Jumat, 23 Juli 2021

YANG JATUH CINTA, YANG MATI DUA KALI -- Sebuah Cerpen

*Ilustrasi oleh: Gigin Hilal Ahmadi


Setiap orang yang jatuh cinta menempuh jalan tololnya masing-masing, dan tak jarang jalan tolol itu begitu intim dengan jalan maut seperti sepasang kekasih, yang sehari lalu baru melaksanakan persetubuhan pertama mereka di hotel bintang lima setengah, dan jalan tolol semacam itulah ditempuh oleh kawanku Surya—di kebanyakan waktu rautnya seperti orang yang beberapa detik lalu menelan sianida. Di draf pertama cerita ini ia hanya kutulis S, tetapi ingatanku atas segala ketololannya, yang membuatku gemas untuk membelah tengkoraknya, membuatku tak mau repot-repot menggunakan inisial; aku tak mau menjaga kehormatannya terlalu tinggi. Jalan tolol yang ia tempuh adalah mati dua kali.

Serius. Surya mati dua kali, secara harfiah. Yang pertama, ia mendonorkan jantung kepada wanita yang dicintainya—tapi tak kunjung mencintainya balik; yang kedua, ia menggantung diri di kamar indekosnya setelah gagal memenggal kepala di rel kereta, karena sang masinis lumayan gesit dalam mengerem, atau lumayan jahat karena enggan membantainya. 

Sejak merantau ke kota ini, aku tinggal di sebuah rumah indekos dengan kamar yang kebetulan bersebelahan dengannya, dan kebetulan pula kami berkuliah di kampus dan jurusan yang sama; hal-hal ini tentu membuat kami cepat sekali dekat, atau setidaknya begitu yang kurasa. Sebagai orang yang dekat dengannya, aku tak pernah menemukan hal-hal ganjil padanya; semua hal di hidupnya tampak normal-normal saja, tidak di atas pun di bawah, dari segi finansial, kondisi fisik, kemampuan belajar di kampus, kemampuan menenggak bir dalam semalam, apa pun lainnya, sampai pada suatu hari yang biasa-biasa saja ia berkata padaku, “Kau pernah jatuh cinta?” dengan raut muka begitu tolol, seakan ia mendapati kenyataan bahwa selama ini jawaban yang benar dari satu ditambah satu adalah seribu. Dan, dengan sedikit ketajaman dalam membaca raut muka, aku langsung melempar kesimpulan, “Kau sedang jatuh cinta,” dan Surya mengangguk dengan raut semakin tolol.

Selanjutnya jelas aku bertanya pada siapakah ia jatuh cinta, di hadapan jempol kaki siapakah otaknya mengerut sebesar kacang, dan ia membalas, “Sebuah pulau rahasia akan tetap cantik jika tak dihuni seorang pun, atau maksimal satu orang—sejarah membuktikan begitu.” Penggunaan metafora—yang tak tepat-tepat amat—demikian sama sekali bukan gaya bicara Surya; jelas ia telah berubah dari makanan menjadi tahi, dan di titik inilah aku yakin seribu empat puluh enam persen: ia tak main-main dalam jatuh cinta. Aku lalu mengatakan bahwa aku tak akan jatuh cinta pada perempuan itu jika mengenalnya, toh selera kami soal perempuan bisa jadi tak ada samanya, dan kalaupun turut jatuh cinta aku tak akan berusaha melangkahi Surya sebagai teman—meski ia mendadak tolol. “Malah,” sambungku, “barangkali aku bisa menyatukan kalian, serekat tikus dan Lem Cap Gajah.” Sayangnya, Surya menggeleng.

Keengganan Surya untuk tak memberitahuku soal perempuan tersebut pun membuatku enggan bersenggolan dengan kisah percintaannya; hal ini kusampaikan padanya secara lisan dan jelas—tanpa metafora apa pun, sungguh—dan ia mengangguk, dan kupikir itu tandanya ia mengerti betul maksudku. Tetapi sehari kemudian, sekitar pukul sepuluh malam, saat gerimis menggaruk-garuk kaca jendela kamar, ia menggedor-gedor pintu kamarku; ia panik betul umpama dikejar iblis yang gigih mengajaknya berlibur ke neraka, dan aku yang tadinya ingin segera tidur karena demam langsung saja menyambutnya, dengan ekspresi yang menunjukkan betapa ingin aku melubangi perutnya, sebelum mengencingi lambungnya.

“Besok ia ulang tahun!” Surya berseru, dengan nada bicara yang cocok dipakai untuk membawakan kalimat, “Dokter memvonisku mati besok!”

“Dan kau bingung ingin memberinya hadiah apa, bukan?” balasku. Sebelum ia mengangguk—ia pasti hendak mengangguk—aku menyambung, “Kirimkan foto kemaluanmu ke WhatsApp-nya. Semua perempuan suka itu.” Dan aku membanting pintu di depannya, dan aku lanjut berusaha untuk tidur.

Kira-kira sejam kemudian, aku tercerabut dari mimpi yang ganjil—aku lupa apa isi mimpiku—berkat terdengarnya tangisan dari kamar sebelah; kuharap Surya tak memercayai ucapanku mentah-mentah, seharusnya tak ada manusia yang bisa setolol itu. Semoga saja ia menangis hanya sebab masalah remeh, seperti tak tahu bagaimana cara memasak udang goreng tepung tanpa tepung apa pun; tetapi segeralah terjawab bahwa ia menangis bukan sebab hal remeh, terbukti dari suara tangisnya yang terdengar mendekat, sebelum pintu kamarku digedor-gedor lebih keras ketimbang sebelumnya. Kupikir ia akan merebut nyawaku, jadi aku tak membukakannya pintu, sambil menunggunya menyerah dan kembali ke kamar, atau menunggu para penghuni indekos lainnya terbangun dan menghajarnya beramai-ramai. Namun, bukannya para penghuni lain membuatnya tumbang, ia berhasil menumbangkan pintu kamarku dengan satu tendangan, tendangan yang tak kutahu ia miliki, lebih-lebih ia berbadan sekurus mata obeng terkikis asam, dan aku langsung meringkuk, dengan punggung menempel ke dinding yang dingin. Dengan cepat ia menjambakku, dan ia melemparku ke dinding seringan melempar segenggam kacang pilus, dan ia menginjak-injak perutku ketika aku tergeletak di lantai, dan aku memuntahkan seluruh makan malamku. Rasanya aku hendak memuntahkan usus dan lambungku juga, untung saja Surya mendadak berhenti dan pergi, untung saja terjadi satu pergeseran emosi yang signifikan padanya. Dan, tak ada juga seorang penghuni indekos pun yang datang menolong. Aku akhirnya ketiduran di lantai, di titik itu juga, karena tak sanggup untuk sekadar menyeret tubuh ke kasur.

Keesokan paginya, aku dibangunkan suara ketukan palu dan mendapati Surya sedang memasang kembali pintu kamarku, tanpa sekali pun melirik atau bicara padaku—aku pun tak berusaha bicara padanya—dan seusai urusan itu ia langsung kembali ke kamarnya. Setelahnya barulah aku berani bangkit. Entah kenapa, aku merasa Surya akan menghajarku lagi semisal aku berani bangkit di hadapannya.

Aku meliburkan diri hari itu karena tubuhku luar biasa sakit, akar kacang-kacangan menembus kulitku, terutama pada bagian perut, bahkan untuk menelan makanan padat saat sarapan pun aku tak mampu, seakan yang kutelan adalah kulit durian. Bocah tolol, aku tak akan membiarkan ia membuatku bersenggolan sedikit pun dengan kisah percintaannya lagi.

Dan memang Surya tak berusaha melakukan hal itu lagi padaku; pasalnya ia tak keluar dari kamarnya hingga sekitar seminggu kemudian, atau hampir tak pernah keluar selama itu, terbukti dari terus adanya sepatu dan sandalnya di rak di depan pintu kamarnya. Tentu teman-teman sekampus menanyaiku soal kabarnya, yang selalu kubalas dengan mengaku tak tahu, agar aku tak diberi tugas untuk menjenguknya di kamar pun sekadar mengetuk pintunya, sebab memori tentang serangan-serangan mematikannya menggilas nyaliku. Di masa itulah aku iseng mencari tahu—tak lebih—soal sang perempuan misterius, yang Surya cintai tiga per empat mampus, dengan bertanya ke teman-teman sekampus, tetapi rupanya sama sekali tak ada yang tahu.

Meski tak mengalami kerugian apa-apa, tanpa kemunculan Surya minggu itu aku merasakan perasaan ganjil: bukan kesepian, rindu, atau apa pun, melainkan entah apa. Dan, ini memang aneh, sepanjang minggi itu, tiap malam, tiap lampu kamar kupadamkan—sehingga sumber cahaya satu-satunya hanyalah lampu-lampu jalan di balik jendela—aku jadi sering membayangkan sesosok hantu menyembulkan wajah dari dinding kamarku, dinding yang memisahkan kamarku dan Surya, sesosok hantu yang mirip dengan temanku itu. Saban aku membayangkan sang hantu, aku selalu merasa kamarku menggelap, lampu-lampu jalan di luar meredup, dan udara dari pendingin ruangan semakin menjadi dinginnya, udara dingin memarut-marut kulitku secara keji.

 

***

 

Pada Senin pagi yang agak cerah, kudapati selembar surat di lantai dekat pintu kamarku; seseorang pasti memasukkannya lewat celah bawah pintu ketika aku masih tertidur. Rupanya itu adalah surat dari Surya, ia menuliskan permintaan maaf dan mengabarkan bahwa subuh tadi ia berangkat ke rumah sakit, yang tak disebutkan nama pun alamatnya, karena perempuan yang dicintainya menderita suatu penyakit langka mematikan, yang tak juga disebutkan nama pun detail lainnya, dan Surya akan mendonorkan jantung untuknya. Itulah kematian pertama si Otak Kacang, membuatku terduduk di lantai dan menangis sesenggukan, lantas aku buru-buru berangkat ke kampus, menunjukkan surat tersebut kepada teman-temanku, lalu mereka menyampaikan kabar duka itu ke teman-teman yang lain, sehingga sore di hari yang sama, di lapangan kampus yang mendadak dihampiri gerimis dan angin kencang, kami melakukan upacara kematian kecil-kecilan, masing-masing membawa sebatang lilin yang terus-menerus gagal kami nyalakan.

Malamnya, untuk kesekian kali aku membayangkan hantu itu menyembulkan wajah dari dinding, untung saja sebagai hantu ia tak seram sama sekali; bagaimanapun aku malah jadi bertanya-tanya sendiri, mungkinkah hantu itu bukan sekadar bayangan di kepalaku lagi?

 

***

 

Soal bagaimana bisa Surya hidup kembali, jangan tanya padaku. Pokoknya, dua hari setelah upacara kematian kecil-kecilan untuknya, ketika aku baru saja akan berangkat ke kampus, tiba-tiba Surya mengetuk pintu kamarku. Sejenak kami bertukar pandang dengan pandangan khas orang tolol, sebelum ia buru-buru menunduk. Ketika itulah aku menyadari masing-masing tangannya memegang sebotol bir, salah satunya langsung ia sodorkan padaku; di tubuh botol tersebut, menutupi mereknya, tertempel selembar sticky note biru cerah dengan tulisan Maaf.

“Kamarmu belum dianggap kosong,” ucapku, sembari menerima sebotol bir darinya. “Aku belum memberi tahu si Pemilik Indekos apa pun. Yang ia tahu hanyalah kau masih sesegar kecambah—ia tak tahu kecambah itu telah dicabut seorang wanita.”

Aku duduk di tepi kasur, membuka tutup botol bir dengan gigi, dan melemparkan isyarat berbunyi masuklah, Bajingan kepada Surya, dan ia pun masuk, menutup pintu, duduk di lantai dekat pintu, sebelum membuka tutup botol bir dengan cara yang sama. Ketika aku menenggak bir, aku terkejut oleh rasa bir yang begitu nyata, sehingga aku sadar bahwa aku sedang tak bermimpi, dan aku terbatuk-batuk memuncratkan bir, dan melemparkan botolnya ke arah Surya, dan lelaki itu cepat menghindar, botol pun hancur menabrak dinding.

“Goblok! Kau pikir leluconmu lucu?!”

“Apa?” sahutnya gemetar, seraya berdiri perlahan, dan sesaat ia mematung, mencerna kalimatku yang tak rumit-rumit amat. Kemudian ia mendekat, meraih tanganku dengan satu gerakan cepat, dan meletakkannya di dada kirinya, sedetik, dua detik, tiga detik, lima detik, sepuluh detik .... Tak ada yang berdetak di sana ....

“Kau tak akan mau melihat bekas jahitannya. Mungkin kau juga menyesal karena telah meraba bekasnya.

“Jadi … kau ini apa?” tanyaku, terbata-bata.

“Aku masih manusia biasa. Hanya saja, berdasarkan organ dalam, aku agak tak biasa.”

 

***

 

Singkat cerita, kehidupan kedua Surya begitu singkat, satu setengah hari pun tak sampai, sebab akhirnya ia menyadari: bangkit dari kematian adalah jalan tertotol dari variasi jalan tolol yang ditempuh orang jatuh cinta.

Kata Surya, perempuan itu akhirnya menikah dengan lelaki lain. Di kamar rumah sakit tempat ia dirawat, upacara pernikahan kecil-kecilan—dengan pria berusia empat puluhan sebagai pasangannya—sedang diselenggarakan ketika Surya datang ke sana, dalam rangka menagih balasan cinta untuk jantungnya, dan kawanku itu langsung pergi menghampiri rel kereta terdekat, dan ia melakukan percobaan bunuh diri yang gagal. “Sekarang, aku tak berselera mendonorkan apa pun padanya. Upil pun tidak.”

“Ia pun tak berselera untuk menerima.” Ingin sekali kubalas begitu, untung saja aku tak jahat-jahat amat. Sebagai gantinya, aku mengajaknya bercakap-cakap soal cinta dari sisi yang agak filosofis, dengan tambahan sedikit kutipan inspiratif yang kucomot dari sebuah novel porno.

Percakapan kami hari itu diakhiri dengan Surya yang mendadak menjambakku, dan melemparku ke dinding, dan menginjak-injak perutku, entah atas motivasi apa, sampai sekarang pun tak terjawab; kuduga ia sekadar butuh pelampiasan atas kemalangan kehidupan keduanya.

Keesokan paginya, saat hendak pergi ke kampus, saat melewati pintu kamarnya yang terbuka lebar, kulihat ia telah mati gantung diri di dalam sana, di dahinya tertempel sticky note biru cerah dengan sebuah tulisan, yang untuk membacanya aku mesti mendekati mayatnya. Kirimkan foto mayatku ke pemilik jantungku—ini nomor ponselnya: 08xxxxxxxxxx. Semua perempuan suka itu. Sialan, sebelum mati untuk kedua kali pun ia masih sempat memamerkan ketololannya. Semoga ia tak jatuh cinta pada siapa pun di akhirat.


*) Cerpen ini dimuat di Nongkrong.co pada 5 Juli 2021.

Kamis, 08 Juli 2021

VANNY MENJADI RATU LEBAH -- Sebuah Dongeng

*) Sumber Gambar: Freepik


Aku bisa menjadi ratu lebah, tepatnya sejak liburan musim panas, dan mungkin kau akan menyebutku penipu ketika aku menceritakan kisah ini padamu.

Sebelum meninggal, Mama menebar benih-benih bunga matahari di kebun. Bunga-bunga itu mulai mencuat dari tanah pada hari ketika Mama dimasukkan ke tanah; bunga-bunga itu berderet dalam sepuluh barisan di kebun, dan kesemuanya telah berdiri tegak dan mekar sempurna pada liburan musim panas. Aku jadi malas pergi berlibur ke mana pun: aku lebih suka merawat kebun, atau sekadar duduk di lantai beranda sambil memandangi kebun, atau duduk sambil membacakan dongeng Putri Bunga Matahari pada bunga-bunga tersebut, meski di beranda tubuhku jadi cepat berkeringat dan terasa lengket.

Aku juga suka melihat lebah-lebah beterbangan di kebun.

Aku suka melihat apa pun yang ada di kebun, kecuali saat tiba-tiba Doddy muncul di depan gerbang rumahku.

Doddy adalah seorang lelaki remaja, dan setiap lelaki yang tumbuh remaja biasanya menjadi nakal, dan sialnya ia tinggal dekat rumahku. Doddy bertubuh segemuk sekarung penuh pasir, dan dahinya selebar satu jengkal tanganku, dan ada segaris bekas luka di sana karena ia adalah remaja yang nakal. Ia sering bersenang-senang dengan memanggilku wajah-bersarang-lebah, sebab di pipiku ada bintik-bintik cokelat yang kupikir-pikir memang mirip sarang lebah, sesekali juga ia menungging ke arahku dan menepuk-nepuk bokong gemuknya.

Aku pernah mengadukan tingkah Doddy pada Papa. Tetapi Papa tak memarahi remaja itu; ia hanya bilang padaku, “Ia hanya ingin bermain denganmu.” Sial, tidak ada yang ingin bermain dengan remaja lelaki nakal. Gara-gara Papa tak memarahinya, aku sempat berpikir untuk tak usah duduk lagi di beranda, tetapi aku begitu ingin memandangi bunga-bunga matahari itu, jadi aku tetap saja sering duduk di sana dan menahan diri menghadapi nakalnya Doddy.

Dan di hari terakhir liburan musim panas, tiba-tiba saja kesemua bunga matahari di kebun menunduk, persis orang-orang yang bersedih di hari pemakaman Mama. Selain itu, kelopak mereka dipenuhi bercak-bercak cokelat—persis pipiku—dan lebah-lebah bergeletakan di tanah. Aku coba mencium bunga-bunga itu satu per satu, dan aromanya membuat muntahanku tertahan di kerongkongan. Lalu sesuatu memanggil-manggilku, “Vanny! Vanny!” dan kupikir itu adalah salah satu bunga matahariku, dan aku mendekat ke sumber suara. Rupanya, yang memanggil-manggilku adalah salah seekor lebah. Di antara lebah-lebah lainnya, hanya ia yang masih berdiri, suaranya terdengar parau, dan lebah itulah yang tampak paling cantik: ia mengenakan mahkota super kecil di kepalanya: pasti ia ratu lebah.

“Para iblis menyerang bunga-bungamu. Mereka juga menyerang kami!”

Aku melihat ke sekeliling; aku tak melihat iblis.

“Kau harus menjadi kami untuk dapat melihat mereka. Jika kau bersedia menolong kami, jika kau ingin bunga-bungamu tegak kembali, ambil mahkotaku dan letakkan di kepalamu.”

Aku pun mengambil mahkota itu dengan ujung jempol dan telunjuk, aku menyentuhnya hati-hati sekali, aku takut mahkota itu hancur di tanganku, dan aku meletakkannya di kepalaku. Tiba-tiba, tubuhku menyusut sampai sekecil lebah! Dan di punggungku ada sepasang sayap lebah, dan aku bisa menggunakannya untuk terbang, dan di bokongku tumbuh sebatang sengatan, panjangnya setara kakiku dan cokelat warnanya dan berkilau terkena sinar mentari. Karena tubuhku menyusut, maka mahkota ratu lebah pas sekali di kepalaku.

Semua di sekelilingku tentu tampak membesar, dan semua tampak lebih mengaggumkan karena tampak membesar, terutama bunga-bunga matahari itu: aku bisa duduk di mahkotanya sambil membacakan dongeng Putri Bunga Matahari.

Satu-satunya yang tampak tak mengaggumkan dengan tubuh sekecil ini adalah aku jadi bisa melihat iblis-iblis itu: mereka bundar dan hijau dan berukuran sebesar perutku, mereka bersayap mirip kelelawar, dan di antara kedua mata merah mereka yang lebar mencuat sebatang jarum. Mereka ada di mana-mana: hinggap di kelopak bunga-bunga matahari, hinggap di tanah di samping lebah-lebah yang mati, juga beterbangan di atas bunga-bungaku—kepak sayap mereka berisik sekali, seperti mulut Doddy.

Di tanah, ratu lebah mulai memejamkan mata dan tergeletak dan tak lagi bergerak. Iblis-iblis mulai mendekatinya dan menyentuh-nyentuh tubuhnya dengan jarum mereka, dan aku tak suka ratu lebah itu kenapa-kenapa. “Jangan ganggu dia!” pekikku, dan semua iblis sontak menoleh ke arahku, dan aku menukik tajam ke bawah dengan sengatan terhunus, dan sengatanku menembus punggung salah seekor iblis yang mendekati sang ratu lebah. Tubuh iblis itu langsung pecah menjadi asap hijau yang baunya persis muntahan di tong sampah!

Sesaat iblis-iblis di sekeliling refleks mundur menjauhiku. Tetapi sesaat berikutnya banyak sekali iblis mulai mengepungku. Mereka masih diam di tempat, namun kepak sayap mereka menjadi ribut sekali dan jarum mereka terarah padaku seorang. Mereka memang kecil dan mudah kutusuk, tapi karena mereka banyak sekali mungkin ini akan serepot menghadapi Doddy.

Dan satu per satu mereka langsung meluncur ke arahku!

Aku segera terbang dan mengelak ke sana kemari di udara, aku mampu bergerak lincah dan aku tak tahu diriku bisa selincah itu, meski beberapa kali aku hampir tertusuk jarum mereka. Desing tubuh mereka menyakiti kupingku, dan tiap meluncur mereka meninggalkan aroma muntahan di udara. Baju bagian perutku sempat sekali tersayat jarum mereka dan sobek lumayan lebar, untung kulit perutku tidak kenapa-kenapa. Iblis yang meluncur menyayat bajuku tampaknya terlambat mengerem di udara: ia malah menusuk tubuh temannya sendiri yang pecah jadi asap hijau dan aku tertawa-tawa.

Tapi mestinya aku tidak tertawa-tawa dan tetap waspada. Karena tertawa, aku kurang waspada terhadap serangan iblis lainnya, aku agak terlambat menghindar dan tubuhku tersenggol keras olehnya dan aku terpental. Saat mendarat di tanah, mahkotaku terlepas dan seketika aku kembali ke ukuran biasa.

“Hei! Wajah-bersarang-lebah!” Doddy mengejekku dari balik gerbang, entah sejak kapan ia berdiri di sana; ia menungging mengarahkan bokong jeleknya padaku dan menepuk-nepuknya dengan bangganya.

Aku sedang tak ingin mengurusi remaja nakal mana pun. Aku berjongkok dan merendahkan wajah ke tanah untuk mencari mahkota itu, yang ternyata ada di dekat ujung jempol kakiku dan untung saja tak terinjak. Aku segera mengambilnya dan mengenakannya kembali. Aku kembali menjadi ratu lebah; padaku iblis-iblis menatap marah.

“Vanny! Ke mana kau?!” pekik Doddy

Aku tahu apa yang harus kulakukan—untung ada Doddy yang nakal di sana. Aku menungging di udara dan sengatanku pasti tampak mengacung dengan cantiknya. Saat iblis-iblis menyerbuku, aku berputar-putar di udara seperti balerina kelas dunia! Atau seperti gasing? Entahlah. Yang jelas, iblis-iblis yang menyerbu segera tersayat sengatanku, dan asap hijau dengan cepat memenuhi sekelilingku. Kemudian iblis-iblis mulai menjauhiku dan aku berhenti berputar sejenak.

Pusing juga … dan bau!

Dan aku tak akan memberikan mereka ampun: aku berputar lagi seperti balerina kelas dunia atau gasing dan aku meluncur mengejar iblis-iblis itu. Semua mati dengan cepat! Dan kupikir tak lama lagi mereka akan pergi dari bunga-bunga matahariku. Tetapi tahu-tahu saja sesuatu yang lebih cepat dariku meluncur menyenggolku; aku terlempar dan buru-buru mengendalikan diri dan kembali terbang stabil sebelum menumbuk tanah. Lalu aku melihat ke sekelilingku, mengikuti arah terbangnya sesuatu yang sangat cepat itu.

Ia berhenti di hadapanku, sesuatu yang cepat itu. Keadaan mulai terasa tak lucu. Ia seekor iblis juga, tetapi sebesar tubuhku, jarumnya dua kali lebih panjang ketimbang iblis-iblis lainnya. Dan, ia mengenakan mahkota—ini akan menjadi pertarungan ratu lebah melawan raja iblis! Dan jelas ini akan menjadi pertarungan yang luar biasa; iblis-iblis lainnya bahkan sampai mengumpet ke balik kelopak-kelopak bunga, sesekali mereka mengintip kami dengan ketakutan.

Aku tidak takut: aku meluncur ke arah raja iblis dengan sengatan terhunus, dan ia cepat sekali menghindar, dan sengatanku menancap di satu mahkota bunga. Kupikir iblis-iblis yang bersembunyi di balik kelopak bunga itu akan langsung mengeroyokku, berhubung aku sedang tersangkut. Tetapi mereka malah langsung kabur, dan aku menoleh ke belakang, ke sesuatu yang membuat mereka kabur: raja iblis sedang meluncur kencang ke arahku. Aku cepat-cepat melepaskan sengatanku dari mahkota bunga untuk menghindar, dan sang raja pun menabrak mahkota bunga yang sama. Namun, bukannya jarum sang raja menancap di sana, tubuhnya menembus bunga itu, bunga yang segera pecah berkeping-keping di udara!

Sang raja iblis berbalik, dan ia sekali lagi meluncur ke arahku, dan aku berhasil mengelak. Kemudian hal serupa terulang lagi berkali-kali hingga napasku tersengal-sengal dan aku mulai lelah. Sial, aku tak ingin pecah seperti bunga. Dan ia sekali lagi meluncur ke arahku, dan bahuku berhasil dirobeknya! Bahuku jadi terasa panas sekali, dan pandanganku seketika berkunang-kunang, dan punggungku mulai terasa kaku—terbangku mulai merendah. Iblis-iblis yang menonton dari balik kelopak-kelopak bunga pun bersiul-siul senang untuk raja mereka.

“Vanny! Di mana kau?!” teriak Doddy sekali lagi, setelah itu ia berjalan menjauh dari gerbang rumahku.

Doddy! Aku terbang mendekatinya dan raja iblis mengejarku. Aku memutari kepala lelaki itu dan ia mulai panik pasti sebab takut kusengat. Ia pun berlari kencang menuju rumahnya seraya mengibas-ngibaskan tangan di udara dan memekik. Aku tetap mengejarnya dan memutar-mutarinya dan bersusah payah menghindari kibasan tangannya, begitupun yang dilakukan oleh sang raja iblis yang tetap mengejarku.

Doddy sampai di halaman rumahnya, dan ia memungut ranting pohon berdaun lebat di tanah, dan ia mengibas-ngibaskannya ke udara. Aku semakin kesulitan mendekatinya, tetapi setidaknya sang raja iblis jadi kesulitan mendekati aku yang mendekati Doddy. Begitu lengan Doddy mulai lelah, begitu kibasannya melambat, aku langsung meluncur ke arahnya dan menancapkan sengatanku ke ujung hidungnya. Ia menjerit, tentu saja. Dan selagi sengatanku tertancap, raja iblis meluncur ke arahku. Tepat saat ujung jarum raja iblis hampir menyentuh tubuhku, aku berhasil melepas sengatan dan mengelak ke samping, sehingga giliran jarum sang iblis yang menancap pada hidung Doddy. Saat itulah, sesuai dugaanku, telapak tangan Doddy terayun menuju wajahnya, dan pufff!!!

Aku melihat asap hijau menyeruak dari hidung lelaki itu—asap yang dengan cepat tersapu angin!

Doddy terjatuh-terduduk dan menjerit sambil menutup wajah dengan kedua tangan. Aku segera terbang ke ruang dalam rumahnya. Aku tidak melihat siapa-siapa di dalam sana, aku hanya mendengar Waltz of the Flowers karya Tchaikovsky diputar kencang dari lantai atas, dan aku melihat kotak obat di meja dekat televisi. Aku melepas mahkota dan kembali ke ukuran normal, lantas aku mengantungi mahkota itu dan aku membawa kotak obat ke halaman untuk menolong Doddy—lelaki itu bingung bagaimana bisa aku berada di rumahnya.

 

***

 

Liburan usai keesokan harinya. Aku keluar ke beranda dengan seragam sekolah, dan aku kaget melihat bunga-bunga matahari kembali berdiri tegak, aku bisa mencium wanginya dari sini, dan lebah-lebah kembali beterbangan di atasnya. Yang lebih mengejutkan lagi adalah Doddy telah berdiri di balik gerbang, plester luka menempel pada hidungnya, dan ia tersenyum seraya menyodorkan kotak makanan padaku.

“Makan siang untukmu,” katanya.

Kami pun berjalan kaki menuju sekolah, dan kami berpisah di pertigaan—karena kami berbeda sekolah—dan kupikir aku akan menceritakan kisah hebat ini kepada siapa pun, kecuali kepada Doddy!



*) Dongeng ini dimuat di Magrib.id pada Juni 2021.