Senin, 21 Februari 2022

MAMA MENELEPON DARI NERAKA -- Sebuah Cerpen


*Ilustrasi oleh: Butet Kertaredjasa 


Peti jenazah Mama ditutup. Lalu aku keluar ke halaman rumah duka untuk menyulut rokok, meninggalkan para bibi dan paman yang tersedu-sedan di dalam; aku merenung soal dosa-dosa yang harus ditebus manusia di akhirat, dan tahu-tahu ponselku berdering: panggilan dari mamaku.

“Sayang …” ucapnya terbata, “Mama masuk neraka.”

Sudah kuduga. 


***


Mama layak masuk neraka. Mama pernah sengaja meninggalkanku di pasar, dan seorang pedagang lele berhasil membawaku kembali ke rumah pada esoknya, dan ketika Mama membuka pintu tatapannya berkata: Setan alas. Aku yakin lebih dari 80% ibu yang masuk neraka adalah tukang buang anak. Namun, bukan dosa itu yang ingin Mama tebus ketika ia meneleponku dari neraka.

“Kata iblis itu, Mama harus menebus tiga dosa terberat agar tak mendapat siksaan abadi—ia benar-benar berkata begitu,” jelasnya di telepon, ia tak pernah terdengar setakut itu. Entah suara berisik yang melatarbelakangi percakapan kami berasal dari mana: kendaraan-kendaraan yang melintas di depan gerbang rumah duka, atau instrumen-instrumen penyiksa di neraka. “Tentu tidak ada anak yang ingin mamanya mendapat siksaan abadi—bukan begitu, Sayang?”

“Luar biasa. Cuaca di neraka pasti membuat siapa pun ingat akan anaknya.”

Aku tak berminat menebus dosa Mama; aku pulang ke kota ini khusus untuk merayakan kematiannya. Aku mengulur-ulur percakapan dengannya, dengan mengingatkan dosa-dosa yang pernah ia perbuat padaku—tentu ia mengucapkan maaf bertubi-tubi—dan aku berharap dapat mendengar tubuhnya keburu dirobek instrumen penyiksa. Namun, aku tak bisa diam ketika ia berkata:

“Dosa pertama—dengarkan baik-baik. Mama dan papamu tak pernah bercerai. Ia berada di kebun belakang rumah kita—dari lima tahun lalu.”

 

***

 

Papa juga layak masuk neraka—tapi tak selayak Mama. Papa tak berbuat apa pun setiap Mama berbuat jahat padaku, baik ketika Mama menghajar ubun-ubunku dengan penggaris atau membuangku di pasar. Papa hanya peduli pada SPP sekolahku, dan itu tak menghentikan ketersiksaanku di rumah. Setidaknya, berkat SPP darinya, aku bisa mengejar cita-citaku: aku rajin belajar untuk mendapatkan beasiswa kuliah di luar kota, dan bekerja di luar kota setelah lulus, dan mempunyai alasan untuk tak pulang selama-lamanya—kecuali untuk merayakan kematian Mama. Mungkin Papa layak masuk neraka, tapi ia tak layak untuk kutemukan terkubur di kebun belakang—yang tersisa darinya hanyalah tulang-belulang.

Papa dikubur di bawah pohon mangga. Dengan dinding beton pembatas halaman, yang lebih tinggi sekitar 30cm dari kepalaku, tindakan Mama sangat mungkin dilakukan tanpa ketahuan. Dan dengan dibuangnya Papa oleh keluarganya sejak kawin-lari dengan mamaku, plus dengan jarangnya ia bergaul bersama para tetangga, sangat mungkin mayatnya tak diendus siapa pun selama bertahun-tahun.

Sekitar enam bulan setelah aku keluar kota, Mama mengirimiku SMS tentang perceraiannya. Aku tak peduli apa sebabnya; Mama layak ditinggalkan oleh semuanya. Harusnya aku lebih peduli pada perceraian Mama dan Papa: tak semua perceraian berujung pada lelaki dan perempuan yang tinggal di rumah berbeda; terkadang berujung pada mereka yang tinggal di alam berbeda.

Aku memakai sarung tangan, dan kumasukkan tulang-belulang Papa ke dalam tas gunung. Pada malam pukul sepuluh, seorang tetangga bertanya aku hendak pergi ke mana, ketika aku melintas di depan rumahnya, dan aku mengaku hendak mendaki untuk sekadar menghibur diri. Dan aku pun tiba di tempat pemakaman umum barang sejam kemudian, pemakaman di mana kedua orang tua Papa dikubur. Dan seperti fiksi kebanyakan, misi pertama berjalan mudah: aku menyogok si Penjaga Pemakaman sehingga ia bersedia menggali makam entah siapa, makam di samping kedua orang tua Papa, dan menumpuk tas gunungku di atas peti seseorang tersebut. Mama hanya meminta Papa dimakamkan di samping kedua orang tuanya—ia tak menyebutkan bagaimana seharusnya Papa dimakamkan.

“Sial. Aku akan masuk neraka ....” gumam si Penjaga Pemakaman setelah menutup kembali makam yang dibongkarnya. “Anak-anakku mungkin akan menanggung dosaku pula ....”

“Rileks. Malaikat mencatatmu sebagai penolong seekor tikus dari siksa abadi neraka.”

 

***

 

Aku menyulut rokok kedua. Aku sudah bertekad untuk tak merokok secara berantai; aku sempat batuk darah seminggu lalu; tapi mendengar dosa kedua Mama membuatku ingin merokok secara berantai.

Mama tak langsung menjawab ketika kutanya apa dosa berikutnya. Terdengar ia bernapas berat; kutahu dosa ini mestilah lebih berat. Bahkan saking beratnya, suara napas itu tak kalah dari pekik klakson truk besar yang lewat di depan rumah duka. Asap hitam dari knalpotnya memasuki gerbang dan seperti hantu terbang mendekatiku; aku terjebak dalam instrumen siksaan neraka, instrumen yang menyelipkan karet ban terbakar ke dalam paru-paruku. Aku hanya mengipaskan tangan di depan hidung, seolah berpindah tempat dapat membuat suara Mama menghilang selama-lamanya.

“Sebelum Papa tak ada …” akhirnya Mama menjawab, “ia berselingkuh dengan gadis SMP. Gadis itu sudah tamat SMP ketika Mama membalas dendam.”

 

***

 

Aku langsung menutup panggilan setelah Mama menjelaskan misi kedua. Menjalankan misi ini sama saja dengan melayakkan diriku untuk jatuh ke neraka. Tapi aku tak bisa menahan diri untuk tak datang ke rumah bocah selingkuhan papaku—aku hanya ingin melihat kondisinya sekarang.

Ia bocah yang baik, aku yakin begitu. Setiap bocah baik adalah bocah bernasib malang. Aku mengintipnya dari jendela di halaman belakang rumahnya pada pukul sebelas malam. Ia telentang di kasur, cahaya lampu tidur kekuningan membuatnya seperti berada di dalam perapian, dan ia tinggal menunggu maut. Selang medis menjulur dari mulutnya, tersambung ke kubus putih seperti mesin cuci dengan monitor komputer berdiri di atasnya, dan infus tersambung ke pergelangan tangannya. Aku berfirasat dulu ia gadis yang ceria, yang bermain ayunan di halaman belakang sembari merenungkan soal aljabar, dan papa-mamaku membuatnya serenta lidi di atas bara.

Papa berselingkuh dengan si Gadis SMP dan Mama memergoki mereka di hotel. Sekitar empat tahun kemudian Mama memberanikan diri mendatangi rumah ini, ketika hanya ada sang gadis yang sedang menonton TV sembari mengerjakan PR-nya, dan membenturkan kepala gadis mungil itu bertubi-tubi ke TV.

Mama memintaku membunuhnya. Bukan sebab Mama membencinya—meski benar ia masih membencinya—melainkan Mama harus menyelamatkannya dari maut yang menjilati tubuhnya tanpa membunuh.

“Lebih baik maut mendudukimu hingga remuk dan tewas, ketimbang sekadar menjilatimu sepanjang waktu,” ucap Mama. Aku tak tahu Mama bisa sedikit bijak.

Bagaimanapun aku tak berminat membunuhnya. Aku hanya akan memandanginya dari halaman belakang, dari bawah bayangan ayunan yang tergantung di dahan pohon mangga dan diayun-ayunkan udara. Cahaya pucat dari lampu di tepi kolam ikan membuat pantulan wajahku di jendela seperti hantu pengintip yang mesum.

Aku tak ingin membunuhnya. Meski aku percaya ia harus mati secepat-cepatnya. Aku tak ingin membunuhnya, sampai seorang wanita memasuki kamarnya—mungkin ia ibunya—dan duduk di tepi kasur sembari menangis—sang anak sudah seperti ini selama setahun terakhir, ibu mana yang tak sedih kecuali mamaku?—dan tiba-tiba wanita itu menampar anaknya. “Bangun!” Ia menampar lagi. “Bangun!” Ia menampar lagi. “Bangun!” Dan itu terus berulang hingga kali kelima, dan sang anak tak kunjung terbangun.


Setelah tamparan kelima, sang ibu tersedu-sedan dan mengusap-usapkan tangan ke pangkuan. Kakiku gemetar dan serenta es setipis lidi; udara menyelipkan salju ke balik sepatu serta jaketku; keringat berlesatan dari dahi dan ketiak dan punggungku—sang ibu menampar gadis itu untuk keeenam dan ketujuh dan kedelapan kalinya.

Aku tak bisa diam. Ia harus mati secepat-cepatnya. Penamparan selanjutnya masih berlangsung. Aku memungut dua batu sekepalan tanganku dari tepi kolam, kulempar batu pertama hingga kaca jendela pecah dan sang ibu menoleh—segera kulempar batu kedua hingga menghantam dahinya dan ia pun tumbang. Lalu aku membakar tali ayunan, kuangkut dudukan ayunan kayu itu ke depan jendela, dengannya kubersihkan birai jendela hingga terbebas dari pecahan kaca, dan aku memasuki kamar tersebut, sang ibu pingsan, kuhantam bertubi-tubi kepala sang gadis dengan dudukan ayunan.

Ia anak yang baik. Beberapa anak yang baik lebih baik mati secepat-cepatnya.

 

***

 

Tak ada siapa pun di rumah ini selain mereka berdua, jadi aku membuka pancuran air di kamar mandi—aku tak mungkin kabur dengan baju dan tubuh berlumur darah. Air hangat mengucur; aku duduk menekuk lutut di lantai; tubuhku melepuh dan ruangan dipenuhi uap—aku duduk pasrah di bawah cuaca panas neraka.

Tiba-tiba ponselku berdering, kukeluarkan dari pakaianku yang menumpuk di sudut wastafel—sial: sejak kapan pakaianku jadi bersih dari cipratan darah? Aku segera merentangkannya di depan cermin dan membolak-baliknya—pakaianku benar-benar bersih dari cipratan darah ....

Ah, ponselku masih berdering. Aku menjawab panggilan. Mama menelepon lagi dari neraka—ia menjelaskan dosa terakhirnya yang mesti kutebus: inilah dosa paling berat ketimbang dua dosa sebelumnya ....

Malam itu aku tak pulang. Aku tak menunggu esok malam untuk menebus dosa ketiga; aku tak menunggu esok malam seperti saat menebus dosa pertama dan dosa kedua.

Aku berdiri di depan makam Mama. Bunga-bunga segar mengepung makamnya. Wanita jahat tak layak dikepung bunga-bunga yang segar. Aku menendang semuanya. Aku membuka celana dan berjongkok di makamnya. Aku tak menunggu esok malam untuk menebus dosa ketiga—aku tak berminat menebus dosa ketiga—Mama layak masuk neraka—Mama layak mendapat siksaan abadi. Aku berak di atas makamnya.



*) Cerpen ini dimuat di Kompas pada Minggu, 20 Februari 2022.