Minggu, 12 Juni 2016

KUCING YANG MENCURI LAUT -- Sebuah Cerpen






Seorang penyihir, melalui bola kristalnya, melihat si Kucing Kurus mencuri laut yang mengelilingi Pulau Mungkaka pada suatu malam yang sepi.

“Jangan mengada-ada!” protes salah seorang dari puluhan nelayan yang sudah sedari tadi berkerumun di depan gubuk penyihir itu. “Mana bisa seekor kucing mencuri laut?!”
            
“Kalau begitu kalian lihat saja sendiri,” sahut Nenek Podapoda, sang penyihir, dengan kesal sembari mempersilakan para nelayan buat masuk ke gubuknya—yang terletak di tepi sebuah hutan, tak jauh dari sebuah pantai yang bernama Dungadung.
            
Sang penyihir pun memutar ulang citra yang tadi disaksikannya dari bola kristal kesayangannya. Dan, para nelayan yang menyaksikannya pun terbelalak; secara ajaib, laut yang mengelilingi pulau tempat mereka tinggal tersedot memasuki mulut si Kucing Kurus. Kucing berambut sewarna cakrawala senja itu tak perlu menempelkan mulutnya ke air laut; ia hanya perlu berdiri beberapa sentimeter dari bibir pantai, kemudian seolah ada sebatang pipa transparan yang mengantarkan laut memasuki mulutnya yang menyedot kuat. Tapi, kucing itu tetaplah kurus, meski begitu banyaknya air laut yang ditelannya!
            
Beginilah jadinya Pulau Mungkaka sekarang: laut yang mengelilinginya kering sehingga pulau tersebut, jikalau dilihat dari atas, tampak melebar daratannya. Tumbuh-tumbuhan laut dan hewan-hewan laut pun pada sekarat di habitat mereka yang dicuri, lantas mati, dan dengan cepatnya membusuk. Tentu hewan-hewan laut yang sudah busuk itu tak masalah buat dimakan oleh si Kucing Kurus, tetapi tak baik untuk dimakan oleh manusia sehingga para nelayan di Pulau Mungkaka—yang pada tak mau merugikan konsumennya—jadilah rugi teramat besar. Untuk tetap bisa memperoleh ikan atau hewan-hewan laut yang lain, mereka mesti mendorong perahu ke laut yang merupakan wilayah dari pulau lain, dan beraksi di sana—sementara tindakan tersebut adalah tindakan yang melanggar hukum di negara di mana Pulau Mungkaka berada.
            
Omong-omong, kau tahu apa yang aneh? Air laut dari wilayah laut pulau lain sama sekali tak ada yang mengalir ke wilayah laut-kering Pulau Mungkaka. Bahkan saat hujan menyerbu pun, wilayah laut-kering Pulau Mungkaka tetap kering total, seolah tiada setetes air hujan pun yang jatuh ke sana. Sungguh tak mematuhi hukum alam, bukan?


***


Sebelum si Kucing Kurus mencuri laut


Tak ada yang tahu pasti sejak kapan si Kucing Kurus dilahirkan. Yang jelas, si Kucing Kurus adalah musuh utama bagi para nelayan yang menetap di sepanjang Pantai Dungadung karena kucing tersebut kerap mencuri ikan atau hewan-hewan laut lain hasil tangkapan mereka. Oleh sebab itu, berkali-kali para nelayan di sana memburu si Kucing Kurus dengan senjata tajam atau senapan di tangan, tetapi betapa cepat larinya sang kucing sehingga sulit sekali dikenai serangan.
            
“Dia lebih cepat dari peluru yang ditembakkan!” kata seseorang.
            
Namun, suatu hari, salah seorang nelayan berhasil menembak kepala si Kucing Kurus sehabis kucing itu mencuri ikan hasil tangkapannya. Tentu saja hewan yang ditembaknya itu mati, dan para nelayan di sepanjang Pantai Dungadung pun senang, meski tak bersenang-senang.
            
“Dia tak lebih cepat dari peluru yang ditembakkan, kok.”
            
Keesokan harinya, tak ada yang tak terkejut bukan main oleh karena si Kucing Kurus—yang jasadnya telah dihanyutkan ke laut—tahu-tahu saja muncul di kediaman salah seorang nelayan dan mencuri ikan lagi! Maka, tak ada jalan lain, para nelayan mesti memburu si Kucing Kurus untuk yang kedua kalinya.
            
Beberapa minggu kemudian, si Kucing Kurus berhasil dibunuh lagi, dengan cara yang sama seperti sebelumnya, namun oleh nelayan yang berbeda. Dan, keesokan harinya, ia ditemukan mencuri ikan lagi, dan tentu tak ada yang tak terkejut sebagaimana saat kemunculan pascakematiannya yang pertama.
            
Kematian si Kucing Kurus yang kedua pun lantas berlanjut pada kematiannya yang ketiga, keempat, sampai kedelapan.
            
“Satu kematian lagi, kucing itu akan mati untuk selama-lamanya,” ucap salah seorang nelayan, penuh keyakinan.
            
“Bagaimana kau bisa seyakin itu?” tanya nelayan yang lain.
            
“Apa kau tidak pernah dengar kalau kucing punya sembilan nyawa?”


***


Sebelum nyawa kesembilannya melayang, si Kucing Kurus sudah terlebih dahulu mencuri laut, dan laut di dalam perutnya itu menambah kecepatannya berkali-kali lipat—sehingga ia semakin sulit dikenai serangan—alih-alih membikinnya tambah gemuk.


***


Berita tentang “laut yang dicuri” dengan cepatnya menyebar ke seluruh penjuru Pulau Mungkaka, bahkan sampai ke pulau-pulau dan negara-negara lain. Di setiap koran juga acara berita di televisi, “laut yang dicuri” selalu menjadi topik utama—satu paket dengan “tentang si Kucing Kurus”. Sayangnya, upaya dari pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut tak kunjung tampak, atau memang tak kunjung dilakukan.
            
Entah apa alasan si Kucing Kurus mencuri laut; banyak yang menduga bahwa kucing itu ingin agar para nelayan yang memburunya berkali-kali jadi sengsara—meski kesengsaraan itu merambat ke mana-mana—selain untuk memudahkan dirinya mencari ikan atau hewan-hewan laut yang lain (yang pada mati kehabisan napas) tanpa perlu mencuri. Dan, banyak pula yang menduga bahwa wilayah laut Pulau Mungkaka akan kembali seperti semula jikalau si Kucing Kurus mati.


***


Nenek Podapoda, penyihir yang terkenal dengan bola kristalnya itu, dijanjikan bayaran yang luar biasa nilainya oleh orang-orang yang memohon agar ia bersedia beraksi demi mencabut nyawa kesembilan si Kucing Kurus.
            
“Kami semua begitu kewalahan mengejar kucing itu! Ia tambah cepat saja!” kata salah seorang dari begitu banyak nelayan—kali ini bukan dari sepanjang Pantai Dungadung saja, melainkan dari seluruh pantai di Pulau Mungkaka—yang menghampiri gubuknya.
            
“Persediaan uang kami sudah tipis,” sambung yang lain, “gara-gara tak ada lagi hewan laut tangkapan yang bisa dijual!”
            
“Kami dan anak-anak kami jadi kelaparan!”
            
“Kami yakin, cara terampuh untuk membunuh si Kucing Kurus hanyalah dengan ilmu sihirmu!”
            
Nenek Podapoda tersenyum tipis, tersemat kebanggaan di dadanya yang rata.
            
Apa yang dilakukan oleh Nenek Podapoda kemudian adalah menanamkan tenung pada si Kucing Kurus. Sayangnya, usaha tersebut gagal, entah kenapa. Maka dicobanya lagi usaha yang serupa, dan serupa pula hasilnya, alias gagal. Lalu ia mencoba lagi, lagi, dan lagi, untuk gagal lagi, lagi, dan lagi. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk menggunakan jurus pamungkasnya.


***


Si Kucing Kurus yang sedang sibuk mengoyak tubuh seekor ikan pada suatu malam di dekat bibir Pantai Dungadung sontak dikejutkan oleh kehadiran sebuah bola api, seukuran dua kali bola basket, yang terbang cepat ke arahnya. Hawa panas merambati udara di sekeliling bola api tersebut. Dari balik jendela rumah masing-masing, para penduduk sekitar menyaksikan jurus pamungkas Nenek Podapoda, yakni mengubah diri menjadi sebuah bola api, dengan kekaguman yang hebat sekaligus ketakutan yang tak kalah hebatnya.
            
Si Kucing Kurus, dengan kengeriannya sendiri, berlari dengan begitu cepatnya menghindari bola api yang cepat pula lajunya.


***


Tanpa terasa, ternyata mereka berdua telah memasuki wilayah kota. Tingkat keterangan wujud bola api Nenek Podapoda mengalahkan lampu-lampu jalan apalagi bintang-bintang dan rembulan. Sejumlah kendaraan yang melaju di jalan sontak berhenti karena seekor kucing dan sebuah bola api melintas cepat memotong jalur mereka—melanggar peraturan lalu lintas.
            
Gang demi gang dilewati sudah oleh si Kucing Kurus dan bola api Nenek Podapoda, sebagaimana kompleks perumahan demi kompleks perumahan, gorong-gorong demi gorong-gorong, bahkan atap gedung demi atap gedung—saking luar biasanya kecepatan lari si Kucing Kurus, ia mampu berlari-tanpa-jatuh di bidang yang vertikal; Nenek Podapoda mudah saja mengikuti karena wujud bola apinya selalu terbang.
            
Lagi-lagi tanpa terasa, wilayah kota terlewati sudah. Si Kucing Kurus yang teramat cepat larinya itu belum tersentuh wujud bola api Nenek Podapoda sama sekali. Dan kini di depan si Kucing Kurus adalah jalan menuju bukit yang terjal.


***


Keesokan paginya, laut yang mengelilingi Pulau Mungkaka telah kembali. Siapa pun yang mendapati kenyataan itu jadilah terpana.
            
Nenek Podapoda, yang entah sejak kapan berdiri di bawah sebatang pohon kelapa di Pantai Dungadung, segera dikelilingi oleh para penduduk sekitar.
            
“Aku berhasil membunuh kucing itu!” sang penyihir berkata dengan bangga. “Wujud bola apiku berhasil menangkap dan membakarnya hingga mati!”
            
Semua manusia yang berada di sekeliling penyihir itu pun bersorak gembira, kecuali bayi-bayi, di gendongan para perempuan, yang tetaplah terlelap seolah suasana begitu sunyi. Para pria dan anak-anak pun melakukan perayaan-spontan dengan menceburkan diri ke laut, sedangkan para wanita sempat diam sesaat, sebelum beberapa di antaranya, yang tidak sedang membawa bayi atau tidak sedang menstruasi, termasuk Nenek Podapoda, akhirnya memutuskan untuk turut menceburkan diri ke laut.
            
Lalu, sekonyong-konyong laut yang mengelilingi Pulau Mungkaka berubah menjadi kobaran api! Mereka yang sedang berada di pelukan laut itu pun pada terbakar sembari meraung-raung kesakitan, tak berbeda jauh dengan si Kucing Kurus yang, beberapa saat lalu, digerogoti wujud bola api Nenek Podapoda—hingga nyawa kesembilannya melayang.


Denpasar, 2016



*) Cerpen ini pernah dimuat di Bali Post pada tanggal 12 Juni 2016.

Jumat, 10 Juni 2016

TANYA YANG BERTAMU






Dokumentasi Abstrak

kau jantung dosa yang terlampau
banyak membaca kitab suci. kau
serbuk-serbuk malam yang merekahkan
seribu nama di ujung lelap. kau lagu
pengantar tidur yang mengiringi upacara
kematianku. kau “gempita” tanah yang
mengusirku dari sejarah.

(Denpasar, 2016)




Tanya yang Bertamu

tidak ada siapa-siapa di rumahku
ketika dari ujung musik kudengar
ada yang mengetuk pintu. dan di
rumahku itu, kekasih, memang tak
akan ada siapa-siapa, termasuk
memori yang merambat di musik ini.

(Denpasar, 2016)




Bayi Tua

rindu purba seperti
:
rasa
sajak
yang
muram.

di suatu rindu, malam pernah
membakarmu seperti mimpi.
dan keesokan harinya, tak akan
kubiarkan kantuk yang nakal itu
mencibirmu sekali lagi.

(Denpasar, 2016)




Wanita yang Dibunuh Keheningan

hening memburunya di tengah
rimba kantuk sementara ia sendiri
sedang dijebak oleh kata-kata dan
angka-angka dalam mimpi.

+ jebakan yang tak nyata pun dapat
membahayakanmu.

- kau ingin melihatku lebur sekali
lagi dalam sajak-sajakmu yang nakal.

+ tapi, kekasih, sajak-sajakku
bukanlah hening, apalagi kata-kata
dan angka-angka dalam mimpi.

- kau ingin menyulut dan mengisapku
seperti rokok. lalu kau akan gila
menulis sajak pada keriuhan nikotin.

+ o, kekasih, bersembunyilah dalam
bayang-bayangku yang tak akan lesap
dalam malam, dalam sajak.

- kau hendak melumpuhkanku dengan
bayang-bayang sajak.

+ kekasih … di belakangmu … kau
terlambat.

hening yang serupa seutas dawai biola
pun keburu menjerat lehernya.
keesokan harinya, di koran, ia ditulis
sebagai seorang wanita yang dibunuh
keheningan, seorang wanita yang mati
di antara nada-nada pengantar mimpi,
tanpa kata-kata, tanpa angka-angka.

(Denpasar, 2016)




D-N

kau pernah bersembunyi di jaringan
internet lalu membakar arsip kenanganku.
kau pernah bersembunyi di balik jarak yang
menghubungkan puisi dengan kesedihan
sebelum menggigilkanku dengan hujan
kata-kata. kau pernah tersimpan rapi dalam
sebuah lagu di ponselku sebelum virus
menghapus liriknya.

kau pernah menjadi badai digital
ketika kotak masuk surelku begitu
sepi. kau pernah terselip di saku
celana untuk menggantikan dompetku
yang hilang. kau pernah menjadi
doa tunggalku ketika aku agak
bosan berharap. kau pernah terselip
di keriuhan benakku ketika kesunyian
yang jahat terus mengetuk-ngetuk
pintu kamarku.

dan kau tak pernah kembali setelah
senja menarikmu ke negeri sejarah.

(Denpasar, 2016)




Puisi buat Kau yang Merasa Rapuh

ibu menulisku bukan sebagai sajak,
dan di jantungnya tak pernah tertanam
satu pun puisi. ia pun tak hendak menulisku
sebagai sebuah lakon sebab sandiwara
terlampau lama menancap di lembah
dadanya.

*

perihal tulis-menulis, aku bukanlah
orang yang pandai membikin prosa
puitis apalagi surat romantis. tapi
setidaknya aku terlahir dari sebuah
cerita pendek dan kota kata yang
terbakar.

aku terlahir sebagai sebuah sajak yang
tak pernah sekali pun mereka duga,
yang tak pernah sekali pun ibu tulis.

(Denpasar, 2016)



*) Puisi-puisi ini pernah dimuat di basabasi.co pada 7 Juni 2016.

Minggu, 05 Juni 2016

MATINYA MALAIKAT KEMATIAN -- Sebuah Cerpen





Kau

Aku ingin membunuh sang malaikat kematian. Malaikat itu telah merenggut nyawa Ayah saat aku berusia 7 tahun. Kala itu seharusnya Ayah bisa sembuh dari suatu penyakit yang hinggap di jantungnya, kalau saja malaikat kematian tidak turut campur dan tidak terburu-buru mencabut nyawanya.
            
Aku ingin menghabisi sang malaikat kematian. Berkat malaikat itu pula, adikku, saat aku berusia 8 tahun, tewas akibat dipukuli oleh teman-teman sepermainannya—yang sebagian besar lebih tua satu-dua tahun darinya—hanya karena dianggap melakukan kecurangan dalam bermain petak umpet. Seharusnya Adik tidak mati, dan aku seharusnya bisa menyelamatkannya, kalau saja sang malaikat kematian tidak buru-buru turut campur, sehingga kini aku hanya memiliki dua orang adik.
            
Aku ingin mencingcang-cincang sang malaikat kematian. Kini, di usiaku yang ke-26 tahun, malaikat itu pasti sedang mencari-cari kesempatan untuk mencabut nyawa Ibu, mentang-mentang wanita itu hanya bisa tergeletak lemah di ranjang rumah sakit sembari mengerang kesakitan.
            
Aku ingin sang malaikat kematian mati. Tapi, bisakah pembawa kematian itu mengalami kematian?

***

Di kantor, aku menerima telepon dari Imran, salah satu adik kandungku. Katanya, penyakit Ibu semakin parah lagi. Aku dimintanya untuk segera menuju rumah sakit, sebagaimana Laksmi—adik perempuanku—yang bekerja di sebuah perusahaan yang kantornya terletak tak jauh dari kantorku ini. Mudah saja aku minta izin pada si Bos, sebab sepertinya ia tahu betul bahwa sewaktu-waktu aku bakal harus meninggalkan kantor karena ibuku.
            
Rupanya Laksmi dan Imran telah tiba di rumah sakit terlebih dahulu. Laksmi menggenggam erat tangan kiri Ibu, sedangkan Imran menggenggam erat tangan kanannya. Sementara itu, sang dokter, yang ditemani oleh dua orang perawat, sedang menyuntikkan suatu cairan bening ke selang infus yang salah satu ujungnya menancap di pergelangan tangan Ibu.
            
Sekonyong-konyong Ibu mengucapkan sesuatu dengan begitu lirih dan tak jelas. Tak ada satu pun dari kami yang menangkap kalimatnya. Mudah-mudahan saja itu bukan salam perpisahan.

***

Malaikat Kematian

Aku adalah tunggal. Namun aku bisa ada di banyak tempat dalam waktu yang bersamaan. Tapi aku bukanlah Tuhan. Aku hanyalah ciptaan-Nya, sebagaimana para iblis, para binatang, juga para manusia.
            
Setiap hari, partikel-partikel tubuhku berserakan di dunia ini, tiada lain sebab setiap hari ada saja orang yang mati; baik karena memang ajalnya sudah tiba, maupun karena ajalnya dipaksakan untuk tiba. Tugasku hanyalah membantu mereka semua untuk keluar dari tubuh masing-masing. Untuk masalah “mencari jalan pulang ke sana”, itu urusan tersendiri buat mereka—jika memang sudah waktunya mereka mati, pintu itu akan terlihat jelas oleh mereka; jika mereka mati sebelum waktunya mati, pintu itu tak akan pernah terlihat sampai tiba waktu yang sesungguhnya bagi mereka untuk mati.
            
Pernah pada suatu malam kudengar seorang bocah laki-laki berusia 8 tahun mengatakan, “Kalau aku adalah malaikat kematian, aku tidak akan mencabut nyawa Nenek supaya Nenek bisa terus bersama kita.”
            
Itu adalah ketika salah satu partikelku sedang menunggui seorang manusia sekarat—dengan bersembunyi di kolong ranjang—yang disebut “Nenek” oleh bocah itu. Berdasarkan catatanku, ajal si Nenek akan tiba tak lebih dari semenit lagi.
            
“Tapi, kalau Nenek hidup terus,” balas seorang bocah perempuan, sepertinya adalah kakak dari sang bocah laki-laki, “bukankah itu berarti seumur hidup ia harus merasakan sakit?”
            
Si bocah laki-laki tak bisa menjawab apa-apa.
            
Benarlah apa yang dikatakan oleh bocah perempuan itu; andai orang yang seharusnya mati tak kubuat mati, maka mereka akan merasakan sakit, yang luar biasa hebatnya, seumur hidup—sesungguhnya kematian itu adalah upayaku untuk menyelamatkan mereka.
            
Saat waktu hidup si Nenek tinggal sembilan detik lagi, kurapalkanlah sederet mantra dengan lirih agar kedua bocah itu tertidur. Saat waktu hidup wanita tua itu tinggal tiga detik, aku keluar dari kolong ranjang, lantas menarik nyawanya ketika waktu hidupnya telah habis, menggunakan sabit pencabut nyawa yang menjadi properti wajib bagiku.
            
Pernah pula salah satu partikelku mendengar seorang bocah laki-laki berusia 7 tahun meneriakkan, “Ayah seharusnya belum mati! Malaikat kematian yang terlalu terburu-buru mencabut nyawanya!”
            
Itu adalah ketika baru saja kucabut nyawa ayahnya yang memiliki masalah besar pada jantung. Sesungguhnya, kalimat bocah laki-laki itu sungguh mengiris. Apa dikiranya aku senang memiliki kekuasaan-atas-kematian? Apa dikiranya aku senang mencabut nyawa orang? Apa dikiranya hatiku tidak terluka setiap melihat reaksi orang-orang yang teman, keluarga, atau kekasihnya kumatikan? Tapi, ketahuilah, hatiku akan lebih terluka kalau kubiarkan orang-orang sakit itu digerayangi rasa sakit secara terus-menerus—dan itu bisa saja kulakukan kalau aku mau.

***

Jarang benar kutemui orang sekarat di rumah sakit yang tak ditemani oleh seorang pun, seperti wanita paruh baya yang adalah pasien di kamar ini. Omong-omong, entah kenapa, ia tampak tak asing di mataku.
            
Tiba-tiba saja ada yang menghantam pelipisku kiriku dari belakang, membikinku terjatuh ke lantai dan sabit pencabut nyawaku tergeletak tak jauh.
            
“Imran! Laksmi! Lihatlah, malaikat kematian datang!” teriak pria itu, sebatang kayu di tangan kanannya menunjuk tepat ke wajahku.
            
Seorang perempuan dan seorang lelaki pun keluar dari kamar mandi. Mata mereka bengkak, menandakan bahwa mereka habis menangis.
            
Aku tertipu oleh mereka … Mendadak aku teringat kenapa wanita paruh baya yang adalah pasien di kamar ini tak asing di mataku, sebagaimana pria yang menghantam pelipis kiriku dari belakang ini serta perempuan dan lelaki yang barusan keluar dari kamar mandi itu …
            
Sang pria menginjak dadaku dengan salah satu kakinya dan menghantamkan sebatang kayu itu ke pelipis kananku. “Kau tidak boleh mencabut nyawa Ibu!”
            
“Semua yang sudah waktunya mati haruslah mati,” bantahku, berusaha untuk tetap tenang.
            
Lagi-lagi sebatang kayu itu dihantamkannya ke pelipis kananku.
            
Lelaki dan perempuan—yang dipanggil “Imran” dan “Laksmi”—yang tadi keluar dari kamar mandi itu hanya mampu tersedu-sedu. Sementara itu, dari luar, kudengar derap langkah beberapa pasang kaki yang mengarah ke kamar ini.
            
Sial …

***

Kau

Mulut malaikat kematian itu komat-kamit, entah mantra apa yang sedang dirapalkannya, tidaklah terdengar jelas. Dengan gerakan cepat, kusambar sabit pencabut nyawa yang tergeletak tak jauh darinya dan segera menghunjamkan ujung dari sabit tersebut ke dadanya.
            
Laksmi dan Imran pun menjerit, sebagaimana tiga orang perawat yang baru saja membuka pintu kamar ini.
            
Mulut sang malaikat kematian tak lagi komat-kamit …

***

Jalan di malam kelam itu akan melompong oleh makhluk hidup kalau saja bukan karena keberadaan seorang pria yang berjalan amat lambat di pinggir jalan. Senyum terkembang di bibirnya karena ia baru saja melakukan sesuatu yang amat membuatnya senang. Tiba-tiba ponselnya berdering, mengoyak kesunyian kelam malam. Tak lebih dari tiga detik kemudian, menempellah ponsel ia punya di telinganya, sampai ketika seorang preman yang muncul dari sebuah gang sempit berlari ke arahnya dan merebut ponselnya.
            
Pria itu melawan, tetapi tak ada lebih dari sepuluh detik sebab sang preman telah menusuk-nusuk perutnya dengan sebilah pisau sebanyak enam kali, dan pada tusukan yang ketujuh pisau itu melubangi lehernya.
            
Sang preman lantas melarikan diri bersama ponsel yang berhasil direbutnya. Pria yang menjadi korbannya itu tergeletak di pinggir jalan … namun tak mati.

            
Rupa-rupanya, hidup abadi tidaklah menyenangkan, meski ada saja orang menginginkannya. Ah … Gara-gara aku membunuh malaikat kematian, kini aku yang dihiasi luka-luka tusuk tak akan pernah mengalami kematian dan akan kesakitan selama-lamanya.


*) Cerpen ini pernah dimuat di Bali Post, 23 Agustus 2015, dengan judul "Matinya Malaikat".