Minggu, 02 Oktober 2022

PEMBUNUH DAN CINTA YANG BERBAHAYA -- Sebuah Cerpen

*Sumber Gambar: Pixabay



Ia guru baru di SMA-ku, dan ia membuatku tergila-gila padanya, dan ia seorang pembunuh. Murid-murid memanggilnya Bu Cinta, dan aku memanggilnya Cinta, dan ialah yang mengajariku membunuh. Aku tak menyesal telah membunuh: itu caraku menunjukkan cintaku padanya; ia ingin aku menunjukkannya dengan cara begitu. Lagipula, murid yang kubunuh memang layak dibunuh: ia tak pernah belajar di sekolah, ia selalu memaksaku memberi contekan saban ulangan, dan orang tuanya kini tak perlu membayar SPP untuk hal sia-sia.

Umurnya 26 tahun ketika ia mulai mengajar di SMA-ku, di kelas agama. Waktu itu sudah pertengahan semester di kelas sebelas, dan Cinta menggantikan Bu Marni yang pensiun. Kelas pertamanya hanya berisi perkenalan, dan Cinta meminta beberapa murid menjelaskan apa-apa saja yang telah Bu Marni jelaskan di kelas. Selama dua jam pelajaran itu aku hanya bengong: kurang ajar, ia cantik sekali. Hari itu aku masa bodoh pada ayat-ayat kitab suci dan para malaikat apalagi Tuhan, aku hanya peduli pada bibir Cinta yang berkilau terpapar cahaya dari jendela, aku ingin melumatnya, melumatnya, dan melumatnya—aku tak peduli pada pintu neraka yang menganga di bawahku sebab berani berpikir begitu. Bibir Cinta terus tergambar dalam kepalaku, bahkan sampai malamnya, dan malam esoknya, dan malam esoknya lagi; aku tak sabar menunggu tibanya minggu depan, tibanya kelas agama yang selanjutnya; aku tak tahan pada sensasi hangat di bawah perutku tiap tengah malam, yang memaksaku berlari ke kamar mandi dan bla-bla-bla, dan sebagai penutup adegan-tengah-malam itu aku mendesah, “Oh, Tuhan ....”

Kelas agama selanjutnya pun tiba. Di hari itu pula Cinta melakukan pembunuhan pertamanya. Maksudku, yang pertama kulihat.

Cinta memakai baju batik serupa minggu lalu, dan hari itu aku baru sadar: mestinya aku tak hanya memperhatikan bibirnya; aku mesti memperhatikan seluruh tubuhnya, indah seperti kematian di mata orang-orang yang ingin bunuh diri—sekujur ototku sontak melemas. Para murid begitu hening selama ia menjelaskan materi pelajarannya, tidak sebagaimana di kelas Bu Marni maupun guru-guru lainnya. Ada yang berbeda dengan cara mengajarnya, yang membuat para murid menaruh minat pada kalimat-kalimatnya—atau mungkin semua hanya perasaanku, yang menghapus suara para murid dan mendengungkan suara Cinta dalam kepalaku. Dan yang berikutnya mendengung bukan hanya kalimat-kalimatnya: decit spidol saat ia menulis di papan; ketukan-ketukan hak sepatu di setiap langkahnya; gesekan punggung tangan pada dahinya yang sedikit berkeringat—semuanya berdengung begitu keras, kepalaku akan pecah!

“Bu Cinta!” tiba-tiba Arno berkata. Cinta berhenti menjelaskan materi. Semua menoleh padanya, ke bangku pojok-belakang, tempat dua badut di kelas kami duduk. Murid yang duduk sebangku dengannya, Robin, melipat bibir untuk menahan tawa. “Sebenarnya …” lanjut Arno, “dadamu bagus sekali!”

Seisi kelas terbahak-bahak. Arno dan Robin bahkan sampai memukul-mukul meja. Seisi kelas terbahak-bahak, kecuali aku dan Cinta. Mata Cinta: mata yang sedih dan marah. Dan ia hanya berdiri dan diam di depan kelas. Tawa para murid perlahan memelan, seperti volume radio yang diputar pelan-pelan sampai ke titik nol. Lalu hening. Cinta masih di posisinya semula. Dan ia berdeham.

“Saya perlu ke toilet. Sebentar saja.” Cinta keluar dari kelas.

Kelas harusnya berlangsung hingga satu setengah jam lagi. Namun Cinta tak kunjung kembali dari toilet hingga bel tanda jam istirahat berbunyi. Beberapa murid menyalahkan Arno karena membuat Cinta tak kembali ke kelas, tetapi lelaki itu hanya tertawa-tawa menanggapi mereka.

Aku ingin membunuh Arno.

***

Kadang aku merokok di toilet belakang sekolah setelah mata pelajaran terakhir. Itu adalah area paling sepi, toilet yang hampir tak pernah digunakan siapa pun, konon itu area terangker di sekolah, tapi kami—para murid perokok—tak peduli pada hantu apa pun. Hari itu—hari di mana Arno membuat Cinta enggan mengajar—aku menuju toilet belakang setelah memastikan area parkir guru mulai sepi. Lorong menuju area tersebut terletak di samping kantin, dan di lorong itu aku berpapasan dengan Cinta. Jantungku hampir meletus. Apalagi ia mengangguk singkat seraya tersenyum padaku. Aku tak membalas dengan cara apa pun, seketika aku lupa cara membalas anggukan singkat seseorang, dan Cinta keburu menghilang dari pandanganku. Aroma parfumnya masih tertinggal di lorong, kuhirup udara sebanyak-banyaknya, seakan dengan begitu kukurung Cinta dalam tubuhku.

Entah kenapa ada guru yang memakai toilet belakang; di sekolah ini ada toilet khusus guru; barangkali suasana hatinya yang buruk membuat ia tak ingin berjumpa siapa pun, dan toilet belakang adalah pilihan yang tepat.

Toilet belakang memiliki empat bilik, dan alih-alih berbau pesing, aroma asap rokok mengendap di sekujur ruangan. Satu pintu bilik tertutup: berarti satu murid sedang merokok. Tapi terkadang satu bilik berisi dua orang, sekadar agar ada teman bercakap.

Aku memasuki bilik di sebelahnya. Saat kukeluarkan rokok dari sakuku, aku baru sadar korekku telah lenyap. Jadi aku mengetuk dinding pemisah bilik dan kepada siapa pun yang ada di bilik sebelah aku meminjam korek. Namun, tak ada jawaban dari sebelah. Aku mengulang ketukan sekali lagi, lalu sekali lagi: tetap saja tak ada jawaban.

Aku keluar dari bilikku dan kutatap pintu bilik sebelah: pintu itu tak benar-benar tertutup, hanya tiga per empat tertutup rupanya: mungkin sebetulnya tak ada orang di sana; atau mungkin memang sempat ada orang dan ia sudah keluar ketika aku baru memasuki bilikku. Mungkin juga sampai sekarang masih ada orang di sana, tapi ia luar biasa pelit dan enggan meminjamkan koreknya. Aku mendorong pintu bilik pelan dengan ujung kakiku, sekadar memastikan ada atau tidak adanya orang di sana, dan aku menemukan mayat Arno.

***

Dalam mimpiku, Cinta mengoyak-ngoyak leher Arno dengan pisau lipat. Pintu bilik terbuka, maka aku bisa menyaksikan kematiannya dari luar bilik, meski sebagian besar pemandangan kematiannya terhalang punggung Cinta dan pinggulnya yang membuatku berdebar-debar. Tak lama kemudian sempurnalah kematian Arno. Cinta keluar dari bilik dan menutup pintunya, ia menghampiriku dan mendorongku hingga menabrak wastafel, ia melumat bibirku—dan alarm berbunyi: pukul lima pagi. Celana dalamku basah.

Aku tak tahu apa yang harus kulakukan begitu tiba di sekolah. Apa aku harus memberi tahu orang-orang bahwa Arno tewas di toilet belakang? Kemarin, setelah melihat mayatnya, aku tak menjerit maupun muntah maupun mencari orang lain. Aku bengong selama beberapa saat. Waktu aku hendak menutup kembali pintu bilik, aku refleks terdiam. Aku tak boleh menyentuh apa pun: aku tak perlu meninggalkan sidik jariku. Untung saja kugunakan ujung kaki untuk membuka pintu itu sebelumnya. Maka aku langsung pulang, tak ada siapa pun tersisa di sekolah, motor kupacu sekencang-kencangnya dan—“Percepat mandimu, hei!” teriak Ibu dari luar, dan aku baru sadar sedari tadi aku bengong di sini, aku segera mengguyur tubuhku dan mengambil handuk.

***

Beberapa polisi berbaris di depan gerbang sekolah, menghalangi dan membubarkan para murid yang hendak masuk. Beberapa wartawan merekam polisi-polisi tersebut; beberapa wartawan merekam para murid; tetapi kebanyakan mereka menyorot Pak Kepala Sekolah, yang dikelilingi para orang tua murid serta masing-masing anak mereka dan, kuyakin—meski aku tak bisa mendengar suaranya—sedang menjelaskan apa yang terjadi di dalam sekolah. Kuparkir motorku di pinggir jalan, aku menjijit di trotoar, aku mencari-cari keberadaan Cinta dari balik punggung para wartawan, di antara para murid dan/atau orang tua mereka yang datang dan pergi dan orang-orang acak yang ikut terjebak dalam kemacetan: ia tak tampak di mana pun.

Hari itu dan besok sekolahku diliburkan. Berita tentang kasus pembunuhan itu telah tersebar, begitupun tentang ritual keagamaan yang segera diselenggarakan di sekolah. Setiap wartawan hanya mampu menangkap gambar di depan sekolah—tidak ada yang berhasil masuk—dan nama Cinta tak sekali pun disebutkan.

***

Malamnya aku memimpikan Cinta lagi. Kami bercinta di atas tumpukan mayat, kami bercinta dengan beragam posisi, aku hanya melihat langit merah di sekeliling kami, dan aroma melati meruap dari mayat-mayat tersebut. Ini pertama kalinya ada bau dalam mimpiku. Celanaku basah ketika aku terbangun. Dan setelah selesai urusanku di kamar mandi, aku tak bisa tidur.

Tibalah pukul dua pagi, dan mataku masih terbuka; tangan Cinta seolah mencegah kelopak mataku menutup—toh, besok sekolahku masih libur, tak ada yang salah dengan begadang, aku hanya ingin Cinta pergi dari kepalaku! Saat itulah muncul sebuah ide untuk mencari Cinta di Facebook.

Aku membuka laptop. Aku hanya tahu nama panggilannya, ia belum pernah memperkenalkan nama lengkapnya, jadi aku hanya mengetik Cinta di kolom pencarian Facebook, dan nama klise demikian memunculkan terlalu banyak hasil pencarian. Aku terus memutar roda gulir pada tetikus, bunyi srrrrt-srrrt-srrrt bertubi membuat kupingku muak, kuperhatikan foto setiap pengguna nama Cinta yang lewat di layar, sepuluh menit sudah berlalu, akun-akun tanpa foto kulewatkan begitu saja semuanya, dan aku baru terpikir: Untuk apa seorang pembunuh membuat akun Facebook?

Untuk iseng, tentu saja—atau untuk bertingkah seolah ia manusia biasa, seperti kita semua yang mempunyai akun Facebook.

Aku lanjut memutar roda gulir. Jika dalam sepuluh menit lagi aku tak menemukan akunnya, aku akan menyerah. Tak perlu aku melakukan hal tolol ini lebih dari sepuluh menit lagi.

Dan tepat setelah kuucapkan tekad itu dalam hati, akun Cinta lewat di depan mataku. Cinta 123. Dan, ya, itu Cinta: foto profilnya memang Cinta—dan jelas itu ia! Ia berjongkok di samping batu nisan entah siapa, tersenyum, bunga-bunga segar mengelilingi nisan tersebut. Jumlah temannya mencapai seribu orang; aktivitas terakhirnya yang terpantau adalah tiga tahun lalu—yaitu mengganti foto profilnya—dan aku tak berani mengklik “Tambahkan Teman”. Dan, ia sedang online.

Tak ada yang salah dengan berselancar di internet pada pagi buta begini. Barangkali ia sedang tak bisa tidur, iseng memantau halaman Facebook mantan pacarnya, atau entah apalah—tak ada bukti bahwa ia berselancar di internet sambil bersenang-senang dengan mayat seseorang. Mungkin aku hanya perlu mengiriminya pesan.

Mungkin tidak usah.

Mungkin harus kucoba.

Aku mengetik Hai dan mengirim pesan padanya.

Kini jantungku hanya menggelantung pada seutas benang tipis, terayun-ayun kencang sebab berdetak terlalu keras—benang akan segera terputus, jantungku akan segera terjatuh, aku tak akan bisa menemukannya di mana punangin kencang membuat kaca jendela kamarku gemetar, lubang udara menghantar siulan yang ganjil—Cinta pasti membaca pesanku sekarang, dan mengamati foto profilku. Ia akan mengenaliku. Ia akan memperhatikanku di kelas selama jam pelajarannya. Ia akan mencatat namaku di daftar absensinya. Ia akan mengenaliku lebih dekat. Terlalu dekat. Mungkin ia akan langsung mengenaliku sebagai siswa yang berpapasan dengannya di lorong. Ia tak akan pernah melupakan wajahku sejak detik itu. Ia akan menyeretku ke bilik toilet belakang sekolah. Aku akan tamat.

Dan tiba-tiba masuk panggilan video darinya.

Sesaat seluruh isi-isian tubuhku larut dalam kekosongan, dimulai dari jantungku. Tubuhku kosong dan akan jatuh seperti baju di jemuran. Namun perlahan-lahan, nada panggilan yang terus bertahan itu menjadi tangan yang memungutku, mengembalikanku ke jemuran; tangan itu adalah sesuatu yang tak mampu kutolak.

***

Kau tidak perlu tahu apa yang kubicarakan pada pagi buta itu dengan Cinta. Yang perlu kau tahu hanya aku mencintainya, aku menyampaikan hal itu padanya, dan ia mengaku hampir mencintaiku—aku bisa menjadi orang yang benar-benar dicintainya, asalkan aku mampu memenuhi apa yang ia butuhkan. Maka esoknya Robin mati.

Aku tidak menyesali kematiannya. Ia hanyalah badut sebagaimana Arno, dan seperti yang kubilang di awal tadi: ia tak pernah belajar di sekolah, ia selalu memaksaku memberi contekan saban ulangan, dan orang tuanya kini tak perlu membayar SPP untuk hal sia-sia. Apa yang kusesali hanya usahaku yang kurang elegan untuk membantainya: aku menunggunya di pintu kelas, dan begitu bel tanda mata pelajaran pertama dimulai berbunyi, dan begitu Robin hendak memasuki kelas, kucegat ia dan kutusuk pipinya dengan pisau lipat dan kugorok lehernya.

Jika Cinta yang membunuh Robin, pasti kematian lelaki itu akan lebih misterius, akan lebih elegan. Aku terlalu tak sabar untuk membunuhnya, tepatnya aku terlalu tak sabar untuk jadi dicintai Cinta—padahal mungkin Cinta akan lebih mencintaiku jika kubunuh Robin dengan lebih elegan.

Tapi Cinta tak akan kecewa pada usaha pertamaku. Aku sudah sangat berani untuk mencoba. Seandainya kau tak menangkapku, aku akan pulang dan membuka laptop dan melakukan panggilan video dengannya, ia akan tersenyum manis mendengarkan ceritaku, aku akan meminta maaf karena melakukannya tidak dengan elegan, dan Cinta pasti berkata, “Tidak apa-apa, aku sudah mencintaimu.”




*) Catatan: Cerpen ini telah dimuat di Nongkrong.co pada 17 September 2022.