Sabtu, 17 September 2016

NOR DOMAT -- Sebuah Cerpen




Seluruh penduduk Desa Polepa kini merasakan buah dari selalu absennya mereka dalam bersembahyang: menyebarnya berbagai penyakit mematikan—yang tak bisa ditangani oleh mantri terbaik sekalipun—dan kegagalan panen bertubi-tubi. Padahal, sudah sedari lama seorang pria tua bernama Nor Domat mengingatkan seluruh penduduk Desa Polepa, dengan mendatangi rumah mereka satu per satu, untuk tidak lupa bersembahyang, sebab bisa-bisa Tuhan kecewa, lantas menjatuhkan kesengsaraan ke Desa Polepa. Namun yang Nor Domat peroleh adalah pengusiran demi pengusiran sebab peringatan darinya dianggap omong kosong. Semua orang Polepa yang pada miskin itu merasa lebih baik bekerja untuk mencari uang ketimbang buang-buang waktu untuk bersembahyang. (Sesungguhnya, dulu mereka pada rajin bersembahyang. Tapi karena mereka tetap saja miskin meski sudah bersembahyang berkali-kali, mereka pun tak lagi sudi bersembahyang.)
            
Berkat kesengsaraan yang kini menghujan, Nor Domat mendapatkan kepercayaan dari para penduduk Desa Polepa; terbukti dengan datangnya mereka—beramai-ramai—ke rumah pria tua itu demi meminta solusi atas segala masalah yang menimpa.
            
“Sudah kuingatkan sedari dulu untuk jangan lupa bersembahyang!” bentak Nor Domat. “Tapi kalian malah mengusirku dan menganggap peringatanku sebagai omong kosong!”
            
“Tolonglah kami! Kami menyesal! Mulai sekarang, kami akan selalu mendengarkan nasihat-nasihatmu!”
            
Sebab kesakithatian—buah dari pengusiran-pengusiran yang dulu diperolehnya—itu masih bersemayam di hati Nor Domat, tetapi ia ingin membantu para penduduk Desa Polepa, ia pun berkata, “Ikuti saja segala hal yang kulakukan!” kemudian menutup pintu dengan keras di hadapan mereka.

***

Keesokan harinya, salah seorang penduduk Desa Polepa dikirim untuk mengamati-secara-diam-diam segala kegiatan Nor Domat di dalam rumahnya—melalui jendela, lubang udara, dan lain-lain—seharian penuh, dan mencatat kegiatan-kegiatan itu sedetail mungkin di sebuah buku catatan. Ya, sedetail mungkin! Mulai dari seberapa sering Nor Domat bersembahyang, bagaimana sikapnya saat bersembahyang, bahkan hingga bagaimana cara ia membersihkan pantatnya seusai buang air besar! Sesungguhnya, Nor Domat tahu bahwa dirinya diamati-secara-diam-diam seharian penuh, tetapi ia memilih untuk pura-pura tidak tahu.
            
Di hari-hari tertentu kala Nor Domat pergi ke sebuah hutan untuk bermeditasi, ada pula seorang penduduk Desa Polepa yang dikirim untuk mengamatinya-secara-diam-diam—tentu saja orang Polepa itu membawa sebuah buku catatan dan alat tulis.
            
Akhirnya, tercatatlah segala kegiatan Nor Domat selama satu minggu penuh. Catatan itu pun segera diperbanyak, kemudian disebarkan ke seluruh penduduk Desa Polepa yang sudah bisa membaca. Dan, satu hari setelah catatan yang diperbanyak itu disebar, para penduduk Desa Polepa mulai melakukan segala hal yang Nor Domat lakukan.

***

Ketika Nor Domat tiba di hutan itu buat bermeditasi, sungguhlah terkejut dirinya sebab mendapati para penduduk Desa Polepa telah berkumpul di sana untuk bermeditasi pula.
            
Ketenangan yang biasa didapatnya saat bermeditasi pun tak lagi ada karena sebagian besar penduduk Desa Polepa yang berada di hutan itu tidak bisa fokus selama bermeditasi, lalu pada krasak-krusuk. Nor Domat memutuskan untuk menganggap ketidaktenangan itu sebagai tantangan dalam bermeditasi. Sayangnya, ia gagal menaklukkan tantangan itu dan merasa geram karenanya.
            
Sebab kejadian semacam itu terulang-ulang terus di kemudian hari, terulang-ulang terus pula kegagalan Nor Domat dalam mengatasinya, ia pun bertekad untuk merusak kepercayaan para penduduk Desa Polepa terhadap dirinya.

***

Suatu hari, seorang gadis mengatakan bahwa dirinya diperkosa oleh Nor Domat. Alih-alih bersedih dan merasa ternodai, gadis itu malah bahagia sebab merasa telah dikaruniai. Padahal, Nor Domat melakukan pemerkosaan itu agar dirinya dianggap tak baik oleh para penduduk Desa Polepa dan kehilangan kepercayaan mereka. Kalau kepercayaan itu sudah hilang, tentu saja mereka tak akan mengikuti segala kegiatannya lagi—Yang terpenting dari semuanya, aku akan mendapatkan ketenanganku kembali saat bermeditasi, pikir Nor Domat.
            
Ketika berita itu telah menyebar di sekujur Desa Polepa, terjadilah apa yang disebut “kawin massal”—itu hanya terjadi pada orang-orang yang alat reproduksinya sudah berfungsi. Apa yang ada di pikiran mereka adalah Tuhan, melalui Nor Domat, mengisyaratkan bahwa orang-orang Polepa harus segera melanjutkan keturunan dikarenakan sudah banyak yang mati berkat berbagai penyakit mematikan yang menyebar. Dan, kepercayaan mereka terhadap Nor Domat tidaklah lenyap sama sekali.
            
Nor Domat hanya bisa mendesah kecewa begitu mengetahui usahanya gagal. Tapi itu baru usaha pertama, batinnya.
            
Keesokan harinya, seseorang mengumumkan, “Nor Domat telah membunuh seorang pria di pasar!” Kebetulan sekali, pria yang dibunuh oleh Nor Domat itu adalah seorang preman. Apa yang para penduduk Desa Polepa pikirkan adalah Tuhan, melalui Nor Domat lagi, mengisyaratkan bahwa para preman yang telah membikin resah mesti dimusnahkan karena dosa mereka terlampau banyak. Maka, beberapa saat setelah berita tentang pembunuhan-yang-dilakukan-Nor Domat itu menyebar di sekujur Desa Polepa, preman-preman di desa itu pun pada dibantai oleh orang-orang yang selama ini merasa diresahkan.

***

Sehari setelah pembantaian terhadap preman-preman itu, seseorang menemukan mayat Nor Domat mengambang di danau.
            
Tak ada yang tahu bahwa pada hari ketika para preman dibantai, saudara kembar preman-yang-Nor Domat-bunuh-di pasar berhasil masuk ke kediaman Nor Domat secara sembunyi-sembunyi—setelah berhasil menyelamatkan diri dari pembantaian itu—lantas, dari belakang, mencekik pria tua itu hingga tewas. Selanjutnya, secara sembunyi-sembunyi pula, ia menyeret-membuang jasad Nor Domat ke danau, lalu melarikan diri entah ke mana.
            
Para penduduk Desa Polepa berpikir bahwa kematian Nor Domat adalah sebuah isyarat dari Tuhan. Yang Mahabesar menganggap dosa-dosa seluruh orang Polepa sudah terlampau banyak dan tak dapat diampuni lagi, sehingga sebaiknya mereka mati saja sebelum semakin banyak menciptakan dosa di dunia ini.
            
Maka, apa yang terjadi kemudian adalah …



*) Cerpen ini dimuat di Rakyat Sumbar pada Sabtu, 17 September 2016.
**) Cerpen ini terinspirasi dari cerpen "Nini Sang Pengoceh" karya Moch Satrio Welang dan "Dodolitdodolitdodolibret" karya Seno Gumira Ajidarma.