Minggu, 06 November 2016

HANTU PUISI -- Sebuah Cerpen


Ilustrasi oleh: Citra Sasmita



Hantu itu terlihat menyusuri jalanan Kota Daging pada suatu sore. Orang-orang di kota itu pun pada ketakutan. Bergegaslah para suami mengurung istri masing-masing di kamar tidur, kamar mandi, loteng, gudang, atau di ruangan lainnya. Ada pula beberapa orang istri yang berinisiatif untuk mengurung diri mereka sendiri. Hal itu orang-orang Kota Daging lakukan demi menghindari terulangnya tragedi yang terjadi dua puluh lima tahun silam di kota mereka.

***

Dua puluh lima tahun yang lalu, pada sore hari pula, untuk pertama kalinya hantu itu terlihat menyusuri jalanan Kota Daging. Tak ada seorang pun yang takut sebab mereka merasa mempunyai Tuhan yang mahapelindung. Kemudian, hantu tersebut terlihat memasuki Hutan Sumsum.
            
Pada pagi keesokan harinya, pukul sembilan, tahu-tahu saja dari Hutan Sumsum terdengar sebuah puisi yang dinyanyikan dengan begitu indah, memenuhi sekujur Kota Daging. Puisi yang dinyanyikan itu mengisahkan tentang cinta seorang ibu yang begitu sia-sia, namun mahaagung. Dan, efek dari puisi tersebut sungguhlah mengerikan: seluruh ibu di Kota Daging kehilangan kendali atas diri sendiri dan dengan sendirinya mereka bergerak menuju sumber suara, sementara yang bukan-ibu mendadak mengalami kelumpuhan-sekujur-tubuh sehingga tak bisa mencegah kepergian para ibu.
            
“Kami, para ibu, akan pergi ke Hutan Sumsum untuk mencari puisi, mencari kemerdekaan,” kata para ibu, seperti kepada diri sendiri, dengan ekspresi dan nada yang datar sebelum meninggalkan orang-orang yang mengalami kelumpuhan-sekujur-tubuh itu.
            
Ketika siang tiba, kelumpuhan-sekujur-tubuh itu lenyap. Para suami dan para anak lantas segera pergi ke Hutan Sumsum sebab para ibu belum kembali. Tepat di titik tengah hutan itu, mereka menemukan hantu yang kemarin sempat terlihat menyusuri jalanan kota sedang duduk di atas sebongkah batu.
            
“Apakah kau yang tadi menyanyikan puisi itu?” tanya salah seorang pria.
            
“Ya,” sahut si Hantu. “Dan, seperti yang sudah kalian duga, dengan puisi itulah aku menyihir para ibu dan kalian semua.”
            
“Di mana ibuku sekarang?!”
            
“Di mana istriku?!”
            
“Di mana nenekku?!”
            
Keriuhan pun tak dapat dihindari. Si Hantu hanya terdiam, sampai ketika ada seseorang yang maju hendak menyerangnya. Apa yang kemudian dilakukan oleh si Hantu, sebelum serangan dari seseorang itu mengenainya, adalah menyanyikan sebuah puisi mbeling yang menyebabkan orang-orang yang mengerubunginya pada mengantuk … lalu jatuh-tertidur. Ketika mereka semua terbangun, pada sore hari di hari yang sama, mereka mendapati diri telah berada di kamar tidur masing-masing.
            
Segeralah para suami dan para anak kembali ke Hutan Sumsum, tepatnya ke titik di mana sebelumnya mereka menemukan si Hantu, tetapi mereka tidak mendapatinya lagi di sana. Pencarian-terhadap-si Hantu pun beralih ke pencarian-terhadap-para ibu. Namun hasil dari pencarian-terhadap-para ibu pada hari itu nihil, sebagaimana pencarian-terhadap-para ibu di hari-hari berikutnya, hingga akhirnya mereka pasrah.
            
Entah siapa yang kemudian menamai hantu itu Hantu Puisi. Yang jelas, nama itulah yang hingga kini digunakan oleh orang-orang untuk menyebutnya.
            
Dan, tentu saja tak ada yang menyangka bahwa Hantu Puisi bakal muncul lagi …

***

Suamiku mengurungku di kamar tidur. Ia tak ingin aku pergi-menghilang—jika pagi nanti Hantu Puisi terdengar menyanyikan puisinya—sebagaimana ibunya, ibuku, neneknya, dan nenekku dua puluh lima tahun silam.
            
Tentu saja bukan suamiku seorang yang melakukan hal ini kepada istrinya. Bahkan, aku yakin bahwa ada saja suami yang “menahan” istrinya secara jauh lebih ketat, sampai sang istri merasa tersiksa.
            
Tapi, apakah yang lebih menyiksa ketimbang terpisah dari keluarga?

***

Tatkala udara pagi akhirnya menghantarkan puisi—tentang cinta seorang ibu yang begitu sia-sia, namun mahaagung—yang dinyanyikan oleh Hantu Puisi di Hutan Sumsum ke sekujur Kota Daging, segeralah para anak dan para suami mengalami kelumpuhan-sekujur-tubuh. Tapi mereka yang mengalami kelumpuhan-sekujur-tubuh itu merasa sedikit tenang sebab para ibu telah “ditahan”. Sayangnya, ketenangan mereka yang sedikit itu taklah bertahan lama; rupanya, para ibu yang “ditahan” itu, entah mendapatkan kekuatan dari mana, berhasil melepaskan diri dari “tahanan” masing-masing—segala macam pintu-yang-terkunci yang menghalangi pada mereka robohkan dengan begitu mudahnya. Benda-benda yang digunakan untuk menyumpal telinga pun taklah berguna sama sekali karena puisi yang dinyanyikan oleh Hantu Puisi dapat didengar bukan melalui telinga saja.
            
Alhasil, pagi itu, jalanan Kota Daging kembali dipenuhi oleh para ibu yang bersama-sama berjalan ke Hutan Sumsum.

***

Puisi yang dinyanyikan oleh Hantu Puisi itu mulai terdengar. Indah sekali. Saking indahnya, sampai-sampai kegelapan dan keapakan di gudang ini lenyap. Dan, aku yakin bahwa, di luar sana, suami dan kedua anakku mendadak mengalami kelumpuhan-sekujur-tubuh.
            
Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Puisi yang dinyanyikan itu tak menyebabkan apa-apa pada diriku.
            
Empat detik. Lima detik. Aku harus mencabut kalimatku yang barusan.
            
Ada semacam keindahan yang menyusup ke dalamku. Tapi, entah bagaimana, keindahan itu menyebarkan suatu perasaan ganjil ke sekujur badan dan mengambil alih otakku. Lalu, dengan sendirinya, aku melangkah. Pintu gudang—terkunci—yang menghalangi langkahku kurobohkan dengan begitu mudahnya …

***

Siangnya, sebagaimana dua puluh lima tahun silam, kelumpuhan-sekujur-tubuh yang menghinggapi para anak dan para suami sontak lenyap. Mereka pun langsung pergi ke Hutan Sumsum—beberapa orang dewasa membawa senjata.
            
Sebagaimana dua puluh lima tahun yang lalu, Hantu Puisi ditemukan sedang duduk di atas sebongkah batu di titik tengah Hutan Sumsum.
            
“Kembalikan para ibu!” teriak beberapa orang, nyaris bersamaan.
            
“Tidak,” jawab Hantu Puisi.
            
“Kalau begitu, kami akan menyerangmu!”
            
“Silakan.”
            
Rupanya mereka malah saling menunggu untuk menyerang Hantu Puisi.
            
“Ayo! Langsung saja kita bunuh ia!” seru seorang pria, begitu kesal karena semuanya, termasuk dirinya, tak kunjung menyerang.
            
“Kalau ia langsung kita bunuh, apakah para ibu sudah pasti bakal kembali?” sahut pria yang lain, agak lirih. “Lagi pula, kalau ada yang coba-coba menyerangnya, bukankah hantu itu akan segera menyanyikan puisi mbeling yang membuat kita semua tertidur, lantas berada di kamar masing-masing ketika terbangun, sebagaimana yang dilakukannya dua puluh lima tahun silam?”
            
“Dasar pengecut! Bilang saja kalau kau takut!”
            
“Tapi apa yang dikatakannya itu benar!”
            
“Nah! Kau juga pengecut!”
            
“Ayahku tidak pengecut!”
            
“Hei! Ayahmu memang pengecut!”
            
“Tidak! Ayahmu yang pengecut!”
            
Adu mulut yang panas pun terjadi di kerumunan itu.
            
“Aku tidak akan mengembalikan para ibu sebab kini mereka telah merdeka,” mendadak Hantu Puisi berkata lantang, membuat orang-orang yang mengerumuninya seketika berhenti beradu mulut.
            
“Merdeka?! Apanya yang merdeka kalau kauculik?!” teriak seorang perempuan remaja, disusul oleh teriakan-teriakan dari yang lainnya.
            
Kemudian, Hantu Puisi bersiul nyaring.
            
Orang-orang pun terpana …
            
Tahu-tahu saja para ibu, yang menghilang pagi tadi dan dua puluh lima tahun silam, sudah berada di sekeliling mereka. Ya! Di sekeliling mereka, berbaur dengan kerumunan itu! Ajaibnya lagi, para ibu yang menghilang dua puluh lima tahun silam pada tampak tak bertambah tua sama sekali!
            
“Ibu!”
            
“Nenek!”
            
“Istriku!”
            
“Mertuaku!”
            
Tapi para ibu tak tergerak hatinya oleh pekikan-pekikan pun pelukan-pelukan penuh haru yang mereka peroleh. Sekonyong-konyong, warna bola mata para ibu berubah menjadi merah menyala—begitu terang!—mengejutkan para anak dan para suami sehingga mereka reflek bergerak mundur beberapa langkah—dan terjadilah tabrakan-tabrakan kecil antara tubuh satu dengan tubuh lainnya di dalam kerumunan itu. Lalu, para ibu berteriak, “Biarkan kami tetap merdeka!!!”



*) Cerpen ini dimuat di Bali Post pada tanggal 6 November 2016.

KAU YANG BERCERITA

Wine glass the wine bottle bullet match still life/Lukisan Abstrak Bernard/Foto: id.aliexpress.com

Kau yang Bercerita
kepadaku, kau pernah bercerita tentang
ngarai yang lugu dan arwah-arwah
penuh lelah di rumahmu yang gagu.
*
/1/ ngarai lugu
kokang senapanmu, burai isi
kelaminku: tiada perangai yang
sebusuk ngarai. kepadamu, pelor-
pelor mengadu untuk pinta
yang berpadu di atap-atap
rumah. dan di atap-atap rumah
ada serpihan-serpihan badai
yang sedang menanti tidurmu.
kepadaku, ada yang bercerita:
kepak sayap hujan menerbangkan
apa yang ada di dalam kepalamu.
ngarai yang lugu mungkin tak
mengerti cara memagut rindu-rindu
purba dan gagunya randu yang
mempersiapkan tidurmu. tapi ia
dapat mempersiapkan kekalahanmu
yang sedia menjamu.
/2/ arwah-arwah penuh lelah
kematian bagi mereka serupa lelah
yang sehat dan menyenangkan,
seumpama kata-kata yang kadang
mengenyangkan. ternyata,
kelelahan adalah resep menuju
cinta pada rumahmu: kegaguan
yang abadi selain di kehidupan.
anak-anak maut berada di cermin,
kolong ranjang, kaca jendela, serta
di keremangan kamar tidurmu.
setelahnya, tidur bagimu adalah
cara untuk bunuh diri yang tak
pakai lelah. lelah itu tersimpan rapi
di lari pagimu dan di kesedihanmu
yang bertubi-tubi. hingga malam
terlarut di secangkir kopi, lelap hanya
mengetuk-ngetuk pintu kamarmu;
kepalamu tersembunyi di bawah
bantal yang tertimpa seribu kepala
yang berbeda setiap harinya.
*
kepadaku, kau pernah bercerita tentang
ngarai yang memudarkan kata-kata
dan arwah-arwah penuh lelah yang,
ke dalam sedihmu, hendak bertamu.

Peluru di Benakku
kau tak pernah usai mengendus
mesiu di tingkah laku dan
pikiranku. panas timah yang
mematangkanku memanggil-
memanggul nama-nama peristiwa
di sekitaran kita yang perlahan-lahan
dipalsukan, atau dilupakan.
*
kembali ke beberapa hari yang
lalu, ketika dengan sepucuk revolver
kau melubangi pelipisku, dan
aku memekik geli seraya mencubit
pipimu saking gemasnya. bau
mesiu yang membikin paru-paruku
jatuh cinta adalah aroma yang
membikin hidungku patah hati.
darahku yang mengucur deras
digunakan oleh seorang dewi cantik
untuk keramas, atau untuk mencuci
bajunya yang selangit punya harga.
dan keesokan harinya sang dewi
lesap entah ke mana, entah bagaimana.
*
aku mengecap karat pelatuk
di ciuman kita.

Sibuk Mati*
aku sedang sibuk mati hari ini. aku
sedang sembuh dari sakit yang
mengendap di jantungku dan di
jantungmu. aku sedang pulang dari
kepulangan lainnya yang tak
kunjung tampak. “selamat tinggal.”
*) Puisi ini terinspirasi dari puisi “Minggu” karya Joko Pinurbo.


Puisi-puisi ini dimuat di Nusantaranews.co pada tanggal 6 November 2016.