita jenius yang memutuskan untuk terbang ke bulan malam itu juga dengan Pesawat Super-nya. Kecepatan Pesawat Super amatlah luar biasa sehingga si Wanita Jenius sampai di bulan hanya dalam waktu beberapa menit. Ketika mendarat di bulan, si Wanita Jenius segera membacok wanita penari yang ukuran tubuhnya luar biasa besar itu hingga tewas.
Barangkali sebab mewujudnya karma, atau sekadar kesialan, wanita jenius itu tak bisa kembali ke Bumi. Bahan bakar Pesawat Super-nya ternyata sudah habis! Kemudian, si Wanita Jenius pun menari di bulan, berharap kecantikan paras dan tariannya bakal membuat orang-orang, terutama para pria, terkagum-kagum, sehingga, mudah-mudahan, ada wanita pencemburu lain yang segera pergi ke bulan untuk membunuhnya. Tapi tentu saja si Wanita Jenius akan membunuh wanita pencemburu yang lain itu terlebih dahulu—“Semoga saja bisa,” doanya—sehingga ia bisa mencuri pesawatnya, lantas kembali ke Bumi—itu pun kalau bahan bakar pesawat milik wanita pencemburu yang lain itu mencukupi. Sayangnya, ukuran tubuh si Wanita Jenius begitu “kecil” sehingga ia tak terlihat dari Bumi, tak menarik perhatian siapa pun apalagi membuat orang-orang kagum. Apa yang orang-orang di Negeri Muram—mungkin juga di seluruh belahan Bumi—lihat di bulan hanyalah mayat wanita penari—yang tergeletak bersimbah darah—itu.
/4/ Pembunuh Bayaran dan Puisi
Dari sekian pembunuh bayaran yang pernah saya bayar untuk membunuh para pesaing bisnis, pembunuh bayaran yang satu itulah yang paling unik: ia meminta puisi, bertemakan apa saja, sebagai bayaran atas jasanya. Satu nyawa, satu puisi. Puisi yang bagus, tentu saja, dan mesti buatan saya sendiri.
Awalnya saya tak tahu siapa nama pembunuh bayaran itu sebab ia enggan memberi tahu, dan saya pun sebetulnya tak pernah ingin tahu. Tapi saya benar-benar ingin tahu kenapa ia meminta puisi sebagai bayarannya alih-alih sekoper-uang sebagaimana yang diminta oleh pembunuh bayaran lainnya.
“Uang tak seberharga puisi,” jelasnya. “Toh, kalau nanti saya butuh uang, saya bisa mengirimkan puisi-puisi dari Anda ke redaksi media massa agar dimuat, lantas mendapatkan honor.”
Saya ingin berkata, “Bagaimana kalau puisi-puisi itu tidak dimuat?” namun saya urungkan karena saya yakin bahwa puisi-puisi buatan saya pasti dimuat—sebab memang bagus. Kemudian, saya ingin berkata, “Bukankah honor dari media massa tidaklah sebanyak sekoper-uang?” tetapi saya urungkan pula karena takutnya pembunuh bayaran itu “berpikir ulang”. Akhirnya, saya memutuskan untuk diam saja sebagai tanggapan atas penjelasannya.
Berhubung menulis puisi adalah hobi saya, saya pun memutuskan untuk menjadi pelanggan tetap pembunuh bayaran itu. (Penghematan yang saya lakukan sungguhlah luar biasa!)
***
Setahun kemudian, pembunuh bayaran itu menerbitkan sebuah antologi puisi berjudul Kisah-kisah dari Negeri Muram. Puisi-puisi di dalamnya adalah puisi-puisi buatan saya yang saya berikan kepadanya sebagai bayaran. Saya hadir di acara peluncuran antologi puisi itu karena ia mengundang saya. Di acara itu, saya pun membeli—bukan meminta!—antologi puisinya dan meminta tanda tangannya di halaman terdepan. (Oh ya, dari sampul antologi puisi itu, saya jadi tahu siapa namanya: Jaden Bonay. Entah itu nama asli atau nama pena.)
“Ini semua berkat Anda,” bisik Jaden Bonay pada saya sembari menandatangani antologi puisinya yang saya beli.
Saya lantas tertawa kecil dan berbisik juga, “Berkat kau, bisnis saya jadi semakin hebat. Oh ya, sekalipun antologi puisimu sudah terbit, kau tetap mau, kan, melakukan pekerjaan itu untuk saya?”
Jaden Bonay mengangguk.
Saya tersenyum.
***
Satu setengah tahun kemudian, bisnis saya hancur total! Kau tidak perlu tahu apa penyebabnya karena saya tidak ingin memberitahukannya kepada siapa-siapa. Jaden Bonay pun mendadak lenyap dari kehidupan saya. (Siapakah pelanggannya sekarang?)
Dua bulan setelah kehancuran bisnis saya, saya resmi kehilangan segala harta benda saya—kecuali pakaian yang saya kenakan—karena masalah-yang-menghancurkan-bisnis-saya itu rupanya sekali lagi “menyerang”. Dan, jadilah saya seorang pengemis yang tinggal di kolong jembatan.
Satu bulan setelah saya menjadi seorang pengemis yang tinggal di kolong jembatan, saya mendadak didera oleh penyesalan yang amat berat karena pernah membayar seorang pembunuh bayaran dengan puisi-puisi karya saya. Kau tahu kenapa? Karena—saya ketahui dari kabar yang tersiar di mana-mana—Jaden Bonay mendapatkan Penghargaan Utama di Bidang Sastra dari penguasa Negeri Muram berkat antologi puisinya yang berjudul Kisah-kisah dari Negeri Muram! Dan, dengan penghargaan itu, seluruh biaya hidupnya akan ditanggung oleh negeri ini sampai akhir napasnya!


*) Cerpen ini dimuat di Tatkala.co pada tanggal 9 Juli 2017.