Sabtu, 06 April 2024

MENJUAL MAMA -- Sebuah Cerpen

*Sumber Ilustrasi: Pixabay



Mamaku berusia 40 tahun, jerawat pada dahi dan pipinya mirip bakso busuk berlumur darah, dan harusnya membuat pria mana pun berpaling—bagaimanapun aku akan menjualnya seharga empat juta Rupiah per malam.

“Deal!” Anton menjabat erat tanganku, dan kubayangkan seerat inilah kelak tangan beruratnya meremas bongkahan daging. Bibirnya gelap dan pecah-pecah dan basah, senyumnya menunjukkan betapa tak sabar ia menunggu malam besok tiba. “Pakailah satu juta untuk bersenang-senang. Satu juta lagi untuk deposito. Dan dua juta sisanya untuk membeli saham. Harga saham Bank Central sedang turun, kau tahu?”

Anton adalah teman sebangkuku di sekolah, kulit cokelatnya selalu lembap karena keringat, dan jejak keringat dari lengan bawahnya selalu tertinggal di meja. Aku benci ia karena badan gempalnya berbau celana dalam basah yang sedang dijemur—meski agak tertutupi aroma parfum khas pria-pria berjas—tapi di lain sisi aku menyukainya: ayahnya investor kaya, dan bakat bercinta dengan uang tampak jelas menurun padanya, dan, “Akan kuturunkan bakat itu padamu—kalau kau berminat.” Penawaran itu ia ajukan padaku saat jam istirahat di kantin, setelah paginya kuberi ia contekan ulangan agama. Ia menunjukkan iPad dengan layar penuh grafik harga saham, dan aku yakin di sanalah tergambar rahasia kekayaan para investor.

Aku menyetujui penawarannya: aku ingin menjadi kaya dan pergi jauh dari mamaku.

Sejak hari itu, sepulang sekolah kami kerap bertemu di warung makan dekat rumahku. Dinding warung penuh jamur dan pemiliknya tampak ingin bunuh diri di balik meja kasir saking sepi warungnya; dalam suasana ruangan depresif itulah Anton menguliahiku tentang investasi berbekal berbagai grafik dan tabel di layar iPad. Dan seminggu kemudian, berkat warung yang dikelilingi garis polisi sebab si Pemilik Warung menggorok leher sendiri, kuliah investasi dilaksanakan di ruang tamu rumahku dan di sanalah, untuk pertama kalinya, Anton melihat Mama.

Perkuliahan dari Anton selesai pada pukul setengah enam sore, bertepatan ketika Mama pulang dari kantor dengan kemeja putihnya, yang menguning di bagian ketiak dan menampakkan lipatan-lipatan lemak di perut. Mama hanya mengangguk singkat pada Anton seraya melewati sofa tempat kami duduk berdua, lalu menghilanglah ia di balik pintu kamarnya. Dan, setan alas, tatapan Anton tak kunjung lepas dari pintu kamar itu. Aku berkelakar, menyebut tatapannya mengesankan ia ingin memangsa Mama. Anton membalas, “Kata ayahku, orang kaya adalah orang yang tahu cara membuat sesuatu menjadi aset. Aku bisa mengajarkan jurus itu padamu—kalau kau berminat.”

Demikianlah prolog dari penawaran Anton untuk membeli Mama.

Tidak, aku bukan menjual Mama—menurut Anton begitu—melainkan menjadikannya aset, yang akan membantuku dalam berinvestasi secara rutin. Anton menjelaskan hal ini dengan ancang-ancang bergerak mundur, plus persiapan melindungi wajah dengan lengan, semisal aku tiba-tiba melayangkan telapak kaki tepat ke wajahnya. 

Tapi, aku malah tersenyum.


***


Mama lebih dulu menjadikanku aset. Waktu itu aku masih bocah TK, dan beberapa bulan sebelumnya menyaksikan secara langsung Ayah tergilas truk pengangkut uang, saat ia menyeberang ke taman tempatku bermain ayunan. Selama masa berkabung, Om Burhan—teman sekantor Mama—sering berkunjung ke rumah pada sore hari, dan di beranda mereka membicarakan entah apa; terkadang kudengar Mama menahan isak tangisnya. Sesekali Mama menyuruhku membawakan teh untuk Om Burhan, dan pria itu selalu mengelus kepalaku setiap kuletakkan secangkir teh di meja beranda untuknya. Dan selama ia mengelus kepalaku, aku berusaha keras tak melihat perut buncitnya yang berkeringat, yang mengintip dari balik bukaan di antara kancing kemeja.

Setelah lewat masa berkabung, Om Burhan jadi semakin sering bertamu. Mama dan pria itu mulai berbicara di ruang dalam. Lalu, hari demi hari, Mama mulai sering menyuruhku duduk di samping Om Burhan selama mereka berbincang berhadap-hadapan. Aku yang tak mengerti pembicaraan mereka hanya diam seraya membaca komik, dan pria itu mengelus-elus kepala lalu pundak lalu punggungku. Aku masa bodoh dengan hal itu. Sampai suatu hari, dari punggung, tangan kiri Om Burhan bergerak ke pahaku, dan tangan kanannya menyodorkan sejumlah uang ke Mama. Kedua orang dewasa itu kemudian mengajakku ke kamar. Sejak hari itulah aku menjadi aset Mama. Ia cukup duduk di depan cermin, melempariku tatapan membujuk, sementara aku duduk dengan wajah tolol di kasur, selagi Om Burhan melakukan hal yang membuatku ingin memenggal tubuh sendiri dari pinggang ke bawah. 

Sekali waktu aku meringkuk dan menangis di sudut kamarku. Mama memelukku dan berkata akan membelikanku es krim, sedang separuh wajah Om Burhan mengintip dari balik pintu kamar. Aku berbisik, “Aku takut,” dan barangkali aku berkata begitu lebih dari lima kali, sebelum Mama berdiri dan mengajak Om Burhan keluar. Pintu kamarku masih terbuka sedikit. Dan terdengarlah suara tamparan. Dan terdengarlah suara tubuh menumbuk lantai. Dan terdengarlah jeritan Mama—yang terputus segera. Aku semakin takut berpindah dari sudut kamar. Tak lama Mama kembali ke kamarku dengan mata merah berair, ia menamparku dan menarikku ke kamarnya di mana Om Burhan menunggu.

Aku tidak akan bermain sekasar Mama. Toh, rasanya lukaku sudah lumayan terobati, sejak kudengar Om Burhan mati dengan leher koyak di suatu bilik ATM. Aku tidak ingin mendapatkan karma sebrutal Om Burhan karena bermain kasar ke Mama. Aku akan menjadikan Mama aset secara halus, bahkan mungkin tanpa dirinya sadari.


***


Jumat malam, Anton berkunjung ke rumahku dengan tiga porsi spageti bolognese dalam kotak gabus. “Malam yang indah untuk kuliah investasi,” katanya. Sebelum memulai sesi perkuliahan, aku, Anton, dan Mama duduk di meja makan; malam ini Mama tampak ceria karena ia tak perlu repot memasak maupun memesan makanan; malam ini Anton tampak ceria sebab aku, sebagai muridnya, akan mempraktikkan satu tahap penting dalam berinvestasi. Ia tampak tak sabar betul melihatku menjadi sekaya ayahnya; senyumnya lebar saat ia meletakkan seporsi spageti di hadapan mamaku.

“Selamat makan.” Anton menyeka garpu dengan tisu. “Pasar saham boleh mengecewakan, tapi rasa spageti di tempat langgananku ini selalu menyenangkan.”

Kami mulai makan. Dan makan malam tak pernah semenegangkan ini bagiku. Urat-urat kepalaku menjadi batu yang panas; tulang leher dan punggungku menjadi sebongkah es. Bumbu bolognese menempel di sudut bibir Mama, dan ia menjilatnya dengan ujung lidah, dan Anton mencuri pandang padanya seraya memuntir-muntir spageti. Yang kucemaskan hanya satu: mungkin saja aku atau Anton yang dalam lima menit kedepan akan mendadak mengantuk—bukannya Mama. Sebelumnya Anton mengatakan ia sudah memberi tanda khusus di kotak gabus spageti untuk Mama, tapi tetap saja kecemasan menancap di ubun-ubunku, tetap saja peluru bisa melesat ke jantung yang salah.

Seusai makan, Mama kembali ke kamar, dan Anton menunjukkan sejumlah berita politik terbaru lewat iPad, menjabarkan analisanya mengenai pengaruh berita itu terhadap pergerakan harga saham. Jam di sudut kanan layar iPad menunjukkan tepat setengah delapan. Terdengar gerbang rumahku diguncang-guncang angin, dan ventilasi mendesis-desis. Aku tak memerhatikan pembicaraan Anton; pikiranku kembali ke taman itu: aku berdiri menghadap jalan, di mana mayat Ayah tertutup lembar-lembar koran yang cepat memerah. Mayat Ayah dipunggungi dua orang polisi lalu lintas. Mereka tak sekeren empat polisi bersenapan yang berjaga beberapa jarak di samping mereka, mengelilingi truk pengangkut uang yang tumbang menyamping, dengan pintu bak terbuka, dan lembar-lembar uang tercecer.

“Sekarang …?” tanya Anton.

Aku memberinya isyarat untuk menunggu.

Aku melangkah ke kamar Mama. Jantungku jantung seorang yang bersemangat, tapi kakiku kaki seorang yang melangkah ke tiang gantungan. Aku membuka pintu kamar Mama perlahan. Udara dari pendingin ruangan membekap wajahku. Mama berbaring menyamping, membelakangi pintu. Lampu ruangan masih menyala, dan wajah Mama terpantul di cermin. Tidurnya nyenyak. Aku menarik-narik kakinya. Ia sama sekali tak terganggu. Aku pun kembali ke meja makan, tersenyum pada Anton, dan lelaki itu bertanya, “Berapa nomor rekeningmu?”

Sebelum Anton menutup pintu kamar Mama, ia berkata, “Harga saham Bank Central sedang turun, kau ingat?”

Aku mengangguk. Dan pintu ditutup. Hujan pun turun, menutup suara apa pun yang akan terdengar dari kamar mamaku. Itu sungguh melegakan.

Besok pagi, aku akan membeli lot saham pertamaku.




*) Cerpen ini dimuat di Nongkrong.co pada 2 Maret 2024.