Jumat, 09 Desember 2016

LAGU BUKAN UNTUK AYAH

Negara tanpa Kepala -- Lukisan Bismar Siagian
(sumber: Nusantaranews.co)


Lagu Bukan untuk Ayah
ayah adalah seekor burung
ketika kematian tak jadi urung
aku adalah laras senapan—
selaras menembak luka yang tak mapan
(Jakarta, 2016)


Sang Nakhoda dan Teka-Tekinya
/1/
kepala dan leher: terpasang sempurna. dan kapal pun menginjak
dermaga sore ini. kau masih duduk di lambung itu, memasangkan
tangan dengan belati, kaki dengan kalimat “ibu berlari di tempat”.
sang nakhoda kemudian turun—kakinya merindu pasir pantai
dan aroma sosis bakar yang membakar para pengunjung pantai.
/2/
“laut mencintai orang yang tenggelam dalam darah bahasa,”
katamu. “laut selalu jatuh cinta pada orang yang giat
menanam rindu pada cahaya dan mata yang dirundung
gelap.”
memasangkan lambung dengan asam: berhenti! ada puisi
yang menyeberang ruang. akan selesai besok: menyatukan
lidah dengan bahasa dengan keingintahuan dangkal
sang nakhoda.
/3/
dermaga itu palsu. dan pulau itu palsu. sang nakhoda tak
memerlukan peta barang selembar. sebab ia pun lupa
meminjam mata dari laut—lupa meminjam asa dari kau
yang perlahan palsu.
(Jakarta, 2016)


Pelajaran Memasak
/1/
menulis tentang dapur. memasak diri kau di buku harian
yang kuning. yang sepi.
teko lalu bersiul. seekor burung mendidih (meniru kubangan
darah di cahya batokmu). perlahan-lahan tungku yang panas
itu menggigil, mengingin tangan kau menyentuh abu dan
aroma aneh di pipinya yang keras.
/2/
ibu akan meminjam luka dari tetangga sebelah.
tetangga sebelah akan menjadi batu, dan geligi ibu berubah
menjadi lagu yang lugu.
ibu pun memasak kau di dapur kenangan. dan kau memasak
lagu ibu hari ini—di buku harian yang kuning.
yang sepi.
(Jakarta, 2016)


Para Pemeran Sejarah
di balik meja, ada nama-nama
yang memangkas data.
tak ada bahasa yang sedang
bergurau
ketika kata-kata perlahan
berkarat.
“hei! ada perhitunganku yang
tertera di sepanjang garis
lehermu!”
ya, sesederhana itu.
kata-katamu sesederhana yang
akan lahir pun mati,
atau yang tak akan pernah lahir
tapi sudah mati terlebih dahulu.
“kau seperti kata-kata.”
“tapi aku keluar di sela-sela
percintaanmu.”
kelak akan lahir nama-nama yang
lebih sederhana,
hangat,
dan mudah dipahami.
mungkin mereka bukan
terdiri dari
kata-kata.
mungkin mereka tak akan
tercatat di satu pun
data.
tapi mereka adalah
para pemeran sejarah.
sesederhana itu.
(Jakarta, 2016)


*) Catatan: Puisi-puisi ini dimuat di Nusantaranews.co pada tanggal 4 Desember 2016.