Minggu, 13 Agustus 2017

ROMAN HUTAN dan puisi-puisi lainnya


*Foto: Dokumentasi Pribadi




Roman Hutan

gigi pun menguning
dan usia mengerak
di batang-batang pohon

lidah pun kerontang
dan perjalanan
cuma akar-akar mati

ludah pun surut
dan ombak di pangkal jantung
menjadi basah lumut

ciuman-ciuman kita yang rawan:
ketersesatan di tengah kemungkinan
terbesar

(Denpasar, 2016)



Menonton Film dari Langit

kita hujan kini di antara bulan dan bualan.
kita barisan awan lusa:
petani-petani yang menanam kemungkinan
di ladang yang tak ada mungkin.
kita tambatan bagi ajal yang terlambat
datang ke sekolah. kita hambatan
bagi bahasa yang tak tahu bagaimana
cara menjadi dahaga.
kita hujan kini di antara bulan dan bualan.
kita barisan awan lusa:
menyaksikan dua pasukan berkuda emas
saling membunuh untuk ketidakmungkinan.

(Denpasar, 2016)



Mobil Tua yang Resah

di samping mobil tua yang resah:
anjing berjongkok,
katak berjongkok,
lelaki berjongkok (dan membakar
rokok)

di dalam mobil tua yang resah:
sejarah dan ingatan
bertengkar hebat—membikin riuh
di antara gedung-gedung
yang sedang dibangun dan tak akan
jadi

di kediaman pemilik mobil tua yang resah:
“tidak. kita bukan rahasia
yang sia-sia. sebab,
tersisalah cuma musim yang
amnesia.”

(Denpasar, 2016)



Petualangan Diego di Akhir Puisi

selagi lukanya basah, diego mencari remah-remah
keyakinan yang rontok di sepanjang jalur

selagi dukanya basah, diego mencatat ulang
jasa-jasanya yang lupa dicatat zaman


(Denpasar, 2016)



*) Puisi-puisi ini dimuat di Litera pada tanggal 12 Agustus 2017.

Kamis, 03 Agustus 2017

MENCICIPI KEMATIAN dan puisi-puisi lainnya

*Foto: Dokumentasi Pribadi




Mencicipi Kematian

ia resah dan sekarat di musim
senjakala

ia tidur dan kerontang di lembah
dada

ketika maut tinggal sejengkal di hadapannya,
ia menjelma sebagai doa terkhusyuk
dan puisi terbusuk

kehidupannya masygul saja:
handai tolan penjenguk
mengingatkan ia pada gereja tua
yang pernah dibakarnya

*
ia rasa sesal sebelum maut
ia rasa sesal sesudah orang-orang berjubah putih
yang misterius itu mengambil
atmanya dari peti duniawi

padahal, kematiannya sekadar harap
menuju moksa

namun surga yang dirindukannya
terbakar oleh puisi—seperti gereja tua itu

(Denpasar, 2016)


Air Digital

yang kering pun mengalir
di kerontang dahi pemuja.

peluk-kecup tanah menjadi kantuk selir
dewa hujan: memandang yang kau dengar

sebagai anak-anak panah.


(Jakarta, 2016)


Kepada Kelamin

dalam puisi ini
seorang wanita telanjang memandang
kelamin langit
dengan ngeri: di sebuah negeri
ia menjadi jauh dan begitu sangit.
tapi bukankah perang yang
menghancur kelaminnya
adalah sengit-jerit terlampau panjang?

(Jakarta, 2016)


Perihal Doa buat Besok

jendela dan jam dinding
di kamarmu
masih sibuk mencuri waktu

(kau pun masih sangsi mengeram waktu
dengan selapis lelap
dan punggung yang disepuh busuk mani
: gula-gula doa.)

(Jakarta, 2016)


Percayalah, Ini Soal Kau

sejak kutahu kau merokok sajak
aku ingin menjadi api
            yang membakar paru-parumu

sejak kutahu kau pemabuk sajak
aku ingin menjadi belati
            yang berancang-ancang di lidahmu

sejak kutahu kau onani membayang sajak
aku ingin menjadi bibir
            yang mengecup getah kesumatmu

(Jakarta, 2016)



*) Puisi-puisi ini dimuat di Palembang Ekspres edisi 3 Agustus 2017.